Posts

1 Hal yang Tak Boleh Terlupakan Saat Kamu Berbuat Baik

Oleh Meili Ainun

Kita tidak asing dengan konsep “berbuat baik”. Budaya hingga agama mengajar agar sesama manusia saling berbuat kebaikan. Kita pun pasti setuju bahwa kebaikan adalah “bahasa universal” yang bisa diterima oleh semua manusia.

Namun, kebaikan seperti apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang Kristen? Apakah dengan memberi sebanyak mungkin? Atau, apakah dengan merelakan diri untuk selalu berkorban? Untuk menemukan jawaban spesifiknya, aku mengajakmu untuk menilik kembali suatu kisah dari Alkitab yang tentu tak asing kita dengar.

Yohanes 13:1-20 mencatat kisah tentang Yesus yang membasuh kaki para murid-Nya. Pada masa itu, membasuh kaki adalah kebiasaan umum di wilayah tempat Yesus tinggal. Orang-orang berjalan kaki dengan memakai kasut yang bentuknya tidak seperti sepatu modern sehingga debu dan kotoran bisa dengan mudah menempel di kaki. Agar debu dan kotoran itu tidak terbawa masuk, maka setiap orang harus membasuh kakinya dulu. Tuan rumah pun menyediakan wadah yang bisa terbuat dari emas, perak, besi, ataupun tanah liat berisi air di muka rumah.

Seseorang tidak membasuh kakinya sendiri. Umumnya seorang budak atau pelayan dari tuan rumah yang melakukannya. Namun, Injil Yohanes menyajikan cerita yang berbeda. “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yohanes 13:4-5).

Momen pembasuhan kaki ini terjadi saat Yesus dan para murid sedang melakukan perjamuan Paskah, tetapi pada saat itu tidak ada pelayan di ruangan itu, dan tak ada pula satu pun di antara para murid yang berinisiatif melakukannya. Ada banyak alasasan di balik tindakan para murid itu, tetapi kita dapat melihat sikap Yesus yang luar biasa. Renungan Reforming Heart menuliskan analisis mendetail tentang sikap Yesus ini: “Kasihlah yang menggerakkan Kristus untuk menebus murid-murid-Nya. Kasih bukanlah konsep abstrak yang bisa dipisahkan dengan relasi. Kasih berarti yang mengasihi menginginkan pihak lain untuk menjadi satu di dalam relasi dengan yang mengasihi… sedangkan kasih yang palsu menginginkan kebaikan orang lain, tetapi tidak terlalu menginginkan berada di dalam relasi dengan orang lain.”

Kasih Yesus kepada murid-murid-Nya mewujud melalui tindakan kerendahan hati-Nya. Yesus yang adalah Raja, merendahkan diri-Nya dengan menjadi sosok pelayan yang membasuh kaki para murid. Kebaikan Yesus tak akan ada artinya apabila Dia tidak melakukannya dengan rendah hati. Sehingga, jelaslah bagi kita bahwa prinsip utama dari kebaikan yang kita lakukan adalah: kita melakukannya dengan rendah hati… bukan agar kita dibalas dengan kebaikan yang sama, tetapi kita ingin agar melalui kebaikan itu orang melihat kasih Bapa terpancar melalui kita.

Namun pertanyaannya, bagaimanakah kita bisa melatih diri untuk rendah hati dalam setiap perbuatan baik yang kita lakukan?

1. Latihlah diri untuk tidak bersungut-sungut

Dalam bahasa Indonesia, bersungut-sungut dapat diartikan sebagai mengomel atau menggerutu. Namun, dalam bahasa Yunani kata yang digunakan adalah “gonggusomos” yang artinya tidak sekadar menggerutu, tetapi menjurus pada tindakan memberontak.

Wow. Pengertian ini mungkin membuat kita terkejut. Bersungut-sungut agak berbeda dengan mengeluh yang kadang memang kita lakukan sebagai luapan perasaan. Bersungut-sungut itu sama dengan mengomel tetapi secara terus-menerus sembari tidak mengerjakan tanggung jawab dengan maksimal, sehingga ini dapat pula diasosiasikan sebagai sebuah pemberontakan. Bangsa Israel pun pernah bersungut-sungut dan memberontak terhadap tuntunan Allah dalam perjalanan mereka keluar dari Mesir.

Apa yang menyebabkan kita bersungut-sungut? Tentu tiap orang punya alasan masing-masing, tetapi secara umum mungkin karena kita merasa melakukan pelayanan itu sendirian, lalu merasa berat memikulnya. Lalu, bisa jadi juga karena kita mengandalkan kekuatan sendiri dan merasa mampu melakukannya sendirian. Atau, secara tidak sadar kita memelihara kesombongan. Kita merasa pekerjaan yang kita lakukan terlalu rendah nilainya dan tidak memberi manfaat apa pun. Tetapi, hendaklah kita ingat bahwa Yesus yang adalah Tuhan dan Raja telah melakukan pekerjaan yang hina dengan membasuh kaki murid-murid-Nya.

2. Latihlah diri untuk tidak mengharapkan balasan

Naluri kita seringkali menganggap kebaikan sebagai tindakan timbal balik. Jika aku memberi kebaikan pada si A, maka dia seharusnya membalasku dengan kebaikan yang sama.

Namun, marilah kita mengingat kembali bahwa pada kita telah diberi pemberian terbesar yakni Kristus yang menebus dosa-dosa kita (Yohanes 3:16), sehingga saat kita melayani-Nya dengan memberikan kebaikan bagi orang lain, lakukanlah itu dengan tulus. Dia sudah memberikan segalanya dan yang Dia mau dari kita adalah kita hidup di dalam-Nya.

3. Latihlah diri untuk tidak hitung-hitungan

Perbuatan baik yang didasari kerendahan hati tidak bicara tentang seberapa banyak dan besar kita sudah melakukan kebaikan. Kadang kita merasa sudah berbuat banyak untuk melayani-Nya. Kita aktif di gereja bertahun-tahun, mengorbankan waktu dan uang, berdoa dan baca Alkitab tiap hari. Tapi, apakah balasan Tuhan atas semua kesetiaan kita? Lantas kita pun hitung-hitungan akan hal apa saja yang telah kita lakukan untuk-Nya dan membandingkannya dengan apa yang kita dapatkan.

Bagaimana kalau dibalik? Apa yang dapat kita lakukan jika Tuhan yang hitung-hitungan dengan kita?

Alangkah malunya karena kita akan mendapati begitu sedikit yang telah kita lakukan kepada Tuhan dan begitu banyak berkat yang tidak terhitung yang telah Tuhan berikan sepanjang hidup kita. Bahkan, nyawa-Nya yang telah menyelamatkan kita tidak dapat kita balas sampai kapan pun.

Efesus 6:5-8 mengingatkan kita untuk tulus dan segenap hati dalam melayani, rela menjalankan pelayanan seperti untuk Tuhan, serta senantiasa berbuat baik. Kalau kita telah berbuat baik, kita akan menerima balasannya dari Tuhan. Namun, jangan sampai kita salah pemahaman, mengartikannya dengan berbuat baik agar mendapatkan balasan setimpal dari-Nya. Bukan itu. Perbuatan baik haruslah lahir dari rasa syukur atas hidup kita yang dipelihara oleh Tuhan. Jikalau kita mendapat balasan dari Tuhan, bersyukurlah. Karena telah dan akan selalu ada hal yang dapat kita syukuri dari-Nya. Bersyukur pun merupakan salah satu wujud sikap rendah hati.

Sesungguhnya, bersikap rendah hati ketika melayani bukanlah tugas yang mudah. Ketika kita semakin melayani Tuhan, tantangan pun akan semakin banyak dan sulit.

Maka, inilah pertanyaan untuk kita renungkan bersama: Jika melayani Tuhan adalah untuk memuliakan-Nya dan menjadi berkat bagi sesama, maukah kita merendahkan diri seperti seorang hamba ketika melayani?

Seorang Tetangga yang Mengajarkanku tentang Berbuat Baik

Oleh Edwin Petrus, Medan

Sepulang kantor, kulihat langit masih cerah walaupun matahari mulai tenggelam. Suara keroncongan terdengar dari perutku. Sel-sel dalam otak pun mulai memilah-milah warung makan mana yang sudah buka di sekitar tempat kerjaku sambil aku terus berjalan ke parkiran. Setelah kutemukan motor bebek milik kantor yang dipinjamkan padaku, segera kunyalakan mesinnya. Kuoper persneling ke nomor satu, memutar handle gas, dan melaju ke warung pecel lele kesukaanku. Warung pecel lele ini terletak tidak jauh dari tempat tinggalku. Dengan kecepatan normal, kira-kira sepuluh menit aku bisa tiba..

Begitu sampai di sana, segera kupesan menu favoritku: lele goreng! Tak perlu waktu lama, sepiring lele goreng, nasi, dan es jeruk tersaji di depanku. Semuanya kulahap sampai tak bersisa. Kutepuk perut kenyangku sambil tersenyum. Memang, pecel lele tiada duanya! Setelah makan, aku pun bersiap-siap kembali ke mes karyawan yang berada di kompleks tempat kerjaku. Oh ya, kala itu aku berkarier sebagai salah seorang karyawan hotel di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Saat sudah meninggalkan warung itu beberapa ratus meter, tiba-tiba hujan turun. Aku tidak membawa jas hujan. Langsung saja aku basah kuyup. Tapi, tetap kuputuskan untuk meneruskan perjalanan pulang karena tidak lama lagi aku akan sampai di mes dan bisa segera mandi.

Diguyur hujan, naluriku mendorongku untuk meningkatkan laju motor tanpa menyadari akan licinnya jalan yang dibasahi hujan, dan potensi kecelakaan yang bisa terjadi. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bisa sampai di mes sesegera mungkin. Namun, tiba-tiba dalam sekejap aku merasakan kedua tanganku sudah terlepas dari motor yang aku tunggangi! Peristiwa itu terjadi begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa aku sudah terhempas beberapa meter dari motorku yang sudah jatuh di aspal. Tatapan mataku kabur karena kacamataku juga jatuh entah di mana. Aku berusaha mencarinya di kegelapan senja dengan bantuan cahaya dari ponsel yang masih menyala.

Ketika aku masih meraba-raba tanah di sekitar untuk mencari kacamataku, kulihat cahaya motor yang datang dari arah berlawanan. Ada seorang pria yang mengenakan jas hujan turun dari motornya dan berhenti tepat di depanku yang sedang tergeletak. Ia langsung mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Setelah itu dia maju beberapa meter untuk mengangkat motorku.

Aku tidak kenal siapa dirinya. Namun, tidak lama kemudian pria itu bertanya tentang kondisiku yang kujawab bahwa aku baik-baik saja. Lalu aku mencoba berjalan ke arah motorku dengan tertatih-tatih. Aku memang agak sulit berjalan, tapi aku terus berpikir bahwa diriku baik-baik saja. Padahal kenyataannya, aku tidak sadar bahwa beberapa bagian tubuhku mengalami luka-luka dan memar.

Pria ini sempat memberikan tawaran untuk mengantarku pulang, namun aku enggan menerima karena sungkan merepotkannya. Lantas dia memperkenalkan dirinya sebagai kakak dari salah seorang rekan kerjaku. Mungkin dia mengenaliku sebagai teman kerja adiknya dari seragam yang masih menempel di tubuhku. Kemudian dia memintaku untuk tidak merasa segan karena dia juga warga setempat.

Sambil berbicara, kucoba menyalakan motorku. Pria itu masih membantuku menahan beban motorku yang berat. Puji Tuhan, ternyata mesin motor masih bisa menyala. Aku mengatakan kepada pria itu bahwa aku masih bisa pulang sendiri, walaupun aku mulai merasakan perih di beberapa bagian tubuhku yang luka-luka. Sembari menghaturkan terima kasih atas kebaikannya, aku juga mengucapkan selamat tinggal.

Merasakan Pengalaman dari Kisah Orang Samaria yang Baik Hati

Kawan, beberapa tahun setelah peristiwa ini, ketika aku membaca kembali perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:30-35), aku menyadari bahwa aku telah merasakan kebaikan dari seorang tetangga yang tidak aku kenal sebelumnya. Tetangga ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan diriku. Kami tidak datang dari kota yang sama, bukan suku yang sama, dan juga tidak memeluk agama yang sama. Namun, dengan tanpa pamrih, di tengah hujan yang cukup deras, dia rela berhenti untuk menolong seseorang yang jatuh dari motornya. Dan bukan itu saja, dia yang mungkin sedang dalam perjalanan ke sebuah tempat, juga rela untuk mengantarkan orang yang baru mengalami kecelakaan ini untuk pulang ke rumahnya.

Dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati, Yesus menceritakan bahwa ada seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Orang itu bertemu dengan perampok-perampok yang bukan saja mengambil seluruh hartanya, tapi juga memukulnya sampai babak belur hingga ia terkapar setengah mati.

Kemudian ada seorang imam yang kebetulan melalui jalan itu. Sang imam melihat orang yang terkapar tersebut, tetapi ia hanya melewatinya dari sisi jalan yang lain. Lalu seorang Lewi juga kebetulan melalui jalan tersebut. Dia pun tidak memedulikan orang yang sudah sekarat itu dan terus berjalan seakan tidak ada sesuatu yang terjadi. Beberapa pakar Alkitab meyakini bahwa sang imam dan Lewi tidak mau menajiskan diri setelah mereka memimpin ibadah yang kudus di Bait Allah yang berada di kota Yerusalem.

Memang benar, aku tidak berjumpa dengan seorang imam dan orang Lewi di dalam peristiwa yang aku alami. Namun, aku menemukan diriku yang sering beraksi seperti imam dan Lewi dalam cerita itu.

Aku tahu bahwa mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia adalah perintah utama dari taurat, dan kedua hal ini adalah paket yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang Kristen. Namun, aku gagal untuk memberikan uluran tangan sebagai bentuk kasihku kepada sesama, karena keegoisanku.

Aku menjadi seperti sang imam dan Lewi yang mencari-cari alasan untuk tidak mengulurkan tangan sama sekali. Aku berpikir terlalu keras dan mempertimbangkan terlalu banyak alasan sampai akhirnya aku mau mengatakan “iya” untuk meringankan beban orang lain. Hal tersebut membuatku sadar bahwa diriku ternyata “pilih-pilih kasih” ketika hendak menyatakan kebaikan pada orang lain. Contohnya, aku lebih dapat mengasihi orang-orang yang memiliki latar belakang yang mirip denganku, serta giat membantu teman-temanku dengan menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti mereka juga akan membantuku. Namun, ketika aku tidak mendapatkan balasan dengan kualitas kasih dan perhatian yang sama, aku mulai merasa kecewa.

Ya, aku memiliki pandangan dan sikap yang salah. Padahal, mengasihi sesama manusia dengan berbuat baik adalah panggilan kita yang sudah terlebih dahulu menerima kasih dan kebaikan yang besar dari Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus yang melepaskan kita dari belenggu dosa dan maut. Tak sampai di situ, Tuhan juga terus memelihara hidup kita dengan menambahkan anugerah demi anugerah yang dapat kita rasakan setiap harinya.

Ketika aku merefleksikan kembali insiden yang pernah menimpaku tersebut, aku bersyukur bahwa Tuhan memberikan sebuah pembelajaran yang berharga kepadaku tentang mengasihi sesama melalui perbuatan baik. Dan melalui tetangga yang telah menolongku, aku belajar seperti apa yang dikatakan oleh John Wesley, bapak gereja Methodist,

“Lakukan semua kebaikan yang Anda bisa, dengan segala sumber daya yang Anda bisa, dengan semua cara yang Anda bisa, di semua tempat yang Anda bisa, setiap saat Anda bisa, kepada semua orang yang Anda bisa, selama Anda bisa.”

Kawan, di akhir perumpamaan Yesus memberikan sebuah ajakan kepada pendengar-Nya dan kita semua pada hari ini, “Pergi dan perbuatlah demikian.” (Luk. 10:37b). Yuk, mari kita pergi dan membagikan kasih Allah melalui hidup kita. Ya, bagikan kasih Allah kepada sesama untuk kemuliaan nama-Nya!

Jangan Berusaha Jadi “Orang Baik”!

Oleh: Julham Effendi

mengejar-apa

Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang melalui chat BBM dengan seorang teman yang sudah lama tidak datang dalam persekutuan. Awalnya saya hanya iseng komentar dengan status BBM nya.

Emang ga enak ya kalau setan kayak gua tinggal di rumah malaikat”.

Setannya yang mana nih? Hehe…” Saya mengawali pembicaraan dengan sebuah pertanyaan sederhana. Tidak lama kemudian ia membalas dan menceritakan mengenai situasi yang dialaminya selama ini. Ternyata, ia menyimpan banyak kepahitan. Ia merasa tidak ada orang yang mau menjadi temannya. Ia merasa sering tidak dihargai, bahkan selalu direndahkan oleh orangtuanya.

“Aku bingung, padahal aku selalu berusaha menjadi anak Tuhan yang baik di mata keluarga dan orang lain. Tapi, benar-benar berat menjadi orang baik. Berusaha menjadi anak yang baik, tidak durhaka pada orang tua dan konsisten dalam kerohanian,” keluhnya.

Pergumulan khas banyak anak muda. Pernah merasakan hal tersebut? Apa yang harus saya katakan? Saya terus berdoa supaya Tuhan menuntun untuk menjawab dalam keterbatasan komunikasi yang hanya melalui chat BBM, agar seluruh pembicaraan kami dapat membawa teman saya ini kepada Tuhan Yesus.

Bersyukur Tuhan mengingatkan saya sebuah ayat Alkitab: Pengkhotbah 1:14, “Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” Mengejar pengakuan orang lain tak akan ada habisnya. Tuhan tidak memanggil kita untuk mengejar usaha yang sia-sia semacam itu.

Saya pun berkata, “Jangan berusaha menjadi baik di mata orang lain bahkan orang tua sendiri. Karena semuanya itu akan melelahkan kita. Baik atau jahat sangat subjektif jika memakai standar manusia. Bisa saja, saya mengatakan seseorang baik tetapi akan berbeda jika kamu yang melihatnya. Semuanya itu hanya usaha yang sia-sia dan menjaring angin. Berusahalah mengejar hikmat Tuhan, pengenalan akan Firman Tuhan dan berubahlah menurut standar Firman Tuhan itu.

Semuanya nanti membutuhkan proses saat menjalaninya,” saya mengingatkan. “Kita pasti akan jatuh bangun dalam melakukan apa yang Tuhan mau. Kalau ditanya prosesnya berapa lama? Seumur hidup! Tetapi ketika kita berhasil mengakhirinya dengan terus bersandar pada Tuhan, sebuah mahkota kekal tersedia bagi kita.” tulisku menutup perbincangan kami, berharap dapat memberinya semangat baru. Ia pun mengucapkan terima kasih.

Entah kenapa, saya merasa sangat senang dan bersyukur Tuhan memakai saya hari itu untuk menolong saudara seiman. Saat menulis artikel ini, saya masih tidak percaya kalau saya mampu berkata-kata seperti itu. Membaca kembali histori chat kami, saya merasakan ikut dikuatkan.

Ya, bila fokus kita hanya berusaha menjadi “baik” di mata orang lain, kita akan cepat kecewa ketika orang tidak mengakui dan menghargai usaha kita. Jelas tak mungkin kita memuaskan semua orang karena standar “baik” manusia beragam dan subjektif. Namun, ketika kita mengarahkan fokus kepada Tuhan yang Mahabesar, beban kita pun menjadi ringan. Kita dipanggil untuk mencintai dan menaati Firman-Nya. Serahkan hasilnya kepada Tuhan. Diakui orang atau tidak, bukanlah masalah. Yang penting adalah penilaian Tuhan yang Mahatahu. Jangan habiskan waktu dan energi untuk merasa sakit hati dengan sikap orang yang kurang menghargai kita. Lebih baik belajar untuk makin serupa Kristus dalam tiap situasi yang Dia izinkan kita alami. Mari fokus untuk terus menaati Tuhan hingga kita tiba di garis akhir kehidupan. Kita akan menerima mahkota kebenaran yang dijanjikan Tuhan saat bertemu dengan-Nya kelak.

 

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik,
aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran
yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil pada hari-Nya;
tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang
yang merindukan kedatangannya.”
2 Timotius 4:7-8

Wallpaper: Janganlah Jemu Berbuat Baik