Tuhan, Aku Ingin Seperti Dia!
Oleh: Christin Siahaan
Orang itu keren banget! Punya banyak talenta, berprestasi, populer, dan sangat menyenangkan. Betapa aku ingin seperti dia! Pernahkah pemikiran semacam ini muncul dalam benakmu? Awalnya kamu hanya mengamati seseorang, entah itu teman baikmu atau kenalan biasa, kemudian kamu mulai mengaguminya, lalu tanpa disadari, rasa cemburu sudah menguasai hatimu.
Saat aktif melayani di kampus, seorang teman pernah membagikan pengalamannya dalam kelompok doa. Dengan sangat bersemangat ia menceritakan sahabat doanya yang baru (agar mudah, sebut saja namanya Joy), katanya: “Orang itu benar-benar hidup kudus!” Ia bukan sedang bercanda atau menyindir sikap religius Joy. Dari nadanya aku tahu ia benar-benar mengagumi sahabat yang kehidupan doanya patut diteladani itu. Aku tidak mengenal Joy secara dekat, meski ia satu fakultas denganku, tetapi aku tahu bahwa Joy sangat aktif dalam pelayanan, dan tampaknya selalu haus untuk belajar tentang Tuhan. Mendengarkan pujian tulus yang ditujukan kepadanya, rasa cemburu tiba-tiba menyelinap di benakku, “Ah Tuhan, aku juga ingin seperti dia!”
Perasaan cemburu itu membawaku memeriksa kembali hubunganku dengan Tuhan. Memang harus diakui, meski aku juga adalah seorang aktivis di kampus, aku jarang meluangkan waktu bersama dengan Tuhan. Dalam banyak hal, aku bahkan masih sering tidak taat pada firman Tuhan. Dengan sikap yang demikian, bagaimana mungkin aku bisa memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan seperti yang dimiliki Joy?
Tuhan mengingatkan aku pada Rasul Paulus. Ada banyak orang yang sudah lebih dulu mengikut Yesus, bahkan menjadi para rasul-Nya. Akan tetapi, Paulus tidak memusingkan dirinya dengan bagaimana ia dapat menyaingi pelayanan rasul-rasul lain, atau bagaimana ia dapat lebih dihargai oleh orang-orang yang ia layani. Sebaliknya, Paulus menetapkan hatinya untuk mengenal Kristus dan untuk hidup makin serupa dengan-Nya (Filipi 3:10). Ia mengerjakan bagiannya untuk taat dan setia, Tuhan yang mengurus hasilnya, membuat kehidupan dan pelayanannya menjadi berkat bagi banyak orang.
Teladan Rasul Paulus mengingatkan aku bahwa pada akhirnya, yang terpenting adalah penilaian Tuhan atas hidup kita. Ketika kita melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih baik, jangan biarkan rasa cemburu dan iri hati menguasai kita, membuat kita bertanya mengapa Tuhan tidak membiarkan kita sukses seperti mereka. Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk mengejar keserupaan dengan orang lain. Dia memanggil kita untuk menjadi serupa dengan Kristus. Sebab itu, kita dapat merayakan proses pertumbuhan dan keberhasilan-keberhasilan orang lain sembari terus bertekun dalam proses pertumbuhan kita sendiri, dengan keyakinan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang berbeda-beda dalam kehidupan setiap orang, untuk kebaikan kita. Dia sedang membentuk hidup kita agar dapat mempermuliakan-Nya di mana pun Dia menempatkan kita.