Posts

Ini “rahasiaku” mengelola waktu

Adakah di antara kamu yang juga pernah bergumul untuk mengubah kebiasaan buruk?

Dari cerita di atas, kita diajak untuk melihat tokoh Daud; dia yang bergumul dengan dosanya, tidak berfokus untuk memperbaiki dosanya sendiri, justru meminta Tuhan untuk mengubah hatinya.

Yuk, baca selengkapnya di: https://bit.ly/ubahkanhatiku.

Art space ini diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Di Bawah vs di Atas Matahari, Pergumulan Manusia Mencari Makna Hidup

Oleh Jessie

Semakin umurku bertambah, aku punya kebebasan untuk mengerjakan apa yang aku sukai. Jika dibandingkan masa-masa sekolah dulu, kupikir menjadi dewasa akan memudahkanku mencari makna hidup. Tapi, ternyata tidak juga. Menjadi dewasa tidak melepaskanku dari rutinitas yang lama-lama terasa membosankan.

Kebosanan cenderung membuat kita melihat hidup sebagai tak ada maknanya. Orang tuaku sering mengatakan, “beginilah hidup, banyak hal yang kita kerjakan berakhir sia-sia pada akhirnya.” Jadi, ngapain ya kita sebenarnya hidup kalau Raja Salomo yang paling bijaksana di muka bumi pun mengatakan, “segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2b)?

Topik mengenai tujuan dan kesia-siaan hidup merupakan topik yang sangat-sangat aku telusuri dalam keseharianku. Bagaimana tidak, aku diresahkan dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang aku lakukan tidak akan aku bawa saat mati nanti. Dahulu, piagam dan sertifikat sekolah sangatlah berharga, tapi semakin berumur, secarik kertas bergambarkan wajah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta alias uang seratus ribu jauh lebih bernilai. Jika ditanyakan kepada orang tuaku, maka menurut mereka kesehatan adalah nomor satu. Sudah dipastikan betul apa yang dikatakan Raja Salomo, bahwa segala sesuatunya merupakan sebuah fase, dan fase tersebut memiliki masanya, sehingga semua yang kita kejar akan menjadi sebuah kesia-siaan saat fase tersebut berakhir. Kitab Pengkhotbah tidak bohong saat penulisnya menjelaskan betapa fananya hidup ini. Tentu sebagai pembaca, aku cukup merenungkan tujuan dari si penulis berkoar-koar akan kesia-siaan hidup, mengetahui bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan hidup yang sangat jelas. Di sinilah keindahan dari Kitab Pengkhotbah. Terdengarnya bertentangan, namun sebenarnya seluruh pernyataannya sangatlah masuk akal dan berkesinambungan.

“Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.” (Pengkhotbah 1:2). Lalu di ayat berikutnya, dituliskan, “Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pengkhotbah 1:3).

Entah kenapa, meskipun sudah berkali-kali membaca kitab ini, aku melewatkan arti penting dari kata-kata “di bawah matahari”  (1:3b); karena sesungguhnya, “di bawah matahari” ini merupakan sebuah cerita dari hidup yang terpisah dari Tuhan (life apart from God). Waktu seorang ilmuwan Alkitab bernama Mike Mazzalongo menjelaskan arti sesungguhnya dari “di bawah matahari,” barulah aku paham adanya kesinambungan di antara kesia-siaan hidup yang terpisah dari Tuhan dengan tujuan hidupku yang sesungguhnya. Dari pasal 1 sampai pasal 6, Salomo menggunakan frasa “di bawah matahari” untuk menjelaskan fase-fase kehidupan duniawi yang lazim, serta kesia-siaannya jika manusia menjalaninya tanpa melibatkan Tuhan. Bahkan, raja yang sudah memiliki begitu banyak harta, istri, status, serta ilmu, akhirnya pun harus menyerah dan mengakui kekalahannya akan memaknai hidup di luar Tuhan.

Jika kita mencari makna hidup dari apa yang ada “di bawah matahari” merupakan sebuah kesia-siaan, maka harapan dan jawaban kita mungkin ada di atas matahari atau hal-hal yang sifatnya spiritual. C.S. Lewis dalam bukunya yang berjudul Surprised by Joy, menjelaskan bahwa sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu yang manusia butuhkan dan inginkan dapat dipuaskan dan dipenuhi, seperti contohnya adanya rasa lapar dapat dipuaskan oleh makanan yang kita makan. Maka, logisnya, jika kita memiliki hasrat untuk memaknai hidup kita, maka tentu hal itu pun bisa dipenuhi. Hanya saja jika hasrat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh apa yang ada “di bawah matahari” atau hal-hal yang duniawi, maka penjelasan yang paling mungkin adalah hasrat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh apa yang ada di luar matahari ini. Atau bahkan, adanya keinginan besar untuk memaknai hidup ini hanyalah sebuah bisikan kepada manusia untuk menyiratkan hal yang sesungguhnya, yaitu Tuhan itu sendiri.

Jika perkara “di bawah matahari” ini bukanlah jawaban dari makna hidup yang sesungguhnya, maka pencarian makna yang seperti apa yang ada di “atas” matahari? Jawabannya ada pada relasi kita dengan Tuhan. Apa kurang logis jika makna kehidupan manusia hanya dapat ditemukan saat mereka datang kepada penciptanya (Pengkhotbah 2:25)?

Makna hidup kita yang sesungguhnya bergantung penuh pada relasi dan ketaatan kita kepada Tuhan. Relasi yang benar dengan Tuhan akan membawa kita kepada kepuasan yang sejati, dan dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan itu sendiri, barulah kita dapat memaknai hidup ini. Jadi jangan terbalik sumbernya ya! Bukan kepuasan yang ada “di bawah matahari” ini yang akan memberikan kita sebuah makna kehidupan, tetapi kepuasan sejati yang dari Kristuslah yang memampukan kita untuk dapat menikmati segala fase kehidupan yang sia-sia ini.

Tapi… Stop stop stop! Jangan lalu kita menjadikan kitab Pengkhotbah ini sebagai alasan kita tidak berbuat lebih, karena tidak ada salahnya melakukan semua aktivitas positif yang ada “di bawah matahari” ini; hanya saja, perkara yang “di bawah matahari” ini bukanlah sumber dari arti hidup seorang manusia, melainkan merupakan media respons hati kita untuk memuji keagungan Sang Pencipta.

Relasi dengan Tuhan ini memang ide yang cukup mengawang, tapi kalau aku boleh bantu jelaskan, relasi ini dapat diartikan juga sebagai pengalaman pribadi kita bersama Tuhan, di kala senang, susah, ataupun bosan menjalankan rutinitas kehidupan kita, kita selalu bergumul, berdoa, dan melibatkan Tuhan terus-menerus sampai instinct kita menyatu dengan apa yang Tuhan mau. Di saat kita berjuang melaksanakan apa yang Tuhan sudah titipkan dalam hati kita, dan berusaha taat kepada perintah-Nya, di situlah pengalaman pribadi kita bersama Kristus terbentuk. Pengalaman pribadi bersama Kristus inilah yang akan memberikan makna dan kepuasan dalam segala aspek kehidupan kita. Oleh sebab itu, esensi dari kesejahteraan seseorang (one’s well being) bergantung penuh dari relasinya bersama dengan Tuhan. Kalau hari ini kita dapat bersyukur, berbahagia, dan menikmati segala aspek kehidupan ini, itu merupakan anugerah semata, karena tidak semua orang dapat merasakannya. Memang ada orang non-Kristen diluar sana yang juga bisa menikmati hidupnya, tapi kepuasan itu tidak akan senikmat dan sepuas yang dimiliki orang-orang percaya yang mengenal baik penciptanya (Pengkhotbah 2:26).

Sebenarnya, untuk kesekian kalinya, banyak tema dari Alkitab selalu mengajarkan kita bahwa hidup ini pada hakekatnya merupakan perjalanan relasi kita bersama Tuhan, dan salah satu kitab yang bertemakan hal tersebut ya kitab Pengkhotbah ini. Karena kalau dipikir-pikir, benar juga; Tuhan itu Pencipta, lho! Semua terjadi atas kehendak-Nya. Kalau Dia mau memberi, maka sekejap saja Dia bisa berikan; kalau Dia tidak berkehendak, maka tidak ada satu doa manusia pun yang akan menggubris hati-Nya. Akan menjadi sebuah kesia-siaan jika kita menjalankan siklus kehidupan tanpa mengetahui apa mau-Nya, karena setiap pertarungan hidup adalah pertarungan Tuhan, kewajiban kita ya berjalan bersama-Nya dibawah tuntunan kehendak-Nya. 🙂

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika kulihat hidupku penuh cela dan noda…

Benar adanya firman Tuhan ini: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” ( Yohanes 15:13).

Kasih-Nya pada kita adalah kasih yang besar dan tulus. Dia yang suci telah merelakan nyawanya untuk menghapuskan dosa-dosa kita.

Yuk, bersyukur selalu atas cinta kasih Yesus dengan tetap hidup di dalam-Nya 🤗

Artspace ini ditulis oleh @nonielina, dibuat oleh @meilimu, dan diterjemahkan juga dalam bahasa Inggris @ymi.today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Memaknai Ulang Pergumulan Hidup yang Beruntun

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Waktu kuliah dahulu, aku pernah berpikir bahwa hidup itu mirip dengan sekolah. Setelah ujian dilewati, maka hanya akan ada hari-hari penuh pelajaran yang normal. Analogi itu aku bawa ke dalam kehidupan. Aku mengira bahwa kesulitan atau persoalan berat dalam hidup laksana ujian yang diadakan setelah beberapa bulan; UTS setelah 2.5 bulan dan UAS setelah 5-6 bulan.

Sebenarnya analogi tersebut tidak sepenuhnya salah, namun saat berkuliah dulu, aku tidak memandang analogi itu secara penuh. Sehingga saat aku mendapati masalah kedua tanpa jeda yang cukup dari masalah pertama, hatiku meronta-ronta berteriak. Bertanya mengapa Tuhan tidak memberikan sedikit waktu untuk bernafas. Lebih parahnya, dulu aku pernah memandang jika masalah yang terlampau berat itu telah diberikan, maka sesudahnya akan muncul pelangi tak berkesudahan sebagai reward atas perjuangan kita menghadapi masalah yang sebelumnya.

Semua pandangan itu akhirnya harus kurombak ulang ketika aku mulai menghadapi berbagai pergumulan yang tidak ada jedanya. Waktu itu aku baru saja terkena dampak pengurangan karyawan dan harus meninggalkan lingkungan kerja yang cukup suportif, setelahnya aku dibuat bimbang dengan keputusan untuk pivot (berganti) bidang pekerjaan atau linear dengan pekerjaan sebelumnya. Setelah akhirnya memutuskan ke tempat yang baru, ada saja kerikil-kerikil di depan kaki. Entah perkara dengan budaya lingkungan kerja yang sepenuhnya baru sampai pada mengatur pendekatan dengan atasan dan rekan kerja. 

Saat hari-hari itu terjadi, pagi dan sore kulalui dengan selipan omelan-omelan yang berisi keluhanku akan hidup. Aku merasa tak mendapat waktu untuk tenang sejenak, untuk menikmati hari-hari pasca layoff. Sering aku berpikir, waktu yang tenang adalah semacam reward dari Tuhan untuk kita yang telah berhasil melewati pergumulan tersebut. Persis seperti liburan panjang di mana kita bebas melakukan yang kita suka setelah berbagai macam ujian harian, PR, ujian tengah semester, atau ujian akhir semester. 

Pergumulan ini aku bawa selama berbulan-bulan, atau mungkin sudah hampir setahun. Lewat beberapa renungan, khotbah pendeta yang menyinggung hal ini, dan bahkan percakapan dengan teman, aku sampai pada beberapa poin yang bisa menjawab pergumulan ini.

1. Pergumulan sehari-hari sejatinya adalah salib kita

Sejauh ini, memikul salib dalam Lukas 9:23 kumaknai hanya sebagai suatu penderitaan besar yang dialami orang-orang tertentu, seperti mereka yang sedang berjuang beradaptasi ketika berpindah keyakinan menjadi Kristen. Ternyata, makna memikul salib tidak melulu harus seberat itu. Memikul salib bisa kita temui dalam hal sepele yang mungkin sering terjadi, seperti menahan diri agar tidak resign demi tercukupinya kebutuhan dahulu, menahan amarah ketika jalanan macet padahal kamu harus tiba di waktu tertentu, memaafkan kesalahan orang-orang yang terlampau menyakiti hati, tidak iri dengan teman dan hal-hal lain yang mungkin membutuhkan kebesaran hatimu. Pergumulan kita sehari-hari adalah salib yang ternyata harus kita tanggung dengan sabar dan penuh pengharapan. Kenyataannya, memikul salib menjadi sebuah kewajiban dasar saat kita mengaku sebagai umat Kristen. Jelas dalam Lukas 9:23 dikatakan bahwa jika kita ingin mengikut Tuhan, maka ia harus memikul salibnya setiap hari. Ibaratnya, memikul salib itu sudah satu paket dengan menjadi Kristen. 

2. Pergumulan adalah cara agar kita berserah terus menerus pada Tuhan

Apa sih yang kita lakukan ketika menemukan masalah saat hidup lagi tenang-tenangnya? 

Jika sebelumnya kita rajin berdoa dan saat teduh, aku yakin maka kemungkinan besar kita akan memperkuat doa dan persekutuan kita dengan Tuhan. Namun jika sebelum masalah itu datang kita berada dalam keadaan yang on-off atau cenderung off dalam menjalin relasi dengan Tuhan, maka aku juga yakin lama kelamaan kita akan datang kepada Tuhan untuk meminta pertolongan-Nya. Kadangkala, pergumulan bisa ‘diciptakan’ Tuhan untuk menguji iman kita, seberapa gigih kita mengesampingkan pengertian kita dan akhirnya berserah kepada Tuhan. Mari kita ambil satu contoh pergumulan yang kita semua pernah alami: Pandemi.

Waktu pandemi terjadi, kita semua kelimpungan. Pedagang mengeluhkan omset yang menurun, pelajar yang bosan setengah mati karena pembelajaran online, guru yang menguras otak untuk menciptakan cara baru dalam mengajar online, teman-teman yang bosan akan anjuran di rumah selama berbulan-bulan walau sudah ada Zoom untuk bertemu ria dengan teman-teman lain, dan pergumulan-pergumulan lain.

Kita jenuh dan bertanya-tanya sampai kapan pandemi ini berlangsung, namun sayangnya tidak ada yang tahu dan bahkan beberapa prediksi pun melenceng. Saat itu, aku mengingat seorang sanak keluarga yang mengatakan bahwa tugas kita hanya mengusahakan yang telah dianjurkan dan menunggu harap pada Tuhan. Jelas teringat bahwa ia menganalogikan kita dan pandemi ini seperti bangsa Israel di padang gurun. Mereka mengembara 40 tahun di tanah asing. Menyedihkan, namun kita, umat Tuhan yang sekarang membaca kisah itu, tahu persis bahwa Tuhan bersama mereka selama 40 tahun itu lewat roti manna yang turun dan mukjizat-mukjizat lain. Jika Dia mengizinkan pandemi ini terjadi, maka Tuhan pulalah yang membantu kita melewati pandemi ini dalam segala pengalaman pribadi kita yang terjadi.

Sama seperti contoh pandemi ini, lewat pergumulan apapun yang terjadi, Tuhan siap sedia mendampingi dan menuntun kita, asalkan kita pun mau datang meminta kepada-Nya.

3. Pergumulan adalah natur selama kita hidup dan proses pembentukan diri

Sering kudengar nasihat yang mengatakan bahwa jika tak ada lagi masalah, berarti kita sudah tidak lagi hidup di dunia alias mati. Sehingga menemui masalah semasa hidup adalah sebuah kepastian. Pergumulan-pergumulan tersebut adalah hal yang membuat kita bertumbuh. 

Pernahkah kamu mendengar cerita klasik tentang ikan yang ketika diberi predatornya dalam akuarium ia menjadi lebih gesit dalam berenang? Hal itu mirip dengan kehidupan kita. Kadangkala, pembentukan diri menjadi lebih baik terjadi lewat pergumulan-pergumulan dalam hidup kita. Lewat kesulitan-kesulitan dalam pekerjaan, aku menemukan insight tentang menghadapi karakteristik orang-orang tertentu yang akhirnya bisa kugunakan di pengalaman selanjutnya. Lewat kesulitanku tinggal dalam ruang kamar kos yang tidak cukup luas, aku belajar skill baru untuk menata barang-barangku. Jika tampaknya pergumulan itu terlalu merepotkan dan menyusahkanmu, maukah kamu mengambil waktu sejenak dan mencoba menemukan 1 hal saja dari pergumulan ini yang bisa menjadi manfaat bagimu kelak?

Ada masa di mana aku rutin bersaat teduh dan berdoa dan ada saat di mana aku enggan untuk membuka Alkitab. Aku menyadari bahwa ada perbandingan yang khas dalam dua masa itu. Biasanya saat dalam pergumulan, aku akan lebih banyak merasa overthinking ketika aku sedang tidak rutin berdoa. Tentu ada pergumulan yang datang dalam masa-masa rutin berdoa, namun ketika pikiran-pikiran tersebut datang menghampiri, aku bisa lebih baik mengobservasinya dan memilah-milah mana yang benar-benar perlu dipikirkan, mana yang tidak. Istilah kerennya, aku bisa lebih mindful ketika sedang dekat dengan Tuhan dan itu lebih baik dalam membantuku menavigasi pergumulan.

Satu hal yang perlu kita terima, bahwa perasaan sedih kita saat pergumulan datang adalah hal yang valid, tapi aku yakin, Tuhan yang mengawasi kita selalu berharap bahwa dalam pergumulan itu kita akan selalu mengingat-Nya dan meyakini, Tuhan jugalah yang membantu kita untuk menghadapi pergumulan itu. Mengutip Roma 5 : 4-5: 

“Dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengasihi Seseorang yang Sedang Menjalani Masa Transisi

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Menjalani relasi dengan sesama tentunya tidak selalu diisi dengan ketawa-ketiwi. Baik itu relasi dengan sahabat, orang tua, pasangan, semuanya pasti akan mengalami perubahan. Salah satu perubahan itu bisa disebabkan oleh masa transisi, ketika seseorang mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Misalnya: pindah kerja, sakit kronis, meninggalnya seseorang yang dicintai, bangkrut, dan berbagai hal lainnya. 

Di bulan Juli tahun lalu, adikku yang kukasihi meninggal dunia, setelah sebelumnya aku kehilangan pekerjaan yang kusukai. Dalam masa-masa kedukaan setelah kejadian itu, banyak sahabat yang hadir untuk sekedar menemani. Untuk sekadar meminum kopi di sore hari, bahkan ketika aku sedang tak bisa berkata-kata. Untuk sekadar berada di ruangan yang sama, menyatakan bahwa aku tidak menjalani ini semua sendiri. Dua kali kehilangan membuat hidupku terasa berbeda. Ada masa transisi yang harus kulewati untuk tiba ke masa-masa normal seperti sedia kala.

Dalam kisah Perjanjian Lama, masa transisi juga dialami oleh Ayub. Dalam sekejap mata, Ayub kehilangan semua hal yang dicintainya. Keturunan, harta, hingga kesehatannya semua terhempas begitu saja. Perubahan drastis dalam hidup Ayub ini pastilah memunculkan ketidaknyamanan. Dalam kesusahannya ini, istri Ayub malah menyuruhnya untuk mengutuki Allah, tapi Ayub menolak permintaan ini. 

Berbeda dari istrinya yang memberi saran negatif, sahabat-sahabat Ayub memberikan dorongan positif yang menguatkan Ayub dalam masa-masa beratnya. 

Berkaca dari sekelumit kisah Ayub dan pengalamanku ketika mengalami masa transisi, ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk mengasihi mereka yang baru saja mengalami perubahan besar dalam hidupnya

1. Memberi diri kita untuk ikut hadir dalam pergumulan seseorang

Pada Ayub 2:11 tertulis bahwa sahabat-sahabat Ayub datang dari tempatnya masing-masing. Untuk apa? Untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia. 

Kita tidak tahu detail penghiburan seperti apa yang diberikan para sahabat kepada Ayub, tetapi yang pasti adalah para sahabatnya datang dan hadir secara fisik bersama Ayub. Dalam masa-masa pergumulan berat, kehadiran seseorang meskipun tidak membantu menyelesaikan masalah, tapi menjadi penghiburan dan kekuatan karena seseorang merasa tidak sedang berjuang sendirian. 

Memberi diri untuk hadir juga ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ketika Dia diminta untuk datang menyembuhkan Lazarus. Namun, saat ketibaan-Nya, Lazarus telah meninggal. Para saudara Lazarus pun berdukacita. Pada Yohanes 11:35, tertulis dengan singkat tetapi jelas bahwa Yesus menangis. Yesus ikut merasakan pedihnya kehilangan yang dirasakan oleh Maria dan Marta tanpa mengucapkan banyak kata-kata ataupun nasihat. Yang Yesus lakukan adalah hadir, ikut berduka, dan kemudian menunjukkan kuasa Ilahi-Nya. 

Meneladani Tuhan Yesus, memberi diri bagi orang yang kita kasihi di masa transisi merupakan salah satu bentuk kasih yang tidak ternilai.

2. Berikan waktu untuk seseorang menjalani prosesnya

Pada kisah Ayub, Alkitab mencatat bahwa setelah para sahabat datang, mereka duduk bersama-sama dengan Ayub selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata, karena melihat sangat berat penderitaannya (2:13).

Alkitab tidak memberi detail bagaimana respons Ayub saat ditemani oleh para sahabatnya. Namun, jika kita menerka-nerka, mungkin dengan penderitaan amat berat itu Ayub menangis dan berteriak sedih. Mungkin juga dia bertanya-tanya dan berkeluh kesah. Penderitaan ini membuat hidup Ayub berubah total. 

Hal itu pula yang aku alami ketika dalam masa kehilangan. Aku yang biasanya ceria dan suka bertemu banyak orang, menjadi sering murung dan membatasi diri bertemu orang. Aku yang biasanya selalu tahu apa yang akan kukerjakan dalam satu hari, menjadi aku yang tidak tahu harus berbuat apa.

Tetapi bersyukurnya, di tengah masa-masa itu, orang-orang yang mengasihiku memberiku waktu.

Mereka tidak menyuruhku untuk cepat-cepat bangkit. Mereka tidak menyuruhku untuk tidak menangis lagi. Mereka tidak menyuruhku untuk semangat menjalani hari. 

Mereka memberiku waktu untuk aku tidak menjadi aku yang ‘biasanya’.

Mengasihi orang dalam masa transisi bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Namun dengan kekuatan dan kasih Allah, semua itu layak untuk tetap diperjuangkan.

Seperti Allah yang juga terus memberi kita waktu untuk meratap, dan memberi diri hadir bersama kita dalam berbagai liku perjalanan kehidupan, mari terus belajar mengasihi, meski dalam masa transisi. 

Kasih bukanlah kata kerja yang bersifat egois, kasih harus selalu dibagikan kepada orang lain. Mereka yang dalam masa transisi perlu terus dikasihi dan diyakinkan bahwa mereka tidak menjalaninya seorang diri.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Sikap Hati dalam Bergumul

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

Setiap orang pasti memiliki masalah, termasuk aku dan kamu. Sebagai orang percaya, kita menghadapi masalah dengan cara bergumul kepada Tuhan. Bergumul adalah proses mencari kehendak Tuhan dalam masalah yang sementara kita hadapi.

Biasanya pergumulan diawali dengan kebingungan, atau kadang juga perasaan dilematis dalam menentukan sesuatu. Contohnya: pergumulan pasangan hidup, atau memilih pekerjaan sebagai panggilan Allah. Dua topik ini biasanya jadi pergumulan yang paling sering muncul di hidup anak-anak muda. .

Tidak sedikit orang yang putus asa dalam menanti jawaban atas permasalahan yang ada dan tidak sedikit juga orang yang kecewa hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi, sama seperti pengalaman pribadiku.

Aku adalah seorang mahasiswa yang berada pada semester akhir. Teringat sewaktu masih semester 3 aku pernah menyukai seorang wanita yang ada dalam tim pelayanan bersama denganku. Aku pun beberapa kali coba untuk mendekatinya dan dia cukup memberikan respon yang baik terhadapku, sehingga aku memutuskan untuk “menggumuli” dia sebagai pasangan hidup. Baik, rendah hati, dan sama-sama mengerjakan visi Allah dalam pelayanan mahasiswa menjadi alasan mengapa memutuskan hal itu. Cukup lama dan serius aku mendoakan bagian itu bahkan hingga rela tidak mau dekat dengan wanita lain karena sangat mengharapkannya jadi pasangan hidup. Seiring berjalannya waktu aku tahu ternyata temanku juga menyukai dan mendekatinya. Tapi, karena sama-sama sudah dewasa, kami bertiga memutuskan untuk bertemu membicarakan hal ini. Alhasil ternyata temanku dan wanita itu sudah saling mendoakan yang berarti keduanya sudah saling menyukai. Kecewa dan sakit hati mendominasi perasaanku waktu itu.

Ini menandakan sikap hati juga penting dalam bergumul, kita terus berusaha mempersiapkan diri serta hati untuk hasil apapun, bahkan bisa jadi hal yang kita anggap paling buruk sekalipun. Pernyataan ini juga didukung oleh kutipan yang sempat aku baca di Facebook.

“Keberanian iman kita untuk berdoa meminta hal besar kepada Tuhan harus sejalan dengan kebesaran hati untuk menerima apapun keputusan Tuhan atas doa kita.” –Hammy Lasut

Andaikata ini adalah sebuah pertandingan berarti ada yang menang dan ada yang kalah. Bergumul berarti diri kita harus siap menang ataupun kalah. Tetap rendah hati jika menang, lapang dada jika kalah. Jangan sombong saat kita meraih kemenangan dan jangan putus asa saat menerima kekalahan. Dengan bergumul kita sudah memegang keyakinan bahwa sesungguhnya, yang memegang kendali dalam kehidupan kita adalah Allah yang Mahakuasa yang mengetahui mana terbaik bagi kita selaku umat-Nya.

Dalam bergumul, kualitas yang juga dibentuk adalah ketekunan dan sikap yang mau menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Membangun serta menjaga relasi yang intim dengan Allah adalah hal utama dan prinsip yang harus dipenuhi. Pergumulan yang bukan sekedar meminta jawaban akan tetapi juga disertai dengan pengenalan akan Allah.
Apapun hasilnya, keyakinan kita tetap pada satu pribadi yaitu Allah karena kita percaya sesuai janji-Nya Ia tidak akan pernah meninggalkan kita meskipun dalam kondisi yang sukar.

“Ketika kudengar berita ini, duduklah aku menangis dan berkabung selama beberapa hari. Aku berpuasa dan berdoa ke hadirat Allah semesta langit.” (Nehemia 1:4)

Ayat ini memperlihatkan suatu respon peduli dari Nehemia setelah mendengar berita yang menimpa bangsanya, Nehemia dengan perasaan dukacita yang mendalam, dia mengambil langkah awal sebagai murid Kristus yaitu dengan berdoa dan berpuasa kepada Allah.

Padahal di sisi lain Nehemia sendiri punya posisi yang penting dalam kerajaan, bahkan orang kepercayaan raja. Dengan jabatan dan kepercayaan tersebut bisa saja Nehemia langsung meminta pertolongan kepada raja untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsanya, tapi karena Nehemia percaya dan meyakini bahwa satu-satunya yang pasti dan bisa diandalkan hanya Allah saja sebagai pribadi yang berdaulat atas kehidupannya dan kepada seluruh umat manusia. Inilah sikap yang telah diubahkan, orang yang telah mengenal Allah. Ketika kita benar-benar mengenal Allah jabatan penting sekalipun tidak akan membuat hati kita buta. Hati yang benar-benar tertuju pada Allah. Sikap yang patut diteladani dan harus kita miliki ketika bergumul.

Menghalau Galau

Oleh: Inike Lamria Siregar

menghalau-galau

Belakangan makin sering saja kudengar kata “galau”. Istilah yang memang baru tren di kalangan kaum muda ini merujuk pada rasa kuatir dan bingung sendiri ketika harus mengambil sebuah pilihan. Sebagai anak-anak muda Kristen, boleh enggak sih kita galau?

Lirik salah satu lagu rohani berkata demikian:
“…ombak yang menderu tak membuat galau hatiku, ku tau ku selalu mengandalkan-Mu”
(Sampai Batas Waktu, GMB)

Kalau dipikir-pikir, lirik ini bener banget. Mengapa harus galau jika kita punya Tuhan yang dapat diandalkan?

Memang, hidup ini tidaklah semulus jalan tol. Tetapi daripada galau, aku lebih suka “bergumul” dengan masalah yang menghadang. Dalam bergumul kita akan lebih serius, tidak main-main, fokus, dan tentu saja berserah kepada Tuhan. Berserah bukan pasrah, tapi menyerahkan setiap masalah atau pilihan kita kepada Tuhan sebagai pembuat keputusan.

Dalam kegalauan biasanya kita hanya berputar-putar dengan pikirannya sendiri tanpa mengambil tindakan apa-apa. Dalam pergumulan, kita berjuang melakukan sesuatu untuk menghadapi masalah dan mencari solusi. Sebagai para pengikut Kristus, bergumul berarti mendekat kepada Tuhan, berupaya menemukan jawaban atau kehendak-Nya. Makin dekat kita kepada-Nya, makin pekalah kita dengan apa yang Dia ingin kita lakukan, dan makin dapatlah kita menghalau galau… =)

Lalu, gimana caranya dekat dengan Tuhan? Bayangkanlah kalau kamu ingin dekat dengan seseorang. Tentunya kamu berusaha PDKT (pendekatan) dong. Berikut tiga langkah PDKT yang bisa kamu praktikkan untuk memulainya:

Pertama, kita harus sering-sering ketemu dan berkomunikasi. Berbicaralah kepada Tuhan melalui doa. Berdoalah dengan tekun dan sungguh-sungguh. Ceritakan setiap masalah yang kita hadapi. Dia adalah pendengar yang setia dan pemberi solusi yang handal. Dia juga tidak terbatas tempat dan waktu, kita dapat datang pada-Nya kapan saja dan di mana saja. Dia mengundang kita untuk mencurahkan isi hati kita kepada-Nya: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” – Filipi 4:6

Kedua, kita harus banyak bergaul dengan keluarga-Nya. Keluarga Allah terdiri atas orang-orang yang benar-benar hidup dalam Firman-Nya (Lukas 8:21). Pergilah ke gereja secara teratur. Hadiri persekutuan kaum muda atau bergabunglah dengan kelompok-kelompok pendalaman Alkitab. Berkumpul dengan sesama saudara seiman adalah cara hidup jemaat mula-mula. Kita bisa belajar dari satu sama lain, saling menyemangati, saling membangun, sehingga pengenalan kita akan Allah dapat terus bertumbuh. Mendengar sembarang nasihat orang bisa bikin kita tambah galau. Tetapi mendengar masukan bijak dan melihat teladan dari orang-orang yang hidup dekat dengan Allah, akan menolong kita membuat pilihan-pilihan yang tepat.

Ketiga, kita harus kepo sama Tuhan dengan membaca firman-Nya. Kita harus sungguh-sungguh mau tahu apa yang diinginkan Tuhan di dalam kehidupan kita. Jangan puas dengan mendengar kata orang atau khotbah di gereja saja. Ambillah waktu pribadi untuk bersaat teduh, membaca dan merenungkan Alkitab secara teratur. Kalau kita jarang atau bahkan belum pernah membaca Alkitab, wajar saja kita galau, karena kita tidak banyak tahu tentang Dia. Jangan termakan apa kata orang kalau kamu sendiri belum ngecek kebenarannya dalam Alkitab.

Makin dekat kita kepada Tuhan,
makin pekalah kita dengan apa yang Dia ingin kita lakukan,
dan makin dapatlah kita menghalau galau… =)