Posts

Maria pun Berjuang untuk Taat

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Saat itu matahari belum terbit dan aku sudah terbangun. Jemariku dengan cekatan menggenggam ponselku, menyalakannya, dan membuka Instagram. Lingkaran merah muda yang menandakan cerita temanku menjadi tujuan utama. Satu cerita, lanjut. Satu lagi, lanjut lagi. Satu lagi…

Tunggu.

Jantungku berdetak lebih keras ketika menatap sebuah cerita berisikan sebuah video permainan musik untuk persiapan sebuah ibadah. Aku pernah melihat video ini sebelumnya beberapa tahun lalu. Namun kali ini, ada yang berbeda.

Kali ini, video itu berwarna hitam putih.

Kali ini, terdapat tulisan pada video tersebut:

Fly high dear friend.

Salah satu pemain musik dalam video itu, seorang pelayan Tuhan yang setia, seorang yang kukenal dari jauh, kembali ke Rumah Bapa.

Kematian merupakan Kepastian

Dalam kehidupan di tengah ketidakpastian, kematian menjadi satu hal yang pasti. Sepanjang sejarah kekristenan, hanya Henokh dan Elia yang tidak mengalami kematian. Sisanya, dari mulai orang kristen biasa hingga mereka yang kita sebut sebagai pahlawan iman, mengalaminya—dua belas murid Yesus, Yusuf dan Maria, bahkan Yesus dalam kemanusiaan-Nya, sempat mengalami kematian.

Kematian pun masih eksis hingga masa kini. Seorang bayi yang baru lahir, remaja yang sedang mencari jati diri, pekerja muda yang sedang meniti karier, pengusaha yang berada di puncak kesuksesan, orang biasa; semuanya berhadapan dengan kemungkinan kematian.

Lalu, jika kematian begitu pasti, hidup ini untuk apa?

Pertanyaan tersebut pertama kali dilontarkan oleh seorang pendeta yang mengajar pada kelas katekisasiku. Satu kelas terdiam tidak merespons pertanyaan tersebut, termasuk aku.

Namun, kali ini aku mencoba merenungkannya.

Kalau hidup adalah untuk keluarga, apakah mereka yang tidak punya keluarga bisa dikatakan tidak punya hidup?

Kalau hidup adalah untuk mencari bahagia, apakah mereka yang berada dalam belenggu depresi bisa dikatakan tidak punya hidup?

Kalau hidup adalah untuk mencari uang, apakah mereka yang tidak punya uang bisa dikatakan tidak punya hidup?

Perenunganku membawaku teringat pada sebuah analogi yang seorang pengkhotbah sampaikan terkait tujuan hidup manusia.

Analoginya seperti ini:

Sebuah pulpen gunanya adalah untuk menulis. Yang membuat tujuan pulpen untuk menulis adalah pencipta pulpen. Pengguna pulpen bisa menggunakan untuk hal lainnya, seperti untuk melempar orang, mengganjal permukaan supaya rata, tapi bukan itu fungsi pulpen sebenarnya.

Sama halnya dengan hidup. Yang membuat tujuan adanya hidup, adalah Sang Pencipta Hidup. Pengguna hidup bisa menggunakannya untuk hal lain, tapi bukan itu tujuan hidup sebenarnya.

Mengingat analogi tersebut, membuatku menyadari bahwa kita sebagai pengguna hidup seringkali membuat tujuan lain dalam hidup kita. Untuk bahagia, untuk kaya, untuk menikmati kenyamanan. Kita tahu suatu saat kita akan mati, lalu kita menggunakan hidup ini untuk bersenang-senang melakukan banyak hal semau kita dengan prinsip #YOLO (You Only Live Once).

Namun bukan itu tujuan hidup kita sebenarnya.

Di akhir kelas katekisasi yang aku ikuti, pendeta tersebut menyampaikan bahwa tujuan hidup kita sebagai orang percaya adalah untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Tuhan selamanya.

Memuliakan Tuhan dinyatakan dengan komitmen untuk memuji Tuhan atas karakter-Nya, serta mewartakan pribadi-Nya lewat kehidupan kita. Sedangkan menikmati Tuhan dapat kita lakukan ketika kita mengerjakan ketaatan kita dengan sukacita dan mensyukuri segala pemberian-Nya dalam keseharian.

Namun tak jarang, memuliakan dan menikmati Tuhan sepertinya tidak berjalan beriringan. Sebut saja ketaatan. Kita tahu bahwa dengan taat melakukan yang Tuhan inginkan, merupakan cara memuliakan Tuhan; tapi banyak kasus ketika ketaatan itu sulit untuk kita nikmati. Misalnya ketika kita merasa lelah namun harus pulang lebih lama karena terlibat dalam pelayanan gereja. Atau ketika kita harus menolong orang dengan memberikan sebagian harta yang kita kumpulkan dengan susah payah.

Maria, Sebuah Pergulatan Memuliakan dan Menikmati Tuhan

Pada Lukas 1:38 Maria mengatakan, Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Aku membayangkan Maria yang masih muda mengatakan kalimat itu. Mungkin ia terperanjat, terheran-heran, tidak percaya, bahkan mungkin takut. Namun, Maria memilih taat dan memuliakan Tuhan lewat hal ini. Meskipun ternyata, perjalanannya menikmati Tuhan tidak semudah itu.

Kitab Lukas 1 dilanjutkan dengan Maria yang mengunjungi Elisabet. Sejarah mencatat bahwa jarak yang ditempuh Maria adalah sekitar 130 km, seperti perjalanan Jakarta-Bandung. Bayangkan Maria yang sedang hamil, rela pergi sejauh itu, dengan alat transportasi pada masa itu yang tentulah tidak senyaman sekarang.

Mengapa Maria rela menempuh perjalanan sejauh itu? Karena Maria membutuhkan Elisabet. Elisabet juga sedang mengandung dalam kondisi yang sama-sama terasa tidak mungkin. Maria mencari seseorang yang mengerti perasaannya. Maria mencari seorang teman.

Ketika Maria datang, dikatakan bahwa bayi di dalam perut Elisabet melonjak dan Elisabet berkata-kata dengan dipenuhi Roh Kudus (41-45). Sehingga pada akhirnya, Maria menyatakan nyanyian pujiannya (46-55). Nyanyian pujian ini pertama kali menyatakan bagaimana Maria menikmati Tuhan dalam ketaatannya.

Kisah Maria memberikan contoh bahwa memuliakan Tuhan bukanlah hal yang mudah. Memuliakan Tuhan memerlukan ketaatan yang seringkali justru terkesan menakutkan. Namun dalam ketakutan itu, perjalanan ketaatan acapkali disertai dengan kejutan yang menimbulkan senyum dan sukacita.

Seperti Maria yang membutuhkan Elisabet, kita pun membutuhkan dukungan untuk menjalani kedua tujuan hidup kita secara beriringan. Kita perlu diyakinkan, bahwa ketaatan kita untuk memuliakan Tuhan, juga bisa membuat kita menikmati berbagai sarana-Nya mengasihi kita.

Memuliakan dan menikmati Tuhan lewat ketaatan, bukanlah hal yang mudah. Namun Allah yang setia itu, memberi diri untuk menyertai perjalanan kita memenuhi tujuan hidup yang Ia berikan.

Kiranya dalam ketidakpastian hidup, kepastian yang kita terus ingat adalah Allah yang terus beserta.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagaimana Menemukan Kepuasan?

Oleh Sarah Calen

Aku menyebut diriku sebagai workaholic, si pecandu kerja. Aku punya kecenderungan untuk bekerja, dan bekerja, lalu bekerja lagi. Aku senang mencapai tujuan dan menyelesaikan tugas-tugasku. Selalu ada buku, bisnis, atau ide kreatif baru yang ingin aku selesaikan. Aku terus berusaha supaya progress-ku maju, kucoba menyelesaikan semua yang aku bisa. 

Tapi, akhir-akhir ini, aku merasa Tuhan mengajakku untuk berlatih merasa puas. Alih-alih bekerja keras untuk mencapai lebih banyak hal, aku merasa tertarik untuk menikmati saat-saat ini, menghargai musim kehidupan yang sekarang sedang terjadi atasku.

Kepuasan dalam masa-masa sulit

Undangan untuk melatih kepuasan diri ini pertama kali datang di tengah-tengah waktu yang tidak nyaman buatku, yang sedang dalam masa pemulihan dari kecanduan kerja. Aku tidak memiliki project dari client (mimpi buruk setiap freelancer) dan tidak ada tanda-tanda akan datangnya tawaran baru. Biasanya, aku akan menghubungi beberapa kontak yang hampir selalu memiliki pekerjaan untukku kerjakan, namun aku merasa Tuhan berkata ‘tidak’ pada ide ini.  

Saat itu aku sungguh tidak puas. Dan, karena aku tidak memiliki pekerjaan untuk mengisi waktu, hari-hariku pun dipenuhi pergumulan. Aku harus mengatasi apa yang membuatku merasa tidak puas. Aku tahu aku punya Tuhan yang mencukupkan segala sesuatu, tapi aku masih ingin lebih!

Aku merasa terjebak di tempat yang tidak aku inginkan, tetapi aku tahu dan yakin bahwa aku berada di tempat yang Tuhan inginkan. Pemahaman ini menolongku untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi situasiku. Aku sadar bahwa aku telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk bekerja dan berjuang. Aku lupa untuk menghargai semua yang aku miliki—kesehatanku, komunitas yang mendukung, kendaraan, tempat tinggal, teman sekamar yang baik—semuanya merupakan jawaban atas doa-doaku di masa lalu. Ketika aku terobsesi untuk selalu meraih lebih, aku sedang mengabaikan berkat-berkat yang ada di depanku.

Ketika aku berlatih untuk merasa puas, bahkan di musim kehidupan yang jauh dari nyaman, aku mulai menjadi lebih bersyukur. Meskipun aku tidak berada di tempat yang aku inginkan, ketika aku lebih fokus pada kebaikan Tuhan daripada apa yang kurang, rasa syukur pun hadir di dalam diriku. Aku pun mulai menghayati Mazmur 34:1, yang berbunyi,

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.” 

Aku tidak pernah mengira bahwa melatih rasa puas akan menghasilkan rasa syukur yang sejati dalam hatiku, tetapi justru inilah cara yang tepat.

Jika kamu sedang merasa kurang, tidak puas, terlepas apa pun kondisimu, aku mendorongmu untuk cobalah melambatkan ritme hidupmu. Ambillah waktu khusus untuk mencari Tuhan dan mintalah Dia untuk menyatakan apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu saat ini. Mintalah Dia untuk menunjukkan bagaimana Dia telah memberkatimu, bahkan di tengah-tengah kesulitan sekalipun. 

Meskipun merasa puas dan bersyukur tidak akan secara ajaib mengubah semua kesusahan kita, namun hal ini dapat membantu kita menemukan sukacita, damai sejahtera, dan pengharapan di tengah-tengah masa-masa sulit tersebut.

Kepuasan dalam kelimpahan

Sekarang, aku berada di fase yang sama sekali berbeda. Rasanya, setelah berbulan-bulan menunggu kepastian, seluruh hidupku berubah dalam waktu satu minggu. Sekarang aku punya lebih banyak pekerjaan, lebih banyak daripada ekspektasiku dulu. Aku membantu teman A mengembangkan bisnis kecilnya yang sedang naik daun, lalu membantu teman B untuk memulai perusahaannya, dan juga bekerjasama dengan teman C untuk merintis usaha yang benar-benar baru. Aku kagum bahwa aku dapat berkontribusi mengubah kehidupan orang lain, tetapi aku sangat sadar akan godaan untuk aku kembali ke gaya hidup yang workaholic.

Berlatih merasa puas tetap jadi tujuanku meskipun aku tidak lagi ada dalam masa-masa sulit. 

Aku tidak menyadari bahwa belajar untuk mempraktikkan rasa puas di saat kekurangan akan mempersiapkanku juga untuk merasa puas di saat kelimpahan. Karena, bahkan ketika segala sesuatunya baik-baik saja, ketidakpuasan masih bisa muncul. Ada daya tarik yang sangat nyata untuk menginginkan lebih; bahkan saat ini, ketika segala sesuatunya baik-baik saja, aku masih bisa menemukan diriku terdorong ke arah ketidakpuasan. 

Pada masa-masa yang nyaman dan tidak kekurangan, aku berpegang kembali ke 1 Timotius 6:6, yang mengatakan, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.” 

Aku belajar bahwa di masa kelimpahan ini, pekerjaan, penghasilan, dan kesempatan yang aku peroleh tidak harus menjadi fokusku. Sebaliknya, aku dapat memilih untuk tetap bersyukur dan puas, bahkan dengan segala sesuatu yang saat ini terjadi di sekitarku, tanpa keinginan untuk melakukan atau memiliki lebih banyak lagi. 

Jika kamu sekarang sedang mengalami masa-masa kelimpahan, entah apa pun profesi atau statusmu, aku mendorongmu untuk ‘berjalan’ lebih lambat . Alih-alih berfokus untuk mendapatkan semua yang kamu inginkan atau impikan, mintalah kepada Tuhan untuk menunjukkan kepadamu apa yang Dia ingin kamu lakukan saat-saat ini. Mintalah Dia untuk menunjukkan kepadamu bagaimana kamu bisa lebih bersyukur dan puas. 

Rasa puas dibutuhkan di setiap musim kehidupan. Ketika kita melambatkan ritme hidup kita, kita akan melihat lebih jelas semua yang sedang dan telah Tuhan lakukan untuk kita. Kita dapat memilih untuk bersyukur, baik ketika segala sesuatunya berantakan, atau ketika segala sesuatunya sempurna. Kepuasan bukanlah sesuatu yang kita latih untuk mendapatkan sesuatu yang lain, tetapi merupakan suatu keuntungan yang besar bagi diri kita sendiri.

Aku tahu bahwa melatih diri merasa puas tidak sekadar berhenti mengingini sesuatu, bisa jadi ini akan jadi topik bahasan yang lebih luas. Jadi inilah beberapa hal praktis yang telah membantuku merasa puas:

a. Aku mencatat doa-doaku

Tindakan sederhana berupa menuliskan doa-doaku, termasuk apa yang aku syukuri, adalah pengingat nyata akan pemeliharaan Tuhan yang dapat aku lakukan secara teratur.

b. Menghabiskan waktu di alam

Bagiku, berjalan-jalan setiap hari di alam membantuku mengingat betapa agungnya Tuhan dan betapa kerdilnya aku. Keindahan alam mengingatkanku akan kebaikan Tuhan.

d. Mengurangi penggunaan media sosial

Meskipun media sosial dapat menjadi alat yang luar biasa untuk terhubung dengan orang lain, aku tahu bahwa medsos juga bisa meniupkan bara ketidakpuasan dalam diriku. Bijaksana menggunakan medsos menolongku untuk tetap fokus pada hal yang paling penting.

e. Berbagi cerita secara jujur dengan orang-orang yang dipercaya

Segera setelah aku tahu bahwa kepuasan adalah kata yang tepat untukku saat ini, aku menceritakannya kepada beberapa teman. Pada saat-saat ketika ketidakpuasan mulai muncul lagi, aku bisa menghubungi mereka dan mengobrol tentang ini

Artikel ini diterjemahkan dari Reclaim Today

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Merengkuh Teman Bernama Kegagalan

Kita mungkin pernah berada di posisi serba salah—dituntut ini itu, tapi malah gagal dan kita merasa berada di jalur yang salah. Namun, dari keadaan rumit inilah justru kita bisa mengenal siapa sumber kekuatan kita dan percaya segala sesuatu mendatangkan kebaikan 😇

Artspace ini didesign oleh Shania Vebyta Ananda dan diadaptasi dari artikel karya Tabita Davinia Utomo.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Proses Menjadi Manusia Sempurna

Oleh Oliver Kurniawan Tamzil, Sukoharjo

Teruslah belajar menjadi manusia yang seutuhnya ya, karena aku pun masih terus belajar,” ucap salah satu kakak pembimbingku di gereja.

Dalam hati aku bergumam, bukankah selama ini kita adalah manusia? Mengapa masih harus belajar jadi manusia yang seutuhnya? Aku pun mencoba mencari tahu lebih lanjut. Kubuka KBBI, di sana tertulis makna dari kata “manusia” adalah makhluk yang berakal budi.

Frasa “akal budi” adalah hal penting yang menjadikan manusia berbeda dengan makluk lainnya. Manusia adalah kasta tertinggi dari seluruh ciptaan. Firman Tuhan menceritakan bahwa manusia diberikan kebebasan untuk mengelola alam dan ciptaan-Nya dengan hikmat. Kita semua diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (imago Dei). Namun, jika kurenungkan lebih lanjut, meskipun pada kenyataannya kita diciptakan dengan begitu mulia oleh Allah, seringkali kita sendiri menganggap diri kita tidak berharga karena kita membandingkan diri dengan proses dan pengalaman hidup orang lain, yang bukannya memotivasi malah seringkali membuat kita jadi minder.

Ada kalanya kita mengalami kegagalan, berbuat kesalahan, tidak semua harapan tercapai, ditinggalkan oleh teman-teman kita. Perasaan kecewa atau gagal karena semua kejadian itu adalah perasaan yang valid. Buatku pribadi, ada satu pengalaman yang sungguh mengubahkanku. Saat itu aku mengalami masalah pribadi yang sungguh berat, aku hancur-sehancurnya dan aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa, satupun teman tidak ada yang peduli. Tiba-tiba kakak pembimbingku datang dan berpesan, “Tuhan menciptakan gelap dan terang pada hari penciptaan ke 4, Oliver tahu kan kalau gelap identik dengan sesuatu yang kurang jelas dan kurang baik, namun di balik itu ada tujuan Tuhan yang mulia yaitu supaya manusia bisa beristirahat. Demikian juga saat ini Tuhan izinkan Oliver mengalami situasi yang “gelap”, pasti Dia juga punya rancangan yang luar biasa diluar akal pikiran kita. Terus berjalan ya”. Sejak saat itu aku percaya bahwa pengalaman gelap sekalipun bisa dipakai Tuhan membentuk kita menjadi manusia seutuhnya.

Menjadi manusia seutuhnya berarti kita bersedia dibentuk oleh Tuhan melalui berbagai cara dan proses, salah satunya lewat relasi kita dengan sesama manusia lainnya. Hari demi hari, kita berusaha untuk hidup lebih baik, seperti panggilan Kristus dalam Matius 5:48 yang berkata, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”

Namun, apakah kita baru bisa jadi manusia seutuhnya jika sudah benar-benar sempurna? Bukankah dalam hidup ini tidak ada yang sempurna?

Kata yang diterjemahkan sebagai ‘sempurna’ dalam Injil Matius itu sebenarnya lebih berarti dewasa, lengkap, atau utuh. Menjadi sempurna berarti kita memberi ruang bagi pertumbuhan, serta menjadi cukup dewasa untuk mempersembahkan diri kita kepada sesama.

Jika kita menganggap hidup kita baru utuh sebagai manusia jika sudah mencapai kesempurnaan dari segi finansial, harta benda, atau pencapaian-pencapaian lahiriah lainnya, kita sedang terjebak pada upaya sia-sia dalam memegang kendali hidup kita. Sebaliknya, kita dapat mendengar undangan lembut dari Tuhan Yesus untuk berserah. Di dalam Dia, kita akan menemukan kebebasan dan keutuhan yang hanya mungkin bisa kita alami di dalam Dia.

Menutup tulisan singkatku, aku teringat akan sebuah doa yang kudengar di acara KKR:

“Tuhan, bentuklah aku menjadi manusia dan sesama seperti kehendak-Mu, bukan kehendak temanku atau bahkan orangtuaku. Maafkan aku Tuhan jika acapkali tidak menaati perintah dan perkataan-Mu. Jangan bentuk aku menjadi manusia yang sempurna menurut standar dunia tetapi jadikan aku orang yang terus mau belajar bahkan melalui kesalahan. Sebab melalui kesalahan itu aku mengerti hal manakah yang sesuai”.

Meskipun aku tidak mengenal kalian yang membaca tulisanku ini namun aku berharap dan berdoa kalian terus menjadi manusia yang utuh di hati Tuhan dan hati siapapun yang rindu akan kasih-Nya.

Selamat berjuang dan berproses Bersama Dia, Sang Pemimpin Kehidupan. Tuhan Yesus memberkati.

Ujian Piano Bersama Tuhan

Oleh Aretha Nathania, Surabaya

Sudah jam enam pagi, aku masih tertidur pulas di bantalku yang empuk dan merasa malas untuk bangun dari tempat tidur. Papaku membangunkanku dengan melepas sprei dan menutupinya di seluruh badanku seperti aku sedang dikubur. Namun, aku masih juga belum berniat bangun. Papa pun berteriak, “Ayoo bangun, udah jam berapa ini, Tatataaa”. Suara papa membuatku sungguh jengkel dan terganggu.

“Apa sih… masih ngantuk jangan teriak-teriak, dong!” kataku dengan kesal.

“Udah jam berapa ini! Mau les piano, tidak?” Papa balik bertanya.

“Iya…iya… sabarrr,” jawabku sambil memaksa diri untuk bangun.
Sebelum beranjak dari kasur, aku tidak lupa untuk berdoa kepada Tuhan karena telah memberikanku perlindungan semalaman aku tidur.

Dengan rambut yang kusut dan wajah yang masih malas, aku bergegas lari ke bawah untuk sarapan sebentar kemudian mengambil tas untuk les piano. Aku masuk ke dalam mobil dan papaku mengantarku ke tempat les. Di sela-sela perjalanan, aku selalu meminta papa untuk memutarkan satu atau dua lagu. Terkadang, aku tidak bisa mendengarkan musik karena radio di mobilku rusak dan mengeluarkan bunyi bising. Jika aku bosan di mobil, maka aku memandang pemandangan di luar. Tempat lesku adalah tempat tinggal guruku. Lokasinya berada tidak jauh dari rumahku sekitar 5,3 km perjalanan.

Sesampainya di tempat les, aku disambut oleh guruku. Dia bertanya, “Tadi sudah latihan belum di rumah?”

“Hehe…uhh belum sih, miss, soalnya sibuk ada banyak tugas sekolah jadi tidak sempat”, kataku sambil tertawa kecil.

Guruku sambil tertawa menjawab, “Ya udah, ayo latihan coba dulu, miss mau dengar.”

Aku memberikan usahaku sepenuhnya untuk memainkan lagu yang akan diujikan di ujian piano beberapa minggu lagi, judul lagunya adalah Swan Lake. Lagu ini cukup panjang, sekitar dua lembar. Untungnya, aku sudah menguasai lagu tersebut sejak awal persiapan sehingga penampilanku bisa lebih matang.

Guruku merespons, “Sudah bagus, cuma coba kamu mainkan temponya dari kecil ke keras gitu ya.”

”Haruskah temponya diperbaiki miss? Toh ya, tempo yang kumainkan sudah betul,” kataku dengan yakin.

“Mau menang apa tidak nanti ujiannya? Nicho loh udah bisa, jangan mau kalah.” Nicho adalah saudaraku yang satu les denganku.

Aku berkata, “Huhh…baiklah, miss.”

Selang beberapa menit ke depan, aku memainkan lagu tersebut berulang-ulang sampai aku mahir. Seiring waktu, aku menunjukkan kemajuan dalam lagu yang kumainkan.

Sudah satu jam aku latihan dan sudah waktunya papa menjemputku. Selama menunggu, aku duduk di sofa depan pintu rumah guruku dan berbincang dengannya.

“Miss?” tanyaku.

“Apa, Ta?”

“Kenapa sih setiap aku latihan tetap tidak bisa mahir sedangkan orang lain bisa memainkannya dengan mahir dengan hanya latihan beberapa hari saja?” tanyaku heran.

“Ya, gapapa. Semua orang kan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jangan disamakan, Ta. Kamu kan juga pintar dan sudah lebih bisa mainnya”, jawab guruku.

Hampir, aku tidak percaya dengan kata-kata guruku yang berkata “kamu kan juga pintar”. Aku merasa kenyataannya tidaklah begitu.

Beberapa hari di rumah, aku latihan berkali-kali. Karena latihanku yang sangat keras, aku sampai tidak berselera untuk makan dan aku sering melamun meragukan kemampuan musikku. Aku tidak bisa tidur beberapa malam dan kadang aku bermimpi buruk. Bahkan, saat tidurku aku berusaha menghafal lagi lagu yang kumainkan.

Setiap latihan, aku sering menangis karena tidak bisa memainkannya tanpa ada kesalahan sedangkan saudaraku bisa bermain dengan baik dengan hanya latihan beberapa minggu. Hal tersebut membuat aku tambah depresi sampai suatu saat aku mendobrak pintu kamar dan melempar beberapa barang karena tidak bisa memberikan penampilan terbaikku kepada orang tuaku.

“Mengapa aku tidak bisa bermain dengan sempurna untuk satu hari saja?!”, teriakku dengan nada tinggi.

Aku jatuh di lantai dan menangis sekeras-kerasnya tapi orangtuaku tidak mengetahui jika aku menangis. Mereka memang tidak suka kalau melihat aku bersikap cengeng dan menangisi hal kecil. Namun, bagiku ini bukan hal kecil, ini adalah hal besar yang benar-benar harus aku hadapi. Waktu sudah berjalan, tidak lama lagi ujian online piano akan dimulai. Aku harus benar-benar siap. Aku menguatkan diriku dan segera bangkit dari lantai dan mengulangi latihanku. Tiap hari, aku mendapatkan komentar dari guru pianoku tentang nada yang terlalu tinggi atau rendah, tempo yang kurang pelan atau cepat, dan sebagainya. Namun, aku mengambil komentar itu sebagai motivasi dan pelajaran sehingga dapat meningkatkan penampilanku saat ujian piano nanti.

Ketika hari ujian online piano tiba, banyak tantangan yang aku temui seperti menyempurnakan tempo, penampilan, nada, irama, gestur badan yang harus tegak saat bermain, dan emosi yang dituangkan saat bermain, serta yang menurutku paling penting adalah fokus. Tapi, puji Tuhan! Aku berhasil menaklukkan itu semua. Dengan pertolongan Tuhan yang memampukanku untuk bekerja keras dan latihan yang tak kenal lelah, aku berhasil mendapatkan juara 3 (DISTINCTION) dalam ujian piano.

Orang tua dan guruku sangat bangga kepadaku dengan pencapaian yang kuraih. Saat aku menaruh piala musikku di dalam lemari kamarku, aku berkata kepada diri sendiri “You made it, thank you for not giving up on yourself.”

Hal yang aku pelajari dari pencapaianku adalah aku selalu mempunyai harapan di dalam Tuhan, dan Tuhan selalu menyatakan kasih dan anugerah-Nya padaku. Mungkin Dia tidak memberiku talenta sebanyak orang lain atau kemampuan untuk bisa melakukan sesuatu secara otodidak, tapi Dia mengajarkanku arti dari kerja keras dan ketekunan.

Aku ingat saat renungan di kelas, guruku membaca sebuah ayat Alkitab yang diambil dalam Amsal 6:6-8 yang berkata demikian, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.”

Ayat Alkitab ini mengajarkan bahwa kemalasan tidak akan membuahkan hasil apapun, tetapi ketekunan akan membawa keberuntungan bagi kita.

*Aretha Nathania merupakan siswi SMP di salah satu sekolah di Surabaya. Ini adalah tulisan pertamanya.

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

aku-tidak-lolos-seleksi-masuk-perguruan-tinggi-negeri-haruskah-aku-kecewa

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain. Setelah lulus SMA, aku tidak berhasil mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ataupun masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Dulu tidak pernah terbayang dalam pikiranku kalau jurusan kuliah yang kuambil sekarang ternyata bertolak belakang dengan jurusan yang kuambil di SMA. Sekarang aku belajar tentang Bisnis, sedangkan di SMA aku masuk jurusan IPA. Ibuku adalah seorang dokter sehingga awalnya aku sempat mengira kalau aku akan kuliah di kedokteran nantinya.

Orangtuaku ingin salah satu anaknya meneruskan karier sebagai dokter. Lalu, guru-guru dan teman-temanku di SMA juga mendorongku untuk masuk ke jurusan kedokteran karena mereka beralasan kalau nilai-nilaiku yang baik itu akan memudahkanku untuk diterima di jurusan kedokteran. Akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku ke Jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tanpa tes seraya berharap supaya prestasiku selama SMA bisa menolongku untuk diterima di sana.

Ketika aku harus kecewa

Tapi, ternyata Tuhan tidak membukakan jalan untukku berkuliah di perguruan tinggi negeri itu. Ketika mendaftar lewat jalur undangan (non-tes), aku gagal, lalu aku juga mencoba kembali di jalur tes namun hasilnya tetap sama.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga mencoba mendaftar di perguruan tinggi swasta. Aku coba untuk mendaftar di Jurusan Kedokteran, Arsitektur, dan Desain Interior di beberapa perguruan tinggi. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, aku diterima di Jurusan Kedokteran di salah satu kampus di Jakarta. Tapi, ayahku tidak setuju karena takut apabila aku tidak menikmati kuliahku di sana, selain itu beliau juga kurang percaya dengan kualitas pendidikan di sana. Aku juga diterima di Jurusan Desain Interior di salah satu kampus di Tangerang, tapi setelah aku melakukan survei ke kampus itu, aku merasa kalau lingkungannya tidak nyaman untukku.

Waktu itu aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Jika Dia mengizinkanku untuk bisa kuliah di tahun itu, aku sungguh bersyukur. Tapi, jika tidak pun aku mau tetap percaya kepada-Nya. Aku telah beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi yang kuingini, dan juga aku sendiri masih ragu dengan perguruan tinggi mana yang sebenarnya aku inginkan. Walaupun aku sudah mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu, tapi selalu saja ada pertanyaan yang menggantung di benakku, “Apakah ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Ayahku mendorong anak-anaknya untuk kelak dapat berwirausaha dengan membuka bisnis sendiri. Kemudian aku berpikir mengapa tidak mencoba saja untuk belajar tentang kewirausahaan itu? Akhirnya aku mencoba mendaftar ke Jurusan Bisnis di perguruan tinggi tempat kakakku belajar.

Awalnya ayahku sempat meragukan keputusanku itu. Tapi, menurutku, perguruan tinggi tempat kakakku belajar itu sangat baik dan aku pernah mengikuti kompetisi di sana. Aku sempat pesimis karena aku mendaftar di gelombang kedua sebelum terakhir dan ternyata tes masuknya sangat sulit. Namun, syukur kepada Tuhan karena aku dinyatakan lolos untuk masuk ke Jurusan Bisnis dan keluargaku masih memiliki tabungan yang cukup untuk melunasi semua biaya masuknya.

Kekecewaan yang perlahan berbuah manis

Dulu aku pernah merasa khawatir kalau sehabis lulus SMA aku tidak bisa langsung kuliah di tahun itu. Aku juga khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapku, sampai-sampai aku juga menjadi ragu apakah Jurusan Bisnis yang kuambil ini adalah yang paling tepat buatku atau bukan. Pilihanku untuk kuliah di jurusan Bisnis membuat beberapa teman dan guru-guruku di SMA kecewa. Mereka berharap kalau aku seharusnya berusaha lebih untuk mendapatkan kuliah di Jurusan Kedokteran. Selama tahun pertama kuliahku aku merasa dihantui oleh pandangan mereka.

Tapi, ternyata setelah aku menjalani kuliah ini selama dua tahun, perlahan aku mulai menikmatinya. Tuhan memberiku berbagai kesempatan untuk berkarya di kampus, salah satunya dengan terlibat aktif dalam lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari lembaga itu aku belajar tentang kepemimpinan. Salah satu anugerah Tuhan yang awalnya tak pernah aku pikirkan adalah aku mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil ketua di kegiatan orientasi mahasiswa baru untuk angkatan 2016. Selain di BEM, aku juga aktif terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) orkestra sebagai seorang violist. Aku bersyukur karena aku bisa memaksimalkan talenta dan hobiku dalam kegiatan ini.

1 Korintus 2:9 mengatakan “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Ayat ini benar adanya. Apa yang dipikirkan oleh manusia ternyata berbeda dengan apa yang dirancangkan oleh Yang Mahakuasa. Pikiran-Nya jauh lebih rumit dan tinggi. Rencana-Nya jauh lebih besar dan indah.

Dari kampusku sekarang inilah aku belajar tentang kepemimpinan dalam organisasi yang kuikuti. Pengalaman yang aku dapatkan itu bisa kuterapkan dalam pelayananku sebagai ketua remaja di gereja. Aku belajar mengatur jadwal pelayanan dengan efektif, mendistribusikan tanggung jawab secara adil kepada masing-masing panita.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa memilih perguruan tinggi bukanlah semata-mata karena gengsi. Kita tidak boleh lupa cita-cita dan talenta apa yang kita miliki. Pilihlah jurusan yang membuat kita menikmati setiap prosesnya. Namun, jangan lupa juga untuk selalu libatkan Tuhan dan orangtua kita dalam membuat keputusan ini.

Sebuah anugerah dalam jawaban tidak

Aku belajar bahwa ketika Tuhan menjawabku dengan jawaban “tidak”, itu pun merupakan sebuah anugerah. Jawaban tidak itu memberi kita kesempatan untuk percaya kepada-Nya senantiasa dan percaya bahwa Dia memberikan sesuatu yang indah tepat pada waktu-Nya asalkan kita berani untuk mempercayai-Nya, mendengarkan-Nya, dan melakukan perintah-Nya.

Aku juga belajar bahwa apapun jawaban Tuhan untuk kita, yang wajib kita lakukan adalah percaya sepenuhnya dan berserah kepada Tuhan. Kita juga harus berani melakukan yang terbaik dalam kesempatan itu. Aku bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang melengkapi setiap kebutuhanku.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55:8).

Baca Juga:

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”