Posts

Mengapa Orang Kristen Perlu Berkomunitas?

Oleh Isabel Ong

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Christian Community Matters

Pada musim gugur 2017, aku menukar kebiasaan dan kenyamanan hidupku di Singapura dengan kehidupan baru di Vancouver, sebuah kota dengan pemandangan gunung berselimut salju serta danau dan air terjun di sekitarnya, juga kemungkinan bertemu beruang (!) ketika mendaki gunung.

Tinggal di luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidupku adalah suatu pengalaman yang sering membuatku tercengang. Namun, di balik kegembiraan itu, sebenarnya aku merasa cemas dan takut saat mencari gereja dan komunitas Kristen yang kuharap dapat menjadi “keluarga”. Budaya dan cara berhubungan orang-orang di sini sangat berbeda dari yang biasa kulakukan di tempat asalku. Orang-orang di sini menghargai privasi, jadi dalam beberapa hal aku perlu waktu lebih lama untuk mengenal mereka.

Selama berbulan-bulan pergi beribadah Minggu, aku merasa tidak nyaman ketika orang-orang di sekitarku saling menyapa, sementara aku merasa sama sekali tidak dikenal bahkan merasa tidak terlihat. Sulit untuk membangun hubungan pertemanan karena orang-orang cenderung bergaul dalam kelompok mereka sendiri, dan tampaknya tidak terlalu tertarik untuk mencari teman baru. Sebagai seorang introver yang senang bergaul, aku sering mencoba memulai percakapan dan mengikuti acara tertentu, namun setelahnya aku kerap tidak puas karena merasa tidak berhasil menjalin hubungan yang tulus dengan orang lain.

Bisa dibilang aku benar-benar rindu berkomunitas. Komunitas sudah menjadi bagian penting dalam hidupku di Singapura, sehingga kehilangan hubungan persahabatan yang erat dan mendalam membuatku agak terguncang. Aku bahkan berpikir untuk membeli tiket pesawat untuk kembali pulang ke Singapura, karena di situlah komunitasku berada. Dan sepertinya, tidak ada yang bisa kudapatkan di sini.

Mengapa kita tidak bisa hidup tanpa komunitas?

Kata komunitas sendiri membawa rasa hangat dan kegembiraan, dengan memunculkan gambaran orang-orang yang sedang makan bersama dan berdoa satu sama lain.

Para rasul juga menikmati komunitas dalam setiap aspek kehidupan mereka. Sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:46-47, “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Masuk dalam komunitas Kristen yang hidup dan bersemangat berarti kita meneladani pola hidup yang dilakukan oleh Yesus dan murid-murid-Nya.

– Komunitas membuat iman kita bertumbuh

Sebagian pertumbuhan rohaniku kualami pada saat aku bertemu dengan saudara-saudari seiman untuk berdoa dan beribadah bersama secara teratur. Aku ingat ketika aku sedang mempersiapkan ujian level “A” di Singapura (setingkat ujian masuk perguruan tinggi), aku dan tiga temanku belajar bersama setiap hari. Saat istirahat, kami biasanya membaca Alkitab, memainkan lagu pujian dengan gitar, dan saling mendoakan. Aku terdorong untuk mencari Tuhan lebih dan lebih lagi setiap hari karena aku melihat bagaimana teman-temanku sangat ingin mengenal Tuhan.

Pertumbuhan itu dapat saja terjadi melalui saat teduh pribadiku dengan Tuhan, tetapi sungguh jauh lebih bersemangat, indah, dan juga berharga saat aku melakukannya dalam persekutuan dengan saudara seiman, yang juga haus akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.

Aku berani mengatakan bahwa iman kita akan berkembang dan terdorong untuk maju ketika kita berada dalam komunitas. Selain itu, sikap terbaik yang harus dimiliki ketika kita ingin iman kita bertumbuh adalah kepekaan dan keterbukaan. Karena itu, kita perlu tampil sebagai diri sendiri, daripada berpura-pura menjadi orang Kristen yang “baik”. Kita juga perlu mendengarkan baik-baik keraguan seseorang daripada berusaha meyakinkan mereka untuk berpikir sebaliknya.

Mengizinkan diri kita menjadi apa adanya dan jujur ​​tentang segala pergumulan, ketakutan, harapan, dan keinginan kita dengan sesama orang percaya akan membawa kita pada terobosan nyata—ketika kita mengalami karya Tuhan yang mengubahkan hidup kita.

– Komunitas memberi kita kesempatan untuk melayani orang lain

Kita tidak diciptakan untuk hidup dalam keterasingan. Sebaliknya, Alkitab terus-menerus menasihati kita untuk melayani satu sama lain—dan komunitas adalah tempatnya.

Galatia 5:13 berkata, “Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”, dan 1 Petrus 4:10 juga berkata, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.”

Berada dalam komunitas membuatku mampu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentinganku. Aku juga menjadi lebih tanggap dan sadar akan apa yang dialami rekan-rekan seiman, dan mengetahui bagaimana aku dapat membantu, memotivasi, atau melayani mereka dengan nyata.

Ketika aku dan suamiku mulai mengikuti kelompok kecil di gereja baru kami di Vancouver, kami menawarkan diri untuk menjamu orang-orang di apartemen kami. Setiap minggu, kami mengadakan makan malam bersama sebelum belajar Alkitab.

Ini mungkin terdengar sangat biasa. Namun, Kanada jauh lebih luas daripada Singapura, dan sebagian tamu kami perlu berkendara selama satu jam untuk tiba di rumah kami. Selain itu, tidak seperti Singapura, makanan murah tidak selalu tersedia di sini, sehingga kebanyakan dari mereka akan membawa makanan rumahan. Aku sungguh merasa tergugah oleh waktu dan komitmen yang diberikan oleh sekelompok teman baru ini di tengah jadwal mereka yang sibuk.

Melayani orang lain dengan cara menyiapkan rumah kami setiap minggu dan memasak untuk orang lain—hal yang jarang kulakukan di Singapura—membuatku merenungkan lebih dalam tentang Yesus yang menyambut dan melayani begitu banyak orang asing yang Dia temui. Aku juga menjadi sadar bahwa perjamuan kasih—tempat kami berkumpul bersama terlepas dari berbagai latar belakang budaya dan pekerjaan yang kami miliki—sangat penting bagi pembentukan rohani kita.

Aku menyadari bahwa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentinganku sungguh membawa kelegaan dan sukacita tersendiri, dan aku dimampukan untuk benar-benar mengikuti teladan Kristus dan (mudah-mudahan) bertumbuh semakin rendah hati, penuh kasih dan kebaikan.

– Komunitas dapat membangun gereja

Ketika kita saling mengasihi dan melayani serta berkontribusi untuk kebaikan bersama, kita menguatkan tubuh Kristus (1 Korintus 12:12) dan mendorong satu sama lain untuk mengasihi dan melakukan perbuatan baik (Ibrani 10:24).

Entah dengan mempersiapkan bahan pendalaman Alkitab mingguan, menyediakan makanan untuk seorang teman yang sedang bergumul, mengirim pesan singkat berisi kata-kata penyemangat kepada seseorang, atau mengambil peran sukarela tertentu di gereja, setiap tindakan sederhana memberi dampak besar dalam upaya kita mendorong satu sama lain agar menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Komunitas menumbuhkan semangat hidup, merendahkan hati, dan memperluas kapasitas iman kita. Dalam komunitas, kita diingatkan pada kasih Allah bagi setiap kita, yang tidak memandang perbedaan maupun latar belakang kita.

Komunitas menjadi penyelamatku manakala imanku sedang melemah atau terguncang. Lewat komunitaslah aku terdorong untuk hidup semakin dekat dengan Yesus. Sering kali, komunitas menjadi satu-satunya wadah bagiku untuk menerapkan imanku kepada Tuhan.

Selama lima tahun ini, aku sungguh diberkati oleh kelompok kecil yang pernah kami jamu di apartemen kami di Vancouver. Kami adalah sekelompok orang yang sangat berbeda dalam hal usia, etnis, dan latar belakang budaya, tetapi kami berkumpul setiap minggu karena kerinduan yang sama untuk lebih mengenal Tuhan. Kami tertawa, berdoa, beribadah, dan bermain bersama. Karena mereka, Selasa malamku menjadi sangat istimewa.

Menemukan dan menjadi bagian dari komunitas di sini memang menuntut banyak waktu dan tenaga. Selain itu, dibutuhkan kesungguhan serta doa untuk membangun komunitas di kota di mana Tuhan telah memanggilku untuk saat ini (daripada, katakanlah, membeli tiket pesawat pulang ke kampung halaman!).

Aku berdoa agar kamu juga dapat menikmati kebersamaan dengan komunitas orang percaya yang sama-sama ingin bertumbuh, berjuang, dan membangun sembari kamu mencari dan menghidupi tujuan Tuhan dalam hidupmu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

6 Tanda Kalau Ada yang Salah dalam Relasi Kita Sama Tuhan

Sobat Muda, memiliki relasi dengan Tuhan itu penting. Namun, apakah selama ini kita sudah membangun relasi yang benar dengan Tuhan?

Berikut ada 6 tanda—yang perlu kita perhatikan—kalau ada yang salah dalam relasi kita sama Tuhan.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sisi Lain Film Jesus Revolution

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta 

Bayangkanlah ini: pada suatu ibadah, ribuan orang tersentuh hatinya dan secara serentak menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka secara pribadi. Mungkin momen ini akan jadi momen yang mengharukan, penuh semangat, dan memorable!

Pertobatan ribuan orang secara serentak pernah terjadi juga pada masa gereja perdana seperti tertulis dalam kitab Kisah Para Rasul. Namun, pertanyaan yang mungkin menggantung buat kita yang hidup di zaman sekarang: apakah peristiwa seperti ini akan dan bisa terulang lagi?

Kejadian semacam ini pernah terjadi pada awal 1970-an di California, Amerika Serikat dan inilah yang menjadi inspirasi dari film yang beberapa waktu lalu sempat hits di kalangan orang Kristen di Indonesia. Film “Jesus Revolution” menceritakan kisah nyata ini dengan baik. Alkisah sekelompok anak muda yang dikenal sebagai kaum Hippies mencari makna serta tujuan hidup, dan mereka menemukannya di dalam Yesus Kristus.

Hippies adalah budaya yang muncul di Amerika Serikat pada medio 1960-an. Mereka berpenampilan nyentrik. Umumnya pria dan wanita Hippie berambut panjang dan dibiarkan kusut. Penampilan ini hendak menunjukkan akan konsep kesederhanaan hidup. Mereka juga biasanya hidup nomaden dan tinggal di dalam mobil.

Singkat cerita, film “Jesus Revolution” menceritakan tentang gerakan yang menjangkau para pemuda Hippies. Tapi, sebagian umat di gereja merasa tidak nyaman terhadap kehadiran kaum Hippies yang datang ke rumah ibadah mereka. Tampaknya ini pula yang menjadi salah satu kekuatan film yang disutradarai oleh Jon Erwin dan Brent McCorkle itu. Duet sutradara mempertontonkan realitas yang ada dalam gereja waktu itu dalam menyikapi kebangunan rohani di antara kaum muda yang “dipandang sebelah mata.”

Meski fokus film ini pada kekuatan transformasi rohani secara masif di California, tetapi kedua sutradara tidak menyembunyikan karakter-karakter tertentu dalam jemaat yang tidak “welcome” atau tidak bisa menerima kehadiran saudara-saudari mereka yang baru dalam Kristus. Mereka yang merasa tertarik mengenal Yesus sebagai Tuhan dan nilai-nilai Kristiani justru “ditolak” oleh sebagian anggota jemaat yang sudah “mapan.” Tentu, sikap semacam ini tidak elok.

Favoritisme dalam Gereja

Yakobus pernah mengatakan, “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.” (2:1). Ayat ini mengingatkan kita bahwa sebagai pengikut Kristus untuk memperlakukan semua orang dengan adil dan tanpa diskriminasi. Sayangnya, praktik “memandang muka” atau yang biasa disebut sebagai “favoritisme” tampak menjadi dosa yang dengan mudah merasuk ke dalam kehidupan kita sebagai umat Kristiani.

Favoritisme merupakan kecenderungan memperlakuan khusus atau keberpihakan kepada kelompok atau orang tertentu karena kekayaan atau status mereka, dan tidak melihat semua orang secara setara sebagai anak-anak Allah. Sepertinya realitas ini yang ingin ditunjukkan oleh duet sutradara film “Jesus Revolution” ketika sebagian umat “tidak suka” pada kehadiran kaum Hippies yang Tuhan kirim ke gereja mereka.

Tentu, praktik favoritisme tidak selaras dengan sabda Tuhan yang mengajak kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pada saat yang sama, favoritisme merupakan bentuk diskriminasi yang merusak citra umat Allah, yang adalah satu tubuh di dalam Kristus (1 Korintus 12:12). Ketika kita menunjukkan sikap favoritisme, kita tidak mencerminkan karakter Allah sebagai Tuhan adil dan menerima semua orang. Dalam film “Jesus Revolution,” konsekuensi dari sikap favoritisme menyebabkan diskriminasi di antara anak Tuhan. Namun, sang pendeta menunjukkan keberaniannya membela kaum Hippies yang “ditolak” sebagian umat, meski mereka ada yang sering menyumbang dana di gereja tersebut. 

Mengatasi Sikap Favoritisme

Dalam ancaman virus favoritisme yang bisa menginfeksi umat Kristiani, kita diajak menyadari kembali bahwa semua orang diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:26), dan berharga di mata-Nya (Yesaya 43:4). Kita diundang untuk memperlakukan semua orang dengan hormat dan kebaikan, tanpa memandang latar belakang atau penampilan mereka, tidak menilai orang berdasarkan faktor eksternal, seperti kekayaan atau status.

Hidup menggereja adalah kesempatan bagi kita untuk berusaha melihat orang lain dari sudut pandang Tuhan. Seperti lirik sebuah tembang, “B’rikanku hati s’perti hati-Mu yang penuh dengan belas kasihan.” Mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri dapat terwujud dalam sikap melayani dan terbuka pada orang lain tanpa diskriminasi.

“Jesus Revolution” adalah film yang kuat dan secara efektif menceritakan ulang gerakan transformasi secara masif yang pernah terjadi di California. Allah sanggup melawat banyak orang lewat kuasa Roh-Nya yang ajaib. Mari kita berdoa, agar pada masa sekarang ini Allah berkenan kembali melawat banyak orang. Kiranya Dia menggunakan kita untuk mewartakan Kabar Baik kepada insan-insan yang kehilangan arah dan tujuan. Mari kita doakan, agar semakin banyak orang dari segala bangsa mengalami persekutuan pribadi dengan Kristus, bertumbuh semakin menyerupai Dia, dan melayani di jemaat lokal yang merupakan anggota keluarga-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Alasan Orang Kristen Harus Mendalami Imannya dengan Serius

Penulis: Vincent Tanzil

Alasan-Orang-Kristen-Harus-Mendalami-Imannya-dengan-Serius

“Banyak yang mencari pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan, itu adalah keingintahuan.

Ada juga yang mencari pengetahuan untuk mencari nama, itu adalah keegoisan.

Ada yang mencari pengetahuan supaya bisa mencari keuntungan, itu tidak terpuji.

Tetapi, beberapa orang mencari pengetahuan untuk memperkaya hidup sesamanya: itulah kasih.”

Bernard dari Clairvaux

Dalam perjalanan hidup saya sebagai seorang Kristen, saya punya banyak pertanyaan tentang apa yang saya imani. Sebab itu, saya banyak membaca buku Kristen, ikut seminar-seminar pembinaan, sekolah teologi malam, bahkan belajar di seminari. Namun, tidak sedikit respons negatif yang datang dari orang-orang di sekitar saya.

“Jangan terlalu banyak belajar, nanti jadi orang Farisi!”
“Hati-hati makin pintar, nanti kamu malah jadi murtad!”

Siapakah orang Kristen serius yang tidak akan terhenyak ketika diberikan nasihat-nasihat seperti itu? Saya sempat berpikir, salahkah bila saya serius mendalami iman saya? Namun, makin dipikirkan, makin saya yakin bahwa sebagai orang Kristen, kita perlu untuk terus mempelajari iman kita dengan serius. Setidaknya ada tiga alasan untuk melakukannya:

1. Iman Kristen itu tidak sesederhana yang kita bayangkan.

“Minum air putih di pagi hari itu baik untuk kesehatan,” sebuah nasihat sederhana yang mungkin sering kita dengar. Kita mungkin mengikuti nasihat itu karena banyak orang yang mengatakannya, meski sebenarnya tidak tahu mengapa air putih itu menyehatkan, dan mengapa harus diminum di pagi hari.

Namun kemudian, kita sendiri menemukan dari sebuah sumber yang terpercaya bahwa air yang masuk ke dalam tubuh kita di pagi hari terbukti dapat membuang racun-racun yang sudah menumpuk di dalam tubuh. Selain itu, asupan air segar di pagi hari akan membuat otak yang terdiri dari sekitar 78% air akan mampu beraktivitas secara optimal.

Kita terkejut—nasihat yang tampaknya begitu sederhana ternyata memiliki penjelasan yang sangat dalam. Kita mulai melihat hubungan antara air putih dan kesehatan dengan cara yang berbeda. Kita jadi bersemangat minum air putih setiap pagi, bahkan terus melakukannya sekalipun orang lain berhenti melakukan hal itu.

Demikian juga dengan iman Kristen. Tampaknya sederhana. Kita diberitahu bahwa asal percaya kepada Yesus kita akan diselamatkan. Kita lahir dalam keluarga Kristen. Semua orang yang kita kenal percaya kepada Yesus. Jadi, kita pun menjadi orang Kristen, meski sebenarnya kita tidak tahu mengapa percaya kepada seseorang yang disalibkan itu bisa menghapus dosa.

Namun kemudian, kita belajar dan menemukan siapa sebenarnya pribadi Yesus. Kita jadi memahami apa yang membedakan-Nya dari tokoh-tokoh agama lain. Kita belajar mengapa seseorang yang mati di kayu salib 2000 tahun yang lalu bisa memiliki pengaruh terhadap keselamatan semua orang.

Kita mulai menyadari bahwa iman Kristen tidak sesederhana yang kita bayangkan. Iman Kristen bukan “asal percaya.” Kita mulai melihat Yesus secara berbeda. Cara pandang dan sikap hidup kita berubah, tidak lagi bergantung pada apa yang dikatakan orang lain, tetapi pada kebenaran-kebenaran yang kita temukan saat kita mau serius mendalami iman kita.

2. Tuhan memberikan kita kapasitas yang besar untuk belajar.

Pernah mendengar istilah esofagus, Homo Sapiens, metamorfosis, atau atom? Kapan pertama kali kita mempelajari istilah-istilah semacam itu? Mungkin sekali kebanyakan di antara kita sudah mempelajarinya sejak SD atau SMP. Mempelajari istilah-istilah biologi, ekonomi, politik, teknologi, dan berbagai bidang lainnya itu terasa wajar dan memperkaya pemahaman kita. Jadi, mengapa kita harus alergi mempelajari berbagai istilah-istilah atau konsep yang agak kompleks dalam teologi Kristen? Adanya beberapa terminologi yang tidak umum dalam teologi Kristen hanyalah pertanda bahwa kita belum terbiasa, bukan tidak bisa. Saya sendiri menemukan banyak hal yang sangat menyegarkan iman ketika mempelajari kekristenan lebih dalam. Saya bisa menjelaskan tentang kesatuan dua natur Yesus menurut Alkitab misalnya, ketika ada orang menanyakan tentang mengapa saya percaya Yesus sebagai manusia sekaligus Tuhan.

Tuhan telah memberikan kita kapasitas yang besar untuk belajar. Dia mengaruniakan kita akal budi, dan menghendaki kita mengasihi-Nya dengan segenap kapasitas itu (Matius 22:37). Saya pikir kita harus menggunakan kapasitas belajar yang Tuhan berikan tidak hanya untuk mendalami biologi, ekonomi, politik, atau teknologi, tetapi juga untuk mendalami firman Tuhan, memahami teologi Kristen dengan benar. Tidak hanya untuk memahami dunia dan kompleksitasnya, tetapi juga memahami karakter dan rencana Tuhan bagi dunia ini. Kesulitan memahami istilah-istilah tidak dapat dibandingkan dengan kedalaman pengertian yang didapatkan.

Sebagian orang mungkin punya pengalaman buruk, melihat orang yang belajar banyak tentang kekristenan berubah menjadi sombong dan tidak bersahabat. Ada yang mendalami teologi, tetapi malah jadi sesat atau berubah keyakinan. Tetapi, pengalaman buruk tidak perlu membuat kita jadi membatasi diri dalam belajar, bukan? Saya belum pernah bertemu dengan orang yang dengan sengaja tidak mau belajar matematika atau bahasa asing agar mereka tidak menjadi sombong.

Kesombongan adalah masalah hati, tidak berkaitan langsung dengan banyaknya pengetahuan seseorang. Ada banyak orang Kristen yang pandai, tetapi tetap bersahaja dan bijak dalam berkata-kata. Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak punya pemahaman iman yang memadai, malah berseru-seru dengan penuh kesombongan. Begitu juga dengan kesesatan. Kita tidak bisa mengatakan orang yang terlalu banyak belajar pasti menjadi sesat dan berubah keyakinan. Banyak sekali orang yang justru makin percaya dan mendekat kepada Tuhan setelah mereka mempelajari kompleksitas dunia ini dan argumen intelektual iman Kristen, termasuk para profesor.


3. Pemahaman iman yang kuat akan menolong kita menjadi orang yang makin bijak dan berdampak.

Pemahaman yang makin baik tentang teologi Kristen sewajarnya membawa kita menjadi orang Kristen yang lebih baik, lebih bijak, lebih berdampak bagi komunitas kita. Ibarat dokter yang lebih bisa membantu banyak orang sakit ketika ia mendalami dan menerapkan ilmunya dengan baik. Ibarat petani yang bisa menuai panen lebih baik ketika ia belajar dan menerapkan pengetahuannya tentang pupuk, irigasi, dan teknologi pertanian terbaru.

Bila kehidupan kita sebagai orang Kristen hari ini sama saja dengan hidup kita lima-sepuluh tahun lalu, kita perlu waspada. Jangan-jangan kita sudah tidak bertumbuh lagi dalam pengenalan kita akan Tuhan. Paulus meminta kita untuk terus-menerus berubah melalui “pembaharuan budi” supaya kita dapat “membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2b). Kita yang sudah menerima Kristus seharusnya menjadi ciptaan baru yang “terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kolose 3:10b).

Orang Kristen sudah sepatutnya menjadi orang yang bersemangat secara intelektual di dunia ini, karena Allah mau kita mengasihi-Nya dengan segenap hati dan segenap akal budi kita. Jangan biarkan “rasa malas berpikir” menghalangi kita untuk memuliakan Tuhan dalam berbagai bidang kehidupan. Mari dengan serius mendalami iman kita!

Enam Tahun Bersama (dan Terus) Berserah Kepada Tuhan

Oleh: Edna Ho, Malaysia
(artikel asli dalam bahasa Inggris: Six Years On and (Still) Surrendering to God)

ipod-six-years-on-2

Enam tahun setelah menerima Kristus, wajar saja orang berharap aku telah bertumbuh pesat dalam imanku. Bukankah seharusnya aku sudah menjadi seorang yang sangat rohani dan dapat menjelaskan tanpa ragu tentang Allah Tritunggal atau tentang kelahiran Kristus dari seorang perawan? Kenyataannya, aku belum sampai pada titik itu. Dalam enam tahun perjalananku bersama Tuhan, aku telah mengalami berbagai hal yang membuatku mempertanyakan imanku. Meskipun di dasar hati aku masih percaya bahwa Allah benar ada, dan bahwa jalan satu-satunya ke surga hanya dapat ditemukan melalui Kristus, adakalanya aku merasa putus asa dan keyakinanku goyah. Pada waktu-waktu seperti itu, semua cerita Alkitab dan pengajaran dasar kekristenan tampak begitu jauh dari kenyataan.

Imanku goyah setiap kali aku merasa telah mengecewakan Tuhan dan membuat-Nya tidak senang. Mungkin aku tidak meluangkan waktu yang cukup dengan Tuhan atau tidak mengutamakan-Nya dalam segala hal yang kulakukan. Aku dilingkupi rasa bersalah setiap kali aku mulai mempertanyakan apakah Tuhan sungguh peduli dengan hidupku. Namun, setiap kali pula, Tuhan selalu menyatakan diri-Nya bagiku. Tidak selalu dengan segera, tetapi selalu tepat pada waktu-Nya. Dia telah mengangkatku dari jurang kebimbangan dengan berbagai cara.

Sekali waktu, ketika aku meragukan kasih Tuhan kepadaku, seorang teman gereja muncul di sekolah, membawakanku semua makanan kesukaanku. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah menggerakkannya untuk membeli semua itu. Sebenarnya ia malas mampir untuk berbelanja, jadi dengan enggan ia berdoa meminta Tuhan menyediakan tempat parkir tepat di depan supermarket. Dalam penentuan Tuhan, tempat itu pun tersedia. Ia masuk dan mengambil begitu saja semua makanan yang ia lihat. Yang mengejutkan, ternyata semua yang diambilnya adalah makanan kesukaanku.

Cara lain Tuhan meyakinkanku akan kehadiran-Nya adalah melalui lagu (termasuk lagu-lagu nonKristen). Ketika aku bimbang. Tuhan mengirimkan aku lagu-lagu tertentu yang berbicara tepat di hatiku dan memberiku keberanian untuk percaya lagi. Setelah liburan Imlek belum lama ini, aku sebenarnya enggan untuk meninggalkan kampung halaman dan keluargaku untuk kembali ke sekolah (sekolahku ada di wilayah lain). Aku merasa bahwa imanku tidak sekuat sebelumnya. Aku sedang dalam perjalanan ke bandara ketika aku mendengar lantunan lagu Celine Dion, “That’s the way it is …” di radio. Aku selalu suka dengan lagu itu, tetapi hari itu, aku memperhatikan kata demi katanya. Air mata mengalir membasahi wajahku menyadari bahwa Tuhan memakai lagu itu untuk berbicara kepadaku, mengingatkanku bahwa Dia mencintaiku dan mau aku terus teguh dalam imanku.

Allah juga berbicara kepadaku melalui sebuah bahan renungan, Jesus Today, yang ditulis oleh Sarah Young. Pada saat itu, aku sangat terpuruk dengan berbagai kejadian dalam hidupku. Rasanya tidak bisa beristirahat, baik secara fisik, emosional, mental, atau spiritual. Aku bertanya kepada Tuhan mengapa aku selalu diperhadapkan pada jalan yang sukar dalam hidupku, sementara orang-orang Kristen lain sepertinya diberi jalan yang lebih mudah. Kalimat dalam renungan hari itu pun kembali melintas di pikiranku: “Percayalah kepada-Ku, di sini dan pada saat ini. Kamu sedang benar-benar dilatih—melewati tantangan-tantangan yang memang khusus dirancang untukmu.” Aku merasa dikuatkan saat itu juga dan tahu bahwa sekalipun Allah mengizinkan aku mengalami masa-masa sulit, aku tidak sedang berjalan sendirian.

Rasul Paulus menyebutkan dalam Galatia 5:16-17 bahwa ada dua kuasa yang saling bertentangan ketika kita ingin bertumbuh dalam Tuhan, “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging—karena keduanya bertentangan—sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat.” Kita membutuhkan kasih karunia Tuhan setiap hari.

Sungguh bersyukur Allah telah berjanji bahwa kasih-Nya tidak akan pernah berkesudahan dan rahmat-Nya selalu baru setiap pagi (Ratapan 3:22-23). Mari menyerahkan segala pergumulan kita kepada Allah dan bergantung penuh kepada-Nya. Mari mohon kepada Bapa kita di surga untuk menjaga kita agar kita terus memiliki pengharapan yang teguh di dalam Dia, serta terus peka akan tuntunan-Nya. Tuhan kiranya memberkati dan menjaga kita. Amin.

Aku (Ternyata Tidak) Bodoh

Oleh: Helen Maria Veronica
(adaptasi dari artikel Oktober 2014: Ditolong Oleh Firman)
aku-tyt-tidak-bodoh

Tahun baru. Semua orang tentunya berharap tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, pernahkah kamu tak berani lagi untuk berharap, karena merasa situasimu tak mungkin berubah? Tuhan memang sudah mengaturnya demikian. Kamu kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Aku pernah kehilangan harapan untuk berubah.

Aku kecewa karena aku merasa diciptakan Tuhan sebagai seorang yang bodoh. Nilai-nilaiku di sekolah sejak kelas 1 SD selalu banyak merahnya. Sempat mencoba les, tetapi sia-sia, nilaiku tetap saja jelek. Sampai-sampai, guruku sendiri pun menyebutku sebagai anak yang bodoh. Sakit rasanya dicap sebagai orang bodoh. Aku jadi mudah patah semangat dan sering mengeluh karena merasa diriku tidak bisa apa-apa. Mungkin karena putus asa membayariku les tanpa hasil, orangtuaku memutuskan agar aku berhenti saja. Jadi, aku mulai belajar sendiri di rumah dengan dibantu mama.

Melihat teman-teman yang punya ranking di kelas, aku sering merasa iri. Mengapa Tuhan ciptakan mereka pintar dan aku bodoh? Diam-diam aku suka mengamati teman-temanku yang pintar. Betapa aku ingin menjadi seperti mereka. Aku perhatikan kebiasaan mereka, gerak-gerik mereka, untuk aku tirukan. Ketika aku mendengar teman yang pintar suka makan banyak protein seperti ikan dan telur, aku pun ikut suka makan ikan dan telur supaya pintar seperti mereka. Ketika aku melihat teman yang pintar mengelap keringat di keningnya dengan gaya tertentu (dan ia bilang bahwa cara itu bisa membuat pikiran lebih encer), aku pun sering menirukannya. Ada sisi positifnya, karena aku yang tadinya malas jadi mulai rajin belajar, yang tadinya pilih-pilih makanan jadi suka makan banyak makanan berprotein. Nilaiku mulai membaik meski masih naik turun tak jelas. Namun, sekalipun lebih sering belajar, tetap saja aku masih merasa bodoh. Sepertinya sia-sia berusaha, karena aku merasa memang aku ini diciptakan sebagai orang bodoh. Mau apa lagi?

Lalu, suatu saat aku mendengar kesaksian yang mengatakan bahwa membaca Alkitab tiap hari dapat membuat orang menjadi pintar dan berhikmat. Wow, tentu saja aku mau mencobanya. Aku pun mendisiplin diri untuk membaca Alkitab. Meski hanya berawal dari rasa penasaran, Tuhan memakai waktu-waktu pembacaan Alkitab itu untuk menyapaku secara pribadi. Dia berfirman dalam Matius 11:28: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Tuhan sungguh tahu bahwa menjalani hidup di dunia ini tidaklah mudah, termasuk untuk seorang anak muda seperti aku. Apalagi dengan tekanan dari orang-orang di sekelilingku yang menganggap aku bodoh. Tuhan memberiku undangan untuk datang kepada-Nya. Aku tidak perlu menanggung semua beban hidup ini sendirian.

Tuhan juga meluruskan pikiranku tentang apa yang sebenarnya disebut sebagai orang bodoh. Amsal 1:7 berkata “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang yang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Tidak ada yang diciptakan Tuhan sebagai orang bodoh. Semua orang diberi-Nya kemampuan untuk belajar. Orang bodoh adalah orang yang “menghina hikmat dan didikan” alias tidak mau belajar atau tidak merasa butuh diajar. Sebaliknya, orang yang takut akan Tuhan menyadari keterbatasannya dan bersedia dituntun Tuhan untuk belajar hal-hal baru. Ayat Alkitab ini sangat menguatkanku dan terus aku ingat dalam menghadapi tiap masalah dalam pelajaran.

Aku mulai menyadari bahwa selama ini pikiranku terlalu penuh dengan keluhan dan sakit hati pada Tuhan dan orang-orang di sekitarku. Aku jadi tidak bisa melihat kebaikan Tuhan dan kesempatan-kesempatan belajar yang Dia sediakan. Ketika aku membaca Alkitab secara teratur, Tuhan menolongku untuk melihat masalah-masalahku dari sudut pandang-Nya. Dengan pikiran yang diperbarui itu, aku pun bisa belajar tanpa beban, yakin bahwa Tuhan punya rencana bagi hidupku yang indah pada waktu-Nya. Aku jadi semangat belajar, tahu bahwa Tuhan sesungguhnya tidak pernah menciptakanku sebagai orang bodoh. Tidak hanya nilaiku yang berubah, tetapi juga cara pandangku terhadap Tuhan, terhadap diriku sendiri, dan terhadap orang lain.

Salah satu kata motivasi yang pernah kudengar adalah: “terimalah apa yang tidak bisa kamu ubah, dan ubahlah apa yang tidak bisa kamu terima”. Adakalanya kita kecewa karena hal-hal yang memang tidak bisa kita ubah. Misalnya: bagaimana orang lain memahami dan memperlakukan kita. Menghadapi hal-hal semacam itu, kita dapat bersandar pada janji Tuhan bahwa Dia dapat bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, membentuk kita makin serupa Kristus (Roma 8:28). Adakalanya juga, kekecewaan kita muncul dari hal-hal yang sebenarnya bisa dan perlu kita ubah. Misalnya: pemikiran kita yang keliru, kebiasaan-kebiasaan buruk kita, pengetahuan atau keterampilan kita yang kurang. Jadi, jangan pernah putus harap! Di tahun yang baru ini, mari kita terus mendekat dan melekat pada Firman Tuhan. Tuhan akan memperbarui pola pikir dan sikap hidup kita melalui Firman-Nya!

Single? Be Max – Be You!

Oleh: Lauren Fransisca

Be Max Be U

Memasuki usia yang sudah “cukup”, sama seperti kebanyakan orang, aku juga ingin sekali memiliki pasangan. Aku adalah tipe orang yang punya banyak banget perencanaan. Sejak kecil aku bahkan telah merencanakan umur berapa aku ingin menikah dan dengan tipe pria seperti apa. Kebayang dong bagaimana galaunya aku ketika target waktu yang kutentukan sendiri hampir lewat dan aku masih saja berstatus jomblo. Apalagi, melihat orang-orang di sekitarku satu per satu memiliki pasangan. Bersyukur bahwa Tuhan menjaga hatiku untuk tetap memercayai waktu-Nya, sehingga kegalauanku gak sampai membuatku jadi asal “comot” pacar untuk menikah.

Pandangan populer memberitahu kita bahwa memiliki pasangan menjadikan hidup kita lebih lengkap. Benarkah demikian? Seorang teman bahkan pernah memberiku ide yang menurutku agak gila: “menikah saja dulu, toh kalo tidak cocok kan bisa cerai, daripada kamu ketuaan dan gak laku lagi…” Sepertinya pernikahan adalah segala-galanya, tujuan utama dari hidup ini. Aku balik bertanya: “kalau hanya untuk cerai, mengapa harus menikah?”

Apakah status kita yang single menjadikan diri kita lebih buruk dari orang lain? Tidak juga. Apakah kita yang single lebih tidak bahagia dibanding mereka yang sudah menikah? Tidak juga. Banyak orang yang pernikahannya bermasalah, karena memang punya pasangan itu tidak menjamin kita bahagia. Malah status single sebenarnya memberi kita banyak keleluasaan untuk bergaul, belajar hal-hal yang baru, mengenal banyak orang, melakukan berbagai hal yang kita sukai, bahkan mewujudkan impian-impian kita tanpa harus terbebani dengan urusan rumah tangga.

Aku suka membayangkan menjalani masa-masa sendiri itu seperti mendaki gunung. Adakalanya kita merasa lelah, capek, dan ingin menyerah, karena puncak gunung itu tak kunjung terlihat dan tidak ada orang yang memberi kita semangat. Adakalanya kita merasa kesepian dan iri dengan orang-orang lain yang hidup bersama di lembah-lembah. Namun, sebenarnya perjalanan itu membuat otot-otot kaki kita menjadi jauh lebih kuat, kita makin tegar dan tidak mudah menyerah. Lebih dari itu, kita dapat melihat pemandangan dari puncak yang tak dapat dilihat oleh orang-orang yang tinggal di lembah. Tuhan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktu-Nya. Jangan berusaha “mempercepat” waktu Tuhan dan sok mencoba “membantu”-Nya. Kita perlu bertanya, apa yang Tuhan ingin kita pelajari dan lakukan dalam masa-masa sendiri. Mungkin ada karakter yang perlu diperbaiki, ada ketrampilan baru yang perlu kita latih, ada pelayanan yang perlu kita kerjakan. Dan masa yang tepat untuk itu adalah ketika kita belum berumah tangga. Masa single bukanlah masa untuk mengasihani diri sendiri, tetapi masa untuk kita menjadi maksimal.

Seorang pendeta pernah berkata, “Jika kita tidak merasa utuh saat kita masih single, jangan pernah berpikir kita akan menjadi utuh saat kita berpasangan, karena hanya Kristus sendirilah yang dapat membuat kita menjadi utuh dan penuh.” Aku pikir itu benar sekali. Banyak pernikahan bermasalah karena orang berharap pasangannya dapat memenuhi semua kebutuhannya, membuatnya menjadi utuh dan penuh. Secara tidak langsung mereka berharap pasangannya menjadi “Kristus” bagi mereka. Lalu mereka kecewa, karena pasangannya ternyata hanya seorang manusia berdosa yang sama seperti dirinya. Pernikahan tidak pernah dimaksudkan Tuhan menjadi pusat hidup manusia. Ingat saja bahwa Adam pun tidak pernah meminta calon pasangan pada Tuhan, ia enjoy hidup dengan Tuhan. Tuhan sendirilah yang berinisiatif memberikan pasangan bagi Adam, untuk memenuhi tujuan-tujuan-Nya dalam dunia ini. Pernikahan dipakai Tuhan untuk menggambarkan hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya. Tuhan-lah yang seharusnya menjadi pusat segala sesuatu. Kita dapat menjadi pribadi yang utuh ketika kita menjalani hidup bersama Kristus.

Bila kamu juga adalah seorang yang masih single, daripada galau mikirin pasangan yang belum jelas, mending kita giat mengejar hidup yang maksimal di dalam Tuhan. Bertumbuh menjadi makin serupa Kristus. Kita bahkan bisa mendoakan juga “calon pasangan” kita, ──jika Tuhan mau kita menikah nanti──agar ia juga memiliki karakter yang sesuai dengan sifat-sifat Kristus.

Kadang aku pikir kita seperti anak kecil yang memegang kuat-kuat boneka kumal kesayangannya ketika diminta oleh sang ayah untuk diganti dengan yang baru. Kita suka memegang kuat-kuat rasa galau, takut, dan cemas, padahal Tuhan ingin kita menyerahkan semua itu di tangan-Nya untuk Dia gantikan dengan kedamaian, ketenteraman, dan sukacita. Bapa kita tahu kerinduan kita untuk memiliki pasangan, namun lebih dari itu, Dia juga tahu apa yang terbaik bagi kita.

So, still single? No problem. Kita bisa tetep happy selama kita hidup di dalam Kristus. Jadikanlah Tuhan sebagai pusat utama hidup kita, hal-hal yang lain akan menempati posisi yang semestinya. Jangan cemas dan galau hanya karena umur; bukankah lebih baik tidak menikah dibandingkan salah menikah? Bawalah semua perasaan galau kita kepada Tuhan dan biarkan Tuhan memulihkan hati kita. Bawalah kerinduan kita untuk memiliki pasangan kepada Bapa kita di surga. Dia mengerti dan senang ketika kita meminta kepada-Nya, karena kita adalah anak-anak-Nya. Namun, ingatlah bahwa Bapa juga tidak akan sembarangan memberikan apa yang kita minta, apalagi ketika kita belum siap, karena Dia yang lebih tahu apa yang terbaik bagi kita. Trust God, trust His time … Pakailah masa-masa single untuk bertumbuh maksimal di dalam Kristus, dibentuk menjadi pribadi yang memancarkan keindahan-Nya.

Buat Apa Susah?

Oleh: Ovit Samuel Purba

Buat Apa Susah?

Mungkin kamu ingat ada lirik lagu yang pernah cukup populer:
“Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya…”

Memang andai hidup ini tak pernah mengenal susah, alangkah nyamannya. Namun, bukankah dalam kenyataan, tidak ada manusia yang bebas dari permasalahan? Dan, masalah selalu menimbulkan perasaan tidak enak, perasaan tidak terima.

Tiap kali aku menghadapi masalah, aku diingatkan dengan berbagai kejadian yang dicatat dalam Alkitab. Bukan hanya aku dan orang-orang pada zaman sekarang saja yang punya banyak masalah. Kehidupan para tokoh dalam Alkitab pada ribuan tahun lalu pun sudah sarat dengan masalah. Ada yang persembahannya tidak diterima Tuhan. Ada yang kehilangan hikmat dari Tuhan. Ada yang ditegur Tuhan dengan keras karena bersungut-sungut. Ada yang mendengarkan Firman Tuhan hingga tertidur, lalu jatuh dan mati. Macam-macam. Mulai dari masalah yang ringan hingga yang berat. Menjadi umat pilihan Tuhan atau murid-murid Tuhan Yesus tidak lantas membuat hidup mereka berjalan mulus.

Namun, dari sekian masalah yang pernah menghampiri hidupku, aku berani bilang bahwa susah itu banyak gunanya. Mengapa? Karena melalui masalah demi masalah itu, aku dibentuk makin serupa Kristus. Imanku diteguhkan melihat jalan keluar yang selalu Tuhan sediakan pada waktu-Nya. Pikiran ini tidak serta-merta muncul begitu saja. Awalnya aku banyak tidak terima dengan hal-hal tidak enak yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku. Tapi Tuhan terus memprosesku hingga perlahan aku mulai bisa melihat kebaikan Tuhan di balik masalah-masalahku.

Tidak selalu aku memahami apa yang Tuhan mau. Sering aku berpikir solusiku adalah yang paling masuk akal. Tapi aku bersyukur boleh mengalami proses Tuhan ini. Menurutku, proses pembentukan Tuhan ini sangat penting dan mengubahkan hidup. Aku bahkan mulai merasa ini adalah proses yang menyenangkan, karena aku tahu aku sedang dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik. Agar tidak lupa dengan pelajaran-pelajaran yang Tuhan berikan, aku pun mulai mendisiplin diri untuk menuliskannya. Catatan-catatan ini menolongku untuk tetap berpikir jernih dan berharap kepada Tuhan ketika aku menghadapi masalah yang lain.

Bersama Tuhan, susah itu banyak gunanya. So, friends, ketika masalah melanda, jangan menjauh dari-Nya. Kekecewaan muncul saat kita menjauh dari Tuhan. Mendekatlah. Ketidakmengertian kita adalah kesempatan untuk makin mengenal Tuhan dan bertumbuh dalam iman kita kepada-Nya. Bukankah iman adalah dasar bagi kita untuk memiliki pengharapan? Jika kita sudah memahami segala sesuatu, mungkin kita tak akan lagi berharap kepada Tuhan.