Posts

Ritual: Bukan Cuma Tentang Praktik, tapi Juga Perspektif

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Teruntuk kita yang sering merasa iman saja sudah cukup, dan bagi mereka yang sering melontarkan kalimat seperti, “Ga perlu lah melakukan ritual dan sakramen gereja, karena Tuhan kan Mahatahu dan mengerti hati kita.” Ritual memang terdengar kuno dan terkesan tidak penting. Namun, apakah se-irelevan itu adanya konsep “ritual” di zaman ini? 

Bicara agama tidak bisa terlepas dari ritual. Jika kita menelisik kembali sejarah kekristenan, pada abad 16 terjadi peristiwa besar yang kita kenal sebagai Reformasi Protestan. Salah satu alasan lahirnya reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther adalah karena dia menentang praktik penjualan surat indulgensi. Umat kala itu dapat membeli koin-koin yang dipercaya dapat mengurangi waktu mereka di dalam masa-masa api penyucian atau purgatorium agar bisa cepat masuk ke surga. Seiring berlalunya waktu, reformasi Protestan pun menghasilkan dinamika baru dalam wajah kekristenan di dunia dengan pemahaman-pemahaman akan ritual yang dilandaskan pada Alkitab. 

Nah, kembali pada premis di paragraf pertama: Jadi, apakah ritual itu penting? Tidak kalah sering orang Kristen Protestan dijuluki sebagai agama yang kurang menerapkan ritual-ritualnya. Beberapa pandangan ekstrem malah menggunakan alasan para reformator untuk meremehkan semua ritual kekristenan. Katanya, “Keselamatan manusia tidak bergantung pada perbuatan atau ritual yang dilakukannya.” Pernyataan ini perlu kita cerna dengan cermat dan rendah hati. Ritual atau sakramen dalam kekristenan itu penting. James K.A. Smith, seorang filsuf dan teolog, menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya terbentuk dari ritual-ritual yang dilakukannya. Setiap pagi, asal melek buka HP saja bisa menjadi sebuah ritual! Oleh sebab itu, ritual yang salah juga dapat merusak diri kita. 

Lalu, mengapa “ritual” itu penting? 

Pertama-tama, Smith menjabarkan konsep ritual itu sendiri dengan ritual dalam kehidupan keseharian kita. Anggap saja, kita ingin menjadi seorang pianis yang handal lalu kita latihan setiap hari. Entah kita latihan dengan hati terpaksa karena disuruh orang tua atau sepenuh hati, latihan demi latihan sedikit banyak akan membentuk keahlian kita dalam bermain piano. Seperti kata pepatah, “practice makes perfect.” Sama halnya dalam kehidupan spiritual kita, ritual (atau latihan) kerohanian yang kita lakukan pada akhirnya akan membentuk dan mengubahkan hati kita, secara sadar atau tidak sadar. Ritual kerohanian itu penting untuk melatih tubuh kita. Tuhan menciptakan manusia dengan wujud atau bentuk, di mana tubuh ini adalah wujudnya. Dengan adanya ritual konkrit (concrete practices) yang dialami oleh indera kita, tubuh ini menjadi media perantara ritual untuk menggerakkan hati atau pikiran kita. Seperti saat kita melakukan perjamuan kudus, saat kita makan roti dan minum anggur, seluruh indera dari fisik tubuh kita merasakan (memegang) langsung wujud ritual tersebut. Ini adalah ritual yang mengingatkan kita akan Tuhan Yesus yang menyerahkan diri-Nya untuk mati di atas kayu salib untuk menebus dosa kita. Saat beberapa gereja mempraktikkan berlutut saat berdoa, secara tidak sadar ritual postur berlutut ini memberikan sinyal pada hati kita untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Banyak ritual-ritual kecil yang dilakukan setiap minggunya di gereja, yang secara tidak sadar, mengajarkan dan mengubahkan hati dan pikiran kita secara perlahan. Oleh sebab itu, perspektifnya harus dibalik. Harus dipahami bahwa Tuhan menetapkan adanya ritual kerohanian dikarenakan itu penting untuk kita, untuk melatih tubuh kita dan mengubah pikiran kita, bukan untuk diri-Nya.

Poin kedua. Letak perbedaan yang menjadikan ritual kerohanian orang Kristen itu penting ada pada penyertaan Roh Kudus. Ritual kerohanian kita disertai oleh kehadiran Roh Kudus. Craig Dykstra menggunakan istilah habitation of the Spirit”, di mana praktik yang konkrit (ritual/sakramen) ini menjadi saluran atau media kuasa Roh Kudus untuk mengulik dan mengubahkan kita. Seperti yang beberapa kali kusebutkan di poin sebelumnya, “secara tidak sadar” memang seringkali kita tidak lagi memaknai arti dari setiap ritual ini, namun bukan berarti Roh Kudus tidak bekerja. Adanya kehadiran kuasa Roh Kudus yang unik untuk momen ritual kerohanian yang dilakukan oleh orang percaya. 

Ada kutipan yang penting: 

“Historic Christian Devotion bequeaths to us rituals and rhythms and routines that are what Craig Dykstra calls “habitations of the Spirit” – concrete practices that are conduits of the power of the Spirit and the transformative grace of God.”

“Devosi Kristiani yang bersejarah mewariskan kepada kita ritual-ritual, ritme-ritme, dan rutinitas yang disebut oleh Craig Dykstra sebagai “habitations of the Spirit” – praktik-praktik konkrit yang menjadi saluran bagi kuasa Roh dan kasih karunia Allah yang transformatif.”

Lalu, bagaimana mendamaikan konsep “ritual” dan “anugerah keselamatan”?

Ritual atau sakramen yang kita lakukan merupakan respons dari anugerah keselamatan yang kita telah dapatkan. Jadi jangan dibalik ya. Bukan karena kita melakukan ritual, maka kita dapat diselamatkan oleh Tuhan; namun karena kita sudah diselamatkan, maka kita ingin melakukan ritual tersebut sebagai tanda ucapan syukur kita kepada Tuhan. Patut diingat bahwa tidak ada pekerjaan baik manusia yang dapat membawa kita ke surga, karena keselamatan yang kita terima murni dari belas kasihan Tuhan kepada umat-Nya. Jika kita mengerti arti ritual dari sudut pandang ini, maka sesungguhnya setiap ritual kerohanian kekristenan adalah reminder bagi orang percaya akan anugerah dan kasih setia Tuhan sepanjang masa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagaimana Menemukan Kepuasan?

Oleh Sarah Calen

Aku menyebut diriku sebagai workaholic, si pecandu kerja. Aku punya kecenderungan untuk bekerja, dan bekerja, lalu bekerja lagi. Aku senang mencapai tujuan dan menyelesaikan tugas-tugasku. Selalu ada buku, bisnis, atau ide kreatif baru yang ingin aku selesaikan. Aku terus berusaha supaya progress-ku maju, kucoba menyelesaikan semua yang aku bisa. 

Tapi, akhir-akhir ini, aku merasa Tuhan mengajakku untuk berlatih merasa puas. Alih-alih bekerja keras untuk mencapai lebih banyak hal, aku merasa tertarik untuk menikmati saat-saat ini, menghargai musim kehidupan yang sekarang sedang terjadi atasku.

Kepuasan dalam masa-masa sulit

Undangan untuk melatih kepuasan diri ini pertama kali datang di tengah-tengah waktu yang tidak nyaman buatku, yang sedang dalam masa pemulihan dari kecanduan kerja. Aku tidak memiliki project dari client (mimpi buruk setiap freelancer) dan tidak ada tanda-tanda akan datangnya tawaran baru. Biasanya, aku akan menghubungi beberapa kontak yang hampir selalu memiliki pekerjaan untukku kerjakan, namun aku merasa Tuhan berkata ‘tidak’ pada ide ini.  

Saat itu aku sungguh tidak puas. Dan, karena aku tidak memiliki pekerjaan untuk mengisi waktu, hari-hariku pun dipenuhi pergumulan. Aku harus mengatasi apa yang membuatku merasa tidak puas. Aku tahu aku punya Tuhan yang mencukupkan segala sesuatu, tapi aku masih ingin lebih!

Aku merasa terjebak di tempat yang tidak aku inginkan, tetapi aku tahu dan yakin bahwa aku berada di tempat yang Tuhan inginkan. Pemahaman ini menolongku untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi situasiku. Aku sadar bahwa aku telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk bekerja dan berjuang. Aku lupa untuk menghargai semua yang aku miliki—kesehatanku, komunitas yang mendukung, kendaraan, tempat tinggal, teman sekamar yang baik—semuanya merupakan jawaban atas doa-doaku di masa lalu. Ketika aku terobsesi untuk selalu meraih lebih, aku sedang mengabaikan berkat-berkat yang ada di depanku.

Ketika aku berlatih untuk merasa puas, bahkan di musim kehidupan yang jauh dari nyaman, aku mulai menjadi lebih bersyukur. Meskipun aku tidak berada di tempat yang aku inginkan, ketika aku lebih fokus pada kebaikan Tuhan daripada apa yang kurang, rasa syukur pun hadir di dalam diriku. Aku pun mulai menghayati Mazmur 34:1, yang berbunyi,

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.” 

Aku tidak pernah mengira bahwa melatih rasa puas akan menghasilkan rasa syukur yang sejati dalam hatiku, tetapi justru inilah cara yang tepat.

Jika kamu sedang merasa kurang, tidak puas, terlepas apa pun kondisimu, aku mendorongmu untuk cobalah melambatkan ritme hidupmu. Ambillah waktu khusus untuk mencari Tuhan dan mintalah Dia untuk menyatakan apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu saat ini. Mintalah Dia untuk menunjukkan bagaimana Dia telah memberkatimu, bahkan di tengah-tengah kesulitan sekalipun. 

Meskipun merasa puas dan bersyukur tidak akan secara ajaib mengubah semua kesusahan kita, namun hal ini dapat membantu kita menemukan sukacita, damai sejahtera, dan pengharapan di tengah-tengah masa-masa sulit tersebut.

Kepuasan dalam kelimpahan

Sekarang, aku berada di fase yang sama sekali berbeda. Rasanya, setelah berbulan-bulan menunggu kepastian, seluruh hidupku berubah dalam waktu satu minggu. Sekarang aku punya lebih banyak pekerjaan, lebih banyak daripada ekspektasiku dulu. Aku membantu teman A mengembangkan bisnis kecilnya yang sedang naik daun, lalu membantu teman B untuk memulai perusahaannya, dan juga bekerjasama dengan teman C untuk merintis usaha yang benar-benar baru. Aku kagum bahwa aku dapat berkontribusi mengubah kehidupan orang lain, tetapi aku sangat sadar akan godaan untuk aku kembali ke gaya hidup yang workaholic.

Berlatih merasa puas tetap jadi tujuanku meskipun aku tidak lagi ada dalam masa-masa sulit. 

Aku tidak menyadari bahwa belajar untuk mempraktikkan rasa puas di saat kekurangan akan mempersiapkanku juga untuk merasa puas di saat kelimpahan. Karena, bahkan ketika segala sesuatunya baik-baik saja, ketidakpuasan masih bisa muncul. Ada daya tarik yang sangat nyata untuk menginginkan lebih; bahkan saat ini, ketika segala sesuatunya baik-baik saja, aku masih bisa menemukan diriku terdorong ke arah ketidakpuasan. 

Pada masa-masa yang nyaman dan tidak kekurangan, aku berpegang kembali ke 1 Timotius 6:6, yang mengatakan, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.” 

Aku belajar bahwa di masa kelimpahan ini, pekerjaan, penghasilan, dan kesempatan yang aku peroleh tidak harus menjadi fokusku. Sebaliknya, aku dapat memilih untuk tetap bersyukur dan puas, bahkan dengan segala sesuatu yang saat ini terjadi di sekitarku, tanpa keinginan untuk melakukan atau memiliki lebih banyak lagi. 

Jika kamu sekarang sedang mengalami masa-masa kelimpahan, entah apa pun profesi atau statusmu, aku mendorongmu untuk ‘berjalan’ lebih lambat . Alih-alih berfokus untuk mendapatkan semua yang kamu inginkan atau impikan, mintalah kepada Tuhan untuk menunjukkan kepadamu apa yang Dia ingin kamu lakukan saat-saat ini. Mintalah Dia untuk menunjukkan kepadamu bagaimana kamu bisa lebih bersyukur dan puas. 

Rasa puas dibutuhkan di setiap musim kehidupan. Ketika kita melambatkan ritme hidup kita, kita akan melihat lebih jelas semua yang sedang dan telah Tuhan lakukan untuk kita. Kita dapat memilih untuk bersyukur, baik ketika segala sesuatunya berantakan, atau ketika segala sesuatunya sempurna. Kepuasan bukanlah sesuatu yang kita latih untuk mendapatkan sesuatu yang lain, tetapi merupakan suatu keuntungan yang besar bagi diri kita sendiri.

Aku tahu bahwa melatih diri merasa puas tidak sekadar berhenti mengingini sesuatu, bisa jadi ini akan jadi topik bahasan yang lebih luas. Jadi inilah beberapa hal praktis yang telah membantuku merasa puas:

a. Aku mencatat doa-doaku

Tindakan sederhana berupa menuliskan doa-doaku, termasuk apa yang aku syukuri, adalah pengingat nyata akan pemeliharaan Tuhan yang dapat aku lakukan secara teratur.

b. Menghabiskan waktu di alam

Bagiku, berjalan-jalan setiap hari di alam membantuku mengingat betapa agungnya Tuhan dan betapa kerdilnya aku. Keindahan alam mengingatkanku akan kebaikan Tuhan.

d. Mengurangi penggunaan media sosial

Meskipun media sosial dapat menjadi alat yang luar biasa untuk terhubung dengan orang lain, aku tahu bahwa medsos juga bisa meniupkan bara ketidakpuasan dalam diriku. Bijaksana menggunakan medsos menolongku untuk tetap fokus pada hal yang paling penting.

e. Berbagi cerita secara jujur dengan orang-orang yang dipercaya

Segera setelah aku tahu bahwa kepuasan adalah kata yang tepat untukku saat ini, aku menceritakannya kepada beberapa teman. Pada saat-saat ketika ketidakpuasan mulai muncul lagi, aku bisa menghubungi mereka dan mengobrol tentang ini

Artikel ini diterjemahkan dari Reclaim Today

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Lewat Hal-hal Sederhana yang Sering Tak Kuhiraukan, Inilah Cara Tuhan Mengasihiku

Oleh Egaria Florenci, Tomohon

Aku sering bertanya, apakah aku dikasihi, apakah ada yang peduli padaku, adakah yang menyukaiku? Pertanyaan ini muncul, ketika sesuatu yang aku harapkan tidak sesuai dengan apa yang sedang terjadi. Sulit melihat bahwa segala peristiwa adalah cara Tuhan mengasihiku.

Suatu ketika, di ibadah pagi bersama siswa, kami mendengarkan salah satu lagu Kidung Jemaat yang berjudul “Seindah Siang Disinari Terang”. Berikut ini adalah lirik yang menggetarkan hatiku:

Seindah siang disinari terang

cara Tuhan mengasihiku;

seindah petang dengan angin sejuk

cara Tuhan mengasihiku.

Ketika menyanyikannya, menyadarkanku bahwa hal-hal sederhana yang setiap hari kulihat dan rasakan adalah cara Tuhan mengasihiku. Lalu, mengapa masih sering ragu dan bertanya-tanya? Sejak hari itu, aku mulai menghitung apa saja cara Tuhan mengasihiku setiap hari, dan ternyata tidak terhitung banyaknya. Namun, di bawah ini akan dipaparkan beberapa cara Tuhan yang membuat hatiku sangat takjub.

1. Keluargaku 

Tidak ada keluarga yang sempurna. Itu menjadi penguatan bagiku, ketika kondisi keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Orang tuaku bukan sosok orang tua yang memiliki cara parenting yang baik. Mereka hanya 2 orang lulusan SMA dan menikah di usia muda. Sangat banyak kekurangan, tetapi di dalam ketidaksempurnaan mereka, Tuhan telah beranugerah dengan luar biasa. Kesulitan demi kesulitan telah mereka lalui bersama. Sering merasa tidak cocok satu sama lain, tetapi kasih Tuhan yang tinggal dalam hati mereka terus menjadi kekuatan untuk bertahan dan menunjukkan kasih yang tulus kepadaku dan adik-adikku. Ketika sore hari yang melelahkan dan menekan, merekalah yang kucari. Tidak banyak nasihat dan penguatan yang bisa mereka berikan, tetapi bercerita dan mendengarkan lelucon mereka sudah cukup menghiburku. Aku percaya, merekalah perpanjangan tangan Tuhan bagiku, dan merekalah cara Tuhan mengasihiku. Tuhan sangat so sweet

2. Rekan Kerjaku

Aku bukanlah orang yang menyenangkan, aku juga bukan orang yang royal dan sangat sering bersikap egois dan apatis, terkadang juga sangat rendah diri. Rekan kerjaku sangat tahu karakterku yang buruk, tetapi mereka dengan setia menemaniku, menegurku dan meneguhkan hatiku ketika mulai goyah. Mereka menerimaku sebagaimana mestinya, tidak membiarkan aku menjadi orang yang buruk tetapi menolong menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari. Ada rekan yang berbagi video TikTok yang lucu setiap hari, ada rekan yang merekomendasikan buku-buku yang baik untuk dibaca, ada rekan yang sangat suka bercerita tentang pergumulannya dan mendengarkan pergumulanku. Masih banyak rekan lainnya dan itulah cara Tuhan mengasihiku, sekali lagi Tuhan sangat so sweet!

3. Pekerjaanku

Yakobus 3:1, “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.” Pemahamanku mengenai bagian ini, bahwa seorang guru dituntut banyak, jangan begini, jangan begitu, harus jaga perilaku, karena kabarnya guru itu digugu dan ditiru. Ini menjadi penjaga bagiku untuk terus menjaga kekudusan dalam tindakan, pikiran, dan perkataan. Pekerjaanku sebagai guru menjadi cara Tuhan membentukku menjadi pribadi yang dapat diteladani. Lagi-lagi, sungguh manis cara Tuhan mengasihiku.

4. Siswa-siswaku

Siswa yang dipercayakan kepadaku sungguh unik dan luar biasa. Banyak cerita hidup mereka membuat terharu dan mengingatkan betapa besar kasih Tuhan bagi kami, manusia yang berdosa. Tertawa, marah, bermalas-malasan, tawar-menawar, dan menangis itu menjadi kebiasaan mereka di kelas. Kelihatannya tidak banyak yang menyenangkan, tetapi itu juga membentukku menjadi pribadi yang penuh kasih kepada setiap orang, baik atau tidak keadaannya. Ini cara Tuhan menyadarkanku, bahwa pribadiku juga tidak sempurna dan kadang menyebalkan, tetapi Tuhan mengasihi tanpa syarat. Wah, sungguh indah kasih Tuhan!

Jika aku lanjutkan daftarnya, sepertinya akan sangat panjang. Empat hal di atas hanya menjadi perwakilan saja. Memang ada orang-orang yang membuat hariku jadi tidak menyenangkan. Sering juga keluarga adalah orang yang kita hindari. Rekan kerja membuat suasana tempat kerja tidak menyenangkan dan pekerjaan menjadi sangat berat. Pekerjaan juga bukan hal yang menyenangkan, membuat kita stres dan putus asa. Apalagi siswa atau bagi orang yang bukan guru, mereka dianggap sebagai sekadar client. Mereka bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan dan merusak hari kita. Namun, ketika kita memandangnya dengan cara yang berbeda, ternyata mereka adalah cara Tuhan mengasihi kita. Kehadiran mereka membentuk dan mengajarkan kita tentang kasih yang tak bersyarat.

Setiap kita punya daftarnya masing-masing. Yang terpenting adalah cara kita memandang segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita. Menurutku, ketika kita menganggap itu sebagai beban, maka pasti itu akan membebani kita. Tetapi, ketika kita menganggapnya berkat, maka itu akan menjadi berkat bagi kita. Mari hitung cara Tuhan mengasihi kita setiap hari!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Merengkuh Kegagalan untuk Berjalan Lebih Jauh di dalam Anugerah

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Disclaimer: Jangan takut untuk melanjutkan studi setelah membaca sharing ini.

Sebagai anak sulung, aku dibentuk dengan ekspektasi bahwa aku adalah sosok panutan bagi kedua adikku. Ekspektasi ini tumbuh sejak aku masih berada di bangku SD, tepatnya sejak mengenal istilah “ranking” atau peringkat. Ada yang sama denganku? Online toss dulu.

Walaupun Papa tidak terlalu memaksaku meraih peringkat terbaik, Mama mendorongku dengan keras agar setidaknya aku bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelas. Tidak heran jika mamaku sangat kecewa karena peringkat keempatku di semester satu kelas 2 SD terjun bebas ke peringkat ke-11 atau ke-12 di semester berikutnya, ditambah lagi wali kelasku itu berkata, “Tabita sebenarnya bisa, kok (lebih dari ini).” Sejak saat itu, mamaku juga mulai lebih serius dalam mendampingiku belajar dan mencari tahu siapa saja teman-teman sekelasku yang berpotensi masuk ke peringkat sepuluh besar. Kalau teman-teman pernah melihat video meme yang mencontohkan omelan bernada tinggi dari seorang ibu karena anaknya tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat, nah… aku pun mengalaminya.

Tahun berganti tahun, jenjang demi jenjang, aku berusaha meraih dan mempertahankan posisiku di dalam peringkat sepuluh besar itu. Aku pernah satu kali masuk peringkat lima besar di semester satu saat kelas 1 SMP, dan aku sangat senang karena “kompetisi” bersama anak-anak yang excel di dalamnya sangat sengit-tetapi-sehat. Namun, “kompetisi” itu makin menjadi-jadi karena aku terlempar di semester berikutnya—dan hanya selisih beberapa poin dari murid di peringkat kesepuluh. Untuk mengembalikan posisiku ke dalam peringkat sepuluh besar sudah jadi hal yang mustahil buatku saat itu, apalagi selama tiga tahun, aku berada di kelas yang sama dengan mereka. Okelah, pikirku, nanti di SMA aku akan berusaha masuk ke peringkat kembali.

Tanpa disadari, kedua momen itu menjadi salah satu konteks yang mendorongku berprinsip bahwa aku tidak boleh gagal dalam apa pun—khususnya studi. Bagaimana tidak? Dengan penampilan seadanya dan perasaan minder karena tidak bisa merawat diri kala itu, hanya prestasi akademik yang bisa aku perjuangkan semaksimal mungkin: mendaftar ke SMA Negeri jalur akselerasi (yang ternyata tertolak, tetapi bisa diterima di jalur reguler), mengambil jalur SNMPTN untuk pendaftaran ke jurusan psikologi di salah satu PTN ternama dan mempertahankan predikat cumlaude di sana, hingga studi magister teologi konsentrasi konseling sekali daftar. Semuanya terlihat lancar dan ideal, ya?

Ternyata kenyataan berkata lain.

Pada akhir masa studi sebagai mahasiswi magister teologi itu, aku mengalami dua kegagalan yang berdampak pada keterlambatan kelulusanku. Sebelumnya, aku berekspektasi bisa lulus kurang dari tiga tahun (karena tahun pertama adalah tahun matrikulasi), tetapi nyatanya aku membutuhkan hampir empat tahun untuk menyelesaikan studiku.

Pertama, aku gagal dalam satu mata kuliah prasyarat. Kalau aku fail, otomatis aku tidak bisa melanjutkannya ke mata kuliah berikutnya yang juga jadi mata kuliah terakhir buatku. Mata kuliah ini pula menjadi gambaran apakah aku dianggap layak untuk lulus dari kelas itu sebagai konselor. Kegagalan itu membuatku beranggapan bahwa aku salah menanggapi panggilan Tuhan sebagai konselor. Iya, aku merasa bahwa Tuhan memanggilku menjadi konselor sejak kelas 3 SMP. Dan selama studi di SMA, S1, hingga menuju akhir S2, aku jarang mendapatkan remedial class. Kalau memang dipanggil jadi konselor, bukankah seharusnya aku bisa melalui setiap kelas tanpa kegagalan? Okelah, kelas ini akan berlalu, kok. Ngulangnya cukup sekali ini aja. Yang lain juga ada yang pernah ngulang. Aku menggunakan pengalaman orang lain untuk “membenarkan” kekecewaan atas diri sendiri yang gagal itu, dan yah aku lulus kelas tersebut.

Kedua—dan lebih parah—adalah aku gagal sidang tesis dua kali. Yang pertama adalah karena aku pernah mundur dari jadwal sidang yang seharusnya (berdasarkan peraturan di konsentrasi kami, ini termasuk gagal), yang kedua… aku gagal di hari-H. Saking fatalnya, aku makin yakin bahwa tesis itu bukan milikku; tesis itu milik para dosen yang berintervensi di dalamnya, dan aku hanyalah tukang bikin tesis sesuai keinginan mereka. Bahkan sampai proses revisinya pun aku masih belum bisa menerima bahwa tesisku gagal—dan harus revisi mayor. Bagaimana aku bisa memperbaiki tesis itu kalau aku sendiri tidak paham dengan apa yang aku tuliskan di dalamnya?

Kedua kegagalan itu membuatku merasa sudah mengecewakan keluarga, pasangan, maupun teman-teman yang mendukungku, dan seolah-olah “membuktikan” bahwa kuliah di tempat itu adalah sebuah kesalahan karena sulit untuk lulus. Pengalaman tersebut juga menyebabkan berbagai keraguan tentang panggilan hidupku, seperti, “Mungkinkah aku terlalu percaya diri untuk mengklaim ‘jadi konselor’ sebagai panggilan yang Tuhan percayakan untukku?”

Syukur kepada Allah: justru di masa-masa sulit itulah aku belajar bersama Tuhan untuk merengkuh kegagalan sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari perjalanan hidup. Ketika mendampingiku di awal pengerjaan revisi, salah satu dosen pembimbingku sempat berkata, “Kan, enggak mau, ya, kalau kita sudah mengerjakan tesis susah-susah, tapi dapatnya B- saja.” Bahkan ada pula dosen pembimbing lainnya yang berujar, “Waktu Tabita gagal sidang itu, malemnya saya sampai enggak bisa tidur. Kalau Tabita gagal, Tabita enggak gagal sendirian. Saya juga gagal, karena Tabita, kan, bikin tesisnya sesuai arahan saya.” Namun, yang paling memantapkan hatiku untuk memperbaiki tesis itu adalah pernyataan konselorku, “Tesismu itu milikmu. Kamu yang harus jauh lebih paham daripada para dosen, karena yang bikin, kan, kamu. Kalau kamu enggak paham, bagaimana dengan mereka yang mendengarkan presentasimu?”

Singkat cerita, dalam waktu tiga bulan sejak kegagalan sidang tesis, akhirnya aku bisa kembali mempresentasikannya dengan cara pandang yang baru. Tuhan juga memakai seorang teman untuk meneguhkan hatiku menjelang sidang: dia memberikan beberapa cemilan dengan tulisan, “Tesismu penting, Tabita. Hasil penelitianmu berguna.” Sidang tesis itu pun berbuah manis: aku lulus dengan materi yang lebih aku kuasai dibandingkan sebelumnya, dan aku sadar bahwa setiap proses pengerjaan tesis pun tidak terlepas dari anugerah Tuhan yang menopang.

Kelihatannya semua berakhir dengan bahagia, ya?

Nyatanya, masih ada kegagalan baru yang Tuhan izinkan hadir dalam hari-hari terakhirku sebagai mahasiswi: aku gagal apply kerja di sebuah sekolah yang aku ekspektasikan akan menerimaku. Namun, berbeda dari sebelumnya, aku telah belajar bahwa ada kalanya kegagalan diperlukan untuk mensyukuri apa yang sedang diperjuangkan. Selain itu, aku diingatkan oleh momen ketika seorang dosen lain mendoakanku dalam proses apply kerja, “Jika Tuhan berkenan agar Tabita berkarya di sekolah ini, tolong bukakan semua jalan. Jika tidak, tolong tutup semua jalan dan arahkan dirinya ke sekolah lain yang Tuhan kehendaki.” Doa itu terjawab, walau ternyata tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan… sampai akhirnya, aku mencoba untuk mendaftar ke sekolah lain, dan akhirnya diterima di sana untuk mulai melayani sebagai guru Bimbingan Konseling per semester depan.

Mungkin teman-teman yang membaca sharing ini menemukan bahwa kata “aku” dan “-ku” jauh lebih banyak dibandingkan kata “Tuhan”, “Allah”, dan “-Nya”. Yah… bisa dibilang, karena takut gagal lagi, aku ingin mengendalikan semua yang bisa aku lakukan. Saking takut gagal, aku jadi sering overthinking—padahal apa yang di pikiranku itu belum tentu terjadi. Bahkan ada kalanya aku ragu-ragu bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik, toh Dia tidak terlihat. Bagaimana aku bisa percaya sepenuhnya pada Tuhan yang tidak tampak secara fisik? Namun, di situlah aku belajar untuk beriman kepada-Nya sebagai “dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.” (Ibrani 11:1 TB2).

Walaupun memahami keraguanku, Allah pun tahu bahwa pengenalanku terhadap diriku dan diri-Nya tidak boleh buntu. Belakangan, aku baru menyadari kalau keberhasilan yang dicapai justru bisa menjadi bibit kesombongan kalau tidak kuwaspadai. Aku juga disadarkan bahwa ujian sesungguhnya bukan hanya tentang menuntaskan kelas dan tugas akhir atau mengikuti seleksi wawancara kerja, melainkan juga—bersama Tuhan—menghadapi dan berdamai dengan diri sendiri yang rapuh. Aku bersyukur karena menemukan fakta itu sebelum benar-benar lulus. Selain itu, aku juga belajar mengenal Tuhan yang menyukai paradoks. Iya, mungkin tanpa kegagalan-kegagalan itu, aku akan sulit berempati kepada teman-temanku yang bergumul dalam penulisan tugas akhir mereka. Kalau jalan studiku mulus bagaikan jalan tol, aku akan lebih percaya diri mengatakan bahwa anggapan kuliah di kampusku itu tidaklah sesulit asumsi kebanyakan orang.

Berkaca pada pengalaman di atas, aku jadi teringat pada ungkapan John Calvin, seorang tokoh reformator gereja yang menulis buku berjudul The Institutes:

“Without knowledge of self, there is no knowledge of God.

Without knowledge of God, there is no knowledge of self.”1

Tanpa mengenal diri sendiri, aku tidak akan bisa mengenal Allah—begitu pula sebaliknya. Melalui relasi pribadi dengan Allah, aku menemukan harta berharga dari pengalaman merengkuh kegagalan itu, yaitu bahwa Dia adalah Bapa yang selalu beserta—bahkan saat sang anak ini mengambil keputusan yang keliru dan menyalahkan-Nya. Allah yang sama jugalah sumber strength unknown yang selalu menguatkanku dengan cara-Nya untuk berjalan kembali ketika aku merasa sudah menyerah. Jika begitu besar kasih Allah kepadaku, mengapa aku masih ingin menyia-nyiakannya—bukannya makin berpaut teguh pada-Nya?

Teman-teman, mungkin perjalanan hidup kita tidaklah semudah yang dialami orang-orang yang kita kenal. Ada kalanya kita melakukan kebodohan-kebodohan atas pilihan yang didasarkan pada survival instincts tanpa melibatkan Allah di dalam-Nya. Bahkan mungkin kita berulang kali mengasihani diri atas realitas pahit yang terjadi dan sudah tidak ingin memperbaiki diri—yang sebenarnya masih bisa kita lakukan. Namun, anugerah dan belas kasihan Allah melampaui kesalahan yang kita lakukan. Walaupun Dia adalah Sang Mahatahu yang melihat dosa-dosa kita, Allah berkenan mengampuni kita. Tidak berhenti di sana, Allah juga bersedia melibatkan kita di dalam narasi keselamatan-Nya—yang bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi setiap orang yang Allah pilih untuk menerimanya.

Selain membebaskan kita dari dosa dan kekhawatiran kita akan the unknown, Allah juga mengundang kita untuk menghadapi the unknown bersama-Nya. Kekhawatiran itu memang tidak serta-merta hilang bahkan setelah kita belajar teologi dan mendengarkan banyak khotbah. Namun, Allah berkenan menyambut kita yang khawatir; Dia ingin agar kita tidak pasrah dalam menghadapi the unknown, tetapi ada sebuah tindakan iman yang Dia kehendaki, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Di sini, kehadiran Roh Kudus dan support system sangat penting dalam menolong kita memahami rencana Allah yang misterius itu, agar kita tidak berjalan sendirian menyongsongnya.

Kiranya bersama Allah Tritunggal, kita dimampukan untuk berjalan di dalam anugerah-Nya, karena ada strength unknown yang disediakan-Nya, dan belajar beriman bahwa Kristuslah—Sang Batu Penjuru itu—landasan iman kita.

Menemukan Berkat Terselubung

Oleh Yulinar Bangun, Manado

Keluargaku adalah keluarga petani sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil di daerah yang disebut Tanah Karo, Sumatera Utara. Meski sederhana, sampai tahun lalu aku selalu punya alasan untuk bersyukur.

Bapakku berusia 61 tahun dan mamak 53 tahun. Di usia yang melampaui setengah abad itu mereka sangat sehat. Tidak pernah ke rumah sakit. Inilah hal pertama yang kusyukuri. Melihat mereka yang sehat dan bersukacita membuatku merasa jadi orang yang paling diberkati. 

Namun, aku tiba di hari ketika aku mulai meragukan berkat itu. Di awal bulan Oktober tahun lalu aku mendapat kabar kalau Bapak masuk rumah sakit di Berastagi. Setelah beberapa hari, dia dirujuk ke rumah sakit di Medan. Berawal dari alergi kulit, kemudian salah obat, dan berujung komplikasi, begitu kata dokternya.

Masa-masa bapak sakit terasa seperti masa tersuram dalam hidupku. Bapak dan mamak kadang menahan informasi karena tak ingin anaknya khawatir di tanah rantau. Maksud baik mereka itu malah membuatku frustrasi tak bisa melakukan apa-apa dari jauh.

Di masa-masa itu aku sesekali berpikir, apakah aku masih bisa menemukan alasan untuk bersyukur? Kesehatan yang selama ini aku banggakan, Tuhan tarik begitu saja dalam sekejap. Tampaknya, seperti tidak ada hal baik yang bisa aku syukuri.

Aku kecewa dan marah, tapi bukan berarti aku langsung meninggalkan Tuhan. Di malam-malam yang sunyi di kamar kos yang sempit aku masih berdoa. Bedanya, dulu aku berdoa dengan ucapan syukur, kali ini aku mempertanyakan banyak hal. 

Suatu malam aku teringat lagu Blessings oleh Laura Story. Aku sudah mendengar lagu ini beberapa kali sebelumnya, tapi malam itu rasanya berbeda, seakan-akan lagu itu diciptakan untukku. Berikut penggalan liriknya,

Cause what if Your blessings come through raindrops
What if Your healing comes through tears
What if a thousand sleepless nights are what it takes to know You’re near
What if trials of this life are Your mercies in disguise

Perlahan aku menyadari, di malam-malam yang tampaknya suram itu, malam di mana aku mempertanyakan banyak hal, justru di situlah aku merasa paling intim dengan Tuhan. I felt God. Aku seperti anak kecil yang mengadu dan menangis di pelukan ayahnya.

Aku tidak serta merta langsung menemukan hal untuk disyukuri, namun aku masih punya keyakinan kalau Tuhan tidak akan lepas tangan. 

Hampir sebulan Bapak di rumah sakit, dan setiap hari kami berdoa bersama di malam dan pagi sebelum aku berangkat kerja. Dan kadang, bukannya mendoakan diri sendiri, Bapak justru mendoakanku agar tidak khawatir dan bisa bekerja dengan baik. Ah, dasar orang tua, kenapa mereka tidak bisa bersikap egois sesekali.

Karena hampir setiap hari menelepon, aku jadi tahu perkembangan mereka. Bapak cerita kalau Mamak tidak pernah marah atau mengeluh, seperti kebiasaannya kalau di rumah. Mamak cerita kalau orang-orang di kampung bergotong-royong mengurusi ladang mereka, bahkan tidak mau dibayar. Kadang mereka juga pamer mendapat kiriman makanan yang tak habis-habis. Aku juga cerita kalau beberapa rekan kerjaku menyadari kegalauanku dan mereka berdoa untukku.

Namun, di antara semua cerita itu, ada satu cerita yang paling menghangatkan hatiku. Mamak akhirnya berdamai dengan lukanya di masa lalu. Ia bercerita dengan berseri-seri, bagaimana tanteku menjaga adik-adikku di kampung dan sering kali mencoba menghibur Mamak. Mamak di usianya yang 53 tahun akhirnya bisa mengampuni saudara perempuannya, dan ia menemukan bahwa mereka sebenarnya saling mengasihi, namun dengan cara yang berbeda.

**

Setelah melewati waktu yang cukup panjang untuk merenung, aku akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaanku. Apakah aku masih tetap bersyukur untuk kesehatan? Tentu, aku masih dan akan terus bersyukur untuk itu. Aku bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan untuk menikmati kesehatan di waktu ini dan waktu yang akan datang.

Tapi selain itu, aku menemukan alasan lain yang akan selalu aku syukuri. Aku bersyukur Tuhan menempatkan orang-orang baik di sekitarku, yang mengasihi diriku dan keluargaku. Sungguh, sepertinya tidak ada alasan lagi untukku meragukan kasih-Nya.

Saat ini Bapak sudah sembuh, walau belum total. Ia masih harus mengonsumsi obat dan perlu istirahat. 

Aku bersyukur, aku dan keluargaku bisa melewati masa itu. Terlebih aku bersyukur, Tuhan memberikan kepekaan untuk melihat berkat-berkat terselubung di masa sulit itu.

Seperti penutup dari lagu Blessings milik Laura Story, 

What if the rain, the storms, the hardest nights,
Are Your mercies in disguise?

‘Kesombongan’ Terselubung di Balik Bersyukur

Oleh Paramytha Magdalena

Suatu ketika aku mendengar seseorang berkata, “Aku bersyukur karena keadaanku tidak seperti si A atau si B. Aku bersyukur masih diberikan kesehatan, setidaknya nggak pernah mengalami sakit yang separah itu.”

Di media sosial pun serupa. Di postingan yang bernada penderitaan dan pilu, beberapa warganet mengetikkan, “Ya ampun, lihat postingan ini membuatku jadi lebih banyak bersyukur karena aku masih berkecukupan dan tidak kekurangan.”

Kupikir cuma orang lain saja yang bersyukur dengan cara tersebut, sampai suatu ketika aku dan suamiku sedang berkendara di atas sepeda motor. Di sudut jalan, tampak seorang ibu dan anak yang sedang berjalan kaki sambil meminta-minta di tengah cuaca yang panas. Tanpa sadar, aku berkata, “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kecukupan sampai sekarang.” Ucapan syukur sejenis ini pun rupanya terucap lagi ketika aku melihat salah satu anggota dari keluarga besarku mengalami kekacauan rumah tangga yang mengakibatkan anak mereka terlantar secara finansial. “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kerukunan.”

Setelah reflek ucapan itu keluar dari mulutku, aku terdiam sejenak. Aku merasa ada yang salah di balik ungkapan syukur itu.

Secara sekilas, mungkin perkara ucapan syukur ini bukan menjadi masalah yang berarti. Bukankah sudah sewajarnya orang bersyukur atau berterima kasih pada Tuhan? Dan bukankah pula bersyukur itu hal yang baik dan positif untuk dilakukan?

Namun, tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bisa saja hasilnya pun jadi melenceng. Merenungkan pertanyaan itu, aku mendapat teguran keras dari firman Tuhan. Ada banyak nats yang mengatakan tentang ucapan syukur. Salah satunya dari 1 Tesalonika 5:18 yang berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Kita tidak diminta mengucap syukur karena suatu hal, semisal karena kita melihat orang lain lebih kurang beruntung daripada kita. Kita diminta mengucap syukur dalam segala hal. Artinya, kita mengucap syukur secara otentik, suatu ucapan syukur yang seharusnya datang dari hati atas setiap berkat, sekecil apa pun itu yang diberikan Tuhan bagi kita.

Terkadang kita tak mampu menyelami misteri kasih Ilahi. Allah, dalam hikmat dan kebijaksanaan-Nya pastilah memberikan berkat dan mengizinkan tantangan yang sesuai dengan kemampuan anak-anak-Nya. Adalah hal yang ganjil apabila kita menjadikan penderitaan orang lain sebagai alasan kita bersyukur, sebab itu justru malah melahirkan kontradiksi: di satu sisi kita seolah ‘mendekat’ pada Tuhan, tapi di sisi yang lain itu menjauhkan kita dari sesama.

Kuakui bahwa motivasiku ketika mengucap syukur tidaklah tepat, dan syukur kepada Allah atas teguran yang Dia berikan bagiku. Kekurangan orang lain tidak seharusnya kita jadikan bahan perbandingan, tetapi dengan mengikuti teladan Kristus, kita bisa menyelidiki bagian apakah yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka?

Kita mengucap syukur bukan karena hidup kita lebih baik daripada orang lain.

Kita mengucap syukur karena Allah itu baik. Pribadi-Nya selalu hadir dan ada bagi kita.

Kita mengucap syukur karena kita ada oleh perkenanan-Nya.

Mengucap syukur yang berpusat pada Allah, itulah yang dikehendaki-Nya.

Aku pun mulai belajar bersyukur dengan cara yang tepat, meskipun masih jatuh dan bangun.

Baca Juga:

Bukan dengan Amarah, Ini Seharusnya Cara Kita Menghadapi Komentar Jahat di Media Sosial

Komentar-komentar jahat yang dilontarkan di medsos seringkali membuat kita tergoda ingin membalas atau mengumpat. Namun, itu bukanlah cara yang paling tepat untuk menanggapinya.

Resolusiku: Belajar Mengapresiasi Diri

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Novita, terima kasih sudah tampil perkasa di dalam menjalani dan mengakhiri tahun 2019.
Terima kasih boleh tetap kuat dan teguh dalam menjalani setiap peran yang Dia percayakan.
Terima kasih sudah mau berjuang melawan kebobrokan-kebobrokanmu yang terus terulang.
Terima kasih Novita, sampai bertemu di tahun 2020.
Tetaplah menjadi Novita yang mau berjuang!

Pernyataan di atas adalah pernyataan yang sering aku katakan kepada diriku akhir-akhir ini. Mungkin bagi beberapa orang pernyataan di atas seperti sedang membanggakan diri sendiri, merasa bahwa apa yang telah terjadi di 2019 atas hidupku karena kekuatanku sendiri.

Tapi, tentu bukan itu yang dimaksud. Menyatakan hal-hal di atas tujuannya bukan untuk membanggakan diriku yang ada bisa tiba sampai di titik ini. Bagiku sendiri ungkapan di atas tentunya bukan hal yang mudah untuk aku katakan di awal. Melihat perjalanan selama 2019, banyak hal yang telah gagal aku lakukan untuk menyenangkan hati-Nya, banyak pergumulan yang aku coba selesaikan sendiri, banyak dosa yang aku toleransi. Sungguh sebenarnya di tahun 2019 seperti tahun yang sangat berat bagiku.

Aku berani untuk menyatakan hal-hal di atas ketika Tuhan menyapaku lewat saat teduhku di suatu pagi.

“Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1 Korintus 6:20).

Di buku renungan itu disampaikan, mungkin saat ini aku merasa hidupku penuh cela, lapuk, tua, atau tidak berguna lagi. Tapi, Allah tetap memandang diriku bernilai. Sang Pencipta alam semesta ini menginginkanku—bukan karena pikiran, tubuh, pakaian, pencapaian, kepandaian, atau kepribadianku, melainkan karena diriku sendiri. Dia rela menempuh apa pun dan membayar harga berapa pun untuk mendapatkanku.

Tuhan sungguh telah melakukannya. Dari surga, Dia datang ke dunia untuk menebusku dengan darah-Nya sendiri (Roma 5:6,8-9). Sedemikian besar keinginan-Nya untuk memilikiku. Aku sungguh berharga di mata-Nya, dan Dia mengasihiku.

Saat teduhku pagi itu menyapaku sangat tajam dan meneguhkan aku kembali, bahwa aku sangat berharga bagi-Nya. Mungkin saat itu banyak hal yang aku lakukan mendukakan hati-Nya, tetapi Dia tidak membiarkan aku begitu saja. Dia tetap menganggap aku berharga di mata-Nya, Dia tetap mengasihiku. Itulah yang membuat aku pun harus mengasihi diriku.

Saat itu hal yang aku pilih untuk mengasihi diriku adalah dengan mengatakan hal-hal di awal tadi. Bagiku, dengan menyatakannya aku sedang mengapresiasi diriku sendiri. Sederhana dan menguatkan.

Dengan mengapresiasi diriku yang telah dibayar lunas dan berharga di mata-Nya, itu memudahkanku untuk mengucap syukur kepada Allah atas orang-orang yang sudah hadir di dalam kehidupanku.

Orang-orang yang hadir di dalam kehidupanku tentu sangat beragam dan mereka pun sama berharganya di mata Allah. Apa pun latar belakang, kondisi, karakter mereka, mereka punya porsinya masing-masing memberi peran di dalam hidupku. Sehingga ketika aku pun dikecewakan oleh mereka, aku juga harus sadar bahwa aku pun pernah mengecewakan mereka bahkan Allah sendiri.

Sahabat, memulai tahun yang baru ini, sudahkah kamu mengapresiasi dirimu yang sudah dimampukan Tuhan untuk tangguh melewati tahun yang telah berlalu? Atau kamu sedang sibuk menyalahkan dirimu untuk kesalahan-kesalahan yang telah kamu lakukan di tahun yang lalu?

Mari bersama memilih untuk mengapresiasi diri sendiri sebagai rasa ungkapan syukur kita kepada Allah sehingga kita juga dimampukan untuk mengapresiasi orang disekitar kita.

“Engkau berharga di mata-Ku, Aku menghargai dan mengasihi engkau” (Yesaya 43:4a, BIS).

Baca Juga:

Bukan Resolusi Kembang Api

Semangat memulai sesuatu yang baru sering mirip kembang api. Heboh dan meriah, tapi cuma sesaat. Lantas, bagaimana supaya resolusi tahun baru bisa terlaksana?

Sudahkah Kamu Merasa Cukup?

Hari ke-26 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:10-12

4:10 Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan bagimu.

4:11 Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.

4:12 Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.

Ketika anakku mulai belajar berkomunikasi, aku mengajarinya bahasa isyarat untuk menolongnya menyampaikan kebutuhannya. Ada satu isyarat yang berarti “minta lagi”. Kalau ia menggunakan isyarat ini, artinya ia mau makan lebih banyak, dan aku pun memberinya.

Suatu ketika, ia tidak mendapatkan apa yang ia mau. Jika makanannya telah habis, aku akan membalasnya dengan isyarat, “tidak ada.” Awalnya, ia tidak mengerti mengapa aku melakukan hal itu. Ia menangis dan minta, “Lagi! Lagi! Lagi!” Dan aku harus menunjukkan piring kosong sebagai buktinya.

Sebagai orang dewasa, kita suka berpikir kalau kita adalah orang yang rasional. Tapi, seringkali kita cenderung menyikapi masalah kehidupan seperti apa yang anakku lakukan. Kita merasa kurang secara finansial, atau merasa tak sanggup menghadapi tantangan seperti kehilangan pekerjaan, atau sulit mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok kita. Atau, bahkan ketika segalanya baik: kita punya pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman, mobil bagus, tabungan yang memadai, kita masih saja merasa itu semua tidak cukup. Kita berpikir semua akan baik-baik saja ketika kita bisa memiliki lebih, lebih, dan lebih lagi.

Ketika Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat Filipi, ia sedang berada dalam penjara. Orang-orang Filipi terus mendukung dan peduli pada Paulus, dan ia bersyukur atas bantuan mereka. Namun, Paulus juga mengatakan bahwa entah bantuan tersebut datang atau tidak, ia telah belajar untuk berpuas diri, apapun kondisinya (ayat 11).

Paulus dapat mengatakan hal ini dengan yakin karena apa yang telah ia alami. Ia ditangkap, dipenjara, disiksa, terombang-ambing dan diadili. Tetapi ada juga saat-saat di mana ia lebih tenteram—aman, terpelihara, dan dikelilingi oleh orang-orang percaya. Mengalami hal-hal baik dan buruk, Paulus belajar bahwa ia dapat berpuas diri bagaimanapun kondisinya.

Apa rahasianya?

Akhir-akhir ini, anakku mengerti dan menerima ‘penolakan’ dariku. Ia menerimanya karena ia mengenal dan memercayaiku. Ia tahu bahwa sebagai ibunya, aku mengutamakan kebaikannya dan tidak akan menjauhkannya dari apa yang benar-benar ia butuhkan.

Begitupun dengan Paulus, Ia mengenal Allah dan percaya Allah memiliki rencana yang dahsyat untuknya. Ia tahu, apapun yang ia miliki, banyak atau sedikit, merupakan pemberian Allah—bahkan bantuan dari orang-orang Filipi sekalipun. Jadi, meskipun keadaan sekitarnya mungkin terlihat sebaliknya, Paulus tahu bahwa Allah Bapa memeliharanya, dan ia akan berkecukupan.

Yesus sendiri menunjukkan pada kita kebaikan Allah Bapa dalam Matius 7:11, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Melalui Alkitab, kita dapat melihat para penulis menegaskan kepercayaan mereka dalam pemeliharaan Allah. Ayat favoritku adalah: “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17).

Sesungguhnya, rahasia Paulus tertulis dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan padaku.” Hidup Paulus yang berkecukupan bukan berdasarkan keadaan materinya—melainkan daripada hubungannya dengan Allah, Allah yang “tidak berubah seperti bayangan”, namun yang kebaikannya terhadap anak-Nya dapat selalu dipercaya dan dipegang teguh.

Betapa besar iman yang dimiliki Paulus! Marilah kita menjalankan hubungan dengan Allah seperti yang Paulus lakukan, percaya kepada karakter-Nya dan kebaikan-Nya. Marilah kita berpuas diri, mengakui bahwa Allah akan menyediakan semua keperluan kita, bahkan jika apa yang Ia sediakan mungkin terlihat kecil di mata kita.

Karena sebenarnya Allah telah memberikan diri-Nya. Dan itu sudah lebih dari cukup.—Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Naomi Prajogo Djuanda

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Adakah suatu hal dalam hidupmu yang kamu rasa kurang memuaskan? Bagaimana renungan hari ini menberanikanmu untuk melihatnya dengan kacamata yang berbeda?

2. Bagaimana orang lain menunjukkan kepeduliannya padamu pada saat kamu membutuhkannya?

3. Apakah ada orang yang membutuhkan yang dapat kamu pedulikan saat ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain menyukai coklat, kue-kue, dan cerita-cerita luar biasa dari orang biasa. Charmain juga menyukai kejutan-kejutan kecil namun berarti yang Tuhan berikan untuknya setiap hari.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi