Posts

Tuhan, Aku Ingin Seperti Dia!

Oleh: Christin Siahaan

When-I-Wanted-to-Be-Like-Her

Orang itu keren banget! Punya banyak talenta, berprestasi, populer, dan sangat menyenangkan. Betapa aku ingin seperti dia! Pernahkah pemikiran semacam ini muncul dalam benakmu? Awalnya kamu hanya mengamati seseorang, entah itu teman baikmu atau kenalan biasa, kemudian kamu mulai mengaguminya, lalu tanpa disadari, rasa cemburu sudah menguasai hatimu.

Saat aktif melayani di kampus, seorang teman pernah membagikan pengalamannya dalam kelompok doa. Dengan sangat bersemangat ia menceritakan sahabat doanya yang baru (agar mudah, sebut saja namanya Joy), katanya: “Orang itu benar-benar hidup kudus!” Ia bukan sedang bercanda atau menyindir sikap religius Joy. Dari nadanya aku tahu ia benar-benar mengagumi sahabat yang kehidupan doanya patut diteladani itu. Aku tidak mengenal Joy secara dekat, meski ia satu fakultas denganku, tetapi aku tahu bahwa Joy sangat aktif dalam pelayanan, dan tampaknya selalu haus untuk belajar tentang Tuhan. Mendengarkan pujian tulus yang ditujukan kepadanya, rasa cemburu tiba-tiba menyelinap di benakku, “Ah Tuhan, aku juga ingin seperti dia!”

Perasaan cemburu itu membawaku memeriksa kembali hubunganku dengan Tuhan. Memang harus diakui, meski aku juga adalah seorang aktivis di kampus, aku jarang meluangkan waktu bersama dengan Tuhan. Dalam banyak hal, aku bahkan masih sering tidak taat pada firman Tuhan. Dengan sikap yang demikian, bagaimana mungkin aku bisa memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan seperti yang dimiliki Joy?

Tuhan mengingatkan aku pada Rasul Paulus. Ada banyak orang yang sudah lebih dulu mengikut Yesus, bahkan menjadi para rasul-Nya. Akan tetapi, Paulus tidak memusingkan dirinya dengan bagaimana ia dapat menyaingi pelayanan rasul-rasul lain, atau bagaimana ia dapat lebih dihargai oleh orang-orang yang ia layani. Sebaliknya, Paulus menetapkan hatinya untuk mengenal Kristus dan untuk hidup makin serupa dengan-Nya (Filipi 3:10). Ia mengerjakan bagiannya untuk taat dan setia, Tuhan yang mengurus hasilnya, membuat kehidupan dan pelayanannya menjadi berkat bagi banyak orang.

Teladan Rasul Paulus mengingatkan aku bahwa pada akhirnya, yang terpenting adalah penilaian Tuhan atas hidup kita. Ketika kita melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih baik, jangan biarkan rasa cemburu dan iri hati menguasai kita, membuat kita bertanya mengapa Tuhan tidak membiarkan kita sukses seperti mereka. Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk mengejar keserupaan dengan orang lain. Dia memanggil kita untuk menjadi serupa dengan Kristus. Sebab itu, kita dapat merayakan proses pertumbuhan dan keberhasilan-keberhasilan orang lain sembari terus bertekun dalam proses pertumbuhan kita sendiri, dengan keyakinan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang berbeda-beda dalam kehidupan setiap orang, untuk kebaikan kita. Dia sedang membentuk hidup kita agar dapat mempermuliakan-Nya di mana pun Dia menempatkan kita.

Ibu Memberiku Kasih

Oleh: Abyasat Tandirura

Aby-Ibu-Memberiku-Kasih

Ibu memberiku kasih
Bagaikan kemilau cahaya mentari
Hangat menembus relung hati
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Melebihi harta duniawi
Melahirkan dan membesarkanku di dunia ini
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Mendoakanku setiap hari
Membimbingku mengenal kasih ilahi
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Berjerih lelah tiada henti
Sekalipun sering aku kurang peduli
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Tak jemu menasihati dan menyemangati
Sekalipun sikapku kadang tak tahu diri
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Mendorongku melangkah hingga hari ini
Menyiapkanku menapaki esok hari
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

 
Catatan Penulis:
Puisi ini lahir dari perenungan pribadi jelang ulang tahunku tentang seorang “pahlawan” yang Tuhan tempatkan dalam hidupku. Ia berjuang membesarkanku, dari seorang bayi yang tak bisa apa-apa, hingga menjadi seorang pemudi yang mandiri. Ia berjuang mendidikku, dari seorang anak yang tak tahu apa-apa, hingga menjadi seorang dewasa yang mengenal Penciptanya. Ia tak sempurna, namun mengajarku ‘tuk selalu bergantung pada Yang Mahasempurna. Ia rela melakukan segala hal yang baik demi kebahagiaanku. Tulus, tanpa pamrih. Ya, ia adalah ibuku.

Kadang aku berpikir betapa senangnya bila bisa “membahagiakan” ibuku kelak jika aku sukses. Namun, sebenarnya aku tak perlu menunggu selama itu. Aku dapat membuatnya bahagia dengan hal-hal sederhana setiap hari. Bertutur dan bersikap dengan cara yang menghormatinya. Mendengarkan nasihatnya. Memberinya senyum dan pelukan hangat. Memberitahunya bahwa aku menyayanginya. Alkitab sendiri mengajar kita untuk menghormati ibu (dan ayah) kita tidak hanya pada waktu atau kondisi tertentu. Kita mendengarkan dan menaati mereka karena kita menghormati dan mengasihi Tuhan yang telah menempatkan mereka sebagai orangtua kita (lihat Keluaran 20:12; Kolose 3:20). Roh Kudus menolong kita.

Berusaha Menjadi Seorang yang Hebat

Oleh: Lydia, Beijing, berdasarkan sebuah kisah nyata
(Artikel asli dalam Simplified Chinese: 小英的英雄梦)

Striving-to-be-somebody

Kamu harus rajin belajar supaya bisa menjadi orang yang hebat,” demikian nasihat orangtua yang biasa didengarnya. Dan, itulah tujuan hidup yang tertanam di benak Sammy kecil. Ia ingin suatu hari kelak bisa berhasil kuliah di Universitas Oxford seperti tetangganya. Langkah awalnya dimulai ketika ia berhasil masuk ke salah satu SMA yang bergengsi. Target selanjutnya adalah mengikuti jejak kakak-kakak kelasnya untuk bisa kuliah di universitas papan atas.

Ia belajar mati-matian di SMA, dan jerih lelahnya tidak sia-sia. Ia diterima untuk masuk ke salah satu sekolah bisnis terbaik di China. Sekolah itu terkenal telah melahirkan orang-orang terbaik di bidangnya. Banyak lulusannya berhasil meraih kesempatan studi lanjut di berbagai program pascasarjana lintas bidang studi yang bergengsi, menerima tawaran untuk masuk ke universitas-universitas Ivy League (asosiasi yang terdiri dari 8 universitas terbaik di Amerika), dan pasti diterima bekerja baik di lembaga pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan multinasional. Beberapa lulusan bahkan langsung direkrut bank-bank investasi dan mengantongi gaji lebih dari satu juta dolar setiap tahunnya. Di antara orang-orang terbaik itu, Sammy tak ingin kalah bersaing; ia berharap dapat menjadi seseorang yang diperhitungkan.

Sayangnya, pada tahun kelulusannya, krisis ekonomi menghantam negaranya. Setelah berkali-kali mengikuti wawancara kerja tanpa hasil. Sammy akhirnya menerima tawaran kerja dari sebuah perusahaan yang tidak masuk dalam daftar Fortune-500 [daftar 500 perusahaan dengan pendapatan tertinggi yang dibuat setiap tahun oleh majalah Fortune], demi bisa bertahan hidup di kota kosmopolitan, Beijing.

Setiap hari, saat istirahat makan siang, Sammy akan berjalan-jalan di taman dekat kantornya untuk menghilangkan stres sejenak. Taman itu dihiasi bunga-bunga biasa, tak ada yang seindah peony atau secantik mawar. Pada saat-saat itu, Sammy kerap berpikir, “Perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang sekarang menggunakan jasaku sama seperti bunga-bunga ini. Kami bukan perusahaan terbaik dan tidak akan pernah bisa meraih posisi itu. Mungkinkah orang-orang seperti kami bisa memiliki hidup yang dapat dibanggakan?”

Setiap kali pikiran yang demikian memenuhi benaknya, Sammy merasa tertekan. “Aku lulus dari sebuah SMA dan universitas papan atas, bagaimana bisa aku sekarang hanya bekerja di sebuah perusahaan kelas dua, melayani klien-klien kecil dan menengah yang tidak akan pernah masuk daftar Fortune 500? Jika kondisi ini terus berlanjut, mungkinkah aku bisa menjadi seseorang yang berarti? Apakah pekerjaan yang sedang kujalani ini bermakna? Dibandingkan dengan orang-orang berpengaruh dari almamaterku, aku sungguh bukan siapa-siapa.”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggunya hingga ia kemudian mengenal Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan. Ia bertanya kepada Yesus, “Ya Tuhan, apa yang Engkau pikirkan tentang aku dan pekerjaanku? Mungkinkah aku akan bisa menjadi seseorang yang hebat?” Saat Sammy mengarahkan perhatiannya kepada salib, perspektifnya terhadap kehidupan dan pekerjaannya pun mulai berubah.

Ketika ia merenungkan tentang Pribadi dan karya Yesus, nilai sesungguhnya dari seorang manusia menjadi jelas baginya. Yesus adalah Anak Allah yang berharga dan bahkan adalah Allah sendiri. Akan tetapi, Dia “… walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:6-8). Yesus mati menggantikan para pendosa supaya mereka yang telah hidup terpisah dari Allah dapat kembali kepada Allah melalui Dia. Sepanjang hidupnya, Sammy sangat ingin menjadi “orang yang hebat”, tetapi Yesus, Pribadi terhebat di jagat raya ini justru telah merendahkan derajat-Nya, menjadi seorang hamba untuk menyelamatkan semua orang.

Orang-orang yang dilayani Yesus tidak hanya terdiri dari para politisi, orang-orang yang kaya dan berhasil, tetapi juga para pelacur, penderita kusta, dan kaum papa yang tidak punya kuasa dan direndahkan orang. Sekalipun mereka miskin dan tidak dianggap di mata dunia, mereka dipandang berharga di mata Yesus. Alkitab jelas menyatakan bahwa setiap kita diciptakan dalam rupa Allah, dan itulah sebabnya setiap kita berharga.

Dengan perspektif yang baru ini, Sammy menyadari, jika Yesus sendiri tidak mengukur orang menurut kekayaan, pekerjaan, atau status sosial mereka, mengapa ia harus mengukur dirinya sendiri dan klien-kliennya menurut standar tersebut? Para klien dan dirinya sendiri berharga di mata Allah. Jika ia mengikuti pengajaran Alkitab dan melayani kliennya dengan kasih Yesus, ia sesungguhnya sedang melayani Allah.

Kini Sammy memiliki mimpi baru yang lebih besar—mengikuti jejak Kristus. Yesus berkata, “…Anak Manusia … datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45). Sammy akhirnya memahami bahwa yang lebih penting di mata Allah bukanlah usaha untuk tampil lebih hebat dari orang lain, tetapi untuk melayani mereka, sama seperti yang diteladankan Yesus.

Sammy lalu menuliskan doa berikut ini:
Tuhan yang terkasih, tolonglah aku untuk melihat sesamaku melalui mata-Mu dan memperlakukan orang lain sebagaimana Engkau akan memperlakukan mereka. Tolong aku untuk meneladani cara hidup-Mu, mengasihi dan melayani sesama dengan kerendahan hati dan kelemahlembutan, menyenangkan-Mu dalam segala sesuatu yang kulakukan.”

Apakah kamu memiliki pengalaman yang mirip dengan Sammy? Maukah kamu menjadikan doanya sebagai doamu juga?

SinemaKaMu: Avengers, Age of Ultron — Mengapa Kita Menyukai Mereka?

Oleh: Devina Stephanie

SinemaKaMu-Avengers2015

Setelah berhasil dengan sekuel pertama “The Avengers”, Marvel Studios kembali menggarap sekuel kedua “Avengers: Age of Ultron”, yang diangkat dari komik Avengers dan disutradarai oleh Joss Whedon. Film ini meraih sukses besar dan menduduki peringkat pertama dalam daftar film terlaris pada awal Mei 2015. Tak bisa dimungkiri bahwa film yang berkisah tentang pahlawan super selalu digemari oleh semua kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang dewasa. Mengapa?

Kupikir, selain memiliki tampang rupawan, kekuatan super para pahlawan itu juga layak menjadi dambaan, karena dalam kenyataannya, kita semua adalah manusia biasa yang sarat keterbatasan. Mungkin kita pernah berharap sosok para pahlawan super benar-benar ada di dunia ini—orang-orang yang berani mengambil risiko, menggunakan kekuatan mereka untuk melawan kejahatan yang mengancam orang banyak dan berupaya menciptakan dunia yang lebih baik. Mungkin kita pernah berandai-andai memiliki kemampuan super seperti mereka dan melakukan sesuatu yang berarti bagi komunitas kita.

Berita baiknya, sekalipun para pahlawan super hanya imajinasi manusia yang tidak benar-benar sanggup menyelamatkan, Alkitab memberitahu kita bahwa ada harapan bagi dunia ini. Akan datang waktunya dunia yang sarat dengan kejahatan ini diperbarui sepenuhnya (Wahyu 21:1-4). Kristus, Anak Domba Allah, Sang Pahlawan sejati, akan datang kembali dan membawa setiap orang yang percaya kepada-Nya masuk ke dalam dunia baru yang luar biasa baiknya (Wahyu 21-22). Pengharapan akan masa depan inilah yang dinubuatkan nabi Zefanya: “Tuhan Allahmu ada diantaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai” (Zefanya 3:17).

Berita baiknya lagi, kita tak perlu menunggu datangnya kemampuan super untuk melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup ini. Sebagai “kawan sekerja” dari Sang Pahlawan sejati, kita diperlengkapi dengan kemampuan yang berlain-lainan untuk mewujudkan misi-Nya di dunia ini (1 Korintus 12:11). Sumber kekuatan kita jauh lebih canggih daripada robot Iron Man dan lebih tangguh daripada perisai Captain America, sehingga kita dapat berkata seperti Rasul Paulus, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13). Pertanyaannya adalah: apakah kita mau menggunakan kemampuan-kemampuan kita untuk melakukan hal yang benar dan memberi kontribusi positif di mana Allah menempatkan kita?

Hal lain yang menurutku menarik dari film ini adalah kerjasama antar para pahlawan super. Perbedaan pendapat dan cara kerja nyaris memecah belah mereka, padahal untuk mengalahkan kejahatan, mereka seharusnya bersatu. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sebagai sesama anggota tubuh Kristus yang seharusnya bersatu menyatakan kehendak Allah di tengah dunia ini, bukankah kita juga sering menghadapi tantangan yang sama? Iblis kerap mengaburkan visi kita sehingga bukannya saling melengkapi dan bahu membahu mewartakan berita keselamatan, Gereja Tuhan malah saling merendahkan serta menjatuhkan.

Avengers sendiri bisa diartikan sebagai para penuntut balas (dari kata kerja “avenge”). Dan kupikir, kehadiran mereka mencerminkan kerinduan kita semua akan penegakan keadilan di dunia. Bedanya, jika para pahlawan super mengandalkan teknologi dan menghalalkan kekerasan untuk mewujudkannya, Alkitab mengajarkan kita sebaliknya. Sebagai umat Tuhan, kita dipanggil untuk hidup dalam kasih, dan mengandalkan Allah untuk membalas kejahatan pada waktu-Nya (Roma 12:19). Sekalipun kita hidup di dunia yang tidak ideal, kita tahu bahwa dunia yang lebih baik sudah disediakan bagi kita oleh Sang Pahlawan sejati, sebagaimana yang dijanjikan Tuhan dalam firman-Nya.

Wallpaper: Biasa Menjadi Luar Biasa

Siapa yang tidak ingin punya kemampuan seperti para superheroes [pahlawan super]? Bayangkan saja kalau kita bisa terbang seperti Superman, punya memori hebat seperti Wonder Woman, sangat kuat seperti Hulk, bisa bergerak secepat The Flash, bisa cepat mendeteksi bahaya seperti Spiderman, tahan api seperti Groot, tahan radiasi seperti Iron Man, elastis seperti Mr.Fantastic, dan beraksi tanpa terlihat seperti Invisible Woman. Masalah sepertinya akan lebih mudah diatasi. Kita bahkan bisa menolong orang-orang di sekitar kita.

Kenyataannya, bukankah kita adalah orang-orang biasa yang sering merasa tak berdaya? Usai menonton aksi fiktif para superheroes yang dengan berani memberantas kejahatan dan membela perdamaian dunia, mungkin hati kita bertanya-tanya, mengapa Tuhan tidak menyatakan kuasa-Nya dengan cara seperti itu? Mengapa Dia sepertinya membiarkan saja ketidakadilan, korupsi, dan berbagai kejahatan lainnya terjadi di sekitar kita?

Akan tetapi, Alkitab memberitahu kita, di situlah indahnya cara Allah bekerja. Meskipun Dia Mahakuasa dan sanggup melakukan segala sesuatu dalam sekejap, Dia memilih untuk berkarya melalui anak-anak-Nya, orang-orang yang berdosa yang sudah ditebus oleh darah Kristus. Rasul Petrus mengingatkan umat Tuhan, “…kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” (1 Petrus 2:9). Allah mau berkarya melalui kita, bukan tanpa kita!

Dan sekalipun kita merasa diri biasa-biasa saja, Alkitab berkata bahwa “…mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia.” (2 Tawarikh 16:9).

Dengan kekuatan dari Allah, orang-orang biasa seperti kamu dan saya dapat bangkit untuk menyatakan perbuatan-perbuatan-Nya yang luar biasa!

Kemampuan Super yang Dulu Selalu Aku Inginkan

Oleh: Ami Ji
(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: The Superpower I Always Wanted To Have)

Kemampuan Super

Ketika ditanya kemampuan super apa yang ingin aku miliki saat masih remaja, aku selalu menjawab, “Kemampuan untuk menghilang”. Memang saat berusia belasan tahun, ada banyak momen memalukan yang membuatku sungguh ingin menghilang seketika dari pandangan orang. Misalnya, saat aku terlambat bangun, saat rambutku sulit diatur, atau saat ada teman yang “ngerjain” aku di depan orang yang aku sukai. Aku bahkan pernah malu sekali jatuh dari sepeda di jalanan karena melamun.

Adakah momen-momen yang membuatmu berharap bisa menghilang seketika dari pandangan orang? Mungkin kamu berpikir tidak ada yang akan memperhatikanmu. Tidak akan ada orang yang peduli jika kamu tiba-tiba menghilang. Dunia bahkan mungkin akan menjadi lebih baik jika kamu tidak ada di dalamnya. Akan tetapi, Alkitab mengatakan bahwa setiap kita unik dan istimewa; kita diciptakan Allah secara dahsyat dan ajaib (Mazmur 139:13-14). Allah sangat memperhatikan kita, Dia bahkan tahu jumlah rambut di kepala kita (Matius 10:30).

Tidak mudah menerima kebenaran tersebut sebagai seorang remaja. Setiap kali melihat cermin, aku melihat sosok yang begitu jelek dan tidak menarik. Cara pandangku ini berakar dari apa yang kualami di masa kecil. Meski mungkin maksudnya bercanda, aku suka diberitahu untuk sering-sering menarik hidungku yang pesek supaya lebih mancung. Ada juga yang menyarankan aku pergi ke Korea selepas SMA untuk operasi kelopak mata. Makin aku beranjak dewasa, makin aku menyadari bahwa banyak pikiran negatif itu datang dari dalam diriku sendiri, bukan dari orang lain. Ketika orang memuji penampilanku, aku akan cepat-cepat menyanggahnya. Aku sendirilah yang punya masalah dalam menerima diriku sendiri.

Bagaimana kemudian aku mengatasi hal ini? Bisa dibilang aku belum selesai berproses, tetapi setahap demi setahap aku mengalami perubahan pola pikir seiring bertambahnya pemahamanku akan kebenaran-kebenaran dalam Alkitab. Alkitab berkata bahwa Allah mengasihiku (1 Yohanes 4:10), rencana-Nya adalah untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28), dan setiap pemberian yang baik datang dari Allah (Yakobus 1:17). Semua itu adalah gambaran yang indah tentang betapa Bapa surgawi kita yang luar biasa begitu mempedulikan kita. Masalah penampilan dan penilaian orang lain terhadap diriku menjadi begitu sepele ketika aku memahami gambaran yang lebih besar ini.

Alkitab bahkan menjelaskan lebih jauh tentang betapa dalamnya Bapa surgawi mengenal kita. Mazmur 139:16 berkata, “mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.” Bahkan sebelum aku lahir, Dia telah mempersiapkan hari-hari hidupku. Betapa aku terhibur sekaligus terkesan mengetahui bahwa keberadaanku ternyata dirancang oleh Allah sendiri.

Hari ini, oleh anugerah Allah, aku tidak lagi merasa perlu “menghilang seketika”. Sebaliknya, aku belajar menerima pujian dengan sikap yang manis, dan berusaha memberikan pujian yang tulus bagi orang-orang di sekitarku. Setiap kali aku bertemu dengan teman-temanku, aku berusaha memperhatikan perubahan positif atau upaya mereka untuk tampil lebih baik. Makin hari, aku makin dapat menghargai keragaman dan keindahan yang telah dijadikan Allah secara dahsyat dan ajaib dalam diri tiap-tiap individu, bukan hanya di dalam diri orang lain, tetapi juga di dalam diriku sendiri.

Sharing: Siapa saja tokoh yang menjadi teladan hidupmu?

Sharing-201505-A

Lebih pintar. Lebih sukses. Lebih bijaksana. Lebih …. Lebih …. Kita semua ingin menjadi lebih baik. Sebab itu kita memperhatikan orang-orang yang lebih baik dari kita, dan ingin menjadi seperti mereka. Orang-orang yang hidup dalam dunia yang sama dengan kita, punya 24 jam sehari sama seperti kita, namun bisa mengoptimalkan apa yang Tuhan berikan sehingga hidup mereka menjadi garam dan terang bagi sekitarnya. Alkitab menasihati kita untuk memperhatikan para pemimpin yang hidup sesuai Firman Tuhan dan mencontoh iman mereka (Ibrani 13:7). Kita diminta untuk meniru sikap orang Samaria yang penuh belas kasihan (Lukas 10:36-37). Kita didorong untuk meneladani disiplin, keuletan, dan kerja keras para pendahulu kita (2 Tesalonika 3:6-9). Kita diingatkan untuk setia dalam tugas yang dipercayakan kepada kita hingga Tuhan datang kembali (Lukas 12:36-37). Kita dinasihati untuk meniru orang-orang yang hidup serupa dengan Kristus (1 Korintus 11:1)

Siapa saja tokoh yang menjadi teladan hidupmu? Mengapa kamu terinspirasi oleh mereka? Apakah teladan mereka membawamu hidup makin serupa Kristus?