Posts

Menjadi Utuh Kembali

Jumat, 26 Juli 2019

Menjadi Utuh Kembali

Baca: Matius 5:9,13-16

5:9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

5:13 “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.

5:14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.

5:15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.

5:16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Berbahagialah orang yang membawa damai. —Matius 5:9

Menjadi Utuh Kembali

Dalam film dokumenter Look & See: A Portrait of Wendell Berry, seorang penulis bernama Berry berbicara tentang perceraian sebagai gambaran keadaan dunia saat ini. Kita tercerai-berai dari sesama, terpisah dari sejarah, tercabut dari negeri kita. Hal-hal yang seharusnya utuh justru dicerai-beraikan. Ketika ditanya apa yang patut kita lakukan mengenai fakta menyedihkan itu, Berry berkata, “Kita tidak bisa menyatukan semuanya kembali. Namun, kita bisa mengambil dua bagian yang terpisah dan menyatukannya.” Kita mengambil dua hal yang terpisah dan menyatukannya lagi.

“Berbahagialah orang yang membawa damai,” kata Yesus kepada kita (Mat. 5:9). Menciptakan damai berarti membawa shalom, yang berarti proses pemulihan dunia. Seorang teolog mengartikan shalom sebagai “pertumbuhan, keutuhan, dan kegembiraan yang universal . . . [sesuatu] yang berada dalam keadaan yang seharusnya.” Shalom berarti mengambil bagian-bagian yang rusak dan menyatukannya kembali hingga menjadi utuh. Sebagaimana dikatakan Yesus, biarlah kita berjuang membawa pemulihan. Tuhan Yesus memanggil kita untuk menjadi pembawa damai, untuk menjadi “garam dunia” dan “terang dunia” (ay.13-14).

Banyak cara untuk menjadi pembawa damai di dunia ini, tetapi dalam setiap cara tersebut, kiranya kita berusaha memperbaiki yang rusak daripada menyerah pada kehancuran. Oleh kuasa Allah, hendaklah kita memilih untuk mempertahankan persahabatan atau rela menolong tetangga yang kesusahan, atau tidak menjadi apatis dan mengasingkan diri. Mari kita mencari hal-hal yang tercerai-berai, sambil terus percaya bahwa Tuhan akan memberikan hikmat dan keahlian kepada kita untuk menolong mereka menjadi utuh kembali. —Winn Collier

WAWASAN
Konteks perkataan Kristus di sini sangatlah penting. Yesus baru saja menyampaikan “Ucapan Bahagia”, sebuah rangkaian pengajaran yang menyingkapkan nilai kerajaan-Nya. Paham-Nya yang radikal membalikkan nilai-nilai dunia. Yesus mengatakan “berbahagialah” mereka yang “miskin di hadapan Allah” (Matius 5:3), “mereka yang berdukacita” (ay. 4), “yang lemah lembut” (ay. 5), “yang lapar dan haus akan kebenaran” (ay. 6), “yang murah hati” (ay. 7), “yang suci hatinya” (ay. 8), “yang membawa damai” (ay. 9), dan “yang dianiaya oleh sebab kebenaran” (ay. 10). Hidup dengan nilai-nilai Kristus membuat kita berbeda dengan dunia. Ketika kita menjadi orang yang membawa damai, kita memancarkan secercah sinar untuk menerangi kegelapan yang mengancam dunia. Waktu kita menderita, orang yang melihat reaksi kita akan memperhatikan perbedaan yang dibuat oleh Kristus. —Tim Gustafson

Dua hal apa yang kamu rasa perlu dipulihkan kembali? Mungkinkah Allah memanggil kamu untuk ikut menyatukan kembali kedua hal tersebut?

Banyak sekali hidup yang rusak dan tercerai-berai di sekelilingku, ya Allah. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tunjukkanlah kepadaku dari mana aku harus memulai.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 40-42; Kisah Para Rasul 27:1-26

Handlettering oleh Ferren Manuela

Saat Aku Mencintainya Lebih Dari Tuhan

Penulis: By
Artikel Asli dalam Bahasa Thailand: รักเรา… พระเจ้าอยู่ไหน?

When-God-Was-Not-My-First-Love

Peristiwa ini aku alami saat masih kuliah. Pada masa-masa itu, aku selalu mengikuti kata hatiku sendiri.

Ben (bukan nama sebenarnya) dan aku sudah berteman baik selama 3 tahun. Pada tahun terakhir kuliah, hubungan persahabatan kami mulai tidak biasa. Kami lebih dari teman biasa, tetapi tidak sampai resmi berpacaran. Kami jelas saling menyukai, namun aku tahu bahwa menjalin hubungan khusus dengannya bukanlah sesuatu yang mudah karena ia suka main mata dengan perempuan.

Meski sudah sangat jelas ia orang yang seperti apa, aku memberanikan diri bertanya apakah ia akan membawa hubungan kami ke tahap selanjutnya. Jawaban singkatnya adalah: “tidak”. Ia merasa sudah puas dengan hubungan kami yang sekarang dan ia belum ingin terikat dengan siapa pun pada saat itu. Aku sebenarnya senang bisa dekat dengannya lebih dari sekadar teman biasa, sekalipun aku juga tidak yakin mau meneruskan hubungan kami yang serba tidak jelas. Namun, setiap kali aku mendoakannya, aku merasa tidak tenang, aku takut Tuhan akan menjauhkannya dari hidupku karena ia bukanlah seorang Kristen.

Sebagai orang yang baru saja menerima Kristus pada tahun kedua di kampus, aku sendiri punya banyak pertanyaan tentang Tuhan, tentang kekristenan, dan tentang cinta. Aku bertanya-tanya, “Mengapa orang Kristen tidak boleh berpacaran dengan orang non-Kristen? Bukankah Ben juga perlu diselamatkan? Bagaimana bila aku dapat meyakinkannya untuk menjadi seorang Kristen?”

Pada saat itu, aku merasa bahwa pembimbingku tidak mengerti dan tidak memberiku dukungan sama sekali. Setiap kali aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, ia akan memberi jawaban yang sama, “Terlalu berisiko berpacaran dengan orang yang tidak seiman. Kalian berdua memiliki keyakinan yang berbeda. Apakah kamu mau nekad menjalin hubungan dengannya?” Lama-kelamaan aku memutuskan untuk tidak lagi berkonsultasi dengannya. Aku yakin bahwa aku tahu apa yang terbaik untuk diriku dan aku bisa menangani masalahku sendiri.

Jadi, hubunganku yang tidak jelas bersama Ben terus berlanjut—sementara hubunganku dengan Tuhan memburuk. Yang aku pikirkan setiap hari adalah apa yang dapat kulakukan bersama Ben atau ke mana aku bisa jalan-jalan dengannya. Aku berhenti berdoa dan tidak lagi menceritakan apa-apa tentang Ben kepada teman-teman Kristen-ku. Kalau sebelumnya perbedaan iman kami membuatku ragu melanjutkan hubungan dengannya, kini aku jarang sekali memikirkan bagaimana aku bisa membawanya untuk mengenal Tuhan. Aku hanya bisa melihat segala yang baik dari dirinya. Aku benar-benar buta terhadap kesalahan-kesalahannya.

Ternyata, masa-masa bahagiaku tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat masalah-masalah yang ada dengan jelas. Tuhan mengeluarkan selumbar yang menghalangi pandanganku. Aku menemukan bahwa aku bukan satu-satunya gadis yang diperhatikan Ben. Awalnya aku pikir ia akan berubah. Lambat laun aku menyadari bahwa situasinya kian memburuk. Aku tidak bisa tahan lagi—dan akhirnya aku mulai berdoa. Doa seharusnya menjadi hal pertama yang aku lakukan, namun selama ini aku menghindarinya. Namun setelah aku mulai berdoa, segala sesuatu menjadi terang benderang. Betapa bodohnya aku yang berpikir aku bisa menangani semua masalahku sendiri!

Ben ternyata mengatakan hal-hal yang buruk tentang diriku kepada gadis lain. Ia mengarang-ngarang cerita untuk membuat gadis itu merasa kasihan dan peduli kepadanya. Ia mengaku bahwa ia harus menjaga hubungan baik denganku karena aku sedang “mengandung” dan ia ingin menjadi orang yang “bertanggung jawab”. Aku merasa sangat sakit hati dengan kebohongan itu, kami tidak pernah sampai berhubungan intim. Ia berbohong karena ia tidak mau kehilangan aku maupun gadis itu.

Aku merasa sangat terpukul dengan perbuatan Ben, namun pada saat yang sama aku menyadari bahwa kejadian itu menolongku melihat siapa Ben sebenarnya. Awalnya, aku sangat marah karena ia telah mencemarkan nama baikku dan aku ingin membalas perbuatannya. Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah memaafkannya seumur hidupku.

Pada saat itulah Tuhan membawaku, putrinya yang hilang, kembali kepada-Nya. Ketika aku mencurahkan isi hatiku kepada Tuhan dan menyerahkan hidupku kepada-Nya, Dia memulihkanku dengan anugerah-Nya. Dia menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak perlu larut dalam kemarahan dan tidak perlu mempertahankan hubungan itu.

Hubunganku dengan Ben pun berakhir. Aku bersyukur kepada Tuhan untuk semua hal yang telah kulewati. Melalui pengalaman yang menyakitkan itu aku belajar bahwa jalan-jalan Tuhan jauh melampaui jalan-jalanku, dan bahwa kasih-Nya tidak pernah berkesudahan. Sekalipun aku telah tidak taat dan keras kepala, Tuhan tetap menunjukkan kasih dan kesabaran-Nya kepadaku.

Mengingat kembali masa-masa itu, aku menyadari betapa aku dulu telah mengutamakan Ben lebih dari hubunganku dengan Tuhan. Jelas hubunganku itu sudah bermasalah sejak awal. Aku sadar, aku tidak menaati Tuhan saat bersikeras berpacaran dengan orang yang tidak seiman. Aku juga menyadari bahayanya mengutamakan pasangan kita lebih dari Tuhan, sesuatu yang cenderung dilakukan banyak orang, termasuk dengan pasangan yang seiman.

Apakah kita memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan? Apakah kita mengasihi Tuhan lebih dari pacar kita? Apakah kita cukup rendah hati untuk memohon pimpinan Tuhan?

Ketika kita mengandalkan pikiran kita sendiri atau mencoba untuk lari dari Tuhan, ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Namun syukur kepada Tuhan yang berjanji tidak akan pernah meninggalkan anak-anak-Nya. Ketika kita datang kepada-Nya dan bertobat dari pilihan-pilihan kita yang salah, Dia akan menyertai dan membimbing kita kembali.

Jika kamu pernah mengalami apa yang aku alami, aku ingin mendorongmu untuk menyerahkan semua pergumulanmu di hadapan Tuhan dan tunduk sepenuhnya pada pimpinan-Nya. Tuhan memiliki rencana yang baik bagi setiap anak-anak-Nya, kita dapat mempercayakan hidup kita kepada-Nya.