Posts

Ketika Kecantikan Menjadi Berhalaku

Oleh Elsa, Balikpapan

Jika diingat-ingat, di masa SMP dan SMA aku bukanlah tipe perempuan yang antusias untuk mempercantik diri atau merombak penampilan. Aku tidak mengubah warna rambutku. Aku juga cuek soal make-up. Aku bahkan ogah memakai rok mini atau dress di atas lutut. Singkat kata, aku cukup konservatif.

Saat itu, yang menjadi perhatianku hanyalah dua hal: rambutku yang nampak lebih baik setelah di-smoothing atas permintaan orang tuaku, dan kulit wajahku yang sempat berjerawat tetapi akhirnya dapat kembali mulus berkat sebuah produk skincare. Awal masa SMA, aku pun memiliki kepercayaan diri untuk berkata bahwa aku cantik.

Kepercayaan diriku nyatanya tidak salah. Aku mendapatkan konfirmasi dari orang-orang di sekitarku, bahwa aku memang cantik dan wajahku pun membaik. Aku mulai berani mengurai rambutku saat pergi ke sekolah—sesuatu yang dulu tak pernah kulakukan—dan berjalan melintasi teman-temanku dengan santai. Reaksi mereka tak mengecewakan, beberapa dari mereka malah terang-terangan memberi pujian. Aku membalasnya dengan senyuman tipis, yang membuatku nampak rendah hati. Padahal, ada rasa bangga yang perlahan muncul dalam hatiku.

Memiliki wajah yang bebas jerawat memang menguntungkan. Aku tidak pernah mendapatkan pandangan berbeda dari teman-temanku seperti ketika mereka melihat teman lain yang berjerawat. Aku juga tidak ragu ketika diajak berfoto.

Ketika memasuki perkuliahan, aku mulai berkeinginan untuk lebih menunjukkan eksistensi diriku. Aku tidak hanya ingin dilihat orang lain sebagai orang yang cerdas, tetapi juga cantik. Aku sering membayangkan diriku menjadi sosok yang seperti itu. Akhirnya, aku mulai mencoba menggunakan serangkaian produk skincare, mulai dari facial wash, toner, moisturizer, dan protector. Aku juga berniat untuk belajar memakai make up dan sudah sempat membeli beberapa alat yang dibutuhkan. Saat itu aku berpikir bahwa hal ini kulakukan untuk membuat diriku lebih baik dari sebelumnya.

Hingga suatu hari, wajahku mengalami breakout hingga aku lelah menanganinya. Kondisi wajahku yang semula kuanggap amat baik jadi berubah. Aku rindu wajah mulusku. Aku hampir berniat untuk membeli obat jerawat karena aku ingin jerawat di wajahku sirna. Namun, tiba-tiba ada suara dalam diriku yang menyentak ketika aku mencondongkan wajahku di depan cermin.

“Waktu dikasih wajah mulus terima-terima aja, kok waktu jerawatan langsung protes?”

Aku terdiam beberapa saat, hingga suara lainnya menyusul.

“Kamu tau gak, kamu sudah terlalu ambisius untuk jadi cantik. Wajah mulus sudah pernah kamu nikmati, sekarang coba nikmati dulu wajah yang berjerawat. Jangan langsung beli obat jerawat.”

Aku pun kembali ke kamar, kembali melihat cermin, lalu menyentuh jerawat-jerawatku.

“Kayaknya benar, Vi. Kamu terlalu ambisius buat cantik.”

Saat itu pula aku teringat pada sebuah renungan yang pernah kubaca tentang sebuah bangsa di Perjanjian Lama yang mendirikan patung untuk disembah dan dijadikan berhala. Aku juga teringat pada Amsal 31:30.

“Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.”

Dengan penuh penyesalan, aku tersadar bahwa aku telah lebih mengagungkan dan mengejar kecantikan yang adalah penampilan luar daripada fokus bersikap baik dan mempercantik hatiku. Tuhan sudah menganugerahkanku wajah yang mulus—cukup dengan produk facial wash saja. Tetapi, aku tidak puas. Aku ingin wajahku lebih dari sekedar mulus. Saat aku berencana untuk menambah serangkaian produk skincare, sebenarnya aku sudah mempertimbangkan faktor usia dan kesiapan kulitku. Termakan ambisi, aku malah tidak sabar menunggu waktu yang seharusnya untuk menggunakan produk-produk tertentu. Aku membuat keputusan dengan agresif untuk membeli apa yang kuanggap baik setelah menelusuri internet.

Lagi-lagi, aku telah keluar dari jalur Tuhan. Menyadari hal itu, aku meminta maaf pada Tuhan atas ambisiku yang sia-sia. Ternyata, berhala tidak hanya menjelma dalam bentuk kekuasaan, uang, atau kehidupan yang menyenangkan saja—kecantikan pun bisa menjadi salah satunya.

Hari itu, aku menyesal karena telah mengecewakan Tuhan dengan memberhalakan kecantikan. Tetapi, di balik semua ketidaktahuan diriku akan kasih-Nya yang besar bagiku, Ia tetap setia membimbingku kembali ke jalan-Nya.

Hari ini, aku memiliki kesadaran baru bahwa di hadapan Tuhan, diriku cukup sebagaimana adanya. Nilai diriku tidak didasari oleh daya pikat yang berhasil kuciptakan untuk menarik perhatian teman-temanku, melainkan berdasarkan iman yang kupegang di dalam Dia.

Hari ini, aku telah diingatkan Bapa bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan selain merasakan suara Tuhan di tengah-tengah aktivitas yang kujalani.

Dan hari ini, aku belajar untuk lebih memperhatikan berhala-berhala kecil di kehidupanku.

Terimakasih Bapa, Kau telah mengingatkanku.

Baca Juga:

Belajar dari Kisah Naaman: Menerima Saran Sebagai Cara untuk Memperbaiki Diri

Seberapa serius kita menanggapi saran yang diberikan kita? Apakah kita mengikutinya atau sekadar menjawab “ya” tapi tanpa tindak lanjut?

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Our Love Story Went Wrong

“Di mana kamu mendapatkan sukacita terbesarmu?”

Aku berhenti sejenak, mengingat apa yang membuatku tersenyum, apa yang membuatku bertahan menjalani keseharianku, dan apa yang paling membawa kebahagiaan untukku.

“Kurasa aku mendapatkan sukacita terbesarku . . . dalam dirimu,” Ucapku dengan lembut.

“Aku juga.”

***

Inilah bagian dari kisah cinta kita di mana kita tersenyum sambil menatap satu sama lain dengan malu-malu, menggenggam tangan dan merangkul satu sama lain dalam cinta—cinta yang penuh dengan kebahagiaan, romantis, dan terasa seperti melayang-layang.

Bagian cerita inilah yang membuat kita sadar bahwa kita sedang menghidupi kisah-kisah cinta yang diceritakan dalam dongeng, lagu, buku, dan film. Kisah cinta yang disajikan pada kita dengan segala kalimat, lirik, dan adegannya, hingga tanpa sadar kita telah membeli sesuatu yang sama berkali-kali.

Namun, justru pada bagian inilah kisah cinta kita berjalan ke arah yang keliru. Sebab, kisah cinta yang sejati tidaklah seperti itu, dan kisah cinta yang sedang kita jalani sekarang tidak akan bertahan selamanya.

***

Aku sedang menjalani hubungan dengan tunanganku, David, selama 2 tahun. Dan hari demi hari, aku semakin jatuh cinta dengannya.

Namun selalu ada bahaya ketika aku mencintainya dengan sangat. Cinta itu dapat membuatku mencintainya lebih dari cinta pertama dan terbaikku: Tuhan.

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku mendapati diriku melewati batas itu: ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengannya dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Tapi mengapa itu seperti hal yang buruk? Apa yang salah dengan lebih mencintai calon suamiku daripada Tuhan?

Itu sangat berbahaya. Hal itu menarikku dari menyembah Tuhan kepada memberhalakan seorang manusia biasa yang penuh kelemahan dan kekurangan (Roma 1:25). Terkadang aku mendapati diriku sangat mencintainya hingga aku lupa bahwa dia hanyalah manusia. Dan walaupun dia berusaha sebaik mungkin untuk mencintaiku dengan benar, dia terkadang gagal—akupun juga. Dan saat itulah kita merasa kecewa, tersakiti, dan marah pada pasangan kita.

Itu adalah dosa. Hal itu melanggar perintah pertama Tuhan pada kita: bahwa kita tidak menyembah allah lain di hadapan-Nya (Keluaran 20:3). Berhala bukan hanya patung kayu kecil atau sebuah altar di dalam rumah yang kita sembah, melainkan hal yang bertakhta di kehidupanku. Berhala adalah hal yang kucintai, dambakan dan hargai lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini.

Dan itulah hal yang mendukakan Tuhan. Tuhan bersedih ketika aku pergi menjauh dari-Nya menuju pelukan kekasih lain, sebuah karunia yang Tuhan sendiri berikan padaku, tapi yang telah kubelokkan dan kusalahgunakan untuk keegoisanku. Mengkhianati Tuhan juga menyakitiku dalam cara-cara yang tidak dapat kumengerti secara kognitif, namun kurasakan secara spiritual, ketika rohku berduka bersama dengan Roh Kudus.

Berkali-kali aku diperlihatkan pada konsekuensi dari mencintai pasanganku lebih daripada Tuhan. Namun konsekuensi ini ditujukan untuk menuntunku pada pertobatan dan untuk mendisiplinkanku untuk kebaikanku (Ibrani 12:5-11). Seperti yang dikatakan dengan tepat oleh temanku: “Tuhan tidak memberikanmu seseorang untuk melihat dia mengambil tempat-Nya di hidupmu.”

Mengasihi tunanganku lebih dari Bapa seringkali menuntun pada rasa sakit dan hubungan yang merenggang. Karena ketika aku meninggikannya hingga dia menjadi tuhan dalam hidupku—sosok yang kupercaya dapat memenuhi segala keinginan dan kebutuhanku, yang mencintai dan mengerti diriku tanpa syarat, dan yang selalu ada denganku dalam segala kondisi, baik secara fisik maupun emosional—aku mendapati dirinya gagal memenuhi semua itu. Seharusnya hal ini tidak mengherankan, tapi aku tidak dapat menahan diriku dari perasaan kecewa, bahkan seperti merasa ditipu. Dan semua itu karena aku mempercayai kebohongan yang kubuat sendiri.

Lalu bagaimana caranya kita mengasihi pasangan kita tanpa memberhalakan mereka?

Momen ketika kami mengaku bahwa kami mendapatkan sukacita terbesar dalam pelukan satu sama lain merupakan pengalaman yang pahit namun manis—pahit karena kami tahu bahwa cinta kami dapat dengan mudah berubah menjadi berhala jika kami tidak berhati-hati; namun manis, karena kita telah menemukan orang yang jiwa kita kasihi dan yang dengannya kita akan disatukan (Kidung Agung 3:4, Kejadian 2:1-24).

Momen itu merupakan pengingat bahwa cinta romantis seperti itu, sama dengan cinta lainnya, hanyalah bayang-bayang dari Cinta terbesar yang pernah ada: cinta yang diwujudkan di kayu salib melalui Anak Allah, yang menanggung dosa-dosa kita dan mati bagi kita

Aku belajar bahwa satu-satunya cara untuk mencintai David dengan benar, dan juga satu-satunya cara David untuk mencintaiku dengan benar, adalah dengan mencintai Tuhan dengan benar (1 Yohanes 4:19). Hal ini berarti menanyakan pada diri kita siapa Tuhan bagi kita; dan jika Tuhan adalah Tuhan kita, kita meresponinya dengan menjalani hidup yang menyembah Allah dengan sepenuhnya.

Hal ini berarti menyatakan Tuhan sebagai Raja dari hati kita, dengan mengutamakan pertumbuhan relasi kita dengan Cinta pertama kita, baik secara pribadi maupun sebagai pasangan. Tidak hanya ketika kita mendengarkan khotbah di gereja, atau ketika kita menghabiskan waktu dengan keluarga kita, tapi juga di saat-saat kita sedang sendiri.
Hubungan yang berpusat pada Kristus didasari oleh komitmen, kebergantungan dan keintiman. Ini artinya dengan sadar memiliih untuk mencintai Tuhan di atas pasangan kita, bersandar hanya pada Kristus sebagai batu penjuru, dan mendekat pada-Nya tiap hari, dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari.

Semenjak kami menyadari bahwa kami perlu menempatkan Tuhan di atas satu sama lain, kami telah menyediakan waktu untuk berdoa, mengucap syukur, dan merenungkan Firman-Nya bersama-sama ketika kami bertemu. Kami juga memulai kebiasaan mendoakan satu sama lain tiap hari, menanyakan hal yang ingin didoakan, dan menguatkan satu sama lain melalui Firman.

Pada akhirnya, kisah cinta kita adalah tentang mengalami apa yang pemazmur alami ketika dia menulis: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” dan bahwa “di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah” (Mazmur 16:2, 11). Ini berarti menghargai Tuhan sebagai hartaku yang paling berharga, dan menikmati-Nya sebagai kenikmatan terbesarku (Matius 6:21). Inilah caranya kami menjalani kisah cinta kami dengan benar: dengan menemukan sukacita terbesar kami yang hanya ada di dalam Dia seorang, bersama-sama.

Baca Juga:

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Ketika Aku Menemukan Berhala dalam Diriku

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat mengapresiasi prestasi, terutama dalam bidang akademis. Sejak kecil, aku didorong untuk rajin belajar, mengikuti kompetisi-kompetisi, dan tampil percaya diri di depan publik.

Satu per satu piala dan sertifikat kukumpulkan. Inilah yang menjadi bahan bakarku untuk mengejar prestasi-prestasi lainnya. Setelah aku lulus SMA dan berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri impianku, keinginan untuk menjadi yang terbaik dan berprestasi terus melekat dalam pikiranku. Aku memutuskan bergabung dengan organisasi debat hukum di kampusku dan mengikuti kompetisi debat pertamaku pada semester dua. Puji Tuhan aku memenangkan debat tersebut. Kemenangan itu melahirkan ambisi dalam diriku untuk memenangkan lebih banyak lagi kompetisi dan menjadi mahasiswa berprestasi. Kupikir tidak ada salahnya mengejar ambisi-ambisi pribadi. Toh, Tuhan juga dimuliakan di dalamnya. Tuhan pasti bangga jika anak-Nya menjadi yang terbaik.

Aku mengikuti kompetisi debat berikutnya ketika aku berada di semester tiga. Awalnya aku yakin proses persiapan menghadapi kompetisi ini akan lebih mudah karena aku sudah berpengalaman sebelumnya. Namun, dugaanku salah. Suatu ketika, saat aku tengah berlatih debat, aku merasa tidak bisa berpikir, seperti seorang penulis yang kehilangan ide untuk tulisannya. Pikiranku buntu.

Selama satu bulan persiapan, aku tidak punya waktu istirahat yang cukup, apalagi saat teduh. Aku merasa sangat kesepian dan kelelahan. Di tengah kebuntuan pikiran ini, secara spontan aku berkata dalam hati, “Ya Tuhan, aku benar-benar tidak bisa berpikir.” Aku tersentak. Setelah beberapa waktu, rasanya inilah kali pertama aku benar-benar memanggil Tuhan. Selama ini aku hanya menyibukkan diri dengan persiapan kompetisi dan aku merasa jauh dari Tuhan. Meski aku sempat berdoa, kupikir doa-doa itu hanya formalitas belaka tanpa adanya kerinduan untuk sungguh-sungguh berbicara dengan Tuhan dan melibatkan-Nya dalam proses hidupku.

Di titik ini, aku sadar bahwa aku telah mengandalkan kekuatanku sendiri. “Untuk siapa aku mengerjakan semua ini? Kalau aku mengerjakannya untuk Tuhan, kalau memang Tuhan berkehendak bagiku, mengapa aku melupakan-Nya di sepanjang proses ini?” pikiranku kembali bertanya.

Hari itu Tuhan telah menegurku dan aku merespons-Nya dengan berdoa memohon belas kasihan-Nya supaya aku dapat melewati kompetisi yang akan kuhadapi. Hari H kompetisi pun tiba. Tim universitas kami berhasil melewati babak penyisihan dan tiba di babak semifinal. Peluang memenangkan kompetisi semakin besar. Aku berdoa memohon Tuhan untuk sekali lagi memberiku kemenangan. Namun, ketika pengumuman semifinal, tim universitas kami mendapat selisih poin tipis. Tim kami kalah dan pikiranku mendadak kosong. Sayup-sayup dalam kepalaku seperti diputar lagu Jesus at the center (Israel Houghton) pada bagian:

From my heart to the Heavens,
Jesus be the center
It’s all about You
Yes it’s all about You

Refrain lagu ini mengatakan bahwa pusat dari segalanya adalah Yesus. Segala yang kita lakukan seharusnya adalah tentang Yesus. Lantas, aku sadar bahwa sejak awal aku ikut kompetisi ini—bahkan sejak aku punya ambisi untuk jadi mahasiswa berprestasi—semuanya adalah tentang diriku sendiri. Aku ingin orang-orang mengakuiku sebagai orang yang berprestasi dan hebat. Tuhan memang bisa dimuliakan ketika anak-Nya jadi yang terbaik, tapi jauh dalam diriku, aku tahu bahwa aku tidak mempersembahkan diriku dan pencapaianku bagi kemuliaan Allah, melainkan kebanggaan diriku semata. Hatiku hancur. Aku merasa hina dan sombong. Kekalahan ini menjadi titik balik dalam hidupku di mana akhirnya aku membuang semua ambisi-ambisi kosong yang kukejar dan pertahankan selama ini dan memutuskan hidup menaati kehendak-Nya.

“Apa yang mengendalikan hidup kita disebut tuan kita. Orang yang mencari kekuasaan dikendalikan oleh kekuasaan. Orang yang mencari penerimaan dikendalikan oleh orang-orang yang ingin dia senangkan. Kita tidak bisa mengendalikan hidup kita sendiri. Kita dikendalikan oleh tuan atas hidup kita” (Rebecca Mainly Pippert, Out of the Saltshaker and Into The World).

Yesus Kristus adalah Pencipta (Kolose 1:16) dan Penebus (1 Petrus 1:18-19). Dialah Tuhan atas hidup kita, satu-satunya Pribadi yang layak untuk mengendalikan hidup kita. Jika ada hal lain yang lebih kita cintai, kejar, dan bahkan mendapatkan makna daripadanya, maka hal itu telah menjadi berhala bagi hidup kita. Berhala manusia tidak lagi berbentuk batu atau patung, namun dapat berupa hal-hal lazim yang ada di sekitar kita: uang, relasi, ambisi, harga diri, dan sebagainya. Inilah bentuk berhala modern yang dapat dengan mudah kita temukan saat ini.

Ketika aku mengejar prestasi demi prestasi dan mengabaikan Tuhan, aku dikendalikan oleh ambisiku. Kebanggaan dan harga diri telah menjadi tuan atas hidupku, menggantikan Yesus Kristus yang seharusnya bertakhta di tempat tertinggi dalam hidupku. Ketika aku mengarahkan hidupku hanya untuk menyenangkan dan memuaskan hasrat hatiku, di sinilah aku sedang menjadikan diriku sendiri sebagai berhala.

Melalui pengalamanku, aku belajar mengenal berhala dalam diriku yang mungkin bahkan tersembunyi dalam diriku sendiri. Pertolongan Roh Kudus di dalam kasih karunia Allah sajalah yang tentunya membuatku mampu mengenal dan menghancurkan berhala tersebut.

Kehadiran berhala dalam hidup kita akan merusak relasi kita dengan Allah, karena Allah tidak akan membiarkan ada ilah lain dalam hidup kita (hukum Taurat yang pertama).

“We were made for God, and until He is or greatest pleasure, all the other pleasure of this life will lead to emptiness” tulis Kyle Idleman dalam bukunya yang berjudul Gods at War. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, sederhananya adalah demikian: “Kita diciptakan untuk Allah. Selain Dia, segala kenikmatan lainnya hanya akan membawa kita kepada kekosongan.”

Hidup dalam berhala hanya akan membawa kita kepada kekosongan, karena tiada Pribadi yang mampu memuaskan kita selain daripada Sang Pencipta, yaitu Allah sendiri. Hanya Dialah Pribadi yang layak menerima semua hormat, cinta, dan ketaatan kita.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Harapan di Tengah Dunia yang Penuh Teror

Serangan bom yang terjadi di kota Surabaya menambah panjang daftar kekerasan, teror, dan duka di negeri kita. Masihkah ada harapan di tengah dunia yang penuh teror ini?

Keberanian Kossi

Rabu, 5 April 2017

Keberanian Kossi

Baca: 2 Raja-Raja 23:12-14, 21-25

23:12 Mezbah-mezbah, yang ada di atas sotoh, tempat peranginan Ahas, yang dibuat oleh raja-raja Yehuda, dan mezbah-mezbah, yang dibuat Manasye di kedua pelataran rumah TUHAN, dirobohkan oleh raja, dan diremukkan di sana, lalu dicampakkannya abunya ke sungai Kidron.

23:13 Bukit-bukit pengorbanan yang ada di sebelah timur Yerusalem di sebelah selatan bukit Kebusukan dan yang didirikan oleh Salomo, raja Israel, untuk Asytoret, dewa kejijikan sembahan orang Sidon, dan untuk Kamos, dewa kejijikan sembahan Moab, dan untuk Milkom, dewa kekejian sembahan orang Amon, dinajiskan oleh raja.

23:14 Ia memecahkan tugu-tugu berhala dan menebang tiang-tiang berhala, lalu ditimbuninya tempat-tempat itu penuh dengan tulang-tulang manusia.

23:21 Kemudian raja memberi perintah kepada seluruh bangsa itu: “Rayakanlah Paskah bagi TUHAN, Allahmu, seperti yang tertulis dalam kitab perjanjian ini!”

23:22 Sebab tidak pernah lagi dirayakan Paskah seperti itu sejak zaman para hakim yang memerintah atas Israel dan sepanjang zaman raja-raja Israel dan raja-raja Yehuda.

23:23 Tetapi barulah dalam tahun kedelapan belas zaman raja Yosia Paskah ini dirayakan bagi TUHAN di Yerusalem.

23:24 Para pemanggil arwah, dan para pemanggil roh peramal, juga terafim, berhala-berhala dan segala dewa kejijikan yang terlihat di tanah Yehuda dan di Yerusalem, dihapuskan oleh Yosia dengan maksud menepati perkataan Taurat yang tertulis dalam kitab yang telah didapati oleh imam Hilkia di rumah TUHAN.

23:25 Sebelum dia tidak ada raja seperti dia yang berbalik kepada TUHAN dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya dan dengan segenap kekuatannya, sesuai dengan segala Taurat Musa; dan sesudah dia tidak ada bangkit lagi yang seperti dia.

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. . . . Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya. —Keluaran 20:3,5

Keberanian Kossi

Selagi menunggu giliran dibaptis di Sungai Mono di Togo, Kossi mengambil sebuah patung kayu yang sudah usang. Keluarganya telah menyembah patung itu dari generasi ke generasi. Sekarang mereka semua menyaksikan Kossi melemparkan patung itu ke perapian yang telah disiapkan. Sejak saat itu, mereka tidak perlu lagi mempersembahkan sesajen bagi dewa-dewa.

Di dunia Barat, kebanyakan orang Kristen menganggap berhala sebagai kiasan untuk apa saja yang mereka utamakan di atas Allah. Namun di Togo, Afrika Barat, yang disebut berhala adalah patung dewa-dewa yang harus dipuaskan dengan persembahan atau sesajen. Membakar patung berhala dan memberi diri dibaptis merupakan tindakan berani seorang petobat baru untuk menyatakan pengabdiannya kepada satu-satunya Allah yang sejati.

Ketika masih berusia delapan tahun, Raja Yosia mulai berkuasa atas satu bangsa yang terikat dalam rupa-rupa perbuatan asusila dan penyembahan berhala. Ayah dan kakek Yosia adalah dua dari Raja-Raja terburuk di sepanjang sejarah Yehuda yang penuh cela. Namun kemudian, imam besar menemukan kitab Taurat. Ketika raja muda itu mendengar firman Tuhan, ia menerimanya dengan sungguh-sungguh (2Raj. 22:8-13). Kemudian Yosia menghancurkan mezbah penyembahan berhala, membakar benda-benda kekejian yang dipersembahkan untuk dewi Asyera, dan menghapus ritual pelacuran (pasal 23). Sebagai gantinya, ia merayakan Paskah (2Raj. 23:21-23).

Kapan pun kita mencari jawaban di luar Allah—secara sadar atau tidak—kita sedang memuja berhala. Tanyakanlah kepada dirimu sendiri: Apa sajakah berhala, baik nyata maupun kiasan, yang perlu kita buang dan lepaskan? —Tim Gustafson

Tuhan, ampunilah kami untuk hal-hal yang kami andalkan sehingga fokus kami teralihkan dari-Mu. Tunjukkanlah kepada kami apa saja yang perlu kami buang dan untuk kembali mengandalkan Roh Kudus-Mu.

Anak-anakku, jauhkanlah dirimu dari berhala-berhala! —1 Yohanes 5:21 BIS

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 1-3; Lukas 8:26-56

5 Pertanyaan untuk Menguji Apakah Idolamu Telah Menjadi Berhalamu

apakah-idolamu-telah-menjadi-berhalamu

Oleh Grace Debora

Aku terbawa dalam demam Korea dan menjadi penggemar berat K-pop di tahun 2009. Pada waktu itu, aku sangat terobsesi dengan boyband yang beranggotakan 12 orang, Super Junior. Setiap jam istirahat, aku dan teman-temanku berkumpul dan dengan semangat membicarakan tentang personil-personil favorit kami, video Youtube yang semalam kami tonton, dan juga informasi-informasi yang kami gali tentang mereka.

Kultur pop telah mendarah daging dan menjadi bagian dari kehidupan anak muda sehari-hari. Siapa yang tidak kenal ratu pop, Taylor Swift, grup boyband terkenal asal Inggris, One Direction, boyband populer Korea, EXO, atau aktor pemeran drama hits Descendants of the Sun, Song Joong-ki? Dengan kemudahan memperoleh informasi, sangatlah gampang bagi kita untuk menjadi terobsesi dengan “idola” favorit kita dan tersedot ke dalam dunia dan keseharian mereka. Pada kasusku ini, kebiasaanku yang demikian berlangsung kira-kira selama 1 tahun hingga Tuhan menarikku kembali dan mengingatkanku bahwa fokus hidupku telah bergeser.

Istilah “idola” (dalam bahasa Inggris: idol), kini sering digunakan untuk menjelaskan siapapun yang kita puja atau idolakan. Namun di Alkitab, kata “idol” (“berhala”) menunjuk pada allah asing atau apapun yang menggantikan Allah dalam kehidupan kita. Bahkan, perintah pertama yang diberikan Allah kepada bangsa Israel adalah, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3). Di tengah-tengah kultur penyembahan berhala, Allah secara jelas memberi perintah pada umat-Nya agar mereka hanya menyembah Dia saja.

Allah juga menginginkan hal yang sama dari kita hari ini. Namun mula-mula, kita perlu mengidentifikasi apakah “berhala” yang kita miliki dalam hidup kita. Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang menolongku mengidentifikasi ketika sesuatu sudah menggantikan Allah di hidupku:

1. Bagaimana kamu menggunakan waktumu?

Banyak waktu yang kita habiskan untuk melakukan sesuatu menunjukkan seberapa penting hal tersebut dalam hidup kita. Ketika aku sedang tergila-gila pada Super Junior, aku bisa menghabiskan seluruh waktuku sepulang sekolah hingga larut malam untuk mengunduh dan menonton video, dan membaca semua artikel tentang mereka.

2. Bagaimana kamu menggunakan energi dan uangmu?

Selain waktu, kita juga tanpa sadar akan menuangkan seluruh tenaga dan hal lain yang kita miliki untuk mengembangkan hal yang kita sukai. Aku rela menghabiskan banyak uangku untuk membeli album mereka, menonton konser, membeli merchandise mereka, bahkan dengan rela mengikuti program sosial yang diselenggarakan oleh klub fans internasional mereka. Selain itu, terkadang aku juga bisa tersulut emosi ketika orang menjelekkan grup favoritku ini—bahkan aku bisa membenci dan menjadi sangat marah kepada mereka.

3. Seberapa banyak konten tentang idolamu yang kamu simpan dalam ponselmu?

Apa yang kita cari di dunia maya, yang kita dengarkan, dan yang kita lihat di dalam media sosial kita mengindikasikan apa yang mengisi hidup kita. Ketika masa itu, ponselku benar-benar dipenuhi dengan gambar dan foto-foto Super Junior. Daftar musikku penuh dengan hampir seluruh lagu dari semua album yang pernah mereka keluarkan. Media sosialku penuh dengan update dari klub fans atau artis idolaku itu. Aku mengikuti banyak situs berita K-pop dan bahkan membuat akun dalam situs-situs tersebut hanya untuk dapat mengikuti perkembangan artis favoritku ini.

4. Bagaimana kondisi hidupmu saat ini?

Ketika Allah bukan lagi yang pertama dan yang terutama, maka hal ini akan tercermin melalui kondisi hidup kita. Hidup kita tidak akan lagi teratur dan semuanya menjadi kacau. Ketika masa-masa itu, jam tidurku menjadi kacau, tugas dan tanggung jawabku di sekolah berantakan dan hanya dikerjakan seadanya, pelayananku di gereja pun serasa kosong. Walaupun aku membaca Alkitab, pikiranku jauh sekali dari firman-Nya.

5. Apakah lingkungan pergaulanmu membawamu mendekat kepada Allah?

Ada peribahasa yang mengatakan bahwa burung yang sejenis terbang bersama dalam satu kelompok. Hal ini juga yang aku alami. Teman-temanku adalah mereka yang juga menyukai grup idola yang sama dan melakukan hal yang sama denganku. Perbincangan dan persahabatan kami awalnya terlihat asyik, tetapi sebenarnya ini pergaulan ini tidak membawaku ke mana-mana.

Aku pun mulai membatasi keterlibatanku di gereja dan tidak berusaha bergaul dengan orang lain di luar teman-temanku yang menyukai Super Junior. Aku pun merasa tidak perlu bergaul dengan kelompok yang lain karena merasa teman-temanku ini yang paling asyik. Di kemudian hari, aku pun menemukan bahwa beberapa temanku berhenti bergaul denganku karena mereka merasa tidak nyambung dan tidak nyaman.

* * *

Walaupun Allah telah menggunakan teman-temanku dan berbagai khotbah serta renungan untuk memperingatkanku, aku mengabaikan peringatan tersebut hingga suatu khotbah memaksaku untuk berpikir ulang mengenai siapa aku dan untuk apa aku hidup. Ketika itulah, aku menemukan bahwa aku telah menyia-nyiakan hidupku. Rasa bersalah dan penyesalan menyelimuti diriku ketika aku berhadapan dengan kenyataan bahwa bukan lagi Allah yang aku sembah. Aku telah menjadikan Super Junior berhalaku.

Aku pun bertobat. Aku menghapus semua video, membuang semua merchandise yang telah aku kumpulkan, intinya aku menyingkirkan semua hal yang berhubungan dengan Super Junior. Awalnya, hal ini sangat sulit—tetapi perasaan itu hanya bertahan seminggu. Hal yang paling sulit adalah tidak bisa mengikuti pembicaraan dengan teman-temanku. Meskipun demikian, aku bersyukur kepada Allah karena Ia menolongku mempertahankan teman-temanku. Allah juga mengembalikan sahabat-sahabatku yang sudah menjauh.

Berhala dapat memiliki berbagai macam bentuk. Itu bisa saja berupa pekerjaan kita, media sosial, drama televisi, atau bahkan pelayanan kita di gereja—apapun yang menyebabkan kita kehilangan fokus dan waktu pribadi dengan Allah. Pada waktu kuliah, aku terikat dengan film dan drama televisi. Tetapi, Allah kembali mengingatkanku dan memampukanku untuk berubah.

Allah tidak akan membiarkan anak-anak-Nya berkubang dalam dosa. Ia mau kita hidup sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya. Karena itu, Ia pasti akan memakai berbagai cara untuk membawa kita kembali kepada-Nya. Jika kita merasa dan sadar bahwa Allah sedang mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya, segeralah taat dan berbalik. Mari jadikan Dia sebagai yang utama dalam hidup kita.

Baca Juga:

Hati-Hati, Jangan Sampai Hiburan Membuatmu Menjadi 3 Hal Ini

Joanna menyadari bahwa kecintaannya akan berita-berita dunia hiburan telah membuatnya menjadi 3 hal ini, dan sebuah ayat Alkitab telah menolongnya untuk dapat berubah. Baca kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.

Allah yang Melukis

Selasa, 19 April 2016

Allah yang Melukis

Baca: Mazmur 42

42:1 Untuk pemimpin biduan. Nyanyian pengajaran bani Korah.

42:2 Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.

42:3 Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?

42:4 Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?”

42:5 Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah-gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan.

42:6 Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!

42:7 Jiwaku tertekan dalam diriku, sebab itu aku teringat kepada-Mu dari tanah sungai Yordan dan pegunungan Hermon, dari gunung Mizar.

42:8 Samudera raya berpanggil-panggilan dengan deru air terjun-Mu; segala gelora dan gelombang-Mu bergulung melingkupi aku.

42:9 TUHAN memerintahkan kasih setia-Nya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kepada Allah kehidupanku.

42:10 Aku berkata kepada Allah, gunung batuku: “Mengapa Engkau melupakan aku? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh?”

42:11 Seperti tikaman maut ke dalam tulangku lawanku mencela aku, sambil berkata kepadaku sepanjang hari: “Di mana Allahmu?”

42:12 Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!

Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. —Mazmur 42:3

Allah yang Melukis

Nama Nezahualcoyotl (1402-1472) mungkin sulit untuk diucapkan, tetapi nama itu sarat dengan makna. Nama itu berarti “Anjing Hutan Lapar”, dan tulisan-tulisan karyanya menunjukkan adanya suatu kelaparan rohani. Sebagai seorang penyair dan penguasa di Mexico sebelum kedatangan orang-orang Eropa, ia menulis, “Sesungguhnya para dewa, yang kusembah, adalah berhala-berhala dari batu yang tak bisa bicara dan tak berperasaan. . . . Ada satu Allah yang mahakuasa, tersembunyi, dan tidak dikenal yang merupakan pencipta alam semesta ini. Dialah satu-satunya yang dapat menghiburku dalam kesusahanku dan menolongku ketika hatiku merasakan penderitaan, aku mau Dia menjadi penolong dan pelindung saya.”

Kita tidak tahu apakah Nezahualcoyotl menemukan Allah, Sang Pemberi Kehidupan. Namun selama masa pemerintahannya, ia membangun sebuah piramida bagi “Allah yang melukis segala sesuatu dengan keindahan”, dan ia melarang penyerahan korban manusia di kotanya.

Penulis Mazmur 42 berseru, “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup” (ay.3). Setiap manusia merindukan Allah yang sejati, “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair” (ay.2).

Dewasa ini, seperti Nezahualcoyotl, banyak orang yang menyadari bahwa berhala-berhala berupa ketenaran, uang, dan hubungan dengan sesama tidak dapat mengisi kehampaan jiwa mereka. Allah yang hidup telah menyatakan diri-Nya melalui Yesus, satu-satunya Pribadi yang dapat memberikan kita arti dan kepuasan. Ini adalah kabar baik bagi mereka yang haus akan Allah yang melukis segala sesuatu dengan keindahan. —Keila Ochoa

Ya Tuhan, Engkaulah satu-satunya yang diperlukan jiwaku. Hanya Engkau yang dapat memberikan arti dan kepuasan bagi hidupku. Kepada Engkaulah, hatiku berseru. Aku berharap hanya kepada-Mu.

Di balik segala hasrat kita, ada kerinduan yang mendalam akan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 6-8; Lukas 15:1-10

Bahan yang Ajaib

Kamis, 23 Juli 2015

Bahan yang Ajaib

Baca: Yesaya 46:1-10

46:1 Dewa Bel sudah ditundukkan, dewa Nebo sudah direbahkan, patung-patungnya sudah diangkut di atas binatang, di atas hewan; yang pernah kamu arak, sekarang telah dimuatkan sebagai beban pada binatang yang lelah,

46:2 yang tidak dapat menyelamatkan bebannya itu. Dewa-dewa itu bersama-sama direbahkan dan ditundukkan dan mereka sendiri harus pergi sebagai tawanan.

46:3 “Dengarkanlah Aku, hai kaum keturunan Yakub, hai semua orang yang masih tinggal dari keturunan Israel, hai orang-orang yang Kudukung sejak dari kandungan, hai orang-orang yang Kujunjung sejak dari rahim.

46:4 Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.

46:5 Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama?

46:6 Orang mengeluarkan emas dari dalam kantongnya dan menimbang perak dengan dacing, mereka mengupah tukang emas untuk membuat allah dari bahan itu, lalu mereka menyembahnya, juga sujud kepadanya!

46:7 Mereka mengangkatnya ke atas bahu dan memikulnya, lalu menaruhnya di tempatnya; di situ ia berdiri dan tidak dapat beralih dari tempatnya. Sekalipun orang berseru kepadanya, ia tidak menjawab dan ia tidak menyelamatkan mereka dari kesesakannya.

46:8 Ingatlah hal itu dan jadilah malu, pertimbangkanlah dalam hati, hai orang-orang pemberontak!

46:9 Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku,

46:10 yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan,

Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? —Yesaya 40:25

Bahan yang Ajaib

Siaran berita CNN menyebut suatu senyawa grafit sebagai “bahan yang ajaib” yang dapat mempengaruhi masa depan kita secara luar biasa. Grafena (graphene)—serat yang terdiri hanya dari satu lapis atom karbon—disebut-sebut sebagai satu-satunya material dua dimensi di tengah dunia tiga dimensi yang kita diami ini. Grafena berdaya tahan 100 kali lebih kuat daripada baja, lebih keras daripada intan, dapat mengalirkan listrik 1.000 kali lebih baik daripada tembaga, dan lebih lentur daripada karet.

Perkembangan teknologi seperti itu pada dasarnya bersifat netral—tidak baik tetapi tidak juga jahat. Namun kita perlu dengan bijak mengingat adanya keterbatasan dari segala sesuatu yang kita ciptakan untuk diri sendiri.

Nabi Yesaya berbicara pada sebuah generasi yang masih membawa ilah-ilah yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri ke tempat mereka dibuang. Sang nabi menghendaki orang Israel untuk melihat betapa ironisnya ketika mereka merasa perlu memberikan perhatian pada ilah-ilah berbahan emas dan perak yang telah mereka bentuk sendiri untuk mengilhami, menolong, menghibur, dan melindungi mereka.

Apa yang berlaku bagi bangsa Israel juga berlaku bagi kita di masa kini. Tidak ada satu pun yang kita buat atau yang kita beli untuk diri sendiri yang dapat memenuhi kebutuhan hati kita. Hanya Allah, yang telah memelihara kita “sejak dari kandungan” (Yes. 46:3-4), yang dapat memelihara kita hingga masa mendatang. —Mart DeHaan

Bapa, terima kasih untuk keajaiban dari persekutuan kami dengan-Mu. Tolonglah kami untuk tidak bergantung pada usaha, kekuatan, atau harta kami. Sebaliknya, kiranya kami senantiasa merasakan perhatian-Mu kepada kami.

Ilah adalah segalanya yang menggantikan posisi Allah yang seharusnya.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 33–34; Kisah Para Rasul 24

Kasih Yang Salah Sasaran

Kamis, 20 Maret 2014

Kasih Yang Salah Sasaran

Baca: Mazmur 115

115:1 Bukan kepada kami, ya TUHAN, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu!

115:2 Mengapa bangsa-bangsa akan berkata: “Di mana Allah mereka?”

115:3 Allah kita di sorga; Ia melakukan apa yang dikehendaki-Nya!

115:4 Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia,

115:5 mempunyai mulut, tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat,

115:6 mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung, tetapi tidak dapat mencium,

115:7 mempunyai tangan, tetapi tidak dapat meraba-raba, mempunyai kaki, tetapi tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan kerongkongannya.

115:8 Seperti itulah jadinya orang-orang yang membuatnya, dan semua orang yang percaya kepadanya.

115:9 Hai Israel, percayalah kepada TUHAN! –Dialah pertolongan mereka dan perisai mereka.

115:10 Hai kaum Harun, percayalah kepada TUHAN! –Dialah pertolongan mereka dan perisai mereka.

115:11 Hai orang-orang yang takut akan TUHAN, percayalah kepada TUHAN! –Dialah pertolongan mereka dan perisai mereka.

115:12 TUHAN telah mengingat kita; Ia akan memberkati, memberkati kaum Israel, memberkati kaum Harun,

115:13 memberkati orang-orang yang takut akan TUHAN, baik yang kecil maupun yang besar.

115:14 Kiranya TUHAN memberi pertambahan kepada kamu, kepada kamu dan kepada anak-anakmu.

115:15 Diberkatilah kamu oleh TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

115:16 Langit itu langit kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia.

115:17 Bukan orang-orang mati akan memuji-muji TUHAN, dan bukan semua orang yang turun ke tempat sunyi,

115:18 tetapi kita, kita akan memuji TUHAN, sekarang ini dan sampai selama-lamanya. Haleluya!

Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia. —Mazmur 115:4

Kasih Yang Salah Sasaran

Martin Lindstrom, seorang penulis dan pembicara, beranggapan bahwa telepon seluler (ponsel) tampaknya telah menjadi seperti sahabat baik bagi para pemiliknya. Lindstrom menjelaskan pernyataannya itu lewat penelitian yang diterapkannya dengan menggunakan teknik MRI (Pencitraan Resonansi Magnetik). Ketika subjek penelitian melihat atau mendengar ponselnya berdering, otak mereka memancarkan sel-sel saraf di area yang berkaitan dengan rasa cinta dan belas kasih. Lindstrom berkata, “Seolah-olah mereka sedang berada bersama seorang kekasih atau anggota keluarga mereka.”

Banyak hal yang bersaing untuk merebut rasa sayang, waktu, dan perhatian kita, dan tampaknya kita harus selalu meninjau ulang hal-hal yang telah menjadi pusat perhatian dalam hidup kita. Yosua memerintahkan bangsa Israel untuk senantiasa takut akan Tuhan dan beribadah hanya kepada-Nya (Yos. 24:14). Ini sangat berlawanan dengan berhala-berhala yang disembah oleh bangsa-bangsa di sekeliling mereka. Segala berhala itu terbuat dari logam dan hanyalah buatan tangan manusia (Mzm. 115:4). Berhala-berhala itu sama sekali tak berdaya jika dibandingkan dengan Tuhan. Oleh karena itu, umat Allah dinasihati untuk menerima keselamatan dalam Allah dan bukan dalam berhala mana pun (Hak. 10:13-16). Yesus menekankan kembali hal itu dalam pembahasan-Nya mengenai hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37).

Hanya Tuhanlah penolong dan perisai kita (Mzm. 115:9). Kiranya kita beribadah hanya kepada-Nya. —MLW

UNTUK DIRENUNGKAN
Lewat tindakan-tindakan kita beberapa bulan terakhir ini, apa atau
siapa yang menerima ungkapan kasih kita? Adakah tanda-tanda
bahwa kita telah menempatkan seseorang atau sesuatu di atas Allah?
Hanya Allah yang paling layak menerima ungkapan kasih kita.

Hanya Allah yang paling layak menerima ungkapan kasih kita.

Hati Yang Tersesat

Minggu, 20 Oktober 2013

Hati Yang Tersesat

Baca: Keluaran 32:21-35

Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: “Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka.” —Keluaran 32:31

Pada musim gugur tahun lalu, sebuah jalan bebas hambatan di kota saya ditutup selama beberapa jam karena ada sebuah truk pengangkut ternak yang terbalik. Ternak yang tadinya diangkut kini telah melarikan diri dan terlihat berkeliaran di sepanjang jalan raya. Membaca berita tentang ternak yang tersesat membuat saya berpikir tentang sesuatu yang baru saya pelajari dari Keluaran 32 mengenai umat Allah yang melarikan diri dari-Nya.

Di dalam kerajaan Israel kuno yang telah terpecah dua, Raja Yerobeam mendirikan dua anak lembu jantan dari emas untuk disembah bangsanya (1Raj. 12:25-32). Namun ide untuk menyembah sebongkah emas bukanlah pemikirannya sendiri. Bahkan setelah lolos dari perbudakan yang kejam dan menyaksikan kuasa dan kemuliaan Tuhan yang dinyatakan dengan dahsyat, bangsa Israel cepat sekali membiarkan hati mereka berpaling dari Allah (Kel. 32). Ketika Musa sedang berada di Gunung Sinai untuk menerima hukum-hukum dari Allah, Harun saudaranya membantu umat Allah jatuh sesat dengan membuat sebuah berhala dalam rupa patung anak lembu emas. Penulis kitab Ibrani mengingatkan kita akan murka Allah terhadap penyembahan berhala ini dan kepada mereka yang “sesat hati” (Ibr. 3:10).

Allah tahu bahwa hati kita memiliki kecenderungan untuk sesat. Firman-Nya jelas menyatakan bahwa Dialah Tuhan dan kita tidak boleh menyembah ”allah lain” (Kel. 20:2-6).

“Sebab TUHAN adalah Allah yang besar, dan Raja yang besar mengatasi segala allah” (Mzm. 95:3). Dialah satu-satunya Allah yang benar! —CHK

Tiap hari ‘ku berutang pada kasih abadi,
Rantailah hatiku curang dengan rahmat tak henti.
‘Ku dipikat pencobaan meninggalkan kasih-Mu;
Inilah hatiku, Tuhan, meteraikan bagi-Mu! —Robinson
(Kidung Jemaat, No. 240)

Jika Engkau sangat ingin sesuatu, apalagi lebih daripada menginginkan Allah, itulah berhalamu. —A. B. Simpson