Posts

Dibelokkan Dulu, Supaya Menemui Jalan Lurus

Oleh Prilia

Masih jelas kuingat, masa-masa ketika banyak energi dan emosi terkuras demi masuk kampus negeri impianku. Dengan segala persiapan dan rencana yang sudah kususun matang, aku yakin betul kalau aku pasti diterima. Tapi, hidup memang tak bisa ditebak. Keyakinan itu pupus, digantikan rasa kecewa dan patah hati yang rasa sakitnya buatku lebih pedih daripada putus cinta. Waktu itu kupikir semua usahaku sia-sia. 

Semenjak menduduki bangku SMA, aku sudah menargetkan jurusan dan universitas yang akan kupilih. Dan ketika sudah kelas 3 (SMA), aku mendaftarkan nilai raporku pada undangan PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Sayangnya, aku gagal dalam undangan tersebut. Aku tidak sedih atau pun kecewa saat itu, toh masih banyak cara untuk masuk PTN, pikirku. Kemudian aku ingin mengikuti tes tulis masuk PTN. Namun, keadaan ekonomi keluarga membuatku berpikir kembali. Kalau aku diterima masuk PTN, selanjutnya bagaimana? Sanggupkah orang tuaku membiayai kuliahku selama 4 tahun?

Obsesiku untuk masuk kampus negeri muncul sejak aku duduk di bangku SMA. Aku sudah menargetkan prodi dan universitas mana yang mau kupilih. Saat aku naik ke kelas XII, kucoba ikut jalur undangan, tapi sayangnya aku gagal. Aku masih optimis, toh masih banyak cara lain, pikirku.

Ditunda dan diputar, tapi demi kebaikan

Namun, rasa optimisku kemudian berbenturan dengan keadaan. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Usia orang tuaku yang sudah cukup tua membuat mereka tidak lagi bekerja. Kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh kedua kakakku yang lulusan SMA. Dengan kondisi ini, aku jadi berpikir lagi. Kalau aku memang bisa diterima, selanjutnya gimana? Aku tidak enak jika harus membebani keluarga. Meskipun aku bisa meraih beasiswa buat uang kuliahku, bagaimana dengan biaya lain-lainnya? 

“Tuhan, aku bingung,” ucapku dalam doa. “Aku mau banget kuliah. Aku mau buat bangga mama dan bapak. Tolong aku, Tuhan.” 

Doa itu dijawab Tuhan, tapi dengan jawaban yang lain. Setelah lulus SMA, aku pun memutuskan untuk bekerja lebih dulu sebelum nantinya mengambil studi. Dari gajiku itu, aku bisa menabung untuk biaya les SBMPTN dan biaya kuliah kelak. Meskipun sudah satu tahun lebih bekerja, tekadku untuk kuliah tidak pernah luntur. Setelah kurasa punya cukup modal, di tahun kedua kerja pasca lulus SMA, kuikuti seleksi masuk PTN. Kuambil cuti kerja 2 hari supaya bisa ikut tes dan mempersiapkannya dengan maksimal. Selama tes berjalan, aku yakin bisa menjawab banyak pertanyaan dengan benar. Aku optimis pasti lolos. Beberapa hari kemudian hasil pengumuman tes tulis itu keluar.

Aku sudah menabung, sangat siap untuk melepaskan pekerjaan jika dapat universitas negeri. Namun, harapanku sirna. Aku tidak lolos. 

Terkejut, kecewa, patah hati, sampai aku terdiam sekian lama dan tak bisa berkata apa-apa. 

Aku coba refresh lagi pengumuman hasil tes tulisku di situs SBMPTN, namun hasilnya tak berubah. “JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT!” Tulisan ber-font besar di layar komputer kantor yang harusnya memotivasiku itu, kupandang sebagai bentuk kegagalan dan kesia-siaan atas usahaku.

Aku luruh, tidak dapat menahan tangis di meja kantor. “Aku sudah mengorbankan banyak hal. Waktu, materi, pikiran, tenaga, dan banyak lagi. Tapi kenapa aku tidak lolos? Ini impianku sejak lama. Hasil ini rasanya tidak adil!” Aku menggugat Tuhan. 

Berhari-hari aku memikirkan hal ini. Tidak ada lagi harapan masuk universitas negeri karena batas waktuku melakukan tes tulis sudah habis, dan umurku juga sudah bukan lagi umur anak SMA yang baru lulus. Dalam kesedihan itu, aku berusaha untuk ikhlas. Dukungan orang tua yang menenangkan juga membantuku kembali bangkit. Jauh di lubuk hati, keinginanku untuk kuliah masih ada. Kakakku dan rekan-rekan di tempat kerjaku pun mendukung keinginanku itu, tapi mereka mengusulkanku untuk mengambil ospi lain, yaitu kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS).

Kata mereka, meskipun kuliah di PTS biayanya lebih besar daripada di PTN, tapi ada kampus yang menyediakan opsi kelas karyawan. Jadi, sembari kuliah, aku tetap bisa bekerja. 

Saran itu kupertimbangkan dan kurasa baik. Kuputuskan untuk kuliah di PTS dan mengambil kelas karyawan. Pagi hingga sore aku bekerja, malamnya lanjut kuliah. Kupilih satu universitas di Jakarta yang akreditasinya baik, biaya dan lokasinya terjangkau buatku. 

Hari-hariku menjalani kuliah sembari bekerja rupanya perlahan menyadarkanku akan penyertaan dan rencana Tuhan padaku.

Aku bersyukur, HRD kantorku mendukungku untuk kerja sambil kuliah. Kalau ada ujian semester di jam kerja, beliau memberiku izin. Dosen-dosen pengajarku juga memahami keadaan mahasiswa yang terlambat masuk kelas karena jam pulang kerja tiap perusahaan berbeda. Teman-teman kuliahku yang bekerja di beragam perusahaan juga memberiku banyak wawasan baru dari pengalaman mereka. Di sinilah aku mulai menikmati perkuliahanku. Orang-orang yang kutemui turut membentuk pola pikirku jadi lebih dewasa. Dalam hal ini, aku percaya, lingkungan dapat membawa pengaruh pada seseorang.

Satu hal lagi yang membuatku semakin bersyukur kuliah di universitas swasta. Aku mendapatkan potongan biaya semester 20% karena nilai IPK yang baik, serta mendapatkan beasiswa selama dua tahun. Meskipun pada tahun ketiga perusahaanku mengurangi jumlah karyawan, dan aku pun kehilangan pekerjaanku, namun ada saja cara Tuhan menopangku. Tuhan menggerakkan hati saudaraku untuk mendukung biaya studiku sampai lulus. Di sinilah aku mengalami betul apa yang kuimani, bahwa jika Tuhan mengantarku pada suatu perjalanan, Dia pasti memastikan aku tiba di tujuan. Berkat demi berkat yang kuterima membuatku menangis bersyukur karena meskipun jalanku berbelok dan berputar jauh, ternyata Tuhan begitu memperhatikan keadaanku.

Rencana Tuhan tak pernah terbayangkan di benakku. Begitu banyak hal-hal berharga yang kudapat dari-Nya. Dari sini aku belajar bahwa tiap rencana yang sudah kususun dengan matang, bahkan dengan perjuangan keras, adalah upaya yang Tuhan berkati. Meskipun tidak semua upaya kita menjumpai hasil yang sesuai dengan keinginan kita, namun dalam hikmat-Nya, Tuhan pasti dan selalu memberikan yang terbaik buat kita. Rencana Tuhan luar biasa, kadang di luar akal manusia. 

Kawan, jika saat ini ada rencanamu yang tak berjalan mulus, atau kamu mengalami kegagalan, percayalah kalau jalan yang Tuhan rencanakan adalah jalan yang membawa kebaikan untuk hidupmu. Percayalah, Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu dan tak ada rencana-Nya yang gagal (Ayub 42:2).

Ingatlah, yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita bukanlah diri kita sendiri, tapi Tuhan Allah, Sang Pencipta yang begitu mengasihi kita. Dan biarlah setiap pengalaman hidup yang kita lalui dapat menjadi bukti bahwa begitu besar dan dahsyat-Nya kasih Tuhan kepada kita. Aku percaya, Tuhan melihat segala hal yang terjadi. Dia mengerti, dan Dia peduli.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Yang Terpenting dalam Sebuah Perjalanan: Jangan Menunda

Oleh Astrid Winda Sondakh, Minahasa

Suatu ketika aku melakukan perjalanan menaiki motor ke kampusku yang ada di ibukota provinsi. Jarak dari desa tempat tinggalku ke kota itu cukup jauh. Jika aku berkendara dengan kecepatan sekitar 40 kilometer per jam, kira-kira butuh waktu dua jam untuk aku tiba di kampus. 

Di tengah perjalanan, hujan turun. Lama-lama makin deras. Seharusnya aku berteduh dulu, namun karena aku dikejar waktu, aku tidak ingin terlambat bertemu dosenku. Kupakai jas hujan supaya tidak basah kuyup. Jalanan licin, pandangan yang terganggu air hujan, dingin, juga rasa takut karena jalan yang kulewati berkelok-kelok bahkan sering terjadi tanah longsor atau pohon tumbang harus kulewati. Puji Tuhan, akhirnya aku tiba dengan selamat di kampusku dan bisa bertemu dosenku walaupun harus molor sekitar 20 menit. 

Keesokan harinya hujan deras turun lagi, merata hampir di semua tempat di provinsi tempat tinggalku. Ada kabar pula terjadi bencana alam pada lokasi yang kemarin menjadi rute perjalananku kemarin. Mendengar kabar itu, sontak aku berkata dalam hati, “Wah syukurlah aku tidak jadi menunda pergi ke kampus kemarin. Jika saja aku menundanya hari ini pasti aku tidak bisa pergi karena hujannya deras dan seharian pula.” 

Sehari-hari itu aku pun merenung. Cerita perjalananku dari rumah ke kampus menembus hujan badai mungkin sedikit banyak serupa dengan perjalanan kehidupan kita. Kita sudah berencana sedemikian rupa dan berharap semuanya lancar, tapi berbagai tantangan hidup seperti masalah perkuliahan, keluarga, percintaan, dan pergaulan mungkin tiba-tiba menghadang, seperti hujan deras dan tanah longsor yang terjadi tanpa diprediksi. Tetapi, satu yang kuingat adalah Tuhan berjanji bahwa kita pasti dimampukan-Nya melewati semua tantangan itu jika kita berani berjalan dalam iman. Walaupun mungkin waktu kita tiba akan sedikit berbeda dengan estimasi waktu kita di awal. 

Dua puluh menit keterlambatan yang kualami sejatinya tidaklah masalah. Memang awalnya aku mengeluh, tetapi kemudian aku sadar bahwa berhenti atau menyerah seharusnya tak pernah jadi opsi. Jika kita terus berjalan, maka kita pasti akan sampai. Bahkan ketika hujan terasa sudah sangat deras mengguyur kita, tidak masalah juga untuk sedikit menepi, tapi tetap harus jalan lagi ke tujuan. Bahkan juga terkadang ada momen tertentu sampai harus putar balik dan mencari jalan lain untuk sampai tujuan, itu pun juga tidaklah masalah. 

Waktu tiba di tujuan yang lambat tidak menghilangkan kenyataan bahwa kita telah sampai pada tujuan. “Bencana alam” yang terjadi mungkin memberikan kesempatan jeda bagi kita. Asalkan kita tidak menunda untuk melakukan apa yang memang harus dilakukan, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika kita menundanya. Mungkin badai yang lebih besar bisa saja datang. Seperti cerita perjalananku di atas. 

Seberat apa pun masalah yang sedang dihadapi, pasti akan terlewati. Yang terpenting terus berjalan dan tidak menunda-nunda. Seperti juga ketika tugas kuliahku waktu itu menumpuk karena datangnya bersamaan dengan waktu pengumpulan yang cukup singkat. Saat itu aku benar-benar ingin menyerah, aku banyak mengeluh tapi tetap aku kerjakan sampai akhirnya tanpa kusadari ternyata semua sudah selesai. Juga dengan cerita perjalananku untuk bertemu dosen di kampus itu. 

Satu hal yang pasti yang selalu kuingat bahwa Tuhan selalu pegang kendali dalam hidup kita, bahkan Tuhan tak pernah memberi ular ketika kita minta roti. Saat aku meminta roti dari Bapa, Dia mungkin tidak seketika memberiku roti itu. Bisa jadi Bapa mengirimkan bahan-bahannya terlebih dulu, lalu bersama-sama dengan-Nya bahan-bahan itu diolah hingga menjadi roti yang bermanfaat buatku. Sekalipun untuk mendapatkan roti itu tak selalu lancar, tapi tetaplah pada akhirnya aku mendapatkan roti seperti yang kuminta, bukan batu atau pun ular. 

Teman- teman, tujuan kita mungkin berbeda, masalah kita pasti tak sama. Tapi teruslah berjalan. Jika harus berhenti sejenak untuk tarik nafas, bahkan jika harus putar arah dan mencari jalan lain, tidaklah masalah, asalkan jalan lagi dan tidak menunda. Karena jika kita menunda, kita tidak tahu berkat apa, bahkan mungkin rintangan lain apa yang sedang menunggu kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥