Posts

Rumah Bapa Adalah Rumah Pengampunan

Oleh Ernest Martono, Jakarta 

Dalam kurun waktu dua minggu, kami menyulap sebuah hotel menjadi ‘rumah’. Hotel itu berada di Jakarta Utara dan kami sewa untuk sebuah acara besar yang pesertanya berasal dari mancanegara. Ratusan kamar menampung tamu hampir seribu orang. Pengamanannya pun cukup ketat sebab setiap penghuni kamar diwajibkan memakai penanda identitas dan bagi yang tidak memakai akan ditanya-tanya oleh petugas. Tak ada tamu lain di hotel itu selain kami; para peserta, panitia, tim, pekerja hotel, dan relawan sepertiku. 

Aku dan tim relawan yang lain bertugas membantu kebutuhan setiap peserta. Kami mendengar, mengarahkan, menemani, dan melayani dengan kemampuan bahasa Inggris kami yang terbatas. Namun, itu tidak menyurutkan sukacita kami untuk melayani teman-teman seiman dari berbagai macam suku, bangsa, dan negara. Kami saling bertukar cerita, bahasa, dan kebudayaan. Kebersamaan selama dua minggu itu segera menciptakan ikatan antar kami semua. Termasuk dengan pekerja hotel yang siap sedia menjawab kebutuhan kami akan makan dan tempat istirahat. Kami tidak pernah kekurangan makanan, bahkan seringkali bersisa. Setiap hari kamar kami dibersihkan. Bayangkan setiap malam ketika kami kembali ke kamar setelah sesi yang panjang, kami menemukan lantai kamar kami sudah bersih dan wangi. Selimut sudah terlipat baru dan siap dipakai. Salah seorang teman kami berkata, “sudah seperti pulang ke rumah,” ketika dia kembali ke hotel setelah sejenak berkunjung ke kantor. 

“Seperti pulang ke rumah…” 

Perkataannya mewakili perasaanku juga. Selama di hotel aku mengalami feels like home. Aku mulai menganalisa mengapa aku bisa merasa seperti itu meskipun aku tahu ini bukanlah rumahku. Kutemukan semua kenyamanan ini membuatku terlena dan kerasan alias betah. Di hotel, aku dimanjakan. Aku tidak merasa kekurangan apapun. Aku tidak perlu memikirkan harus makan apa dan bagaimana mendapatkannya karena semua sudah ada yang memikirkan dan menyiapkannya. Aku tidak perlu merasa takut karena ada satpam hotel yang akan menjamin tidak akan ada orang asing yang masuk. Memang aku di situ hadir sebagai pelayan, tapi aku juga dilayani oleh pelayanan temanku di divisi lain. Kami saling melayani.

Jika memang semua itu membuatku merasa berada di rumah, bagaimana dengan Tuhan yang juga memberikan kepadaku hal yang sama? Aku mulai merenung apakah aku bisa menganggap Tuhan sebagai rumahku? Aku pun berpikir apakah aku kerasan dan terlena dengan semua kebaikan Tuhan? Bukankah Tuhan juga merawat, memelihara, melayani, dan memperhatikan setiap kebutuhan hidupku? Bahkan lebih dari itu Tuhan memberikan sesuatu lebih daripada sekedar kenyamanan yang dicari-cari manusia. 

Aku teringat sebuah kisah perumpamaan di dalam Alkitab. Kita sudah tahu kisahnya ketika anak bungsu memilih pergi dari rumah dan menghancurkan hidupnya sendiri. Di dalam perjuangannya mempertahankan hidup, satu hal yang dia ingat adalah rumah bapanya.

“Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Lukas 15:17-19).

Anak bungsu yang kelaparan ini harus berebut makanan dengan babi. Tentu ini adalah kondisi yang jauh berbeda dengan diriku yang berada di hotel saat itu. Namun, satu hal yang aku pelajari, anak bungsu ini ingat bahwa di rumah bapanya makanan begitu berlimpah. Dia lantas kembali ke rumah bapanya untuk mendapatkan makanan dan sekadar mencari penghidupan yang sedikit lebih layak.

Namun, sesampainya di rumah, ternyata sang bapa memberikan hal yang jauh lebih baik dari yang bisa dia minta dan bayangkan. Sang anak bungsu diberikan sebuah pesta dan segala kebutuhannya dipulihkan. Satu hal yang tidak boleh luput dari mata, di balik semua sukacita itu, sang bapa telah memberikan pengampunan pada anak bungsu. 

Mengingat kisah ini, memang benar Tuhan, yang kita sapa sebagai Bapa, merawat dan memelihara hidup kita. Rumah Bapa penuh dengan segala bentuk pemeliharaan yang kita perlukan. Memikirkan itu saja sudah membuat sukacita. Apalagi ketika kita tahu bahwa di rumah Bapa ada pengampunan. Penuh dengan kasih Bapa yang mengampuni.

Kembali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apakah Tuhan merupakan rumah untukku? Memang benar aku sebagai manusia berdosa bisa saja lari menjauh dari Tuhan. Aku bisa “pergi jauh” dan “keluar rumah” dalam waktu lama. Terkadang aku begitu enggan datang kembali kepada Tuhan sekalipun kondisi hidupku sudah sama seperti anak bungsu dalam perumpamaan. Sudah tidak karuan, tidak punya harapan, dan bisa saja pelan-pelan mati dalam kesengsaraan. Namun, kisah ini mengingatkanku  bahwa, “Di rumah Bapaku penuh dengan pengampunan.” 

Kisah ini mendorongku untuk terus kembali berani pulang ke rumah bapa sekalipun aku sudah pergi terlalu jauh. Sudah berdosa terlalu dalam. Sudah berkali-kali keluar masuk ke dalam rumah pengampunan itu. Oleh karena aku membutuhkan pengampunan itu jauh lebih daripada makanan yang berlimpah. Pertanyaan yang terus akan aku ulang dalam hatiku, apakah aku merasa Tuhan adalah rumah bagiku? Apakah aku feels like home ketika berada di sisi-Nya?

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tak Cukup?

Senin, 19 Februari 2018

Tak Cukup?

Baca: 2 Korintus 9:10-15

9:10 Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu;

9:11 kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami.

9:12 Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah.

9:13 Dan oleh sebab kamu telah tahan uji dalam pelayanan itu, mereka memuliakan Allah karena ketaatan kamu dalam pengakuan akan Injil Kristus dan karena kemurahan hatimu dalam membagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang,

9:14 sedangkan di dalam doa mereka, mereka juga merindukan kamu oleh karena kasih karunia Allah yang melimpah di atas kamu.

9:15 Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!

Janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan. —Ibrani 13:16

Tak Cukup?

Dalam perjalanan pulang dari gereja, putri saya duduk di kursi belakang mobil sambil menikmati biskuit berbentuk ikan. Melihat makanan itu, saudara-saudaranya memintanya untuk berbagi. Dalam usaha untuk mengarahkan pembicaraan, saya bertanya pada putri saya, “Apa yang kamu kerjakan di Sekolah Minggu hari ini?” Ia bercerita bahwa mereka membuat keranjang berisi roti dan ikan yang didasarkan pada cerita tentang seorang anak yang memberikan lima roti dan dua ikan kepada Yesus untuk memberi makan lebih dari 5.000 orang (Yoh. 6:1-13).

“Baik sekali anak itu mau berbagi. Menurutmu, apakah Tuhan juga memintamu untuk membagi biskuit ikan yang kamu pegang itu?” tanya saya. “Tidak, Mama,” jawabnya.

Saya berusaha mendorongnya agar ia tidak pelit dengan biskuit ikan itu. Ia bergeming. “Isinya tak cukup untuk semua!”

Berbagi memang sulit. Lebih mudah menyimpan sendiri apa yang kita anggap sebagai hak kita. Mungkin kita melakukan perhitungan dan berkilah bahwa apa yang kita punya tidak akan cukup apabila dibagi dengan semua orang. Dan kita menganggap bahwa apabila kita memberi, kita akan berkekurangan.

Paulus mengingatkan kita bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah, yang ingin memperkaya kita “dalam segala hal sehingga [kita] selalu dapat memberi dengan murah hati” (2Kor. 9:10-11 BIS). Perhitungan surgawi selalu mencapai jumlah yang berkelimpahan dan tidak pernah berkekurangan. Kita dapat berbagi dengan penuh sukacita karena Allah berjanji untuk memelihara kita ketika kita bermurah hati kepada sesama.—Lisa Samra

Bapa, Engkau telah memelihara hidupku dengan baik. Tolong aku hari ini untuk memikirkan orang lain dan membagikan kebaikan-Mu bagi mereka.

Ketika kita percaya bahwa Allah itu baik, kita bisa belajar membuka tangan kita dan berbagi dengan orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 25; Markus 1:23-45

Menggunakan Kesempatan

Jumat, 2 Februari 2018

Menggunakan Kesempatan

Baca: Kolose 4:2-6

4:2 Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur.

4:3 Berdoa jugalah untuk kami, supaya Allah membuka pintu untuk pemberitaan kami, sehingga kami dapat berbicara tentang rahasia Kristus, yang karenanya aku dipenjarakan.

4:4 Dengan demikian aku dapat menyatakannya, sebagaimana seharusnya.

4:5 Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada.

4:6 Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.

Di dalam hubungan kalian dengan orang-orang yang tidak percaya, hendaklah kalian hidup bijaksana dan memakai setiap kesempatan dengan sebaik-baiknya. —Kolose 4:5 BIS

Menggunakan Kesempatan

Seperti kebanyakan orang, saya merasa tidak cukup berolahraga. Agar saya termotivasi untuk bergerak, saya membeli pedometer, sebuah perangkat yang dapat menghitung jumlah langkah kaki saya. Perangkat itu begitu sederhana, tetapi sanggup mempengaruhi motivasi saya. Alih-alih menggerutu, saya melihat setiap pergerakan saya sebagai kesempatan untuk menambah jumlah langkah kaki saya. Tugas-tugas sepele, seperti mengambilkan minum untuk anak, menjadi kesempatan bagi saya untuk mencapai target yang lebih besar. Bisa dikatakan bahwa pedometer telah mengubah perspektif sekaligus motivasi saya. Sekarang, manakala memungkinkan, saya selalu mencoba berjalan kaki lebih banyak dari biasanya.

Saya pun berpikir, mungkinkah kehidupan iman kita juga seperti itu. Ada banyak kesempatan untuk mengasihi, melayani, dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita setiap hari, seperti nasihat Paulus dalam Kolose 4:5. Namun, apakah saya selalu menyadari momen-momen itu? Apakah saya menggunakan kesempatan yang ada untuk menguatkan orang lain dalam interaksi sehari-hari yang kelihatannya remeh? Allah sanggup bekerja dalam hidup setiap orang yang berhubungan dengan saya, mulai dari keluarga, rekan-rekan kerja, hingga kasir di tempat saya berbelanja. Setiap interaksi itu menjadi kesempatan bagi saya untuk memperhatikan karya Allah—meskipun hal itu kelihatannya “sepele”, seperti menanyakan kabar seorang pelayan yang melayani kita di restoran.

Siapa tahu, ketika kita peka dan menyadari kesempatan-kesempatan yang dibukakan Allah kepada kita, Dia akan bekerja di dalam momen-momen tersebut. —Adam Holz

Tuhan, ada begitu banyak kesempatan untuk mengasihi, mendengarkan, dan melayani orang-orang di sekeliling kami setiap hari. Tolonglah kami agar lebih peka melihat kebutuhan mereka.

Pakailah setiap kesempatan yang ada untuk melayani seseorang.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 29-30; Matius 21:23-46

Tindakan Kasih

Selasa, 23 Januari 2018

Tindakan Kasih

Baca: 1 Yohanes 3:16-24

3:16 Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.

3:17 Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?

3:18 Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.

3:19 Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah,

3:20 sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu.

3:21 Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah,

3:22 dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.

3:23 Dan inilah perintah-Nya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, Anak-Nya, dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita.

3:24 Barangsiapa menuruti segala perintah-Nya, ia diam di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dan demikianlah kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita.

Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. —1 Yohanes 3:18

Tindakan Kasih

Pada tanggal 21 Agustus 2016, Carissa mengunggah foto-foto tentang bencana banjir yang menerjang Louisiana di akun media sosialnya. Esok paginya, ia menambahkan pesan permohonan bantuan dari seseorang yang tinggal di daerah bencana. Lima jam kemudian, Carissa dan suaminya, Bobby, turun tangan dengan mengajak sejumlah orang untuk melakukan perjalanan sejauh 1.600 km untuk menolong para korban banjir yang rumahnya rusak parah. Kurang dari 24 jam kemudian, ada 13 orang yang berangkat bersama ke Louisiana.

Apa yang memotivasi orang-orang itu untuk mau meninggalkan kesibukan mereka, mengemudi selama 17 jam, dan bekerja memindahkan perlengkapan, memperbaiki rumah, serta memberikan harapan di suatu tempat yang belum pernah mereka datangi sebelumnya? Mereka dimotivasi oleh kasih.

Renungkanlah ayat Alkitab yang dikutip Carissa di dalam seruannya untuk meminta bantuan: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mzm. 37:5). Ucapan itu sungguh benar ketika kita mengikuti panggilan Allah untuk memberikan bantuan kepada sesama. Rasul Yohanes berkata, “Barangsiapa . . . melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1Yoh. 3:17). Mungkin memberi bantuan itu tidak selalu mudah, tetapi Allah berjanji akan menolong kita ketika kita “berbuat apa yang berkenan kepada-Nya” (ay.22).

Ketika ada yang membutuhkan bantuan, kita dapat memuliakan Allah dengan rela menyediakan diri dan melakukan tindakan kasih bagi orang tersebut sesuai dengan dorongan dari Allah. —Dave Branon

Tuhan, bukalah mata kami untuk melihat kebutuhan orang lain, bukalah hati kami kepada mereka, dan ringankan tangan kami untuk siap menolong ketika dibutuhkan.

Kita menunjukkan kasih Allah ketika kita bersedia menolong orang lain dan kuasa-Nya ketika kita mengerjakan tugas yang Dia percayakan kepada kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 7–8; Matius 15:1-20

Desain gambar oleh WarungSaTeKaMu & Catherine Tedjasaputra

Tangan yang Menghibur

Jumat, 10 November 2017

Tangan yang Menghibur

Baca: 2 Korintus 1:3-7

1:3 Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan,

1:4 yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.

1:5 Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah.

1:6 Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga.

1:7 Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami.

Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, . . . yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami. —2 Korintus 1:3-4

Tangan yang Menghibur

Perawat itu tidak menyadari bahwa saya sedang mengalami reaksi alergi setelah siuman dari operasi jantung terbuka yang kompleks. Saya merasa begitu tidak nyaman karena adanya tabung pembantu pernapasan di tenggorokan. Tubuh saya mulai berguncang dengan kencang, sambil meregangkan tali-tali pengikat lengan yang menahan saya agar tidak tiba-tiba menarik tabung pernapasan itu. Peristiwa itu begitu menyakitkan sekaligus menakutkan. Pada saat itu, seorang asisten perawat yang berada di sebelah kanan tempat tidur saya menarik dan menggenggam tangan saya. Tindakannya yang tak terduga itu terasa begitu meneduhkan. Saya pun mulai rileks dan tubuh saya tidak lagi berguncang dengan kencang.

Karena sudah berpengalaman menghadapi hal itu dengan pasien-pasien lain, sang asisten perawat tahu bahwa genggaman tangannya sanggup menenangkan saya. Perbuatannya menjadi gambaran yang sangat jelas tentang penghiburan yang dilimpahkan Allah bagi anak-anak-Nya yang menderita.

Dalam 2 Korintus 1:3-4, Paulus menyatakan bahwa penghiburan merupakan unsur penting dari karya Allah bagi umat-Nya. Selain itu, Allah juga ingin melipatgandakan dampak dari penghiburan itu melalui umat-Nya. Kita dipanggil Allah untuk memakai pengalaman kita yang telah menerima penghiburan-Nya guna menghibur orang lain yang mengalami situasi seperti yang pernah kita alami (ay.4-7). Penghiburan seperti itu membuktikan kebesaran kasih-Nya, dan kita dapat meneruskannya kepada orang lain—terkadang cukup melalui perbuatan-perbuatan yang sederhana. —Randy Kilgore

Bapa, terima kasih untuk penghiburan yang Engkau berikan bagi kami, baik secara langsung maupun melalui tangan anak-anak-Mu. Tolong kami melihat bagaimana kami bisa meneruskan penghiburan yang sama pada sesama kami dalam nama-Mu.

Perbuatan sederhana dapat memberikan penghiburan besar.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 48-49; Ibrani 7

Yesus yang Sedang Menyamar

Selasa, 24 Oktober 2017

Yesus yang Sedang Menyamar

Baca: Matius 25:31-40

25:31 “Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya.

25:32 Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing,

25:33 dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya.

25:34 Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.

25:35 Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;

25:36 ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.

25:37 Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?

25:38 Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian?

25:39 Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?

25:40 Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. —Matius 25:40

Yesus yang Sedang Menyamar

Ketika seorang teman sedang merawat ibu mertuanya di rumah, ia bertanya kepada mertuanya itu apa yang paling diinginkannya. Mertuanya berkata, “Aku mau kakiku dicuci.” Teman saya mengakui, “Aku sama sekali tidak suka melakukannya! Tiap kali beliau memintaku melakukannya, aku menjadi jengkel. Aku bahkan berdoa agar beliau tidak mengetahui perasaanku yang sebenarnya.”

Namun, suatu hari sikapnya yang bersungut-sungut itu lenyap dalam sekejap. Ketika mengambil wadah dan handuk, lalu berlutut di bawah kaki ibu mertuanya, ia berkata, “Aku mendongak, dan saat itu aku merasa seperti sedang mencuci kaki Tuhan Yesus. Ibu mertuaku adalah Yesus yang sedang menyamar!” Setelah pengalaman itu, teman saya merasa terhormat dapat mencuci kaki ibu mertuanya.

Ketika mendengar cerita yang sangat menyentuh itu, saya terpikir pada perkataan Yesus tentang akhir zaman yang diajarkan-Nya di lereng Bukit Zaitun. Dia bercerita tentang Sang Raja yang menyambut putra dan putri-Nya ke dalam kerajaan-Nya, dengan berkata bahwa ketika mereka mengunjungi orang sakit atau memberi makan orang yang lapar, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kita juga melayani Yesus sendiri ketika kita melawat orang-orang yang berada di penjara atau memberikan pakaian kepada mereka yang membutuhkannya.

Hari ini, dapatkah kamu menggemakan pertanyaan teman saya, yang berpikir ketika bertemu seseorang, “Mungkinkah ia adalah Yesus yang sedang menyamar?” —Amy Boucher Pye

Tuhan Yesus Kristus, Engkau dapat mengubah pekerjaan yang paling sederhana menjadi sesuatu yang mulia. Tolonglah aku mengasihi sesamaku dalam nama-Mu.

Kita sedang melayani Yesus ketika kita melayani sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 3-5; 1 Timotius 4

Menangis Bersama

Kamis, 7 September 2017

Menangis Bersama

Baca: Kisah Para Rasul 7:54-8:2

7:54 Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi.

7:55 Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah.

7:56 Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.”

7:57 Maka berteriak-teriaklah mereka dan sambil menutup telinga serentak menyerbu dia.

7:58 Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya. Dan saksi-saksi meletakkan jubah mereka di depan kaki seorang muda yang bernama Saulus.

7:59 Sedang mereka melemparinya Stefanus berdoa, katanya: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.”

7:60 Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia.

8:1 Saulus juga setuju, bahwa Stefanus mati dibunuh. (8-1b) Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria.

8:2 Orang-orang saleh menguburkan mayat Stefanus serta meratapinya dengan sangat.

Orang-orang saleh menguburkan mayat Stefanus serta meratapinya dengan sangat. —Kisah Para Rasul 8:2

Menangis Bersama

Pada tahun 2002, beberapa bulan setelah saudari saya, Martha, dan suaminya, Jim, meninggal dunia dalam kecelakaan, seorang teman mengundang saya mengikuti lokakarya “Growing Through Grief” (Bertumbuh Melalui Dukacita) di gereja kami. Meski enggan, saya pergi menghadiri pertemuan pertama tetapi tidak bermaksud untuk hadir dalam pertemuan selanjutnya. Namun di luar dugaan, di sana saya menemukan sebuah komunitas yang penuh perhatian dan berusaha menerima rasa kehilangan yang besar dalam hidup mereka dengan mengandalkan pertolongan Allah dan sesama. Itulah yang membuat saya mau terus hadir Minggu demi Minggu sembari saya juga berusaha menerima keadaan dan mengalami damai sejahtera dengan saling berbagi dukacita di antara kami.

Seperti kepergian yang mendadak dari seseorang yang kita kasihi, kematian Stefanus, saksi Tuhan yang sangat berapi-api, tentu mengagetkan dan mendukakan jemaat di gereja mula-mula (Kis. 7:57-60). Di masa penganiayaan itu, “Orang-orang saleh menguburkan mayat Stefanus serta meratapinya dengan sangat” (8:2). Mereka melakukan dua hal bersama: Menguburkan Stefanus sebagai ungkapan rasa kehilangan dan penghormatan terakhir mereka, dan meratapinya dengan sangat sebagai ungkapan dukacita bersama.

Sebagai pengikut Yesus, kita tidak perlu menangisi kehilangan kita seorang diri. Dengan ketulusan dan kasih, kita dapat menjangkau orang lain yang sedang berduka, dan dengan rendah hati kita dapat menerima perhatian dari orang-orang yang mendampingi kita di masa kedukaan.

Ketika kita menangis dan berduka bersama, kita dapat semakin menerima dan mengalami damai sejahtera di dalam Yesus Kristus, yang mengetahui kepedihan kita yang terdalam. —David McCasland

Bapa di surga, tolonglah kami untuk “menangis dengan orang yang menangis” dan bersama-sama bertumbuh dalam kasih-Mu yang menyembuhkan.

Berduka bersama orang lain akan menolong pemulihan hati kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 1-2 dan 1 Korintus 16

Memperhatikan

Senin, 28 Agustus 2017

Memperhatikan

Baca: Mazmur 41:1-3

41:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.

41:2 Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah! TUHAN akan meluputkan dia pada waktu celaka.

41:3 TUHAN akan melindungi dia dan memelihara nyawanya, sehingga ia disebut berbahagia di bumi; Engkau takkan membiarkan dia dipermainkan musuhnya!

Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah. —Mazmur 41:2

Memperhatikan

John Newton menulis, “Jika saat pulang, aku bertemu seorang anak yang kehilangan sekeping uang logamnya, dan jika dengan memberi anak itu sekeping uang lagi, aku bisa menghapus air matanya, aku merasa telah melakukan sesuatu. Aku senang melakukan hal-hal yang hebat; tetapi aku tak akan mengabaikan tindakan sederhana tadi.”

Di masa sekarang, tidak sulit menemukan orang yang perlu penghiburan: kasir toko yang punya tanggungan dan harus bekerja di dua tempat untuk memenuhi kebutuhannya; pengungsi yang merindukan kampung halamannya; ibu tunggal yang pengharapannya dikikis oleh kekhawatiran; pria tua yang kesepian dan merasa dirinya tak berguna lagi.

Namun, apa yang kita lakukan? “Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah,” tulis Daud (Mzm. 41:2). Meskipun kita tidak dapat membantu untuk meringankan kemiskinan dari orang yang kita temui, setidaknya kita dapat memperhatikan mereka—kata lain dari “mempedulikan”.

Kita dapat menyatakan kepedulian kita. Kita dapat memperlakukan mereka dengan sopan dan hormat, meskipun mereka mungkin menguji kesabaran kita atau membuat kita jengkel. Kita dapat mendengarkan cerita mereka dengan penuh perhatian. Dan kita berdoa untuk atau bersama mereka—suatu tindakan pemulihan dan pertolongan terbaik yang bisa kita lakukan.

Ingatlah paradoks kuno yang diberikan Yesus kepada kita ketika mengatakan, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis. 20:35). Perhatian yang kita berikan tidak akan sia-sia, karena kita akan lebih bahagia ketika dapat mempersembahkan diri kita sendiri. Berikan perhatian kepada orang yang lemah. —David Roper

Bapa, saat kami menjalani hari ini, tunjukkanlah orang yang membutuhkan perhatian kami. Berilah kami kasih dan kesabaran untuk sungguh-sungguh mempedulikan mereka seperti Engkau yang begitu sabar mengasihi kami.

Hidup yang berharga adalah hidup yang dipersembahkan demi kasih. —Frederick Buechner

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 123-125 dan 1 Korintus 10:1-18

Kasih untuk Anak-Anak

Senin, 14 Agustus 2017

Kasih untuk Anak-Anak

Baca: Matius 18:1-10

18:1 Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?”

18:2 Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka

18:3 lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

18:4 Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.

18:5 Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.”

18:6 “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.

18:7 Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.

18:8 Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal.

18:9 Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.

18:10 Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga.

Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga. —Matius 19:14

Kasih untuk Anak-Anak

Thomas Barnado belajar di sekolah medis Rumah Sakit London pada tahun 1865. Ia berangan-angan menjadi misionaris medis di Tiongkok. Barnado segera menyadari adanya kebutuhan mendesak di depan rumahnya sendiri—banyak anak tunawisma yang hidup dan mati di jalanan London. Barnado bertekad melakukan sesuatu untuk mengatasi keadaan yang mengenaskan itu. Dengan membangun perumahan bagi anak-anak miskin di ujung timur London, Barnado menyelamatkan 60.000 anak dari kemiskinan dan kematian. Teolog dan pendeta John Stott berkata, “Sekarang kita dapat menyebut Barnado sebagai santa pelindung anak-anak jalanan.”

Yesus berkata, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 19:14). Bayangkan keterkejutan yang dialami orang banyak—dan juga murid-murid Yesus—terhadap pernyataan Yesus tersebut. Di zaman kuno, anak-anak dianggap tidak begitu berharga dan tidak diperhatikan. Namun, Yesus menyambut, memberkati, dan menghargai anak-anak.

Yakobus, seorang penulis Perjanjian Baru, menantang para pengikut Kristus dengan berkata, “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu . . . dalam kesusahan mereka” (Yak. 1:27). Saat ini, sama seperti yatim piatu di abad pertama, anak-anak dari setiap tingkat sosial, suku bangsa, dan lingkungan keluarga sedang terancam ditelantarkan, diperdagangkan, diperlakukan semena-mena, dipengaruhi narkoba, dan banyak lagi. Bagaimana kita dapat menghormati Bapa yang mengasihi kita dengan menunjukkan perhatian-Nya pada anak-anak yang disambut Yesus? —Bill Crowder

Jadilah pribadi yang mengekspresikan kasih Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 89-90 dan Roma 14