Posts

Menghadapi Konflik dengan Cara yang Sehat

Kolaborasi WarungSaTeKaMu dan Amy Domingo (@amy_domingo).

Bayangkan hidup tanpa adanya konflik, perbedaan pendapat, dan rasa sakit. Atau bayangkanlah jika salah satunya muncul, kita dapat menghapuskannya dan sepakat untuk tidak sepakat. Betapa bahagia dan menyenangkannya hidup kita!

Sayangnya, karena kita semua adalah makhluk berdosa dan hidup dalam dunia yang kelam, konflik pasti akan kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun konflik selalu membuat hati tidak nyaman, ia dapat membantu kita tumbuh dan menjadi dewasa seperti Kristus jika kita menghadapinya dengan cara yang sehat dan alkitabiah.

Jadi, bagaimana kita dapat merespon konflik tanpa menjelek-jelekkan, memusuhi, atau bersikap pasif-agresif?

Sesulit kedengarannya, kita seharusnya merespon dengan kasih, yang berarti tidak pemarah dan menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5). Firman Allah juga mengingatkan kita untuk menjadi ramah, murah hati, sabar terhadap satu sama lain dan saling mengampuni (Kolose 3:13).

Berikut beberapa hal yang dapat kamu lakukan dan hindari ketika konflik terjadi:

Terkadang lebih mudah untuk menghindar daripada menatap muka mereka yang pernah menyakiti kita. Akibatnya, kita menjauh dari kehidupan mereka dan emosi kita mudah tersulut secara pribadi.

Meskipun sebenarnya tak masalah mengambil waktu sejenak untuk memulihkan luka kita, berlarut-larut dalam kemarahan yang tak terselesaikan ataupun memilih untuk tidak mengampuni dapat merugikan kita. Akibatnya, kita mengikis hubungan yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Kejadian apa pun yang menimpa kita, Firman Allah mengatakan pengampunan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Mungkin sulit (dan hampir tak adil) untuk mengampuni orang yang melukai kita, namun kita harus mengampuni seperti Kristus telah mengampuni kita terlebih dahulu (Efesus 4:32). Dan jika kita melukai seseorang, carilah mereka untuk meminta pengampunan (Matius 5:23-24).

Luka yang mereka tanamkan pada kita sangat dalam. Kemarahan dan kesedihan dalam diri kita meningkat tiap kali mengingat insiden tersebut. Dan sekarang mereka mencoba berbicara dengan kita? Beraninya! Acuhkan saja mereka, biar tahu rasa!

Stonewalling atau mengacuhkan dan menolak berkomunikasi dengan seseorang dapat memberikan kita ilusi sebagai pemegang kontrol. Namun, hal ini tidak meredakan kemarahan dalam hati kita, maupun membiarkan orang lain menjelaskan atau memberi kesempatan bagi mereka untuk minta maaf.

Jika berbicara dengan mereka dalam suasana panasnya konflik sangat sulit, kita dapat dengan sopan memberitahu mereka bahwa kita sedang tidak mood untuk membahas konflik ini sekarang. Namun pastikan pada mereka bahwa kamu akan meluangkan waktu untuk membicarakan hal ini ketika kamu siap. Bagaimana pun, Firman Allah berkata jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah (Amsal 15:1). Jadi akan lebih bijak bagimu untuk membiarkan amarahmu reda terlebih dahulu sebelum berekonsialisasi.

Masalah lain biasanya datang ketika kita bersikukuh mempertahankan kehendak kita; kita tak bersedia mendengarkan pendapat orang lain.

Memaksakan kehendak kita dalam konflik merupakan hal yang sangat buruk. Kita melalaikan orang lain, seakan akan apa yang mereka katakan tak pantas untuk kita pertimbangkan.

Untuk menghindari perilaku seperti ini, kita dapat merefleksikan mengapa kita begitu kukuh untuk melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak kita. Apakah itu ego kita? Roma 12:16 memerintahkan kita untuk sehati dan sepikir dalam hidup bersama dan jangan menganggap diri kita pandai. Kita dapat meminta Tuhan untuk menyingkirkan ego kita dan memberikan kita kerendahan hati yang dibutuhkan untuk menangani masalah dengan rahmat.

Kita mungkin tak sengaja bercanda melewati batas dan menyinggung seorang teman dekat atau teman kerja. Kita berharap mereka dapat menganggap hal tersebut sebagai candaan belaka, namun ternyata mereka mengonfrontasikan hal tersebut sebagai masalah dan kita menjadi defensif. “Itu hanya candaan, tidak perlulah marah karena hal itu,” gerutu kita.

Meskipun dalam hati kita tahu kita salah, kita membuat berbagai alasan untuk menyelamatkan harga diri kita dan malah menuduh mereka terlalu serius.

Memang tidak mengenakkan ditegur jika kita berbuat salah, namun Amsal 28:13 memberanikan kita untuk mengakui dosa kita untuk memperoleh belas kasihan. Misalnya, mencoba melihat dari perspektif mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan meminta maaf.

Kita tak dapat mempercayai apa yang baru saja mereka katakan pada kita. “Betapa tidak sopannya mereka menuduh kita melakukan hal-hal seperti itu!” pikir kita. Maka dari itu, kita mencaci-maki balik mereka, balik menggunakan kata-kata yang pedas, dengki nan jahat, memberikan mereka mencicipi pahitnya pembalasan.

Kedagingan kita mungkin merasa bahagia untuk beberapa waktu, namun kedengkian yang kita keluarkan dapat memicu argumen panas atau menjadi racun bagi relasi kita dengan mereka.

Amsal 18:21 mengatakan hidup dan mati dikuasai lidah, dan meski kadang mencaci maki sangat mudah dilakukan di tengah konflik, kita dapat berdoa meminta Tuhan menuntun lidah kita dan kita untuk berbicara dengan anggun (dan bukan dengki) saat kita marah.

Oh wow. Seseorang baru saja melakukan sesuatu yang sangat tidak adil dan tidak bisa dibenarkan terhadap kita, dan kita terguncang dalam syok, kemarahan dan pengkhianatan. Dan sekarang kita sangat ingin memberitahu yang lain mengenai apa yang terjadi.

Meskipun tidak baik untuk menumpuk perasaan kesal kita, dan mengomel membantu kita menjernihkan pikiran, mari kita lebih berhati-hati dengan perkataan yang keluar dari mulut kita agar kita tidak menyesali perkataan kita di kemudian hari.

Amsal 19:20 memberanikan kita untuk mendengarkan nasihat yang bijak (Amsal 19:20), maka mari bagikan situasi kita (ketika kita sudah tenang dan berefleksi atas situasinya) dengan sekelompok teman dekat yang kita percaya. Hal ini memungkinkan masalah kita untuk tak terdengar oleh orang-orang yang tidak mengetahui kita secara baik dan juga melindungi reputasi orang lain.

Sebuah perdebatan hebat telah mengungkit kesalahan masa lalu satu sama lain, demi menjadi pemenang. “Ingatkah kamu terakhir kali kamu lakukan ini dan itu?” teriakmu.

Melemparkan kesalahan satu sama lain, khususnya untuk melawan mereka, dapat membuat kita merasa superior—untuk sementara. Namun seringkali, kita berakhir menyesali perkataan kita. Saat itu, semuanya sudah terlalu terlambat dan kita tak dapat menariknya kembali.

Mari ingat bahwa kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5), dan kehancuran hanyalah seujung lidah, karena “lidah adalah api…. Ia mengambil tempat di anggota-anggota tubuh” (Yakobus 3:6). Daripada mencari-cari kesalahan masa lalu, kita dapat mencoba menutup mulut kita dan tidak menjadi hambar, berkata dengan rahmat (Kolose 4:6).

“Hai Anon, tak bisa kupercaya kamu mengatakan…..,” dalam momen kemarahan, kita mengetik dan mengunggah pesan kemarahan dalam sosial media untuk mempermalukan orang yang telah menyakiti kita. Dan sekarang, kita menunggu balasan-balasan penuh simpati datang kepada kita.

Ah, pembalasan dendam yang indah! Kedagingan kita mungkin merasa senang selama beberapa waktu atas mengungkapkan kejahatan seseorang yang telah menyakiti kita, namun siapa yang tahu kalau hal ini akan berakibat pada relasi yang tak dapat diperbaiki!

Seperti yang 1 Korintus 13:5 ingatkan kita, kasih tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan sendiri (1 Korintus 13:5). Jadi, daripada secara terbuka mempermalukan orang yang telah menyakiti kita, mengapa tidak melakukannya dengan menuliskannya di buku harian, atau bahkan menuliskan surat mengenai apa yang kalian pikirkan terhadap mereka (yang dapat kita sobek setelahnya) jika hal ini dapat melepaskan amarah kita?

Perkataan tak berperasaan mereka telah melukai kita, tapi daripada berkata jujur dengan mereka, kita memutuskan untuk bersikap pasif agresif. “Kamu harusnnya tahu bagaimana perasaanku,” ketika ditanya bagaimana perasaan kita.

Kita berpikir mereka seharusnya tahu bagaimana perasaan kita. Bagaimana pun, merekalah yang mengejek kita! Tapi kebanyakan orang tidak dapat membaca pikiran kita. Dan mengirimkan pesan penuh teka-teki atau bermain mind games berpotensi untuk membawa lebih banyak kesalahpahaman bahkan menimbulkan kebencian atas satu sama lain.

Amsal 24:26 mengatakan perkataan yang tepat adalah tanda persahabatan. Maka dari itu, akan lebih baik jika kita memberitahu mereka secara jujur (namun bijaksana) mengenai bagaimana mereka melukai kita, daripada berharap mungkin mereka dapat membaca pikiran kita dan mengetahui apa yang mengganggu kita.

Tentu saja, memang lebih mudah untuk membaca mengenai bagaimana menyelesaikan masalah daripada benar-benar menyelesaikannya.

Namun, untungnya kita tidak perlu bergantung pada kekuatan kita sendiri. Tuhan akan memberikan kita hikmat (Yakobus 1:5) untuk menangani situasi ini, dan jika kita terluka, mintalah pada-Nya untuk memulihkan kita. Kita juga dapat meminta Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa konflik bukan selalu situasi “aku melawan mereka”, namun dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menyelesaikan masalah bersama, dan menghasilkan relasi yang lebih kuat.

Jadi, di lain kali kamu menemukan dirimu menghadapi suatu masalah untuk diselesaikan, janganlah bereaksi dengan meledak-ledak, namun pertimbangkan bagaimana merespons situasi ini dengan cara Tuhan!

Ketika Aku Bertengkar dengan Pacarku

ketika-aku-bertengkar-dengan-pacarku

Oleh Edna Ho, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Day My Boyfriend And I Fought

Aku sangat kesal dengan pacarku―sebutlah dia “T”.

Ceritanya diawali ketika orangtuaku mengunjungiku di Kuala Lumpur, Malaysia, untuk menghadiri wisudaku. Saat itu akhir pekan dan aku begitu bersemangat. T tidak pernah bertemu dengan orangtuaku sebelumnya, jadi aku pikir ini adalah kesempatan yang baik baginya untuk bertemu dengan mereka.

Di saat yang sama, T juga harus mempersiapkan pernikahan teman baiknya. Ini adalah temannya yang dia kenal ketika dia menempuh studi di Australia, yang berarti banyak teman-temannya yang sudah lama tak dia jumpai akan datang juga ke Malaysia untuk menghadiri pernikahan teman mereka tersebut. T menjadi sangat bersemangat untuk bertemu mereka.

Orangtuaku ada di Kuala Lumpur selama dua malam. Di malam yang pertama, T memberitahuku bahwa dia ingin pergi bersama teman-temannya dari Australia. Aku dengan senang menyetujuinya karena aku pikir masih ada satu malam lagi bagi kita untuk pergi menemui orangtuaku.

Keesokan harinya adalah hari Minggu. Setelah kebaktian, aku ada sebuah latihan untuk memimpin pujian. Ketika latihan itu selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Aku menerima sebuah pesan dari orangtuaku yang menanyakan apakah kita akan makan malam bersama. Aku bertanya pada T, dan tak kusangka, dia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku tidak enak badan. Aku rasa aku tidak bisa makan malam dengan orangtuamu.”

Aku sangat kecewa, tapi aku berusaha menyembunyikannya. Aku segera membalas pesan ibuku dan berkata bahwa kami tidak akan makan malam bersama mereka. Ibuku membalas, “Mama sangat kecewa.”

T kemudian mengantarkanku dan beberapa rekan yang lain pulang. Di sebuah perempatan lampu merah, dia menengok ke arahku dan bertanya, “Apakah kamu masih akan makan malam dengan orangtuamu?” Aku menggelengkan kepala, karena orangtuaku tinggal di sebuah hotel yang cukup jauh, dan aku tidak punya mobil. T lalu bertanya lagi, “Lalu apakah kamu mau ikut aku makan malam dengan teman-temanku dari Australia?”

Mataku langsung terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dia bisa menolak ajakan makan malam dengan orangtuaku (yang kemungkinan akan jadi mertuanya), mengatakan bahwa dia sedang kurang enak badan, lalu sekarang akan pergi makan malam dengan teman-temannya dari Australia?

Kami bertengkar di dalam mobil, dan T menjadi frustrasi dan marah. Aku lalu mengatakan bahwa ibuku menjadi sangat kecewa. Berusaha untuk memperbaiki keadaan, dia berkata, “Oke, ayo kita temui orangtuamu sekarang.”

“Tapi tadi kamu bilang kamu kurang enak badan?”

“Iya, tapi aku tidak ingin mengecewakan mereka.”

“Sekarang sudah terlambat.”

Aku begitu marah dengannya sampai-sampai aku tidak dapat berkata apa-apa lagi dan langsung keluar dari mobil. Berbagai pikiran melayang di dalam kepalaku. Aku bertanya pada diriku sendiri, Ke mana semua keromantisan, kehangatan, dan perasaan itu pergi? Apakah aku telah salah mengambil keputusan dengan menjadikan dia pacarku? Mengapa dia berlaku seperti ini? Aku pikir dia seharusnya bisa menjadi lebih baik!

Keesokan harinya, kami saling mengirimkan pesan melalui ponsel. Setelah melihat keseluruhan keadaan, aku sadar bahwa aku telah terlalu cepat menghakimi T. Dia tidak berani bertemu orangtuaku karena dia merasa tidak dalam kondisi yang prima dan karena itu dia merasa tidak dapat “mengesankan” mereka. Dia lebih memilih untuk bertemu dengan teman-temannya dari Australia karena dia nyaman dengan mereka dan tidak merasa ada tekanan untuk “mempertunjukkan” dirinya. Selain itu, kami juga sudah memesan tiket untuk mengunjungi kampung halamanku di lain waktu.

Hari berikutnya, T datang ke rumahku dan kami pun baikan. Tuhan kemudian membuatku terkesan melalui ayat-ayat dalam 1 Korintus 13:4-8. Perikop ini tidak asing bagiku, tapi malam itu kata-kata itu terasa begitu menyentuh bagiku pribadi.

Jika T membaca artikel ini, inilah yang aku ingin katakan kepadanya:

Kasih itu sabar – Aku telah belajar untuk menjadi sabar ketika kamu belum menjadi seorang laki-laki yang aku harapkan, namun dalam waktu-Nya Tuhan, kamu terus diubahkan dalam kemuliaan yang semakin besar, dari hari ke hari (2 Korintus 3:18).

Kasih itu murah hati – Kiranya aku dapat menjadi murah hati kepadamu dalam kata-kata dan tindakanku.

Ia tidak cemburu – Aku takkan cemburu ketika aku melihatmu bersama dengan teman-temanmu.

Ia tidak memegahkan diri – Aku takkan membanding-bandingkan siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih lemah di antara kita.

Ia tidak sombong – Aku takkan membanding-bandingkan siapa yang lebih baik di antara kita.

Ia tidak melakukan yang tidak sopan – Ampuni aku jika kata-kataku begitu menyakitkan.

Ia tidak mencari keuntungan diri sendiri – Kiranya aku tidak menjadi seorang yang selalu menuntut.

Ia tidak pemarah – Kiranya aku tidak mudah tersinggung atau sensitif.

Ia tidak menyimpan kesalahan orang lain – Kiranya aku tidak mengungkit-ungkit kesalahan-kesalahan di masa lalu.

Ia menutupi segala sesuatu – Aku ingin melindungimu: martabatmu, hatimu, pikiranmu, dan jiwamu.

Ia percaya segala sesuatu – Aku percaya pada apa yang kamu katakan.

Ia mengharapkan segala sesuatu – Kiranya kita senantiasa bersama-sama mengharapkan yang terbaik.

Ia sabar menanggung segala sesuatu – Kiranya kita tidak menyerah ketika masalah datang.

Kasih tidak berkesudahan – TUHAN tidak pernah gagal. Ketika kita lemah, Dia kuat dan mampu menjaga kita dengan kasih-Nya (2 Korintus 12:9-10).

Romantisme yang kita lihat di drama televisi dan film-film bukanlah kasih yang sejati. Kasih yang sejati adalah mengorbankan dirimu―waktumu, kesukaanmu, dan tenagamu―untuk orang yang kamu kasihi. Kasih yang sejati adalah memilih untuk senantiasa bersama orang yang telah kamu pilih untuk mengambil komitmen bersamanya.

Kiranya aku dapat mengasihi T seperti Yesus mengasihiku dan mengasihinya.

Baca Juga:

5 Tips Mengatasi Rasa Malas Beribadah

Apakah kamu pernah merasa malas beribadah? Aku pernah mengalaminya, dan aku ingin menceritakan pengalamanku tentang apa yang membuatku malas beribadah, dan beberapa tips yang aku rasakan efektif untuk mengusir rasa malasku tersebut.