Posts

Proses Menjadi Manusia Sempurna

Oleh Oliver Kurniawan Tamzil, Sukoharjo

Teruslah belajar menjadi manusia yang seutuhnya ya, karena aku pun masih terus belajar,” ucap salah satu kakak pembimbingku di gereja.

Dalam hati aku bergumam, bukankah selama ini kita adalah manusia? Mengapa masih harus belajar jadi manusia yang seutuhnya? Aku pun mencoba mencari tahu lebih lanjut. Kubuka KBBI, di sana tertulis makna dari kata “manusia” adalah makhluk yang berakal budi.

Frasa “akal budi” adalah hal penting yang menjadikan manusia berbeda dengan makluk lainnya. Manusia adalah kasta tertinggi dari seluruh ciptaan. Firman Tuhan menceritakan bahwa manusia diberikan kebebasan untuk mengelola alam dan ciptaan-Nya dengan hikmat. Kita semua diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (imago Dei). Namun, jika kurenungkan lebih lanjut, meskipun pada kenyataannya kita diciptakan dengan begitu mulia oleh Allah, seringkali kita sendiri menganggap diri kita tidak berharga karena kita membandingkan diri dengan proses dan pengalaman hidup orang lain, yang bukannya memotivasi malah seringkali membuat kita jadi minder.

Ada kalanya kita mengalami kegagalan, berbuat kesalahan, tidak semua harapan tercapai, ditinggalkan oleh teman-teman kita. Perasaan kecewa atau gagal karena semua kejadian itu adalah perasaan yang valid. Buatku pribadi, ada satu pengalaman yang sungguh mengubahkanku. Saat itu aku mengalami masalah pribadi yang sungguh berat, aku hancur-sehancurnya dan aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa, satupun teman tidak ada yang peduli. Tiba-tiba kakak pembimbingku datang dan berpesan, “Tuhan menciptakan gelap dan terang pada hari penciptaan ke 4, Oliver tahu kan kalau gelap identik dengan sesuatu yang kurang jelas dan kurang baik, namun di balik itu ada tujuan Tuhan yang mulia yaitu supaya manusia bisa beristirahat. Demikian juga saat ini Tuhan izinkan Oliver mengalami situasi yang “gelap”, pasti Dia juga punya rancangan yang luar biasa diluar akal pikiran kita. Terus berjalan ya”. Sejak saat itu aku percaya bahwa pengalaman gelap sekalipun bisa dipakai Tuhan membentuk kita menjadi manusia seutuhnya.

Menjadi manusia seutuhnya berarti kita bersedia dibentuk oleh Tuhan melalui berbagai cara dan proses, salah satunya lewat relasi kita dengan sesama manusia lainnya. Hari demi hari, kita berusaha untuk hidup lebih baik, seperti panggilan Kristus dalam Matius 5:48 yang berkata, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Namun, apakah kita baru bisa jadi manusia seutuhnya jika sudah benar-benar sempurna? Bukankah dalam hidup ini tidak ada yang sempurna?

Kata yang diterjemahkan sebagai ‘sempurna’ dalam Injil Matius itu sebenarnya lebih berarti dewasa, lengkap, atau utuh. Menjadi sempurna berarti kita memberi ruang bagi pertumbuhan, serta menjadi cukup dewasa untuk mempersembahkan diri kita kepada sesama.

Jika kita menganggap hidup kita baru utuh sebagai manusia jika sudah mencapai kesempurnaan dari segi finansial, harta benda, atau pencapaian-pencapaian lahiriah lainnya, kita sedang terjebak pada upaya sia-sia dalam memegang kendali hidup kita. Sebaliknya, kita dapat mendengar undangan lembut dari Tuhan Yesus untuk berserah. Di dalam Dia, kita akan menemukan kebebasan dan keutuhan yang hanya mungkin bisa kita alami di dalam Dia.

Menutup tulisan singkatku, aku teringat akan sebuah doa yang kudengar di acara KKR:

“Tuhan, bentuklah aku menjadi manusia dan sesama seperti kehendak-Mu, bukan kehendak temanku atau bahkan orangtuaku. Maafkan aku Tuhan jika acapkali tidak menaati perintah dan perkataan-Mu. Jangan bentuk aku menjadi manusia yang sempurna menurut standar dunia tetapi jadikan aku orang yang terus mau belajar bahkan melalui kesalahan. Sebab melalui kesalahan itu aku mengerti hal manakah yang sesuai”.

Meskipun aku tidak mengenal kalian yang membaca tulisanku ini namun aku berharap dan berdoa kalian terus menjadi manusia yang utuh di hati Tuhan dan hati siapapun yang rindu akan kasih-Nya.

Selamat berjuang dan berproses Bersama Dia, Sang Pemimpin Kehidupan. Tuhan Yesus memberkati.

Ujian Piano Bersama Tuhan

Oleh Aretha Nathania, Surabaya

Sudah jam enam pagi, aku masih tertidur pulas di bantalku yang empuk dan merasa malas untuk bangun dari tempat tidur. Papaku membangunkanku dengan melepas sprei dan menutupinya di seluruh badanku seperti aku sedang dikubur. Namun, aku masih juga belum berniat bangun. Papa pun berteriak, “Ayoo bangun, udah jam berapa ini, Tatataaa”. Suara papa membuatku sungguh jengkel dan terganggu.

“Apa sih… masih ngantuk jangan teriak-teriak, dong!” kataku dengan kesal.

“Udah jam berapa ini! Mau les piano, tidak?” Papa balik bertanya.

“Iya…iya… sabarrr,” jawabku sambil memaksa diri untuk bangun.
Sebelum beranjak dari kasur, aku tidak lupa untuk berdoa kepada Tuhan karena telah memberikanku perlindungan semalaman aku tidur.

Dengan rambut yang kusut dan wajah yang masih malas, aku bergegas lari ke bawah untuk sarapan sebentar kemudian mengambil tas untuk les piano. Aku masuk ke dalam mobil dan papaku mengantarku ke tempat les. Di sela-sela perjalanan, aku selalu meminta papa untuk memutarkan satu atau dua lagu. Terkadang, aku tidak bisa mendengarkan musik karena radio di mobilku rusak dan mengeluarkan bunyi bising. Jika aku bosan di mobil, maka aku memandang pemandangan di luar. Tempat lesku adalah tempat tinggal guruku. Lokasinya berada tidak jauh dari rumahku sekitar 5,3 km perjalanan.

Sesampainya di tempat les, aku disambut oleh guruku. Dia bertanya, “Tadi sudah latihan belum di rumah?”

“Hehe…uhh belum sih, miss, soalnya sibuk ada banyak tugas sekolah jadi tidak sempat”, kataku sambil tertawa kecil.

Guruku sambil tertawa menjawab, “Ya udah, ayo latihan coba dulu, miss mau dengar.”

Aku memberikan usahaku sepenuhnya untuk memainkan lagu yang akan diujikan di ujian piano beberapa minggu lagi, judul lagunya adalah Swan Lake. Lagu ini cukup panjang, sekitar dua lembar. Untungnya, aku sudah menguasai lagu tersebut sejak awal persiapan sehingga penampilanku bisa lebih matang.

Guruku merespons, “Sudah bagus, cuma coba kamu mainkan temponya dari kecil ke keras gitu ya.”

”Haruskah temponya diperbaiki miss? Toh ya, tempo yang kumainkan sudah betul,” kataku dengan yakin.

“Mau menang apa tidak nanti ujiannya? Nicho loh udah bisa, jangan mau kalah.” Nicho adalah saudaraku yang satu les denganku.

Aku berkata, “Huhh…baiklah, miss.”

Selang beberapa menit ke depan, aku memainkan lagu tersebut berulang-ulang sampai aku mahir. Seiring waktu, aku menunjukkan kemajuan dalam lagu yang kumainkan.

Sudah satu jam aku latihan dan sudah waktunya papa menjemputku. Selama menunggu, aku duduk di sofa depan pintu rumah guruku dan berbincang dengannya.

“Miss?” tanyaku.

“Apa, Ta?”

“Kenapa sih setiap aku latihan tetap tidak bisa mahir sedangkan orang lain bisa memainkannya dengan mahir dengan hanya latihan beberapa hari saja?” tanyaku heran.

“Ya, gapapa. Semua orang kan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jangan disamakan, Ta. Kamu kan juga pintar dan sudah lebih bisa mainnya”, jawab guruku.

Hampir, aku tidak percaya dengan kata-kata guruku yang berkata “kamu kan juga pintar”. Aku merasa kenyataannya tidaklah begitu.

Beberapa hari di rumah, aku latihan berkali-kali. Karena latihanku yang sangat keras, aku sampai tidak berselera untuk makan dan aku sering melamun meragukan kemampuan musikku. Aku tidak bisa tidur beberapa malam dan kadang aku bermimpi buruk. Bahkan, saat tidurku aku berusaha menghafal lagi lagu yang kumainkan.

Setiap latihan, aku sering menangis karena tidak bisa memainkannya tanpa ada kesalahan sedangkan saudaraku bisa bermain dengan baik dengan hanya latihan beberapa minggu. Hal tersebut membuat aku tambah depresi sampai suatu saat aku mendobrak pintu kamar dan melempar beberapa barang karena tidak bisa memberikan penampilan terbaikku kepada orang tuaku.

“Mengapa aku tidak bisa bermain dengan sempurna untuk satu hari saja?!”, teriakku dengan nada tinggi.

Aku jatuh di lantai dan menangis sekeras-kerasnya tapi orangtuaku tidak mengetahui jika aku menangis. Mereka memang tidak suka kalau melihat aku bersikap cengeng dan menangisi hal kecil. Namun, bagiku ini bukan hal kecil, ini adalah hal besar yang benar-benar harus aku hadapi. Waktu sudah berjalan, tidak lama lagi ujian online piano akan dimulai. Aku harus benar-benar siap. Aku menguatkan diriku dan segera bangkit dari lantai dan mengulangi latihanku. Tiap hari, aku mendapatkan komentar dari guru pianoku tentang nada yang terlalu tinggi atau rendah, tempo yang kurang pelan atau cepat, dan sebagainya. Namun, aku mengambil komentar itu sebagai motivasi dan pelajaran sehingga dapat meningkatkan penampilanku saat ujian piano nanti.

Ketika hari ujian online piano tiba, banyak tantangan yang aku temui seperti menyempurnakan tempo, penampilan, nada, irama, gestur badan yang harus tegak saat bermain, dan emosi yang dituangkan saat bermain, serta yang menurutku paling penting adalah fokus. Tapi, puji Tuhan! Aku berhasil menaklukkan itu semua. Dengan pertolongan Tuhan yang memampukanku untuk bekerja keras dan latihan yang tak kenal lelah, aku berhasil mendapatkan juara 3 (DISTINCTION) dalam ujian piano.

Orang tua dan guruku sangat bangga kepadaku dengan pencapaian yang kuraih. Saat aku menaruh piala musikku di dalam lemari kamarku, aku berkata kepada diri sendiri “You made it, thank you for not giving up on yourself.”

Hal yang aku pelajari dari pencapaianku adalah aku selalu mempunyai harapan di dalam Tuhan, dan Tuhan selalu menyatakan kasih dan anugerah-Nya padaku. Mungkin Dia tidak memberiku talenta sebanyak orang lain atau kemampuan untuk bisa melakukan sesuatu secara otodidak, tapi Dia mengajarkanku arti dari kerja keras dan ketekunan.

Aku ingat saat renungan di kelas, guruku membaca sebuah ayat Alkitab yang diambil dalam Amsal 6:6-8 yang berkata demikian, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.”

Ayat Alkitab ini mengajarkan bahwa kemalasan tidak akan membuahkan hasil apapun, tetapi ketekunan akan membawa keberuntungan bagi kita.

*Aretha Nathania merupakan siswi SMP di salah satu sekolah di Surabaya. Ini adalah tulisan pertamanya.

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

aku-tidak-lolos-seleksi-masuk-perguruan-tinggi-negeri-haruskah-aku-kecewa

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain. Setelah lulus SMA, aku tidak berhasil mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ataupun masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Dulu tidak pernah terbayang dalam pikiranku kalau jurusan kuliah yang kuambil sekarang ternyata bertolak belakang dengan jurusan yang kuambil di SMA. Sekarang aku belajar tentang Bisnis, sedangkan di SMA aku masuk jurusan IPA. Ibuku adalah seorang dokter sehingga awalnya aku sempat mengira kalau aku akan kuliah di kedokteran nantinya.

Orangtuaku ingin salah satu anaknya meneruskan karier sebagai dokter. Lalu, guru-guru dan teman-temanku di SMA juga mendorongku untuk masuk ke jurusan kedokteran karena mereka beralasan kalau nilai-nilaiku yang baik itu akan memudahkanku untuk diterima di jurusan kedokteran. Akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku ke Jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tanpa tes seraya berharap supaya prestasiku selama SMA bisa menolongku untuk diterima di sana.

Ketika aku harus kecewa

Tapi, ternyata Tuhan tidak membukakan jalan untukku berkuliah di perguruan tinggi negeri itu. Ketika mendaftar lewat jalur undangan (non-tes), aku gagal, lalu aku juga mencoba kembali di jalur tes namun hasilnya tetap sama.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga mencoba mendaftar di perguruan tinggi swasta. Aku coba untuk mendaftar di Jurusan Kedokteran, Arsitektur, dan Desain Interior di beberapa perguruan tinggi. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, aku diterima di Jurusan Kedokteran di salah satu kampus di Jakarta. Tapi, ayahku tidak setuju karena takut apabila aku tidak menikmati kuliahku di sana, selain itu beliau juga kurang percaya dengan kualitas pendidikan di sana. Aku juga diterima di Jurusan Desain Interior di salah satu kampus di Tangerang, tapi setelah aku melakukan survei ke kampus itu, aku merasa kalau lingkungannya tidak nyaman untukku.

Waktu itu aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Jika Dia mengizinkanku untuk bisa kuliah di tahun itu, aku sungguh bersyukur. Tapi, jika tidak pun aku mau tetap percaya kepada-Nya. Aku telah beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi yang kuingini, dan juga aku sendiri masih ragu dengan perguruan tinggi mana yang sebenarnya aku inginkan. Walaupun aku sudah mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu, tapi selalu saja ada pertanyaan yang menggantung di benakku, “Apakah ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Ayahku mendorong anak-anaknya untuk kelak dapat berwirausaha dengan membuka bisnis sendiri. Kemudian aku berpikir mengapa tidak mencoba saja untuk belajar tentang kewirausahaan itu? Akhirnya aku mencoba mendaftar ke Jurusan Bisnis di perguruan tinggi tempat kakakku belajar.

Awalnya ayahku sempat meragukan keputusanku itu. Tapi, menurutku, perguruan tinggi tempat kakakku belajar itu sangat baik dan aku pernah mengikuti kompetisi di sana. Aku sempat pesimis karena aku mendaftar di gelombang kedua sebelum terakhir dan ternyata tes masuknya sangat sulit. Namun, syukur kepada Tuhan karena aku dinyatakan lolos untuk masuk ke Jurusan Bisnis dan keluargaku masih memiliki tabungan yang cukup untuk melunasi semua biaya masuknya.

Kekecewaan yang perlahan berbuah manis

Dulu aku pernah merasa khawatir kalau sehabis lulus SMA aku tidak bisa langsung kuliah di tahun itu. Aku juga khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapku, sampai-sampai aku juga menjadi ragu apakah Jurusan Bisnis yang kuambil ini adalah yang paling tepat buatku atau bukan. Pilihanku untuk kuliah di jurusan Bisnis membuat beberapa teman dan guru-guruku di SMA kecewa. Mereka berharap kalau aku seharusnya berusaha lebih untuk mendapatkan kuliah di Jurusan Kedokteran. Selama tahun pertama kuliahku aku merasa dihantui oleh pandangan mereka.

Tapi, ternyata setelah aku menjalani kuliah ini selama dua tahun, perlahan aku mulai menikmatinya. Tuhan memberiku berbagai kesempatan untuk berkarya di kampus, salah satunya dengan terlibat aktif dalam lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari lembaga itu aku belajar tentang kepemimpinan. Salah satu anugerah Tuhan yang awalnya tak pernah aku pikirkan adalah aku mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil ketua di kegiatan orientasi mahasiswa baru untuk angkatan 2016. Selain di BEM, aku juga aktif terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) orkestra sebagai seorang violist. Aku bersyukur karena aku bisa memaksimalkan talenta dan hobiku dalam kegiatan ini.

1 Korintus 2:9 mengatakan “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Ayat ini benar adanya. Apa yang dipikirkan oleh manusia ternyata berbeda dengan apa yang dirancangkan oleh Yang Mahakuasa. Pikiran-Nya jauh lebih rumit dan tinggi. Rencana-Nya jauh lebih besar dan indah.

Dari kampusku sekarang inilah aku belajar tentang kepemimpinan dalam organisasi yang kuikuti. Pengalaman yang aku dapatkan itu bisa kuterapkan dalam pelayananku sebagai ketua remaja di gereja. Aku belajar mengatur jadwal pelayanan dengan efektif, mendistribusikan tanggung jawab secara adil kepada masing-masing panita.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa memilih perguruan tinggi bukanlah semata-mata karena gengsi. Kita tidak boleh lupa cita-cita dan talenta apa yang kita miliki. Pilihlah jurusan yang membuat kita menikmati setiap prosesnya. Namun, jangan lupa juga untuk selalu libatkan Tuhan dan orangtua kita dalam membuat keputusan ini.

Sebuah anugerah dalam jawaban tidak

Aku belajar bahwa ketika Tuhan menjawabku dengan jawaban “tidak”, itu pun merupakan sebuah anugerah. Jawaban tidak itu memberi kita kesempatan untuk percaya kepada-Nya senantiasa dan percaya bahwa Dia memberikan sesuatu yang indah tepat pada waktu-Nya asalkan kita berani untuk mempercayai-Nya, mendengarkan-Nya, dan melakukan perintah-Nya.

Aku juga belajar bahwa apapun jawaban Tuhan untuk kita, yang wajib kita lakukan adalah percaya sepenuhnya dan berserah kepada Tuhan. Kita juga harus berani melakukan yang terbaik dalam kesempatan itu. Aku bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang melengkapi setiap kebutuhanku.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55:8).

Baca Juga:

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”