Posts

Jalan Panjang Menang dari Candu Pornografi dan Masturbasi

Oleh Aaron Sebastian Surya

Shalom!

Perkenalkan, aku Aaron, seorang dokter yang tengah dalam pemulihan dari candu, dan pada kesempatan ini izinkan aku menceritakan kisah pribadiku.

Perjalanan panjangku terikat dengan candu ini berawal dari kegemaranku bermain jigsaw puzzle dan duduk kursi berlengan dengan motif Winnie the Pooh saat aku berumur 9 tahun. Pokoknya nyaman banget deh kalo duduk di situ. Saat mau menyelesaikan puzzle tersebut, ada beberapa bagian puzzlenya tersisip di selipan kursinya. Pada saat itu aku mencoba merogoh selipan kursi empuk itu sampai ketemu bagian-bagian puzzle yang terselip, dan setelah ketemu aku duduk di kursinya. Tanpa sengaja, saat aku merogoh sambil berlutut, bagian genitalku tergesek. Gesekan itu membuatku merasakan sensasi yang mengenakkan sekali, tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Yang membuat aku bingung pada saat itu, kok celanaku basah? Itulah momen aku pertama kali melakukan masturbasi tanpa disadari.

Saat itu aku masih anak kecil kelas 3 SD. Tidak ada pemikiran apa pun yang kupahami tentang seksualitas. Namun, insting eksploratif yang berkembang pada usia tersebut membuatku mencari cara untuk merasakan sensasi enak yang pernah kurasakan tadi. Tidak ada anggota keluarga yang tahu tentang aktivitasku ini karena aku tidak menceritakannya. Sejak saat itu, aku jadi senang melihat lawan jenis yang tampil dengan busana-busana seksi di televisi. 

Mendekati usia puber, saat di kelas 6SD aku semakin kecanduan dengan aktivitas masturbasi ini karena aku bisa mengakses internet. Ada satu temanku yang aku anggap dekat. Saat di kelas dia berbisik, “Ron, nanti pas di rumah coba akses ini deh, tinggal buka komputer, sambungin internet, terus di browsernya ketik kata-kata kunci ini. Habis itu tinggal klik deh link-nya mau yang mana.” Karena yang menyarankan itu teman baikku dan juga mulai muncul rasa penasaran, aku lakukan apa yang dia disarankan. Itulah momen aku pertama kali menyaksikan pornografi tanpa disadari.

Semenjak itu, kombinasi masturbasi dan pornografi menggerogoti hidupku perlahan-lahan. Aku benar-benar hidup dalam dosa tersebut tanpa aku sadar dan tahu bahwa ini adalah dosa. Awalnya berupa ketidaksengajaan dan rasa penasaran, pada akhirnya melekat sebagai rutinitas. Syukur kepada Tuhan, saat aku kelas 1 SMP kebenaran Tuhan telah disingkapkan padaku. Lewat pelajaran agama di sekolah, guruku memberi tahu bahwa kedua hal yang telah kulakukan dari SD itu adalah dosa. Sejak saat itu, setiap kali aku jatuh dalam dosa, aku selalu mengakui dosa-dosaku dalam ibadah di gereja. Namun, perjalanan untuk bisa lepas dari candu ini adalah perjalanan yang tidak mudah. 

Dalam tahun-tahun hidupku setelahnya, aku sempat bertanya-tanya, apakah aku sungguh jadi orang Kristen jika tetap memelihara kehidupan seperti ini? Kucari tahu berbagai cara untuk bisa lepas dari dosa yang menjerat ini. Kucari khotbah di YouTube tentang masturbasi, pornografi, identitas Kristen, melawan keinginan daging, serta spiritualitas. Pelan-pelan, semua materi yang kusimak menolongku menyusun strategi untuk menanggulangi pergumulan dosaku. Dan, yang aku yakini adalah Roh Kudus tidak tinggal diam. Lewat kerinduan untuk berubah yang mendorongku mencari khotbah-khotbah, aku tahu Roh Kudus sedang bekerja untuk memimpinku lepas dari kecanduan ini. Beberapa Firman yang dibukakan kepadaku antara lain Matius 5:27-28, 1 Korintus 6:18-20, dan Roma 12:1-2. Mulai saat inilah aku berjuang melawan candu ini, peperangan antara melakukan kehendakku atau kehendak-Nya terus berlanjut. Yang dulunya aku tidak sadar bahwa yang kulakukan itu dosa, kini aku telah disadarkan.

Namun setiap kali aku tergoda, seringkali aku jatuh berulang-ulang kali di lubang yang sama. Efeknya, aku selalu diikuti rasa bersalah, merasa tidak layak untuk menghampiri Tuhan, sehingga inginnya menjauh dari hadirat-Nya. Namun, puji Tuhan! Dia tidak membiarkanku lari terlalu lama dan jauh daripada-Nya. Aku ingat kisah Alkitab tentang si bungsu yang melarikan diri dari bapanya. Si bungsu terhilang dan menghabiskan hidupnya di kandang babi. Aku yang tahu kisah itu tidak ingin berlama-lama di dalam ‘kandang babi’. Aku ingin dan harus segera kembali ke pelukan Bapa. Aku juga diingatkan bahwa di luar Tuhan, aku tidak bisa berbuat apa-apa (Yohanes 15:5). Meskipun aku berusaha menjauh dari Tuhan, aku tidak akan pernah bisa terpisahkan dari-Nya (Mazmur 139:7-10). Tuhan juga berfirman bahwa saat aku mendekat kepada-Nya, Dia akan mendekat kepadaku (Yakobus 4:8a).

Aku terus berdoa mengaku dosa-dosaku kepada Tuhan, dan diakhiri dengan berkomitmen untuk menjauhi masturbasi dan mengonsumsi pornografi lagi. Apakah aku segera bebas dari candu itu? Bagi aku tidak semudah itu. Siklus jatuh dalam dosa masturbasi dan pornografi, merasa bersalah, menjauh, mengaku dosa, berjanji untuk tidak mengulang, kemudian jatuh lagi terjadi terus-menerus, seperti lingkaran setan. Tuhan mengizinkan aku berproses selama bertahun-tahun untuk mengalami kebebasan dari candu tersebut.

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13). Inilah salah satu ayat Alkitab yang menguatkanku. Tuhan memberikan aku jalan keluar, tetapi itu dimulai dari aku memberanikan diri untuk mengakui dosa-dosaku kepada sesamaku, karena selama ini kupikir aku cukup mengakui dosa kepada Tuhan saja. Kepada rekan-rekan di gereja aku memberanikan diri untuk mengaku dan mereka pun mendukungku untuk hidup benar. Setelah bersaksi, aku bukannya dihakimi atau dipandang rendah, tetapi aku diberikan penguatan dan dukungan doa oleh sesamaku, sesuai dengan Firman yang berbunyi: “…hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh” (Yakobus 5:16). Dari kejadian itulah aku disadarkan bahwa aku tidak perlu malu dengan dosaku, malah justru perbuatan-perbuatan gelap tersebut perlu dibawa ke dalam terang Kristus supaya hilang kuasanya atas diriku. Keterbukaan memang adalah awal dari pemulihan.  Namun, penting untuk kita ingat bahwa keterbukaan ini perlu kita lakukan pada tempat yang aman dan benar, yakni kepada saudara seiman dalam kelompok kecil, keluarga, atau mentor-mentor rohani yang dapat dipercaya, yang setelah mendengar kesaksian kita bersedia menjadi kawan yang mengingatkan dan menuntun kita untuk tidak terus jatuh di dalam dosa.

Dari sinilah aku semakin bertekun dalam pengenalan akan Firman Tuhan, berpartisipasi dalam kelompok kecil di gereja, menjalin hubungan yang bertanggung jawab bersama sesama dengan pergumulan yang sama sehingga aku bisa di titik sekarang ini. Kini Tuhan menganugerahkan kekuatan kepadaku untuk bisa mengatakan tidak pada keinginan dagingku, dan ya pada keinginan Roh Kudus. Syukur kepada Tuhan, Ia telah membebaskanku dari candu dosa seksual selama 1 bulan lebih, setelah 20 tahun bergumul. Aku tidak kebal dengan pencobaan-pencobaan tersebut, tetapi Tuhan telah menyadarkan aku kembali kepada identitasku yang sesungguhnya. Di dalam Kristus, aku adalah ciptaan baru, yang lama sudah tiada, yang baru telah datang.  

Ketika godaan itu datang, aku menggunakan strategi B.R.A.C.E:

B: Breath, take a few deep breaths

Ambil waktu untuk tarik napas yang dalam, untuk memberi kesempatan supaya otak dapat berpikir lebih jernih.

R: Remember the Truth

Mengingat kebenaran Firman Tuhan mengenai dosa seksual dan identitas kita sesungguhnya sebagai anak Tuhan yang kudus. Hal ini dapat dilakukan bila kita terlebih dahulu menghafal, mengerti dan menghidupi ayat-ayat Alkitab tersebut.

A: Ask God for help

Memohon pertolongan Tuhan. Jujur dan akui kelemahan kita bahwa kita tidak sanggup, dan doa “Tuhan, tolong aku!”

C: Call an accountability partner

Menghubungi teman akuntabel yang sama-sama berjuang dalam memenangkan pergumulan yang sama.

E: Escape the situation

Kabur sejauh mungkin dari situasinya, katakan TIDAK pada keinginan dagingnya.

Aku yakin sepenuhnya, Tuhan Yesus yang telah memulihkan aku dari candu yang aku sempat tidak sadari akan memulihkan teman-teman sekalian juga. Hanya saja, apakah kamu mau mengakui ketidakberdayaanmu dan memohon pertolongan saudara seiman serta pertolongan-Nya?

Tuhan Yesus Kristus memberkati teman-teman sekalian. Salam sehat tubuh, jiwa, dan roh!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jangan Nunggu Ketahuan Dulu Baru Bertobat

Oleh Jovita Hutanto

Aku masih ingat jelas guyonan saat SMA dulu. Ketika ada teman yang ulang tahun, salah satu ucapan yang diberikan begini, “Happy birthday yaaa! Bertobatlah sebab kerajaan surga sudah dekat!” Atau, kalau si teman yang paling suka buat onar ketahuan dan dihukum, mereka akan berseru, “Ampun pak! Tobat deh, tobat saya.”

“Tobat”, kata ini jadi menarik buatku. Aku pikir-pikir lagi, apa yang ada di benakku dan teman-teman dulu ketika bicara soal “tobat” ya? Kudapati kalau pada masa itu ungkapan dan niatan tobat baru muncul ketika suatu dosa atau kesalahan terbongkar. Sederhananya, pertobatan itu lebih seperti ketahuan daripada pengakuan. Kok ketahuan dulu baru ngaku? Jadi, ini sungguh-sungguh bertobat atau situasi yang memaksa kita bertobat karena ketahuan? Kalau gak ketahuan, gak bertobat dong?

Untuk menjawabnya, aku mau mengajak kita semua untuk mengulik lebih dalam tentang perobatan. Ada dua tipe cerita pertobatan manusia. Ada yang sadar sendiri bahwa dia harus berubah, namun ada juga yang harus “ditampar” dulu baru sadar. Kalau bisa sadar sendiri, ibaratnya “surat peringatan” (SP) pertama dari Roh Kudus cukup berhasil. Tapi kalau sudah pakai cara kedua, biasanya teguran tidak diindahkan sampai-sampai harus “ditampar”. Namun, tamparan ini bukanlah itikad jahat untuk menghancurkan kita, melainkan adalah konsekuensi dari perbuatan dosa kita. Uniknya manusia, sekalipun mereka merasa diri baik-baik saja dan merasa tidak perlu bertobat, tetapi kita semua tahu bahwa dalam diri kita menyimpan keburukan. Pertanyaannya, apakah kita menyimpan begitu saja keburukan itu? Atau, punyakah kita niat untuk berubah?

Kalau kita mengaku diri Kristen, seharusnya kita mempunyai kerinduan untuk menjadi manusia yang semakin hari semakin serupa dengan Kristus.

Katekismus Westminster sudah merangkum arti dari “‘bertobat menempuh hidup baru,” yang bunyinya:

“Bertobat menempuh kehidupan baru adalah anugerah yang menyelamatkan (1) yang membuat seorang berdosa sungguh-sungguh menyadari dosanya, dan memahami rahmat Allah di dalam Kristus (2), sehingga ia menyesali dan membenci dosanya, serta berbalik dari dosa itu kepada Allah (3), dengan maksud mencapai dan mengejar ketaatan yang baru (4).”

Ada 4 poin penting yang disampaikan dalam arti pertobatan kekristenan. Pertama-tama, patut kita ketahui bahwa proses pertobatan dari awal sampai keberhasilannya itu murni anugerah Allah (Kisah Para Rasul 11:18). Manusia tidak dapat mengambil inisiatif dengan sendirinya untuk bertobat. Lalu poin kedua menjawab apa yang menjadi indikator manusia memulai proses pertobatannya, yaitu kesadaran akan dosanya (Mazmur 51:1-4). Kesadaran itu ternyata tidak dimiliki semua orang. Kesadaran hanya dimiliki oleh segelintir orang yang dibukakan mata hatinya.

Aku ingin menekankan bahwa ‘tahu’ dan ‘sadar’ itu berbeda. Orang yang tahu belum tentu sadar. Kesadaran melibatkan pengertian akan apa yang benar dan yang salah, dan mengerti kemana arah langkah kebenaran. Maka, di poin ketiga dinyatakan bahwa ciri-ciri manusia yang sadar, yakni pikirannya dibukakan pada keburukan dan dosa-dosanya; dan dengan kesadaran tersebut, timbullah keinginan untuk berbalik pada Allah—pada jalan yang benar (Yeremia 31:18-20). Poin keempat menjelaskan bahwa titik awal pertobatan manusia kelihatan dari orientasi hidupnya yang berubah, yaitu tertuju pada ketaatan pada Kristus secara perilaku dan pikiran (Matius 3:8). Dalam arti lain, tolak ukur keberhasilan pertobatan tidak dari kesempurnaan perilaku dan cara pikir kita (walau intensi dan arahnya harus pada kesempurnaan), namun dari orientasi dan fokus hidup kita yang berubah menuju pada kebenaran. Boleh disimpulkan bahwa pertobatan itu melibatkan dua unsur penting, unsur anugerah dan unsur kesadaran.

Teman-teman boleh tarik dan hela nafas dulu untuk kembali mencerna 4 poin di atas supaya tidak bingung. Hehehe..

Walau pertobatan sifatnya emergency dan harus segera dicanangkan dalam pikiran kita, jangan khawatir karena penerapan ‘kehidupan yang baru’ tidak harus terjadi dalam satu malam.

“Keluarkan olehmu buah-buah yang berpadan dengan tobat. Tunjukkanlah dengan perbuatanmu bahwa kamu sudah bertobat dari dosa-dosamu.” (Matius 3:8). Setelah adanya kesadaran secara internal atau secara mindset (cara pikir), berikutnya kita pikirkan strategi untuk mengubah yang eksternal, yaitu kebiasaan buruk kita.

Nah… Langkah seperti apa yang harus kita ambil untuk membangun kebiasaan yang baik?

Menurut pengalamanku, penerapan reward and punishment tergolong cukup efektif. Pertama-tama, kita list dahulu kebiasaan buruk yang ingin kita ubah. Lalu di sebelah kanan list tersebut, tuliskan goal atau kebiasaan baik yang ingin kita capai, contohnya: malas berolahraga → rajin berolahraga 2 kali seminggu. Pastikan kalian mencantumkan goal kalian lebih spesifik ya, supaya lebih ada gambaran dalam penerapannya dan kelihatan tolak ukur keberhasilannya. 

Lalu, di kolom ketiga, kalian tuliskan reward atau penghargaan yang kalian ingin berikan pada diri kalian jika kalian berhasil melaksanakannya. Tidak perlu ribet-ribet memikirkan reward ini, karena kita pasti memiliki hobi/kesenangan yang sering kita lakukan, seperti nonton drama, pergi bersama teman, dll. Jadikan hobi keseharian kita sebagai hadiah jika kita berhasil melaksanakan kebiasaan baru. Sebaliknya, jika gagal, maka kita tidak boleh menikmati hobi tersebut. Kuncinya kita harus komit untuk menjalankan reward and punishment yang sudah kita buat. Tiga bulan pertama mungkin akan terasa berat. Jangan kasih kendor, guys! Kalau menurut penelitian psikologi, manusia perlu melakukan kebiasaan barunya selama 90 hari tanpa putus untuk menjadikan habit tersebut sebuah lifestyle (gaya hidup).

Reward and punishment ini cukup membantu dalam hal pembentukan moralitas atau perilaku. Namun, akan lebih rumit diterapkan untuk dosa batiniah atau dosa pikiran, seperti kedengkian dan iri hati. Dosa yang tidak kelihatan ini memerlukan skill penguasaan diri yang baik. Aku harus berterus terang kalau mengendalikan pikiran kita sendiri itu tidak mudah karena seringkali pikiran jahat itu merasuki secara perlahan, tau-taunya sudah menjamur saja dalam otak dan karakter kita. Kalau untuk kasus yang seperti ini, aku biasanya banyak mendengarkan podcast-podcast yang tema nya sesuai dengan pergumulanku. Sudah banyak toh di Youtube podcast dan seminar dari para ilmuwan teologi. Jadi selagi pikiran yang jahat menggoda, podcast dari mbah Youtube juga ikut menegur. Dengan memperkaya pengetahuan yang benar, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menaklukkan pikiran jahat kita. Karena satu-satunya yang dapat mengurungkan niat berdosa kita ya hanya pengetahuan akan kebenaran itu sendiri. Ada pepatah mengatakan “the truth sets me free.” Kebenaran itu membebaskan. Selain itu, keniatan hati untuk menjadi lebih baik juga penting, karena di mana ada niat, di situ ada jalan.

Jujur, aku juga suka sih kena “sentil-sentilan” yang cukup membangunkan. Namun, sebagai orang yang percaya, aku rasa sudah seharusnya kita tidak menunggu sampai ketahuan atau di “tampar” terlebih dahulu baru mau bertobat dan menempuh hidup baru.

Seratus Delapan Puluh Derajat

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Kak Rere!” Suara berat khas remaja tanggung itu menyapaku, begitu aku memasuki ruangan bercat putih itu. Dia tampak sangat antusias dan seperti sudah lama menungguku.

“Hei, Niko!” balasku sambil tersenyum lebar, dan berjalan mendekatinya. 

Selalu begitu. Niko ini memang tipe anak yang sangat antusias belajar, banyak bertanya dan penuh dengan rasa penasaran. Walaupun aku adalah guru les Matematikanya, tak jarang aku mendapat pertanyaan-pertanyaan dari seluruh bidang ilmu darinya. Dia memang tipe pemerhati yang suka berpikir akan banyak hal, dan aku hampir tidak pernah melihatnya malas belajar. Untuk anak remaja seusia dia aku cukup salut.

Pernah suatu ketika, aku izin terlambat buat mengajarnya hari itu. Begitu tiba di rumahnya, dia langsung mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan. Hari itu aku memang sedang ada jadwal pelayanan kunjungan ke panti asuhan, dan aku memang sering menceritakan soal kegiatan pelayananku padanya. Dan dia tampak tertarik. Lalu tiba-tiba saja dia menanyakan sesuatu yang cukup membuatku berpikir, 

“Kak, apa sih yang dimaksud dengan bertobat? Teman-teman di sekolah kalau berbuat salah sering bilang: Aku mau bertobat, aku menyesalbegitu, tapi dia tetap saja berbuat salah lagi,” katanya dengan wajah bingung.

Aku berpikir menjawabnya bukan karena tidak tahu menjelaskannya, tapi lebih ke berpikir bagaimana menjelaskannya dengan sederhana. Selain itu aku juga terkesan dengan pertanyaan itu. Jadi aku menghembuskan napas pelan, berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk menjelaskan padanya.

“Bertobat itu… seperti berbalik arah. Berubah seratus delapan puluh derajat. Kamu tahu kan gimana sudut 180°?” tanyaku, dan dia langsung mengangguk. Tentu saja dia tahu. “Bertobat itu artinya berbalik dan meninggalkan dosa, Nik, kemudian taat kepada Tuhan Yesus saja,” sambungku, lalu menunggu tanggapannya.

“Maksudnya kita nggak berbuat dosa lagi, begitu Kak?”

“Bukan. Tapi, kita tidak hidup untuk dosa lagi dan kita berubah secara menyeluruh,” kataku dengan lambat dan santai. Berusaha membuatnya tidak begitu berpikir keras. 

“Misalnya nih kita bilang kita bertobat, tapi kita milih-milih bertobat dalam hal apa. Kalau di gereja, kita bertobat, di rumah bertobat, tapi di sekolah atau di tempat lain tidak. Itu bukan bertobat. Bertobat itu.. menyeluruh, bukan pilih-pilih gitu,” jelasku lagi, dan dia seperti biasa tampak memproses setiap kata yang kusampaikan.

“Memangnya bisa kita hidup tanpa melakukan dosa lagi dimanapun, Kak?” tanyanya lagi.

Aku tampak berpikir beberapa detik lalu menjawab, “Sebagai manusia sih, kita pasti akan berbuat dosa lagi, Nik. Soalnya kita bisa aja jatuh dan nggak taat sama Tuhan, kan? Tapi, kita tidak bermain-main lagi sama dosa dan harusnya kita akan merasa sedih jika melakukan dosa. Terus, ada tindakan di hati kita untuk tidak mengulanginya lagi.” 

Dia tampak mengangguk-angguk pelan.

Kemudian seperti baru teringat sesuatu, dia bertanya lagi, “Kemarin waktu aku browsing, ada kalimat: Bertobat itu artinya Lahir Baru, maksudnya gimana Kak?” 

Aku tersenyum dalam hati. Seketika teringat cerita Alkitab tentang Nikodemus yang menanyakan hal yang sama pada Yesus. Dan oh, nama mereka pun sama! Lalu aku mulai berpikir lagi apa yang harus kukatakan pada anak remaja yang sedang sangat penuh dengan rasa ingin tahu ini. Dalam hati aku sambil berdoa minta pimpinan Tuhan.

“Ehmm lahir baru itu, ketika kita menerima Yesus sebagai Juruselamat kita, Nik! Artinya kita percaya sepenuhnya sama Dia yang memberi kita keselamatan dan kita hanya mengandalkan Dia aja. Jadi kita nggak boleh mengandalkan diri kita sendiri lagi untuk hidup kita, atau untuk keselamatan kita,” jawabku dengan pelan tapi tegas.

Dia kembali mengangguk-angguk, semoga karena dia mengerti. Tapi untuk pelajar seperti dia, aku sudah cukup terkesan dengan keingintahuannya. 

“Kalau begitu aku mau bertobat, Kak. Aku mau percaya sepenuhnya sama Yesus.”

Aku menoleh dan menatap matanya yang menyiratkan tekad dan ketulusan. Aku terharu, bahkan orang dewasa sering sekali masih “mikir-mikir” untuk mengambil keputusan itu, tapi Niko, remaja ini dengan mantap mengatakannya. Aku tersenyum hangat, betapa Tuhan telah berbuat sesuatu

Aku bahkan hampir saja meneteskan airmata saat membimbingnya berdoa waktu itu.

“Kak, jadi gimana nih ngerjain soal Matematikanya?” Suara Niko menyadarkanku dari lamunan, aku tertawa kecil, buru-buru memperhatikan soal yang disodorkannya. Niko besok ada ulangan Matematika, tapi guru lesnya malah asyik melamun. Untung saja segera kembali ke dunia nyata, kalau tidak kayaknya besok nggak akan diminta datang lagi alias dipecat. Hehe..

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

3 Tips Supaya Kamu Tidak Jatuh di Lubang yang Sama

Oleh Jenni, Bandung

Hidup dalam pertobatan tidak semudah membicarakannya. Seringkali ketika hari ini kita berkomitmen untuk bertobat kita akan mengalami tantangan yang semakin besar. Tak jarang kita jatuh lagi dan lagi sehingga kita pun ingin menyerah saja.

Namun, itu memang harga yang harus dibayar untuk hidup dalam pertobatan. Kita pasti mengalami proses jatuh dan bangun. Buatku sendiri yang sampai saat ini masih berjuang hidup dalam pertobatan, aku kadang memaklumi kebiasaan-kebiasaan burukku yang membuat aku jadi mempertanyakan komitmen pertobatanku.

Tapi, syukur kepada Tuhan bahwa aku tidak ditinggalkan sendirian. Ada empat hal yang terus kulatih setiap hari:

1. Terus menyelidiki diri sendiri

Efesus 5:15-16 berbunyi, “karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.”

Ayat ini mengingatkanku untuk mengambil waktu sejenak dan memperhatikan caraku hidup. Bagaimana dan mengapa aku melakukan sesuatu. Aku pun menemukan sebuah kebiasaan yang, tidak tampak berbahaya, tetapi cukup perlu diperhatikan.

Karena kesibukan yang menyita waktu, aku memilih belanja online agar menghemat waktu. Biasanya, setelah mendapatkan produk yang diperlukan aku tidak akan langsung menutup aplikasi. Aku berpikir untuk melihat-lihat produk lain. Ya, siapa tahu kapan-kapan aku perlu. Maka, dengan niat demikian aku pun melanjutkan berselancar di aplikasi belanja online.

Kukira, aku sedang survey membandingkan produk terbaik dari sekian banyak toko. Ternyata, pengendalian diriku lemah. Alhasil, niatanku berubah menjadi cuci mata. Efesus 5:15-16 membantuku menemukan bahwa selama ini aku telah tertipu dengan pola pikirku sendiri.

Berbelanja online tidaklah salah dan berdosa, tetapi ketika aku membiarkan diriku dikuasai oleh hawa nafsu impulsif untuk membeli barang tanpa mempertimbangkannya, bisa jadi aku sedang membiarkan diriku terjebak dalam dosa yang lebih dalam. Bukan tidak mungkin jika kebiasaan ini kuteruskan aku akan menghabiskan lebih banyak uang yang jumlahnya lebih besar dari pengeluaranku.

2. Lihat manfaat dari segala sesuatu

1 Korintus 10:23 berbunyi, “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.

Firman ini mengingatkanku bahwa tidak semua yang terlihat aman itu berguna dan membangun. Perlu kebijaksanaan dalam memutuskan untuk melakukan sesuatu. Contohnya, dengan belanja online aku bisa dengan mudah menemukan produk yang mungkin akan sulit ditemukan jika belum tahu tempatnya. Sebenarnya, jika digunakan dengan tepat, manfaatnya besar. Akan tetapi jika digunakan dengan sebaliknya, maka lebih banyak kerugiannya.

Waktu yang aku gunakan untuk cuci mata sebenarnya bisa aku gunakan untuk hal lain yang berguna dan membangun. 1 Korintus 10:23 menuntunku untuk mempertanyakan manfaat dan kegunaan segala sesuatu. Memang, tidak semua hal jelas-jelas terlihat merugikan atau buruk. Namun, tidak semua hal berguna. Ayat ini mengajarkanku untuk melakukan yang benar.

3.  Apakah pengalaman orang lain cukup? Atau haruskah aku mengalami sendiri?

Pada Amsal 8:33 dituliskan, “Dengarkanlah didikan, maka kamu menjadi bijak, janganlah mengabaikannya.”

Orang bijak belajar dari pengalaman orang lain. Terkadang, saat dilanda galau memilih produk yang hendak dibeli, aku akan meminta saran pada salah satu teman yang kuanggap paham seluk beluk belanja online. Sayangnya, tidak semua sarannya aku sukai. 

Temanku menyarankan bahwa beberapa produk sebaiknya tidak dibeli online karena, risiko yang menanti cukup besar. Akan tetapi, saking magernya, aku menolak dan tetap check-out. Sayang disayang, perkataan temanku itu ternyata benar adanya. Andaikan saat itu aku tidak mengabaikan saran dan lebih mengendalikan diri, aku tidak akan merugi materi.

Jika salah belanja saja bisa membuatku merasa rugi, bayangkanlah jika itu terjadi pada skala atau kasus yang lebih besar. Semisal, bicara soal pasangan hidup. Firman Tuhan mengingatkan kita untuk mengambil yang sepadan, tetapi kita nekat jalani saja meskipun sudah jelas-jelas si dia tidak sepadan seperti berbeda visi, suka melakukan kekerasan, boros, dan sebagainya. Jika kita terus melanjutkan dan mengabaikan nasihat, bisa jadi kita sedang membawa diri kita untuk terjatuh.

Lalu, harus bagaimana?

Dalam Efesus 4:17-32 berisi tentang pesan Paulus untuk meninggalkan kehidupan lama dan menjadi manusia baru. Pertobatan akan membaharui kita dalam roh dan pikiran. 

Sampai di titik ini, aku menyadari bahwa pengendalian diri yang buruk adalah PR besarku. Karena kelemahan ini, aku terus kembali melakukan hal yang merugikan. Sebenarnya kebiasaanku yang gemar berselancar di aplikasi belanja online tidak hanya membuang kuota internet saja, melainkan hal yang lebih berharga, yaitu waktu. Uang bisa dicari dan kuota bisa dibeli, tapi, waktu? Tidak akan bisa kembali.

Tuhan Yesus sudah menebus jiwa kita agar bisa bersama-Nya kelak. Sekarang, saat masih di dunia, kita tak lagi hidup di bawah Taurat, tapi kasih karunia. Dengan anugerah yang besar, maka waktu yang tepat untuk melatih diri untuk meninggalkan kebiasaan buruk adalah saat ini. Sekarang juga.

Pertobatan memiliki hubungan erat dengan mengubah dan melatih pola pikir baru. Jatuh bangun adalah bagian dari pertobatan. Sambil terus meminta pertolongan dan tuntunan Tuhan, yuk melatih diri untuk meninggalkan semua kebiasaan buruk dan dosa yang mengikat. Dengan kekuatan dan belas kasih dari Tuhan, kita akan dimampukan dan menjadi pribadi versi terbaik.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Aku, Si Pembunuh yang Diberi Ampun dan Kesempatan Baru

Oleh Mayang*
*bukan nama sebenarnya

Jika kepada setiap orang ditanyakan dosa terberat apakah yang pernah mereka lakukan, kurasa akulah yang paling malu dan gentar untuk mengungkapkannya.

Masa muda yang seharusnya indah menjadi kelam karena dosa yang kulakukan. Saat itu aku duduk di bangku SMA dan berpacaran dengan seseorang. Tanpa benar-benar memikirkan akan risiko, aku dan pacarku melakukan hubungan intim. Setelah beberapa waktu, betapa kaget dan hancurnya aku ketika tahu bahwa aku hamil, terlebih lagi sikap pacarku yang posesif dan abusif membuatku merasa tidak mencintainya lagi, demikian juga sebaliknya. Aku berada pada dilema: apakah aku harus menikahi laki-laki itu dan mengizinkan anakku hidup? Atau, menggugurkannya? Aku memutuskan pilihan yang kedua. Hari ini, empat belas tahun kemudian, tanganku pun masih gemetar mengingat kejadian itu. Akulah si pembunuh yang seharusnya diganjar hukuman berat.

Setelah keputusan berat itu kuambil, aku memutuskan untuk melarikan diri. Aku meninggalkan mantan pacarku. Aku pergi ke kota yang lain dengan alasan melanjutkan pendidikan, padahal jauh dalam lubuk hatiku aku sadar bahwa itu adalah pelarian. Aku berusaha lari dari kenyataan bahwa aku adalah pembunuh dan aku mencoba menjalani hidup dengan tidak berharap sama sekali bahwa aku akan menjadi manusia yang baik. Dalam bayanganku, aku akan kembali jatuh dalam seks bebas dan dunia malam di kota metropolitan. Begitulah aku memberikan harga pada diri dan masa depanku.

Namun, dalam pelarianku itu ternyata Tuhan menangkap dan memenangkan aku. Tuhan bahkan tidak membiarkan aku menyentuh gemerlap dunia di kota itu. Dengan cara-Nya yang unik, Dia mengubahkan hidupku, mengizinkan aku mengenal Dia, membuat aku jatuh cinta pada-Nya. Aku yakin bahwa sejak semula Tuhan telah memilihkan kampus yang kujadikan tempat melanjutkan studi untuk aku bertemu dengan-Nya. Sebagai mahasiswa baru, aku diwajibkan memilih salah satu dari organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada sebagai syarat agar nanti aku dapat diwisuda. Setelah diskusi dengan teman baikku, kami memilih masuk organisasi kerohanian dengan pemikiran bahwa tidak akan banyak kegiatan yang menyita waktu kami sehingga kami bisa bersenang-senang. Ternyata pikiran kami meleset. Justru melalui organisasi inilah kami malah diinjili dan menerima Kristus. Dan kami ternyata harus mengikuti begitu banyak kegiatan yang menyita waktu kami, seolah Tuhan tidak membiarkan kami untuk terjerat dalam pergaulan lain yang salah. Melalui berbagai camp, seminar, fellowship, dan kelompok pemuridan selama 3 tahun kami menerima proses yang membuat kami terus dibaharui dan sungguh-sungguh menyerahkan hidup kami bagi Tuhan.

Tuhan Yesus menjagai aku dengan memberikan orang-orang baik yang mengasihi Dia di sekitarku. Aku tidak hanya mendapatkan teman, namun sahabat dan mentor yang mau berjalan bersama-sama dalam perjalanan rohaniku. Dua orang senior perempuanku bahkan membantu aku memulihkan diri dan berdamai dengan masa laluku. Melalui mereka aku belajar memiliki hati melayani yang benar. Tidak hanya itu, Tuhan memberikan aku kesempatan-kesempatan besar untuk melayani-Nya. Semua itu membuktikan apa yang dikatakan Daud dalam Mazmur 31 : 22 “Terpujilah Tuhan, sebab kasih setiaNya ditunjukkan-Nya kepadaku dengan ajaib pada waktu kesesakan”.

Namun pada suatu titik aku bertanya “Tuhan, dari sekian banyak perempuan muda di dunia ini, di negara ini, di kota ini, di kampus ini, mengapa aku yang adalah pembunuh ini yang Engkau pilih?”

Aku tidak menemukan jawaban spesifik untuk pertanyaan ini. Semua jawaban yang aku dapat terlalu umum. Sampai suatu hari, bertahun-tahun setelah itu, salah satu temanku memilih aku untuk menceritakan pergumulan hidupnya. Dia sedang berjuang untuk melepaskan laki-laki yang sudah terlanjur dia berikan segalanya. Dia begitu mencintai laki-laki itu sehingga tidak ingin kehilangan bahkan meski sudah diselingkuhi. Dia ada dalam bayangan kegelisahan kalau-kalau tidak lagi akan ada laki-laki lain yang dapat menerima dirinya. Terlebih dia juga ketakutan akan murka Tuhan yang mungkin akan dia terima sebagai balasan untuk dosa yang sudah dia lakukan. Dia terlalu malu untuk menyentuh Tuhan dalam doa, meskipun dia sangat sadar hanya Tuhan yang dapat menolong kehancurannya ini.

Keberaniannya menceritakan hal itu padaku membuat aku terbuka mengenai apa yang pernah aku lakukan di masa lalu. Aku pun bersaksi tentang bagaimana Yesus mau mengampuni dan memulihkan aku yang dosanya pun sama mengerikannya itu. Kisahku adalah aib yang memalukan, namun dengan pertolongan Roh Kudus, aku diberikan keberanian untuk menceritakan bagian paling bobrok dalam hidupku untuk temanku. Cerita itu kusampaikan bukan untuk menujukkan hebatnya diriku atau berbangga atas besarnya dosaku, tetapi kasih Allah jauh melampaui segalanya. Tak ada dosa yang terlalu kelam untuk disentuh dengan terang-Nya. Membagikan kisah kasih Allah itu membuatku merasakan sukacita yang luar biasa.

Setelah malam itu aku mengerti mengapa Tuhan memilih aku yang adalah seorang pembunuh ini untuk diselamatkan. Tuhan Yesus mau aku untuk jadi alat-Nya melayani perempuan-perempuan muda yang mengalami apa yang pernah aku alami. Dalam kehancuran dan kegagalanku, Dia mau dan mampu menatanya menjadi indah dan melayakkanku supaya setiap orang yang melihat dan mendengarkan aku yang jahat ini, dapat melihat dan mendengarkan Yesus yang penuh kasih itu.

Aku sangat bersyukur atas apa yang Yesus kerjakan dalam hidupku. Aku tidak dapat berbohong bahwa aku masih terus hidup dalam rasa bersalah dan penyesalan. Namun, rasa itu yang membuat aku mampu mengasihi banyak orang tanpa alasan. Rasa itu membuat aku tidak mampu untuk menyangkal unconditional love yang aku terima dari Tuhan, tidak peduli seberapa sulit pun hidup yang aku jalani.

Akibat perbuatanku itu jugalah sampai hari ini membuat aku kesulitan memulai sebuah hubungan baru dengan orang lain. Sulit bagiku untuk bisa percaya bahwa akan ada laki-laki baik yang mau menerima aku dengan masa laluku. Namun, aku bersyukur karena penerimaan Yesus sudah cukup bagiku. Aku akan tetap bersukacita seperti yang tertulis dalam Mazmur 13:6 “Tetapi aku, kepada kasih setiaMu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Kini aku sadar, melayani orang yang sedang berada dalam posisi terburukku adalah bagian dari panggilan hidupku.

Tersesat di Antara Dua Dunia

Jika percaya Yesus tidak membuat hidupmu lebih baik sesuai dengan harapanmu… apakah itu artinya kamu tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang sedang kamu berusaha raih?

Allah menantimu untuk menerima-Nya, kerajaan-Nya. Namun, jika kamu hanya mencari apa keinginan hatimu, sulitlah bagimu untuk melihat berkat mulia yang menantimu.

Kerajaan Allah tidak sebanding dengan apa yang dunia tawarkan—sesuatu yang jauh lebih baik daripada apa yang ada pada kita sekarang. Kebebasan dan kepunyaan kita di dunia adalah sementara dan tidak sempurna.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Masa Prapaskah: 5 Alasan Kamu Perlu Bertobat Lagi dan Lagi

Sobat muda, siapa di sini yang masih suka menganggap enteng pertobatan?

Pertobatan bukan hanya sekadar bilang “Tuhan ampuni aku!”. Pertobatan juga sering dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan, tapi kenyataannya sebaliknya: pertobatan adalah hadiah indah dari Tuhan untuk umat-Nya.

Di masa pra-paskah ini, pada momen Rabu Abu, yuk kita bangun kembali komitmen untuk kembali lebih dekat dengan Tuhan.

Selamat memasuki masa-masa pra-paskah, sobat muda!

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Oleh Joanna Hor
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Respond When A Friend Confess Their Sin

Jam 1 dini hari. Seorang temanku mengirim chat panjang, meminta didoakan karena dia sedang bergumul dengan ketertarikan fisik dengan rekan kerjanya, padahal dia sendiri sudah terikat dalam relasi yang serius.

Beberapa minggu sebelumnya, seorang temanku yang lain bercerita dengan sedih tentang rasa bersalahnya pada Tuhan setelah dia melampaui batasan fisik yang wajar dalam relasi dengan pacarnya. Sebelum itu, temanku yang lainnya lagi juga bercerita tentang kurangnya sikap disiplin dan semangat untuk hadir ke gereja dan kelas Alkitab.

Mungkin kamu pun pernah menerima pesan berisikan pengakuan dan curhatan seperti di atas. Kita semua bergumul dengan pencobaan dan dosa setiap hari (Roma 3:23), dan kita tahu hal apa yang benar untuk dilakukan—mengakui dosa kita (1 Yoh 1:9), mematikan hal-hal duniawi, dan berpaling pada Allah (Yakobus 4:8). Tapi, mengucapkan itu semua lebih mudah daripada melakukannya. Seringkali, kita bergulat dengan dosa-dosa kita untuk waktu yang lama, menganggapnya enteng atau tidak mempermasalahkannya sama sekali. Mengakui dosa kita kepada orang lain mungkin jadi hal terakhir yang ada di pikiran.

Jadi, ketika kita seorang teman membagikan kisah dosanya pada kita, bisa jadi kita merasa gamang untuk merespons. Kita mungkin tidak merasa kompeten untuk menolongnya, apalagi kalau kita sendiri juga bergumul dengan dosa yang sama (Mat 7:3-5). Atau mungkin, kita memilih untuk pura-pura menutup mata karena kita tidak ingin terlihat benar sendiri, sombong, atau terlalu terlibat dalam kekacauan hidup orang lain.

Ibrani 3:12-13 dengan jelas mengatakan kita punya tanggung jawab sebagai komunitas untuk ‘menasihati seorang akan yang lain, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa’. Yakobus 5:19-20 juga mendorong kita semua untuk berperan aktif untuk ‘membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat’ karena tindakan itu ‘akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa’.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menghidupi instruksi dari ayat ini, ketika kita sendiri pun adalah orang berdosa?

1. Jangan merasa benar sendiri dan menghakimi

Mungkin naluri alami kita merespons teman yang terjatuh ke dalam dosa—terkhusus jika itu adalah dosa perzinahan, pembunuhan, atau pencurian—adalah mundur dan menghakimi mereka dalam diri kita sendiri. Alih-alih meratapi dosa dan menjangkau mereka, kita menarik diri, masuk ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan teman-teman kita, lalu membicarakan si pendosa yang dari luar tampak baik tapi ternyata melakukan hal-hal buruk.

Aku sendiri pernah bersikap seperti itu pada beberapa kesempatan.

Salah satu cara yang baik untuk mengetahui apakah kita telah bersikap menghakimi atau sok benar sendiri adalah melihat bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa. Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalah ini? Atau, apakah kita berpaling pada Allah, berdoa memohon belas kasih dan anugerah-Nya—bukan cuma bagi orang itu, tapi bagi umat manusia, termasuk diri kita sendiri?

Sebelum kita jadi orang pertama yang melempar batu, ingatlah bahwa kita semua berdosa (Yoh 8:7). Upayakanlah untuk memberi sesuatu daripada menghakimi dan menghukum mereka (Lukas 6:37-38).

Satu cara yang baik untuk memulai adalah dengan mengajukan pertanyaan pada teman kita yang bisa menolong kita untuk mengerti bagaimana kisah mereka, dan alasan mengapa mereka melakukan itu. Pertanyaannya bisa berupa: ‘Bagaimana perasaanmu selama ini?’, ‘Bagaimana perjuanganmu untuk mengatasinya?’, ‘Apa yang membuatmu berpikir untuk melakukan itu?’

2. Marah dan sedihlah terhadap dosa

Kecenderungan lain yang muncul adalah aku mudah bersimpati kepada teman ketika mereka bercerita tentang pergumulan dosa—terkhusus apabila pergumulan itu mirip-mirip denganku (kesombongan dan ketamakan). Di saat seperti itu, aku mungkin meremehkan dampak buruk dosa dengan berpikir, “Ya, setidaknya semua orang bergumul dengan itu, dan dosa itu tidak lebih buruk daripada dosa yang [dosa-dosa lain].”

Ketika hal itu terjadi, aku tanpa sadar menilai dosa berdasarkan standar kesalahanku sendiri tentang benar dan salah daripada melihat dosa itu dari kacamata Tuhan.

Namun, dosa adalah dosa—tidak ada tingkatan di dalamnya—dan setiap dosa membangkitkan murka Allah. Jika kita mendapati diri kita pernah mengesampingkan dan meremehkan dosa, berdoalah pada Roh Kudus untuk menegur hati kita kembali dengan mengingat harga mahal yang Yesus bayarkan di atas kayu salib (Yesaya 53:5-6). Mari kita kembali pada Alkitab dan baca kembali ayat-ayat yang menyingkapkan tentang sifat-sifat dosa (Roma 6:23, Galatia 5:19-21, 1 Kor 6:9-10).

Hanya ketika kita menyadari apa itu dosa: ketidaktaatan kepada Allah (Roma 5:19), barulah kita mampu meratap dengan benar atasnya, dan menolong teman kita dengan cara yang benar pula agar mereka mampu bangkit dari keterpurukan dosanya.

3. Saling mendukung satu sama lain untuk bertobat

Ketika aku lebih muda, aku membayangkan Allah itu kaku, pemimpin totaliter yang segera menghukumku setiap kali aku tersandung. Pemahaman itu membuatku mengakui dosa setiap malam sebelum tidur (takut kalau-kalau aku mati saat tidur dan lupa mengakui dosa membuatku tidak bisa masuk surga). Syukurlah, pemahaman itu pudar seiring aku mengenal Dia semakin dalam dan mengerti tentang kecukupan anugerah Kristus dan kasih Allah.

Melihat ke belakang, aku pun menyadari bahwa ‘doa pengakuan dosaku’ dulu tidak berisi langkah nyata untuk berbalik dari dosa. Ketika kita mengakui dosa, mengakui apa yang kita lakukan adalah salah, kita didorong untuk bertobat (1 Yoh 1:9, Yak 5:19). Pertobatan inilah yang akan menghasilkan perubahan pada hati dan tindakan kita (Kis 26:20).

Mazmur 32:1-2 mengatakan orang yang dosanya diampuni sebagai orang yang ‘berbahagia’. Tim Chester, seorang pendeta dan penulis dari Inggris menyelidiki kata ‘berbahagia’ itu disematkan kepada orang yang telah bertobat, bukan untuk orang yang terbebas dari dosa, karena orang seperti itu tidaklah eksis. Dan, ini menjadi penting, karena seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Enjoying God, itu berarti “kamu tidak perlu menanti sampai kamu mencapai level kesalehan yang lebih tinggi supaya bisa menikmati berkat Ilahi”.

Marilah saling mendorong satu sama lain untuk tidak cuma mengakui dosa, tapi juga berpaling dari dosa itu. Inilah gerbang menuju berkat Ilahi. Seorang profesor teologi Amerika, Stephen Wellum menyimpulkan dengan indah pada sebuah artikel, “Ketika kita berdosa, kita kehilangan kesadaran akan pengampunan dan damai sejahtera Allah. Jadi, ketika kita mengakui dosa kita, dengan pertolongan Roh, kita disadarkan kembali pada apa yang Kristus telah lakukan bagi kita, dan Allah membangkitkan kepercayaan kita pada jaminan keselamatan-Nya.”

4. Berdoa untuk dan dengan teman kita

Alkitab mendesak kita untuk saling mengaku dosa (Yak 5:16). Kita sering berpikir ayat ini berbicara dalam konteks penyembuhan fisik, tapi ini juga berbicara tentang kesembuhan rohani dari dosa.

Ketika teman kita membagikan kisah dosanya, kita perlu berdoa seperti Yesus berdoa bagi para murid—agar Allah melindungi kita dari yang jahat (Yoh 17:15). Kita harus berdoa seperti ini baik saat teman kita hadir, atau pun dalam saat teduh pribadi kita. Kita bahkan bisa mengetik teks doa di chat lalu mengirimkannya pada mereka. Aku ingat betapa aku ditolong ketika aku tahu kalau keluarga dan teman-temanku mendoakanku setiap kali aku jatuh dalam dosa yang aku telah berkomitmen untuk lepas darinya.

Peperangan melawan dosa adalah pertempuran spiritual, jadi datanglah selalu pada Tuhan untuk mengakui perjuangan yang kita hadapi dan mohonlah kekuatan dari-Nya.

5. Arahkan satu sama lain kepada Kristus

Mungkin satu hal terpenting yang harus dilakukan ketika kita berdosa adalah membawa kembali diri kita kepada hati Kristus. Dane Ortlund, pendeta dan penulis Amerika mengingatkan kita dalam bukunya yang berjudul Gently and Lowly bahwa Yesus adalah kawan bagi para pendosa. Artinya, dalam ‘Yesus Kristus, kita diberikan seorang kawan yang selalu menikmati kehadiran kita daripada menolaknya.’

Bagi siapa pun kita yang (seperti aku pada waktu lebih muda) cenderung melihat Allah sebagai sosok yang kaku dan otoriter, yang selalu marah atau kecewa, penghiburan sejati kita terdapat pada kebenaran bahwa tak peduli seberapa banyak kita telah berdosa dan gagal, Yesus selalu siap menerima dan memulihkan kita jika kita berpaling pada-Nya.

Selama kita hidup di bumi, kita akan terus bergulat dengan dosa dan pencobaan setiap hari. Jangan pernah berpikir kalau kita telah menang atas dosa untuk selamanya. Alih-alih, marilah kita saling mendoakan, saling bertanggung jawab, dan menjadikan titik pertobatan kita saat ini untuk selalu mengingat Yesus.

Baca Juga:

Bolehkah Aku Mengakui Sesuatu?

Membuka diri untuk mengakui dosa memalukan yang pernah diperbuat itu susah. Ada rasa takut, juga malu. Bagaimana jika orang-orang malah jadi memandang rendah kita?

Bolehkah Aku Mengakui Sesuatu?

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can I Confess Something?

Sekitar lima tahun lalu, aku akhirnya menemukan kelompok studi Alkitab wanita di satu gereja. Sudah sekian lama memang aku tidak tergabung dengan komunitas rohani seperti itu. Di salah satu pertemuanku bersama mereka, sesi pembahasan Alkitab sudah selesai dan kami hendak membagikan pokok doa masing-masing. Seorang temanku lalu berkata:

“Tolong doakan aku, aku seperti kecanduan belanja. Rasanya aku menghabiskan terlalu banyak uang buat beli barang-barang yang sebenarnya nggak dibutuhin.”

Ketika mendengar itu, aku tercenung. Bukan karena ada yang salah dari pokok doa itu, tapi aku merasa aku tidak bisa sejujur itu mengakui dosaku sendiri. Bagaimana caranya beralih dari “tolong doakan aku, aku kecanduan belanja” ke “tolong doakan aku karena… aku kecanduan pornografi dan masturbasi”?

Dosa terhormat vs dosa yang tidak terhormat

Ada sebuah buku berjudul “Respectable Sins” yang ditulis oleh Jerry Bridges. Aku belum membaca bukunya, tapi aku selalu ingat judulnya karena rasanya itu sangat cocok untuk sebagian besar dosa-dosa yang kita akui—tidak sabar, membicarakan orang lain, menikmati software bajakan, kerja berlebihan—pada dasarnya adalah dosa-dosa yang dilakukan setiap orang.

Namun, ada hal lain yang terkait dengan mengakui dosa ‘terhormat’. Ketika aku merenungkan bagaimana mengaku dosa kepada orang lain, yang pasti aku lakukan adalah bagaimana menyusun kata-kata supaya pengakuan itu tidak membuatku tampak jelek. Jadi, alih-alih mengatakan, “Aku membentak mamaku tadi pagi”, aku akan berkata, “Aku sedikit bertengkar dengan mama.” Alih-alih berkata, “Kemarin malam aku nonton film porno”, aku berkata, “Aku bergumul dengan pikiran yang tidak murni.” Atau, kalaupun aku tidak menemukan kata-kata yang terasa pas, aku akan memilih dosa yang lebih ‘ringan’ untuk diakui. Atau, lebih baik tidak berkata apa-apa.

Terkadang, keengganan kita untuk jujur dalam pengakuan dosa kita merupakan tanda dari hal-hal berikut ini:

  • Kita terlalu bangga untuk mengakui kalau kita sungguh bercela dan sangat membutuhkan anugerah;
  • Kita lebih takut akan apa yang orang lain pikirkan daripada apa yang Allah pikirkan; atau,
  • Kita tidak sungguh-sungguh ingin mengakui kesalahan kita pada Allah, sehingga kita enggan mengakuinya pada sesama. Kita takut apabila tidak terlihat penyesalan atau rasa takut yang nyata dalam ucapan kita, sehingga kita pikir cukuplah ‘memberi tahu’ Tuhan saja.

Semua ini kukatakan bukan supaya kita mengakui dosa tanpa pandang bulu kepada siapa pun, tentang apa pun; hanya saja, ketika kita memikirkan dosa-dosa dan kita merasa butuh untuk mengakuinya, kita harus kembali kepada apa yang Alkitab katakan dan menguji hati kita. Apakah kita sedang mencoba merasionalisasi dosa-dosa kita dan berupaya menjaga muka kita agar tetap terlihat baik, atau kita sedang merendahkan diri untuk melihat apa yang sungguh jadi kebutuhan kita di hadapan Allah?

Manfaat mengakui dosa

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup sebagai ‘anak-anak terang’ agar segala sesuatu yang telah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak (Efesus 5:8-13).

Namun, bagi sebagian dari kita yang bergumul dengan dosa-dosa rahasia dan memalukan, kita tahu betapa sulitnya mengumpulkan keberanian untuk mengakuinya—meskipun kita tahu dampak buruk dari menyembunyikan dosa seperti tertulis dalam Mazmur 32:3-4:

Selama aku berdiam diri,
tulang-tulangku menjadi lesu
karena aku mengeluh sepanjang hari;
sebab siang malam
tangan-Mu menekan aku dengan berat,
sumsumku menjadi kering,
seperti oleh teriknya musim panas.

Ketika aku bergumul dengan kecanduanku akan pornografi, itu sungguh menguras energiku dan membuatku enggan melakukan hal lain, terkhusus melakukan hal-hal yang akan menusuk hatiku seperti membaca Alkitab, berdoa, mendengar khotbah.

Hari-hari yang kulalui kulakukan dengan upaya paling minimum—kerja, makan, dan mandi—lalu naik ke atas kasur bercengkrama dengan laptop, berharap aku bisa merasa lega. Tapi, tak peduli seberapa banyak upaya yang kulakukan untuk melegakan diri, aku selalu capek. Semakin lama kebiasaan buruk ini dipelihara, semakin susah ia dilepaskan. Semakin lama aku menjadikannya rahasia, semakin dosa itu berkuasa mengendalikanku.

Firman Tuhan berkata bahwa dalam pengakuan dosa yang sejati, kita mengakui dosa yang adalah tindakan melawan Allah dan konsekuensi dari menyembunyikannya, sehingga kita tidak menganggap enteng dosa itu. Kita menerima keburukan dalam diri kita, dan kita berhenti berusaha untuk membuat sikap atau diri kita tampak lebih baik daripada yang sebenarnya, karena kita tahu Tuhan melihat dan mengetahui segalanya. Lebih lagi, kita percaya bahwa hanya Tuhan sajalah yang bisa mengangkat kita dari jurang kelam dosa.

Selain mengakui dosa kepada Allah, Alkitab juga menunjukkan pada kita pentingnya mengakui dosa pada sesama. Sebagai anggota dari satu tubuh, itu menunjukkan kebergantungan satu sama lain. Ketika satu bagian tubuh sakit, sakit pulalah seluruh tubuh itu (1 Korintus 12:26). Yakobus 5:16 mengatakan. “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”

1 Tesalonika 5:12-14 dan Galatia 6:1 mengingatkan kita bahwa saling mengakui dosa menolong kita membangun gereja, saling mengingatkan dan menuntun seseorang kembali ke jalan yang benar.

Bagaimana mengakui dosamu

Lalu, bagaimana kita bisa membentuk kebiasaan akan pengakuan dosa yang sehat dalam komunitas kita?

Pertama, kita perlu menemukan orang percaya yang dewasa dalam iman dan pengertiannya akan firman Tuhan, yang bisa menyampaikan kebenaran dalam kasih dan bertanggung jawab atas pengakuan kita.

Kedua, kita juga perlu berupaya untuk menjadi orang percaya yang dewasa, untuk menciptakan ruang aman dalam gereja kita, tempat bagi orang lain untuk juga mengakui dosanya. Kadang, itu berarti kita menjadi orang pertama yang berani untuk menjadi rentan. Di lain kesempatan, itu bisa berarti kita berhati-hati akan apa yang kita ucapkan atau penghakiman yang kita berikan pada orang lain. Dan yang paling pasti ialah kita menjadi rendah hati dan bersyukur, mengetahui bahwa kita telah diampuni dengan sangat besar.

Terakhir, pengakuan dosa yang alkitabiah tidak cuma berakhir di mengakui kesalahan, tapi bergerak menuju pertobatan. Satu bahaya dari tidak memahami pengakuan dosa yang alkitabiah adalah kita bisa berakhir jatuh ke dalam ritme yang tidak sehat: bersimpati dan berempati tanpa benar-benar mengupayakan pengampunan, penyembuhan, dan pemulihan.

Ketika kita mengakui dosa, kita harus menyiapkan diri kita ditegur. Kita harus berjuang melawan naluri untuk mempertahankan atau merasionalisasi dosa kita. Dalam prosesnya, kita juga perlu mengundang orang lain yang dipimpin Roh Kudus untuk menanyakan pada kita pertanyaan-pertanyaan sulit, untuk berdoa bersama kita dan menegur kita dengan firman Tuhan, untuk memantau kita sesuai kapasitas mereka.

Membuka diri untuk mengakui dosa

Kembali ke cerita di awal tulisan ini, aku memutuskan sejak aku bergabung dengan kelompok itu, rasanya kurang tepat membagikan pergumulan dosaku pada mereka. Namun, Roh Kudus terus mendorongku untuk mengakuinya kepada seseorang, membuatku memahami bahwa aku tak bisa melawan dosa ini sendirian secara diam-diam.

Jadi, aku melakukan dua hal:

Pertama, aku mengakuinya kepada sahabatku yang juga seorang percaya, yang mengerti pergumulanku. Aku bertanya apakah dia bisa menyimpan dan bertanggung jawab atas pengakuanku, dan dia bersedia. Sejak saat itu, kami lebih sering berkontak. Dia akan bertanya bagaimana prosesku, atau aku akan memberi tahu dia bilamana aku tergoda, dan dia segera juga berdoa buatku.

Kedua, aku mengikuti kelas tentang doa yang memulihkan di gerejaku, dan setelah beberapa sesi, aku menyadari kalau perjuanganku untuk pulih membutuhkan doa yang khusus. Setiap minggu, ketua dari kelompok doa itu mengundang orang-orang untuk membuat janji pertemuan jika memang mereka sungguh butuh didoakan. Aku memutuskan untuk ikut. Para fasilitator di pertemuan doa itu sungguh terlatih, mereka punya pengukuran yang pas untuk menciptakan zona aman bagi pengakuan dosa dan doa. Sesi-sesi itu menjadi sungguh berguna dan memulihkan buatku.

Mengakui dosa kepada sesama orang percaya menolongku melihat bahwa perjuangan melawan dosa bukanlah perjuangan seorang diri, atau perjuangan yang sia-sia. Meskipun masih ada hari-hari di mana aku jatuh dalam pencobaan dan berupaya menyembunyikan apa yang kulakukan, masa-masa rahasia itu menjadi lebih singkat seiring waktu karena aku tahu aku tak bisa menyembunyikannya lama-lama. Semakin segera aku mengakui dosa, semakin lekas pula aku didoakan dan ditarik kembali ke dalam terang.

Tidak semua cerita pengakuan dosa dan perjuangan lepas darinya memiliki proses yang sama, tapi kebutuhan akan pengakuan dosa yang sesuai Alkitab tetap menjadi dasar kita. Sebagai gereja, marilah kita berdoa untuk keberanian dan kerendahan hati agar kita bersedia mengakui dosa-dosa kita. Carilah juga kebijaksanaan dan kepekaan untuk memilah dan memilih, agar kita menjadi orang-orang percaya yang dewasa yang bisa menerima pengakuan dosa orang lain dan saling membangun satu sama lain dalam iman.

Baca Juga:

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.