Posts

Tembok Bata dari Jaring Laba-laba

Oleh Aryanto Wijaya

Alkisah ketika Perang Dunia II berlangsung di Pasifik, seorang marinir Amerika Serikat (AS) terpisah dari pasukannya. Berawal dari keterpisahan dan nyaris mati, sang marinir malah mendapati ‘mukjizat’ pertolongan. Tak diketahui siapa nama marinir tersebut, tetapi kemungkinan besar kisah ini terjadi di Saipan, salah satu pulau di Kepulauan Mariana.

Perang di Pasifik antara AS dengan Jepang jauh berbeda dengan palagan di Eropa. Tentara AS menghadapi medan berupa hutan belantara yang hawanya lembab, dan prajurit Jepang yang lebih memilih mati daripada menyerah. Tentara musuh memanfaatkan belantara sebagai tempat yang tepat untuk sembunyi dan menyerang tiba-tiba.

Ketika sang marinir terpisah dari pasukannya, dia mendaki ke bukit yang tanpa dia ketahui adalah teritori musuh. Langkahnya tetiba berhenti. Dia mendengar seorang prajurit Jepang berpatroli. Jika ketahuan, tentu kematian adalah jawabannya. Sang marinir lalu berusaha mencari tempat sembunyi. Tak jauh dari posisinya, dia melihat sebuah goa. Dia berdoa agar goa itu kosong, dan doanya pun terkabul.

Goa itu punya kedalaman yang lumayan, tetapi tetap saja pasukan musuh bisa sewaktu-waktu merangsek masuk. Cahaya matahari dari luar pun masuk dengan berlimpah ke dalam. Ini berbahaya. Prajurit jepang bisa dengan mudah melihat ada musuh di dalam goa. Dia pun berdoa kembali, memohon Tuhan memberikan tembok bata supaya prajurit musuh tak mampu melihatnya, atau tak bisa masuk ke dalam goa itu.

Bermenit-menit sang marinir memasang telinga, dengar-dengaran terhadap suara sekecil apa pun. “Krak…krak..” dia mendengar langkah kaki yang mematahkan ranting dan dedaunan kering. Itu langkah kaki pasukan Jepang! Lagi-lagi sang marinir berdoa agar Tuhan memberinya tembok bata, tapi tak ada yang terjadi. Tak mungkin ada pasukan marinir lain menolongnya, jadi dia pun menyiapkan senjata. Wajah pertama yang muncul di dalam goa akan dia tembak. Selama dia bersiaga, muncul seekor laba-laba besar. Laba-laba itu menjalin jaring persis di mulut goa. Menit demi menit, jaring itu bertambah besar dan besar, menutupi hampir seluruh mulut goa.

Sang marinir lantas tertawa, “Tuhan, aku perlu sebuah tembok bata dan Engkau mengirimkanku laba-laba?”

Tak lama menjelang, langkah kaki pasukan Jepang semakin dekat. Sang marinir bersembunyi di balik cerukan, sudah siap menembak sembari melihat bahwa sarang laba-laba itu nyaris selesai sempurna. Langit sedikit mendung sehingga pandangan ke dalam goa menjadi gelap. Pasukan Jepang yang telah tiba di depan goa berbicara. Mereka ragu untuk mengecek ke dalam karena jaring laba-laba tersebut. “Kita tidak perlu memeriksa goa ini. Tidak seorang pun dapat masuk ke dalam tanpa merusak jaring ini.” Benarlah apa yang prajurit itu katakan. Jika memang ada orang yang masuk ke dalam goa, tentu dia harus merobek jaring laba-laba tersebut. Mengira goa itu kosong, mereka pun lantas pergi.

Butuh beberapa saat bagi sang marinir untuk mencerna peristiwa itu. Dia tertegun dan mengucap syukur pada Tuhan untuk ‘tembok bata’ yang dibuat dari jaring laba-laba itu.

Keadaan tertekan, takut, dan hampir putus asa pun pernah dialami Habakuk pada zaman Perjanjian Lama. Habakuk mempertanyakan apakah Allah masih setia terhadap bangsa Israel yang hidup ditindas oleh orang Kasdim. Namun, di tengah keadaan yang sepertinya suram dan tak lagi ada harapan, Habakuk meneguhkan imannya dengan kembali berfokus pada Allah sumber keselamatan, kekuatan, dan keteguhan (Habakuk 3:18-19). Dari Habakuk kita dapat belajar bahwa siapa pun yang percaya kepada Allah tidak dikecewakan-Nya.

Kisah sang marinir juga sekelumit tentang Habakuk ini menggemakan pertanyaan di hati kita: berapa banyak ‘jaring laba-laba’ yang sudah Tuhan bentuk dalam hidup kita, tapi kita malah bersikap seperti sang marinir, sangsi dan merasa laba-laba itu cuma buang-buang waktu dan upaya tak berguna. Hingga kemudian, kita menyadari bahwa itu sesungguhnya adalah berkat yang terselubung. Ketika kita mengizinkan Tuhan bekerja dalam hidup kita, itu tidak berarti jalan kita akan jadi mulus dan nyaman. Setiap orang, bahkan orang Kristen sekalipun, akan mengalami penderitaan dan kesukaran dalam hidup mereka. Cobaan-cobaan itu bisa datang dalam rupa relasi yang karam, kehilangan pekerjaan, krisis keuangan, sakit keras, atau kematian orang yang dikasihi.

Kita lantas berfokus pada bahaya yang menyergap di luar dan mengabaikan ‘goa’ yang sesungguhnya cukup untuk menjadi tempat perlindungan kita. Kita getir, tak melihat bagaimana sesungguhnya Tuhan bekerja. Kita acuh tak acuh ketika Tuhan memberi cerukan dalam goa itu sebagai tempat kita bersembunyi, atau tatkala Dia membuat langit sedikit mendung agar kita diluputkan dari musuh. Kita pun mengernyit ketika seekor laba-laba dipakai Tuhan untuk menciptakan jaring yang lemah, tetapi mampu menahan kita dari kesukaran yang lebih besar.

Kisah marinir tersebut mungkin bisa dianggap sebagai kisah mukjizat, tapi bisa juga sebagai kisah kebetulan biasa. Tapi jaring laba-laba itu bisa jadi sungguh menyelamatkan. Setelah prajurit Jepang pergi, pasukan AS akan segera datang dan menyelamatkan dia.

Tuhan jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan, dan terkadang apa yang Dia beri melampaui apa yang kita pikirkan. Sungguh, Tuhanlah “tempat perlindungan dan kubu pertahanan” kita (Mazmur 91:2).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Siapakah Yesus bagi Kita? Sebuah Perenungan Menyambut Natal

Para sahabat pernah bertanya kepadaku, “Mengapa kamu beragama Kristiani?” Pertanyaan itu perlu kujawab dengan bertutur tentang siapa sosok Yesus yang ingin kubagikan dalam tulisan panjang ini. Selamat membaca!

Teruntuk Kamu yang Merayakan Ulang Tahun Sendirian

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar kata ulang tahun?

Bagiku, ulang tahun adalah hari istimewa, identik dengan sukacita dan kebahagiaan. Hari yang patut dirayakan dengan ucapan syukur bersama keluarga dan teman-teman atas perjalanan hidup selama setahun yang telah dilalui.

Namun, tahun ini semua terasa berbeda. Di hari ulang tahunku yang ke-18, tak ada perayaan bersama teman-teman. Aku larut dalam kekecewaan dan kesedihan. Situasi pandemi tak memungkinkanku untuk menggelar acara yang melibatkan banyak orang. Alhasil, hari ulang tahunku pun dilalui dengan rutinitas biasa.

Teman-teman dan keluarga dekat mengirimiku ucapan selamat, tapi itu tidak membuatku tergugah dan bahagia. Hingga ada satu pesan dari salah satu temanku, dia menulis begini: “Hai Tasya, selamat berbahagia akan kesetiaan Allah. Selamat kembali mengingat dan merayakan penyertaan Tuhan dalam kehidupanmu. Selamat untuk terus membentuk diri dalam otoritas kedaulatan dan kebaikan Allah. Sehat selalu.” Kalimat ini entah mengapa terasa bermakna buatku.

Kubaca kalimat ucapan itu berulang-ulang, lalu kuambil waktu hening sejenak. Kurenungkan maknanya, kucoba koreksi diriku atas usia yang kini Tuhan telah tambahkan. Sebelumnya, aku jarang memikirkan makna atas hari ulang tahunku. Yang kulakukan adalah aku bergembira bersama teman-temanku, bersukacita karena kado-kado yang diberikan, tersanjung karena kejutan-kejutan dan kue ulang tahun yang diberikan padaku. Aku suka dengan hari ulang tahun karena di hari ini jugalah aku merasa diperlakukan secara istimewa selama seharian oleh teman-teman dan keluargaku. Tapi, pandemi ini menyadarkanku bahwa semua yang kuharapkan dan kusukai itu bukanlah makna sesungguhnya dari pertambahan usia yang Tuhan berikan.

Alih-alih sebuah pesta, momen ulang tahun adalah momen untuk melihat kembali kasih Allah yang tak berkesudahan dan penyertaan-Nya yang sempurna. Seharusnya karena inilah aku bersukacita, bukan karena pesta atau pun kado-kado yang kuterima.

Mazmur 71 berisikan doa-doa memohon perlindungan Tuhan pada masa tua. Meskipun usiaku masih belia, tapi Mazmur ini memberi pesan yang baik.

“Sebab Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah.
kepada-Mulah aku bertopang mulai dari kandungan, Engkau telah mengeluarkan aku dari perut ibuku; Engkau yang selalu kupuji-puji.” (Mazmur 71:5-6).

Sang Pemazmur berbicara tentang kehadiran Allah sepanjang hidupnya. Pemazmur teringat bahwa Allahlah yang mengeluarkannya dari kandungan ibunya, sehingga dia pun memuji Allah dengan berkata, “Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib” (ayat 17).

Sekarang, hari ulang tahun mengingatkanku akan kesetiaan Allah. Dia senantiasa hadir dalam tiap langkah perjalanan hidup kita.

Jika hari ulang tahunmu jatuh pada hari-hari ini dan orang-orang terdekatmu tak dapat hadir secara fisik, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun buatmu. Kiranya damai sejahtera Tuhan hadir atasmu dan hari ulang tahunmu dapat dipakai-Nya untuk menjadi hari yang mengingatkanmu akan betapa besar, luas, lebar, dan dalamnya kasih Tuhan.

Happy Birthday to you!

Baca Juga:

Mendoakan Rencanaku Bukan Berarti Tuhan Pasti Memuluskan Jalanku

Kita terbiasa mendoakan perencanaan kita. Dalam doa, kita berharap pertolongan Tuhan atas rencana itu. Lalu, mungkin kita berpikir, jika rencana itu sudah kita doakan, tentunya Tuhan akan membuat semuanya lancar dan sukses.

Melayani di IGD, Caraku Menikmati Berkat Tuhan

Oleh Still Ricardo Peea, Tangerang

Ketika himbauan bekerja dari rumah dikeluarkan, aku dan beberapa temanku memilih tetap tinggal di asrama kampus. Kami tidak pulang kampung dan menyiapkan diri untuk menjadi relawan di rumah sakit jika sewaktu-waktu tenaga kami dibutuhkan. Karena jurusan kuliahku adalah Keperawatan, dengan menjadi relawan aku bisa belajar dan mengaplikasikan ilmuku bagi masyarakat.

Aku sudah memikirkan dan mendoakan kesempatan menjadi relawan ini sejak Desember 2019 lalu, saat virus corona masih berepisentrum di Tiongkok. Keluargaku menghimbauku pulang saja karena ada tiket murah, tapi aku menolak. Meski aku sehat, aku tak mau jadi agen penularan, apalagi di rumahku ada kakek dan nenekku, juga tante dan pamanku yang punya riwayat sakit gula. Mereka beresiko terkena COVID-19.

Aku terus memikirkan dan mendoakan hal tersebut hingga di Februari, aku menjalankan praktik klinik untuk mata kuliah pengayaan di salah satu rumah sakit yang kini menjadi tempat rujukan bagi pasien COVID-19.

Pergumulan untuk tetap tinggal

Meski aku punya passion untuk melayani dan mengaplikasikan ilmuku, tapi di kala aku berdoa, aku melihat betapa pandemi ini mengerikan. Virus tak kasat mata ini telah merenggut ribuan nyawa, baik itu masyarakat umum dan juga tenaga kesehatan.

“Apakah Tuhan mau membawaku ke sini untuk mendidikku, atau supaya aku mati karena pandemi ini?” gumamku.

Tapi suara dalam hatiku segera menyentakku. “Hey, di mana kepercayaanmu? Tidakkah kau ingat kebaikan Tuhan selama ini?”

Pandanganku lalu tertuju kepada rerumputan. Aku ingat firman Tuhan di Yesaya 40:8 dan 1 Petrus 1:24-25 yang mengatakan betapa fananya manusia di hadapan Allah Sang Pencipta. Kita seperti rumput, ada hanya sebentar, lalu layu. Namun, meski hidup kita fana, di sinilah Tuhan berkarya. Melalui hidup kita, Tuhan ingin agar orang lain pun beroleh sentuhan kasih-Nya.

Di Minggu pagi setelah ibadah, kulihat langit cerah. Angkasa berwarna lebih biru dari biasanya. Tiupan angin menerpaku. Lagi-lagi aku merasa seperti dibisikkan, “Tuhan sungguh mempedulikanku. Tidakkah itu luar biasa? Allah Bapa sungguh mengasihimu.”

Sore harinya, saat kupandang langit senja, lagi-lagi aku teringat firman Tuhan yang berkata bahwa Allah sungguh mengasihi kita. “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yesaya 31:3). Segala benda langit diciptakan-Nya, juga dipelihara-Nya. Jika benda-benda langit dan segala makhluk hidup dipelihara Tuhan, masakan kita sebagai manusia luput dari perhatian-Nya?

Dengan kekuatan dari Tuhan, aku diizinkan-Nya untuk membantu di bagian screening di Instalasi Gawat Darurat dan di bangsal. Aku membantu setiap pengunjung mengisi formulir pernyataan kesehatan yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki gelaja dari COVID-19. Apabila ada salah satu gejala dan faktor pendukung lain, seperti riwayat kontak dengan orang terduga COVID-19, maka orang tersebut harus mengecek kesehatannya di klinik umum dulu. Aku bertugas memastikan secara spesifik apa yang menjadi keluhan utama mereka.

Setiap orang yang berkunjung ke IGD juga harus dicek suhu tubuhnya. Meski pasien virus corona menjadi perhatian utama, tapi kami tetap harus juga memperhatikan pasien-pasien lain yang dalam kondisi kesehatannya gawat. Kami mengarahkan ke tempat di mana mereka bisa mendapatkan perawatan menyeluruh. Selain itu, kesempatan melayani ini juga menciptakan momen-momen diskusi dengan kakak-kakak seniorku, aku belajar banyak hal.

Meskipun awalnya aku sempat ragu dan takut, sekarang aku bisa bersukacita karena aku tahu apa yang kukerjakan adalah sebuah pelayanan bagi-Nya melalui menolong sesamaku. Hikmat dan pemahaman yang Tuhan anugerahkan memampukanku melihat pandemi ini dari sudut pandang yang berbeda: bukan ketakutan karena virus, tetapi semangat untuk meneruskan kasih-Nya pada orang lain.

Martin Luther dikenal karena dia tidak bisa diam saja ketika mendapati ada yang keliru dalam pengajaran dan praktik kehidupan bergereja. Dia juga tak bisa diam ketika melihat orang lain membutuhkan pertolongan. “Orang Kristen terpanggil untuk mendemonstrasikan belas kasih,” katanya. Juga Florence Nightingale yang memilih untuk menjadi relawan dan melayani dalam perang, tak memikirkan dirinya sebagai anak bangsawan melainkan mau melayani dengan resiko yang besar yaitu terbunuh dalam perang, dia menentang adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pemikiran, tindakan dan perkataan Luther dan Nightingale mencerminkan sosok teladan yang sempurna, Kristus sendiri. Alkitab mencatat selama pelayanan-Nya di dunia, Kristus tak hanya mengajar, Dia juga melayani dengan menyembuhkan banyak orang sakit, juga membasuh kaki murid-murid-Nya.

Menutup tulisanku, kupandangi mentari. Sinarnya di pagi hari memberikan kesan hangat dan nyaman, menandai hari yang baru telah tiba. Jika matahari yang dengan sinarnya memberikan banyak kebaikan bagi dunia, demikian juga kita yang diciptakan-Nya begitu istimewa. Dengan segala berkat yang kita terima, kita pun diutus-Nya untuk meneruskan berkat itu kepada orang-orang di sekitar kita.

Bapa kami yang di surga, terima kasih banyak.

Baca Juga:

3 Hal yang Bisa Kita Lakukan Kala Menghadapi Penderitaan

Dalam masa-masa sulit, sulit pula buat kita memikirkan hal-hal yang baik. Tapi, ada satu kebenaran: dalam segala masa, Tuhan selalu baik. Kepada-Nyalah kita dapat berharap dan berdiri teguh.