Posts

Suatu Malam di Getsemani 

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Bila ada hal yang tak bisa dihentikan, ia adalah sesuatu bernama waktu. Baru kemarin rasanya kita mengikuti Perjamuan Kudus, mengenang kematian Yesus, dan merayakan kebangkitan-Nya. Tahu-tahu sekarang sudah di akhir April! Namun, pada serangkaian peristiwa Paskah kemarin, ada satu bagian yang hingga kini menggema kuat bagiku… suatu bagian yang menegaskan pada kita akan panggilan untuk finish well, mengakhiri dengan baik.

Mari kita mulai dengan membaca penggalan nats dari Markus 14:33-36:

Dan Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Ia sangat takut dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.” Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya. Kata-Nya: “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

Malam itu, Yesus pergi ke sebuah tempat di bukit Zaitun. Di sana terdapat sebuah taman bernama Getsemani. Nama “Getsemani” berarti “tempat pemerasan minyak”. Di sana orang-orang mengumpulkan buah zaitun, meletakkannya ke dalam sebuah alat yang berbentuk cekungan dan menggilingnya hingga keluar minyak.

Yesus tidak sendirian. Dia pergi ke sana bersama Petrus, Yakobus, dan Yohanes, tiga orang pengikut terdekat-Nya. Waktu itu bukanlah waktu biasa, tapi jam-jam terakhir sebelum Yesus ditangkap dan akan segera menghadapi eksekusi mati-Nya. Sampai di sini, mari kita berhenti sejenak. Coba bayangkan, bila kamu berada di saat-saat terakhir, kamu tahu sebentar lagi kita akan dihukum mati, kira-kira apa yang kamu harap bisa lakukan bersama dengan sirkel terdekatmu? Mungkin, jawaban yang paling umum adalah kamu ingin orang-orang yang kamu kasihi menemanimu, ada di dekatmu. Demikian juga dengan Yesus. Maksud-Nya mengajak ketiga murid-Nya adalah untuk menemani berdoa, tapi mereka justru tertidur karena kelelahan.

Mendapati ketiga murid-Nya tak sanggup menemani, Yesus berdoa kepada Bapa. Yesus mengutarakan ketakutan-Nya. Tapi.. bukankah Yesus adalah Allah yang Mahatahu? Mengapa Dia berbicara dengan penuh emosi dan tampak begitu lemah?

Di sinilah poin yang menarik untuk kita cermati. Yesus adalah Allah dan Dia tahu bahwa sebentar lagi Dia akan mengalami keterpisahan dengan Bapa. Inilah yang menjadikan-Nya begitu takut.

Pernahkan kamu berbicara dengan Bapa yang di Surga seintim itu? Tapi, bukannya Yesus itu Allah? Seharusnya Dia tahu segala sesuatu yang akan dihadapi-Nya, kan? Tentu saja, Dia itu Allah yang Maha Tahu. Tapi, Dia berbicara dengan penuh emosional dan manusiawi. Bagaimana mungkin Yesus yang kita kenal sebagai Juru Selamat dan yang oleh para pemazmur disebut-sebut sebagai Kota Benteng dan Kubu Pertahanan itu malah mengalami titik paling rendah, titik paling lemah, dalam kehidupan-Nya?

‘Sangat takut’ dan ‘gentar’ di Alkitab versi terjemahan lain disebut juga sebagai ‘distress’ atau ‘sangat tertekan’. ‘Distress’ merupakan kondisi menderita sakit secara psikologis atau fisik yang ekstrem. Itulah sebabnya, Alkitab mencatat bahwa dalam masa-masa ketakutan itu keringat Yesus berubah menjadi seperti butir-butir darah (Lukas 22:44).

Alkitab mencatat ada peristiwa-peristiwa lain ketika Yesus bergumul dengan perasaan takut dan sedih. Pendeta Joyman Waruwu menuliskan demikian, “Yesus tahu Ia akan membangkitkan Lazarus, namun Ia tetap menangis ketika tiba di depan kuburan Lazarus. Yesus sendiri pun tahu akan bangkit pada hari ketiga, namun Dia tetap menangis dan berpeluh darah di taman Getsemani. Pengetahuan akan sukacita masa depan tidaklah meniadakan duka pada masa sekarang. Namun, sama seperti Yesus, pengetahuan akan masa depan dapat menginspirasi kita bertahan melewati rasa sakit, ketegangan, dan penderitaan yang luar biasa.

Ketika memutuskan untuk ikut Tuhan Yesus, kita juga menghadapi begitu banyak pergumulan. Kita mencoba tetap lurus ketika yang lain berkompromi, kita berusaha jujur ketika samping kanan dan kiri kita mengatakan ‘berbohong demi kebaikan itu no problem’, kita memilih jalan memutar yang lebih sempit ketika lewat jalan pintas yang lebar itu terlihat jauh lebih mudah dan menguntungkan. Kadang kita sudah lelah, tertekan, takut, dan gelisah, seperti mau mati rasanya! Tapi lihatlah, Tuhan Yesus sudah pernah melalui semua itu, bahkan yang terburuk dari semua itu—ditinggalkan, dikhianati, disiksa, dan pada akhirnya, mati di kayu salib.

Suatu malam di Getsemani ini kiranya menjadi pengingat untukmu dan untukku. Juru Selamat kita adalah Teladan Besar kita untuk terus maju dengan setiap panggilan kita sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya.

Ingatlah, ketika kita merasa sedang berada di titik terendah dan terlemah kita, kita dapat datang kepada Bapa Surgawi, sama seperti Yesus yang pernah menangis dan tersungkur di hadapan Bapa-Nya. Ingatlah kembali komitmen kita, sebagaimana Kristus taat pada panggilan-Nya sampai akhir.

Yesus mengakhiri dengan baik, demikian juga kita harus terus maju, melangkah dalam iman, pengharapan, dan kasih hingga hari-Nya tiba!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kamu diundang datang ke perjamuan

Ketika dunia menyediakan tempat terbaik bagi mereka yang tampil dengan segala keindahan lahiriah—status, kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan sebagainya, Tuhan Yesus tidaklah demikian.

Yesus merangkul dan mengundang orang-orang yang dianggap rendah dalam masyarakat: janda-janda (Lukas 7:11-17), penderita kusta (ayat 19), wanita yang berbuat zinah (ayat 36-50), juga para pemungut cukai (Lukas 5:29-39).

Semua orang ini sama seperti kita, orang-orang berdosa yang membutuhkan kasih karunia Allah. Kita tidak dibuang, tetapi diundang Yesus untuk masuk ke dalam persekutuan bersama-Nya, menanggalkan manusia lama, dan beroleh hidup yang baru di dalam Roh.

Apa pun keadaanmu saat ini, maukah kamu menerima undangan Tuhan dan duduk dalam perjamuan-Nya?

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today dan dibuat oleh @rc.sketch.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Doa [yang bisa kamu ucapin] waktu kamu lagi cuci piring

Mengubah dunia sering kita identikkan dengan melakukan hal-hal besar, dramatis, dan spektakuler. Semisal, membangun satu yayasan untuk mengentaskan kemiskinan dan kelaparan. Atau, dalam hal yang tampak lebih rohani, kita berpikir tentang lebih mendekat pada Tuhan lewat ritual-ritual tradisional seperti berpuasa, baca Alkitab, atau menenangkan diri.

Kita sangat mudah terfokus pada hal-hal yang kita anggap bisa memberi dampak terbesar pada dunia.

Namun, meskipun ini penting, hidup kita biasanya tidak selalu terdiri dari momen-momen yang spektakuler, atau bahkan yang terasa sangat rohani.

Kita lebih sering melakukan tindakan-tindakan kecil yang mungkin tidak kita hargai dan kita anggap biasa saja. Mencuci piring buat teman sekosanmu, lagi. Menyiapkan sarapan buat adikmu, atau anggota keluarga lainnya, lagi. Buang sampah, lagi.

Kita mungkin berberat hati menyelesaikan tugas-tugas ini, merasa tidak dihargai, dan berharap ada cara yang lebih asyik untuk menghabiskan waktu.

Namun, Juruselamat kita, yang mengambil rupa seorang hamba, menunjukkan kita bahwa pekerjaan yang sesungguhnya ada dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita menunjukkan kasih dan kerendahan hati melalui pelayanan yang tampak biasa dapat dipakai-Nya mengubah dunia. Bagaimana kita merespons ketika kita merasa terlalu banyak bekerja dan diremehkan adalah bagian dari pelayanan bagi-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Aku tidak menginjili. Bukan dengan cara yang diinginkan gerejaku.

Berbagi Injil tak terbatas hanya dengan mengajak orang-orang untuk datang ke gereja. Lebih dari itu, kita harus menumbuhkan relasi yang baik dan memiliki hati yang peduli pada keadaan mereka.

Tak cukup dengan bilang “Tuhan Yesus baik, lho. Percaya deh” agar orang-orang percaya kepada-Nya. Sejatinya, Injil itu harus terlihat melalui diri kita: bagaimana kita hidup dan mengasihi sesama. Dengan begitu, teladan Yesus dapat dilihat melalui kita.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Isi Hati Kepada Bintang Jatuh

Oleh Kevin Nathanel Marbun

Masa kecil bagi sebagian orang menyimpan berjuta kenangan manis. Saat usia kita dewasa, seringkali ungkapan “ingin kembali ke masa kecil” terucap saat kita mengeluh. Kita ingin kembali pada masa ketika setiap insan tidak perlu memikirkan hidup yang ruwet.

Namun buatku pribadi, masa kecilku adalah salah satu masa paling menakutkan yang menyelimuti hampir setiap hari-hariku, mulai dari pagi, siang, sore, hingga malam. Dulu saat aku duduk di bangku kelas IV SD, ibuku mengidap berbagai macam penyakit. Meski aku masih bisa menikmati rasanya bermain bersama teman-teman, tapi aku harus meluangkan waktu lebih untuk merawat ibu bersama dengan almarhum ayahku saat itu. Adikku juga baru berusia kurang lebih setahun, dan sebagai kakak aku juga bertanggung jawab untuk merawatnya.

Saat malam sampai aku masuk SMP, aku selalu terbangun setiap satu atau dua jam untuk memeriksa apakah perut ibuku masih naik turun, memastikan dia masih bernafas. Kugantikan tugas ibuku untuk mengurus rumah tangga walau tentu tidak maksimal karena kondisi umurku yang masih kecil. Perjuangan ibuku untuk sembuh sungguh berat. Segala jenis obat, pengobatan, dan perawatan mungkin sudah dia rasakan semuanya, dan proses ini ikut menambah turbulensi perekonomian keluarga. Rasa kesepian menanggung beban ini tak cuma kurasakan di rumah, tapi juga di gereja. Setiap beribadah, aku selalu sendiri tanpa ditemani keluarga. Sepi rasanya melihat anak seusiaku dibukakan permen oleh ibunya, diberikan cemilan, atau bergandengan tangan. Lagu-lagu Natal yang mengatakan selamat Natal untuk papa mama pun terasa tidak nyaman buatku karena tak ada senyum kedua orang tuaku yang menghampiriku.

Setiap hari doaku hanya untuk kesembuhan ibu dan memohon agar keluarga kami dikuatkan. Aku melihat bagaimana dahulu perjuangan dari almarhum ayah untuk mengupayakan, baik secara tenaga, waktu, dan materi untuk berjuang demi kesembuhan ibuku. Inti dari semua cerita ini adalah satu kejadian yang aku rasa berkenaan dengan firman Tuhan yang berkata, “Maka kata-Nya kepada perempuan itu: hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu.” (Markus 5:34).

Pada satu malam, aku ingat ibu menyuruhku mengangkat air dari salah satu sumber air. Kami tinggal di kabupaten Humbang Hasudutan, provinsi Sumatra Utara. Desa kami tidak punya air PAM yang mengalir pada setiap rumah, sehingga sumber air kami harus melalui salah satu sumber air yang digunakan bersama. Sebelum mengangkat air, aku bersama adikku sedang menyaksikan acara televisi. Salah satu scene yang aku ingat kurang lebih berkata “jika kamu melihat bintang jatuh, sebutkan permintaanmu, maka permintaanmu akan dikabulkan”. Setelah iklan, aku bergegas mengangkat air. Pada saat keluar dari pintu, aku melihat ke atas, dan kulihat ada benda langit yang bergerak di atasku. Kurasa itulah bintang jatuh. Aku meletakkan ember yang kubawa, kemudian melipat tangan dan memohon agar Tuhan dapat menyembuhkan ibuku. Aku pun tidak mengerti. Semua terjadi begitu saja, dan dulu, sewaktu kecil aku hanya merasa bahwa bintang jatuh itu seolah Tuhan yang sedang berangkat menuju tempat lain, sehingga aku mengucapkan permohonanku dulu, sebelum Tuhan berangkat ke tempat lain.

Hanya satu hal yang selalu kumohon, agar ibuku sembuh. Setelah selesai berdoa, aku mengambil kembali ember itu lalu mengangkat air ke rumah, seperti yang diperintahkan oleh ibuku, lalu memberinya obat. Setelah tertidur dan hari-hari kemudian berganti, tanpa mengingat kembali apa yang terjadi pada saat bintang jatuh itu terjadi. Namun, pada saat itu aku percaya dan sangat percaya bahwa Tuhan mendengar doaku. Tanpa disangka, dalam kurun waktu kurang lebih seminggu, Tuhan berkenan memberi mukjizat. Ibuku mengalami kesembuhan. Tubuhnya terasa segar. Saat itu, dalam pengetahuan anak kecil yang terbatas, aku sangat bahagia, melebihi rasa bahagia dari mendapatkan mainan baru. Rasa bahagiaku berlanjut ketika melihat ibuku menginjak kakinya kembali ke gereja.

Kesembuhan yang Tuhan berikan tak hanya memulihkan fisik, tetapi juga memulihkan aspek rohani ibuku dan juga menguatkan iman kami sekeluarga. Dari kisah singkatku ini, aku percaya bahwa iman adalah langkah awal dari kesembuhan segala hal dalam kehidupan ini. Tuhan mampu memberikan kesembuhan dalam cara dan bentuk yang seturut kebijaksanaan-Nya. Ketika jalan terasa buntu, rasa percaya yang kuat bahwa Tuhanlah satu-satunya yang dapat diandalkan adalah kunci. Secara dunia dan cara pandang manusia, mungkin mustahil. Namun, fenomena “bintang jatuh” yang kurasakan pada masa lampau selalu jadi pengingat bahwa dalam setiap perjalanan kehidupan ini, Tuhanlah satu-satunya andalan kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengenal Ritual-ritual dalam Iman Kristen

Oleh Dhimas Anugrah

La Tomatina atau “perang tomat” yang ada di Spanyol mungkin merupakan pesta atau ritual terbesar di dunia. Biasanya, La Tomatina diadakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Agustus. Para peserta saling melempar tomat dan terlibat dalam pertarungan yang tak menyakitkan satu sama lain. Ritual ini menjadi terkenal sejak abad yang lalu. Di seberang benua lainnya, selama ratusan tahun ada upacara Okali, ritual melempar bayi yang baru lahir dari atas atap kuil di India. Namun, keselamatan bayi tetap diutamakan dengan sejumlah orang bersiap menangkap si bayi dari bawah dengan menggunakan kain putih lebar yang dibentangkan. Muasal ritual ini, konon dulu ada pasangan yang bersumpah di kuil apabila mereka mempunyai keturunan, maka mereka akan rutin menjalankan ritual di situ untuk berterima kasih kepada dewa. 

Dua praktik di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak ritual yang dilakukan komunitas-komunitas manusia di muka bumi. Ritual secara sederhana dipahami sebagai ekspresi batin yang melibatkan tindakan fisik simbolis. Namun, yang perlu diingat adalah frasa “ritual” tidak terisolasi hanya pada ranah agama, melainkan juga budaya dan adat-istiadat.

Umat Kristen, seperti halnya komunitas tradisi atau agama lain, pun memiliki ritual yang unik. Para pengikut Kristus memiliki ritual khasnya, dengan melakukan sakramen baptisan, perjamuan kudus, berdoa, bernyanyi, beribadah di gereja, berpuasa, kolekte, bersaksi, dan beragam ekspresi iman lainnya.

Ritual-ritual Kristiani

Frasa “ritual” sendiri berasal dari bahasa Latin “ritualis” dengan akar kata “ritus” yang biasanya dipahami sebagai jenis upacara atau kegiatan. Kata “ritual” dalam bahasa Inggris menjadi lebih dikaitkan dengan agama mulai pada tahun 1600-an. Ritual dalam iman Kristiani sendiri, secara mendasar dilandasi oleh ungkapan syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya melalui Sang Juruselamat Yesus Kristus (Mazmur 28:7; Ibrani 12:28; Kolose 3:1). Berdoa adalah salah satu ritual umum dalam iman Kristiani. Praktik ini berakar dari Perjanjian Lama, dan terus berlanjut dalam Perjanjian Baru, seperti dapat dilihat pada doa harian yang dilakukan secara teratur baik di rumah maupun di Bait Allah, Yerusalem. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa doa dilakukan tiga kali (2:15; 10:9; 10:30-31; 3:1). Menurut Maxwell E. Johnson dalam “The Apostolic Tradition,” in The Oxford History of Christian Worship, hal ini sesuai dengan pengorbanan Bait Suci pada pagi hari (sekitar pukul 09.00), tengah hari, dan sore hari (sekitar pukul 15.00). Jemaat akan berdiri di luar Bait Suci sambil berdoa ketika imam mempersembahkan dupa di atas mezbah (bdk. Lukas 1:10).

Ritual lainnya, menyanyikan pujian. Seringkali memang seperti tidak ada batasan yang jelas antara menyanyikan pujian, berdoa, dan membaca Alkitab. Dalam Kitab Suci, memuji Allah dapat merujuk pada doa dan juga nyanyian (Kisah Para Rasul 16:25; Ibrani 13:15). Pengajaran juga dapat berbentuk nyanyian, seperti membaca mazmur yang dapat disebut sebagai menyanyikan “puji-pujian dan nyanyian rohani” (Kolose 3:16; Efesus 5:19). Jesper Svenpro dalam “Archaic and Classical Greece: The Invention of Silent Reading,” in A History of Reading in the West, menunjukkan lagu-lagu rohani juga bisa jadi merupakan ekspresi iman spontan yang diilhami oleh Roh Kudus. Menyanyi sebagai doa dan pengajaran turut dilatarbelakangi fakta bahwa membaca memang jarang dilakukan di dunia kuno. Praktik membaca justru biasa menjadi aktivitas vokal atau bahkan musik (Filipi 2:5-11; Kolose 1:15-20; dan 1 Petrus 3:18-22). 

Perjamuan Kudus juga merupakan ritual dalam laku sakramen “makan serta minum tubuh dan darah Yesus Kristus.” Sakramen sendiri merupakan “tanda yang terlihat” atau simbol yang dapat ditangkap pancaindra, sehingga anugerah keselamatan Allah yang adikodrati dapat dihayati umat pilihan-Nya. Tradisi Kristiani lainnya menyebut sakramen sebagai “Misteri Suci.” Perjamuan Kudus adalah inti dari ibadah Kristen mula-mula dan dimaksudkan untuk terus mengenang Kristus dan ajaran-Nya. Sejak awal dalam tradisi Kristiani, ritual ini dikaitkan dengan perkataan Yesus, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Korintus 11:24; Lukas 22:19). Ajakan “mengingat” ini demi menghayati kembali peristiwa ”pemecahan roti” yang Kristus lakukan dalam Perjamuan Akhir (Lukas 24:35).

Dalam sejarah, orang Kristen mula-mula berusaha menjaga ingatan ini tetap hidup dengan melakukan “komuni” atau memecah-mecahkan roti setiap hari dan memanjatkan doa (Kisah Para Rasul 2:42, 46). Namun, di kemudian hari dalam kitab yang sama Lukas menginformasikan, orang-orang Kristen memecah-mecahkan roti pada hari pertama dalam pekan itu, yaitu hari Minggu (Kisah Para Rasul 20:11). Para ahli umumnya percaya perjamuan ini adalah sebuah peraturan dan perjamuan yang asli. Meskipun kita tidak mengetahui semua detail dari praktik ini, Perjanjian Baru menyebutkan perjamuan mencakup makanan seperti roti, anggur, ikan, dan sejenisnya (Lukas 24:39-43; Yohanes 21:12-13). Mereka juga menyertakan kegiatan seperti berkhotbah dan berdoa, dan para anggota jemaat makan “dengan sukacita dan dengan hati yang tulus” (Kisah Para Rasul 2:46).

Selain itu, ritual yang dikenal paling khas dari iman Kristiani adalah Baptisan. Kata kerja Yunani βαπτίζω (baptizō) memiliki arti antara lain: menyiram, menyeka, menyelam, mencelupkan atau bahkan menceburkan seseorang ke dalam air. Dalam Perjanjian Baru, praktik pembaptisan secara selam tampak tersirat, karena Yesus “keluar dari air” setelah ritual tersebut dilakukan (Markus 1:10; bandingkan dengan Roma 6:3-6). Meski demikian, sejarah dan faktanya hingga kini, gereja memiliki praktik baptisan yang berbeda, seperti dipercik maupun disiram secara terbatas di atas kepala peserta baptis. Keragaman metode teknis baptisan ini suatu keniscayaan dan bukan hal yang perlu diperdebatkan, justru kita didorong membuka hati bagi perbedaan itu sebagai kekayaan ekspresi iman yang perlu dirayakan. 

Injil-injil Sinoptik setuju bahwa tujuan baptisan Yohanes adalah untuk menghasilkan pertobatan dan pengampunan dosa (Markus 1:4; Matius 3:11; Lukas 3:3), bahkan Injil Yohanes memusatkan perhatian pada “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Injil Yohanes juga menyamakan baptisan dengan “dilahirkan kembali.” Kelahiran kembali ini memiliki makna ganda dalam teks Yunani, karena kata ἄνωθεν (anōthen) dapat berarti: (1) “kembali” atau (2) “dari atas.” Dalam teks ini, Nikodemus tampak tidak mengerti karena ia berpikir bahwa ia harus “dilahirkan kembali” secara harfiah, sebab ia belum paham bahwa “dilahirkan kembali” itu bermakna spiritual atau “dilahirkan dari Allah” (Yohanes 3:3-7, 3:31, 19:11, 23).

Akhirul Kalam

Apakah semua ritual itu wajib kita jalankan? Kalau kita tidak melakukannya, akan berdampak apa? Dari sedikit uraian di atas, tampak jelas bahwa ritual dalam iman Kristiani memberi kita kesempatan mengingat kisah-kisah penting dalam Alkitab dan ajaran Juruselamat serta Guru Agung kita Yesus Kristus. Semua ritus religius gerejawi yang dilandasi kisah dalam Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru, membuka ruang bagi orang percaya untuk tetap belajar merenungkan pesan-pesan iman yang dia dengar dari sabda Tuhan (Roma 10:17). Ritual secara simbolis membantu kita mengungkapkan dan merayakan iman kepada Allah secara nyata, sekaligus menghubungkan diri kita di masa kini dengan kesinambungan sejarah iman umat Kristiani di sepanjang segala abad. 

Kita diajak memahami, bahwa ritual Kristen memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan iman dan memperdalam relasi kita dengan Allah Yang Maharahim. Penting diingat bahwa sifat dan signifikansi ritual dalam iman Kristen dapat bervariasi antara denominasi dan kelompok gereja. Di sini kita diundang untuk menghargai dan mengapresiasi setiap ekspresi iman tiap kelompok Kristiani dalam menjalankan ritualnya. Tidak perlu saling merendahkan maupun menganggap diri lebih benar atau superior dari denominasi yang lain. Beberapa komunitas Kristiani mungkin menekankan beberapa ritual lebih dari yang lain, atau sebaliknya. Ini merupakan keindahan taman teologi gereja yang perlu dirayakan. Ritual adalah bagian dari ungkapan cinta kita kepada Allah, sekaligus ikhtiar dalam menggenapi tujuan hidup kita, yaitu memuliakan Dia (Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Mazmur 73:25-26).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

6 Tanda Kalau Ada yang Salah dalam Relasi Kita Sama Tuhan

Sobat Muda, memiliki relasi dengan Tuhan itu penting. Namun, apakah selama ini kita sudah membangun relasi yang benar dengan Tuhan?

Berikut ada 6 tanda—yang perlu kita perhatikan—kalau ada yang salah dalam relasi kita sama Tuhan.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kering, Namun Perlahan Disuburkan Kembali

Oleh Jesica Rundupadang, Toraja

Menjelang Natal tahun kemarin, aku ditunjuk menjadi salah satu tim kerja di persekutuan pemuda di gereja. Namun, pada saat yang sama aku kurang melibatkan diri dalam pelayanan, rasanya seperti ada sekat karena sebuah masalah yang pernah terjadi. Semakin hari aku semakin menjauh dari gereja. Saat diminta hadir dalam sebuah pertemuan atau ibadah, aku selalu mangkir dengan banyak alasan. Hal ini terjadi selama beberapa bulan dan tanpa kusadari mempengaruhi juga kehidupan rohaniku. Aku jadi jarang berdoa, atau hanya seperlunya saja. 

Hingga tibalah saat menjelang Paskah. Aku kembali diberi tanggung jawab. Aku mengatur siapa-siapa saja yang akan menjadi petugas ibadah. Ingin rasanya kutolak, tapi karena satu dan lain hal aku tidak bisa. Jadi, kuhubungi teman-teman yang kurasa bisa ambil bagian (liturgis, pemain musik, kantoria, dsb) di ibadah Paskah nanti. Ketika aku mulai mengajak teman-temanku, rupanya di sinilah Tuhan menegurku. 

“Sebenernya kan kalian bisa latihan tanpa saya. Lagipula kalian yang ambil bagian, masalah liturgi sudah beres. Jadi, untuk apa saya datang?” kalimat ini kuucapkan setelah dua hari para pelayan berlatih. 

“Cika,” jawab Chinjo, salah satu dari pelayan ibadah. “Tidak begitu. Ini tugasmu untuk terus pantau kami yang latihan. Ini seperti tugas Kak Ci di tahun-tahun yang lalu. Bukan sekadar mengingatkan, tapi kalau ada yang miss bisa diperhatikan. Jadi bukan karena liturginya beres, kamu menghilang. Btw, bisakah tiap latihan kita mulai dengan doa?” Teguran ini disampaikan Chinjo dengan muka bercanda, tetapi dia serius dengan pesannya.

Terus terang saja aku pun bergumul tentang doa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sangat jarang berdoa belakangan ini. Hari-hariku tak kuawali dan kuakhiri dengan doa. Aku terus berjalan dengan menganggap remeh doa itu, karena pikirku “aku doa dan tidak doa pun, Tuhan tetap kok nggak bakalan jawab doa sesuai keinginanku bahkan malah aku seperti ini karena Tuhan sendiri.”

Jika Paskah di gereja kemarin sempat ditegur dengan doa. Kembali lagi, saat akan dirayakan Paskah tingkat Klasis, yang kebetulan pemuda jemaat kami yang mengambil bagian lagi, beda lagi tegurannya. Di sini kami selalu pergi ke jemaat lain untuk latihan. Hari ganti hari kami semakin saling terbuka, apalagi setiba di lokasi di mana kami menginap serumah. Aku merasa terharu, ketika saat itu salah satu temanku memanggil “Cika, ayo saat teduh”. Hal yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut orang yang sama sekali juga tidak kusangka-sangka. Dia adalah temanku, yang dulunya bahkan menyepelekan kegiatan ibadah pemuda. Lalu kenapa Tuhan memakainya menegurku? Ada pertanyaan yang menggelitik pikiranku, “Tuhan, kok Engkau pakai orang ini?”

Kehadiran teman-temanku rupaya menjadi cara Tuhan untuk menegurku. Ketika aku mulai tidak peduli dengan kehidupan spiritualitasku seperti sebelumnya, Tuhan menegurku melalui mereka. Ketika aku tidak peduli dengan kondisi di sekitarku, Tuhan tetap memakai temanku untuk mengingatkanku pentingnya saling berbagi, sharing.

Ada begitu banyak cara Tuhan untuk membawa anaknya kembali dalam dekapannya. Pengalamanku ini salah satunya. Bagaimana aku yang jadi malas berdoa atau berdoa seperlunya saja, tidak lagi ikut komunitas, dan berhenti saat teduh, bisa ditegur perlahan melalui orang di persekutuan gerejaku. Jujur saja, menyepelekan hal seperti ini kadang mengganggu perasaanku. Selalu ada kata, “Kapan aku bisa kembali seperti dulu? Kapan aku mau kembali lagi?” Tapi seketika itu pun kadang kujawab “Ah bisalah nanti, bisalah besok, kapan-kapan aja”.

Tapi, sejak aku dapat teguran dari kedua temanku itu aku kembali berpikir. “Kamu diberi waktu 24 jam. Ini 24 jam lho. Terbuangkah waktumu percuma hanya untuk bicara sama Tuhanmu? Tuhan bahkan tidak meminta kamu harus tiap bangun doa paling kurang sejam. Tuhan hanya mau mendengar doamu secara langsung lebih intim. 

Kusadari bahwa ketika aku meremehkan hubunganku dengan Tuhan, aku akan tiba pada satu titik di mana aku merasa hampa meskipun semua yang kita butuhkan tersedia. Bisa saja, mungkin ada di antara kita yang saat ini merasa kering dan tidak diperhatikan Tuhan. Bisa saja, kita juga mulai surut untuk mengikuti kegiatan rohani di gereja. Namun, satu hal yang dapat kupercaya yaitu Tuhan mampu. Tuhan punya kuasa untuk menarik kita kembali bahkan melalui orang-orang yang tidak kita sangka.

Sejenak aku berpikir, “Kok Tuhan tidak marah? Kenapa malah semakin membuatku untuk mendekat?” Jawabannya baru kudapatkan saat ibadah bersama rekan-rekan di tempat kerjaku. 

Jawabannya, Tuhan adalah kasih. Seberapa jauh pun kita melangkah menghindari hadirat Tuhan, kasih-Nya tetap besar. Tuhan masih ingin kita menikmati waktu bersama-Nya. Akan ada suatu waktu, Tuhan membuatmu tertegur, tertegun, dan terbentuk. Kita bisa menikmati hadirat Tuhan salah satunya dengan persekutuan. Tak sedikit ada bentrokan dalam persekutuan, namun bukan artinya kita meninggalkan. Tetap taat hingga kita semua berbuah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menemukan Berkat Terselubung

Oleh Yulinar Bangun, Manado

Keluargaku adalah keluarga petani sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil di daerah yang disebut Tanah Karo, Sumatera Utara. Meski sederhana, sampai tahun lalu aku selalu punya alasan untuk bersyukur.

Bapakku berusia 61 tahun dan mamak 53 tahun. Di usia yang melampaui setengah abad itu mereka sangat sehat. Tidak pernah ke rumah sakit. Inilah hal pertama yang kusyukuri. Melihat mereka yang sehat dan bersukacita membuatku merasa jadi orang yang paling diberkati. 

Namun, aku tiba di hari ketika aku mulai meragukan berkat itu. Di awal bulan Oktober tahun lalu aku mendapat kabar kalau Bapak masuk rumah sakit di Berastagi. Setelah beberapa hari, dia dirujuk ke rumah sakit di Medan. Berawal dari alergi kulit, kemudian salah obat, dan berujung komplikasi, begitu kata dokternya.

Masa-masa bapak sakit terasa seperti masa tersuram dalam hidupku. Bapak dan mamak kadang menahan informasi karena tak ingin anaknya khawatir di tanah rantau. Maksud baik mereka itu malah membuatku frustrasi tak bisa melakukan apa-apa dari jauh.

Di masa-masa itu aku sesekali berpikir, apakah aku masih bisa menemukan alasan untuk bersyukur? Kesehatan yang selama ini aku banggakan, Tuhan tarik begitu saja dalam sekejap. Tampaknya, seperti tidak ada hal baik yang bisa aku syukuri.

Aku kecewa dan marah, tapi bukan berarti aku langsung meninggalkan Tuhan. Di malam-malam yang sunyi di kamar kos yang sempit aku masih berdoa. Bedanya, dulu aku berdoa dengan ucapan syukur, kali ini aku mempertanyakan banyak hal. 

Suatu malam aku teringat lagu Blessings oleh Laura Story. Aku sudah mendengar lagu ini beberapa kali sebelumnya, tapi malam itu rasanya berbeda, seakan-akan lagu itu diciptakan untukku. Berikut penggalan liriknya,

Cause what if Your blessings come through raindrops
What if Your healing comes through tears
What if a thousand sleepless nights are what it takes to know You’re near
What if trials of this life are Your mercies in disguise

Perlahan aku menyadari, di malam-malam yang tampaknya suram itu, malam di mana aku mempertanyakan banyak hal, justru di situlah aku merasa paling intim dengan Tuhan. I felt God. Aku seperti anak kecil yang mengadu dan menangis di pelukan ayahnya.

Aku tidak serta merta langsung menemukan hal untuk disyukuri, namun aku masih punya keyakinan kalau Tuhan tidak akan lepas tangan. 

Hampir sebulan Bapak di rumah sakit, dan setiap hari kami berdoa bersama di malam dan pagi sebelum aku berangkat kerja. Dan kadang, bukannya mendoakan diri sendiri, Bapak justru mendoakanku agar tidak khawatir dan bisa bekerja dengan baik. Ah, dasar orang tua, kenapa mereka tidak bisa bersikap egois sesekali.

Karena hampir setiap hari menelepon, aku jadi tahu perkembangan mereka. Bapak cerita kalau Mamak tidak pernah marah atau mengeluh, seperti kebiasaannya kalau di rumah. Mamak cerita kalau orang-orang di kampung bergotong-royong mengurusi ladang mereka, bahkan tidak mau dibayar. Kadang mereka juga pamer mendapat kiriman makanan yang tak habis-habis. Aku juga cerita kalau beberapa rekan kerjaku menyadari kegalauanku dan mereka berdoa untukku.

Namun, di antara semua cerita itu, ada satu cerita yang paling menghangatkan hatiku. Mamak akhirnya berdamai dengan lukanya di masa lalu. Ia bercerita dengan berseri-seri, bagaimana tanteku menjaga adik-adikku di kampung dan sering kali mencoba menghibur Mamak. Mamak di usianya yang 53 tahun akhirnya bisa mengampuni saudara perempuannya, dan ia menemukan bahwa mereka sebenarnya saling mengasihi, namun dengan cara yang berbeda.

**

Setelah melewati waktu yang cukup panjang untuk merenung, aku akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaanku. Apakah aku masih tetap bersyukur untuk kesehatan? Tentu, aku masih dan akan terus bersyukur untuk itu. Aku bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan untuk menikmati kesehatan di waktu ini dan waktu yang akan datang.

Tapi selain itu, aku menemukan alasan lain yang akan selalu aku syukuri. Aku bersyukur Tuhan menempatkan orang-orang baik di sekitarku, yang mengasihi diriku dan keluargaku. Sungguh, sepertinya tidak ada alasan lagi untukku meragukan kasih-Nya.

Saat ini Bapak sudah sembuh, walau belum total. Ia masih harus mengonsumsi obat dan perlu istirahat. 

Aku bersyukur, aku dan keluargaku bisa melewati masa itu. Terlebih aku bersyukur, Tuhan memberikan kepekaan untuk melihat berkat-berkat terselubung di masa sulit itu.

Seperti penutup dari lagu Blessings milik Laura Story, 

What if the rain, the storms, the hardest nights,
Are Your mercies in disguise?