Posts

3 Pelajaran Penting dalam Bekerja di Tahun yang Baru

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Tahun 2020 merupakan tahun yang spesial bagiku. Aku menyelesaikan studi pascasarjanaku di Korea Selatan dan mendapat pekerjaan pertamaku. Ketika melihat kembali dan merenungkan bagaimana Tuhan memimpin jalanku hingga aku mendapatkan pekerjaan ini, sungguh aku berterima kasih atas pimpinan-Nya dalam hidupku.

Teruntuk kamu yang sedang bergumul dalam hal pekerjaan, aku berharap sedikit kisahku dapat memberkatimu. Inilah tiga hal yang Tuhan ajarkan padaku melalui pekerjaan pertamaku.

1. Percayalah sepenuhnya pada kedaulatan Kristus

Tahun 2020 sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pandemi Covid-19 memberi dampak besar hampir di seluruh aspek kehidupan. Di tahun 2020 ini aku mengirimkan dua aplikasi pendaftaranku untuk studi post-doctoral di Jerman dan Amerika. Aku berdoa agar Tuhan meloloskan rencana ini supaya kemampuan penelitianku bertambah, aku bisa mendapat posisi sebagai profesor di universitas yang baik, dan aku bisa memberitakan Kristus kepada mahasiswa yang kuajar nantinya. Aku yakin bisa diterima, mengingat aku punya relasi dengan dosen di Jerman dan jumlah jurnal publikasiku mencukupi. Tapi, Tuhan tidak mengabulkan doaku. Kedua aplikasi pendaftaranku ditolak.

Upayaku menawar Tuhan dalam doaku kupahami saat ini sebagai kesalahanku memahami kondisi dan janji Tuhan dalam Matius 6:33 yang berkata, “Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Ayat ini tidak ditulis terbalik, jika semuanya ditambahkan pada kita maka kita dapat mencari kerajaan Allah. Ayat ini dengan tegas mengatakan carilah dahulu kerajaan-Nya, bukan kehendak hati kita sendiri.

Mentor rohaniku berkata, “Tuhan akan mengirim kamu ketika kamu siap dipakai oleh-Nya”. Momen kegagalan ini kumakani sebagai latihan persiapan sebelum Tuhan memakaiku kelak. Aku menyerahkan diriku sepenuhnya pada kedaulatan Kristus, yang di dalamnya termasuk menangkal nafsu duniawi atas obsesiku menjadi dosen di universitas yang bagus. Tuhan ingin aku taat kepada firman-Nya terlepas apa pun kondisiku. Dia ingin aku memberitakan Kristus terlepas di mana pun dan apa pun pekerjaanku.

Suatu hari dosen pembimbingku bertanya, “Bagaimana kalau kamu mendaftar sebagai dosen di Korea?” Tidak terpikir olehku untuk mendaftar sebagai dosen di sini karena aku orang Indonesia, warga negara asing, dan universitas di Korea dikenal karena tuntutan kerjanya yang berat. Tapi singkat cerita, aku mempertimbangkan saran itu dan mencari lowongan pekerjaan sebagai dosen di beberapa universitas. Dikarenakan aku belum memperoleh ijazah kelulusan dan tidak memiliki pengalaman sebagai postdoc, aku tidak dapat memenuhi syarat pendaftaran untuk mendaftar sebagai dosen di beberapa universitas. Tetapi Tuhan melalui kedaulatan-Nya membuka pintu untuk aku mendaftar sebagai dosen peneliti di salah satu universitas di Korea. Melalui kasih karunia dan pimpinan Kristus, aku diterima di posisi tersebut. Seperti tertulis di Amsal 16:9, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya”. Ketika kita berserah sepenuhnya kepada Kristus, Tuhan akan menentukan arah langkah kita.

2. Hidupilah hidup yang digerakkan oleh firman Tuhan

Pekerjaan yang kuterima membuatku harus pindah ke kota lain. Artinya, aku harus mulai lagi beradaptasi dengan lingkungan dan komunitas yang baru. Banyak hal menambah beban pikiranku: urusan administrasi universitas yang kebanyakan dilakukan dalam bahasa Korea, hubungan dengan para dosen dan senior di jurusanku yang tak semudah yang kupikirkan, ditambah lagi aku harus mengajar kelas daring buatku yang tidak pernah punya pengalaman mengajar. Ini semua jadi tantangan baru buatku.

Namun, di balik semua beban itu, Tuhan memberiku komunitas gereja yang baru. Sama seperti di universitas sebelumnya, aku bersekutu bersama Navigators di kampus tempat kerjaku di sini. Aku berterima kasih atas mentor rohaniku yang baru, dia tidak hanya membantuku dalam urusan pertumbuhan rohaniku, tetapi juga dalam beberapa urusan administrasi di universitas. Walaupun mentorku juga memiliki pekerjaan di tempat lain, ia berusaha bersekutu denganku setiap jam makan siang di kampus tempat kerjaku. Kami bersama-sama merenungkan Firman Tuhan dan berdoa. Melalui persekutuan yang hampir setiap hari bersama mentorku, aku melihat lebih dalam lagi betapa pentingnya Firman Tuhan dalam kehidupanku.

“Beginilah firman Tuhan, Penebusmu, Yang Mahakudus, Allah Israel: “Akulah Tuhan, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh. Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti” (Yesaya 48:17-18).

Seperti ayat di atas, damai sejahtera yang sesungguhnya di dalam segala permasalahan yang muncul di dalam kehidupanku hanya bisa diperoleh ketika aku memperhatikan firman Tuhan dengan benar setiap hari. Mazmur 119—yang merupakan Mazmur terpanjang di Alkitab—dengan sangat jelas mengajarku betapa pentingnya Firman Tuhan. Firman-Nya membantuku dalam hidup kudus, memberi aku kekuatan, kegembiraan, penghiburan, kebijaksanaan, dan terang bagi jalan-jalanku.

Memegang janji Tuhan dan hidup di dalam Firman-Nya sangat membantuku menghadapi segala beban di dalam pekerjaan pertamaku. Mazmur 62:7-9 Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita. Tuhan melalui kedaulatan-Nya membantuku untuk mengatasi masalah-masalah di pekerjaan pertamaku. Ketika aku berseru dengan memegang janji Tuhan di dalam kehidupanku, Ia memberikanku kekuatan untuk menghadapi masalahku satu persatu.

3. Carilah wajah Tuhan, bukan hanya pemberian-Nya

Di kontrak pekerjaan pertamaku, aku diwajibkan untuk mempublikasi sedikitnya 6 jurnal ilmiah selama 2 tahun. Kontrakku tidak akan diperbarui jika aku tidak bisa memenuhi syarat tersebut. Di bulan awal pekerjaanku, pikiranku dipenuhi dengan bagaimana aku bisa menulis sebanyak itu di dalam 2 tahun.

Mentorku menolongku mengatasi kekhawatiranku. Katanya, orang yang benar-benar percaya sepenuhnya kepada kedaulatan Kristus akan merasakan kebebasan yang sesungguhnya atas hasil apa pun di dalam kehidupannya. Orang yang tidak bisa melihat ini kebanyakan dikarenakan mereka lebih melihat apa yang “tangan” Tuhan berikan dibandingkan wajah Tuhan. Mereka berusaha mencari berkat-Nya, tetapi tidak ingin selalu terhubung dengan-Nya.

Daud dengan jelas mengalami kebebasan atas hasil apa pun di dalam kehidupannya. Walaupun Daud dikejar oleh musuh-musuhnya, ia tetap mencari wajah Tuhan. Mazmur 27:8, “Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya Tuhan.” Bagi Daud, Tuhan adalah gembalanya dan sekalipun ia berjalan dalam lembah kekelaman, ia tidak takut bahaya sebab Tuhan besertanya (Mazmur 23).

Kebebasan yang sesungguhnya atas hasil di dalam hidup juga dialami Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Seperti tertulis di kitab Daniel, mereka percaya sepenuhnya kepada kedaulatan Allah. Mereka tidak fokus kepada apakah nantinya mereka diselamatkan atau tidak jika mereka dilemparkan ke perapian yang menyala-nyala. Mereka fokus kepada Allah sehingga mereka sanggup tidak gentar akan hasil akhir apakah yang akan mereka terima. “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17-18). Bagi Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, kepuasan mereka datang dari hubungan mereka bersama Allah bukan dari apa yang akan Allah berikan. Dan, Allah melalui kasih karunia-Nya menyelamatkan mereka dari bahaya pada akhirnya.

Seperti contoh-contoh iman di atas, aku berusaha menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada Kristus dengan melihat kepada Kristus bukan kepada apa yang Dia (akan) berikan kepadaku. Aku tidak tahu apakah aku bisa memenuhi syarat perpanjangan kontrak kerja pertamaku. Tugasku hanya melakukan apa yang aku bisa lakukan dan menyerahkan hasil semuanya kepada Kristus. Apabila Tuhan berkenan, maka Dia akan membuka jalan-jalanku.

Melihat kembali bagaimana Tuhan memimpin jalanku untuk pekerjaan pertamaku, aku berterima kasih kepada Tuhan. Pimpinan Tuhan di tahun 2020 menjadi salah satu batu Eben-Haezer di dalam kehidupanku. Aku berharap aku tetap bisa mengingat apa yang telah Tuhan perbuat di dalam hidupku dan terus memuji Tuhan seumur hidupku.

Kemudian Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya antara Mizpa dan Yesana; ia menamainya Eben-Haezer, katanya: ”Sampai di sini Tuhan menolong kita.” (1 Samuel 7:12)

Kiranya teman-teman sekalian juga bisa terus melangkah dengan iman dan mata yang tertuju kepada Kristus di tahun 2021 ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tumpaslah Kemalasan, Sebelum Itu Menghancurkan Kita

Kemalasan membawa dampak yang berbahaya, baik secara internal maupun eksternal. Ia dapat menghancurkan kita bersamaan dengan semua yang ada di sekitar kita. Mungkin tidak bersifat instan, tetapi bersifat pasti.

Berdoa dan Bekerja, Manakah yang Lebih Penting?

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Mana yang lebih penting: berdoa atau bekerja?

Pertanyaan ini seakan menunjukkan bahwa salah satu pilihan pasti lebih baik dari lainnya. Benarkah demikian? Apa yang Kitab Suci katakan tentang ini? Untuk menolong kita menemukan jawabannya, aku mengajakmu membaca kembali kisah yang Injil ceritakan dalam Lukas 10:38-42.

Dalam nats ini dikisahkan ada seorang wanita bernama Marta yang menerima Yesus di rumahnya. Marta memiliki seorang saudara perempuan bernama Maria. Jika nama Marta disebut lebih dulu, dalam konteks sejarah Israel mungkin karena dialah pemilik rumah. Ia menyambut Yesus sebagai peziarah sebagaimana biasanya peziarah diterima pada zaman itu. Narasi singkat ini menampilkan Marta sebagai figur yang sibuk dan cemas dalam mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melayani Yesus, sementara Maria mendengarkan kata-kata Yesus, bahkan tidak hanya mendengarkan pengajaran-Nya, tetapi ia duduk dekat kaki-Nya (Lukas 10:39).

Marta yang tampak kesal datang kepada Yesus dan meminta-Nya agar menyuruh Maria membantunya. Lukas mencatat bagi kita perkataan penting Tuhan Yesus, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu. Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (Lukas 10:41-42). Dalam sepanjang sejarah gereja, kisah ini sudah ditafsir oleh banyak Bapa Gereja dan orang-orang kudus. Marta sering dilihat sebagai simbol aktivitas dan pekerjaan di dunia ini, sedangkan Maria dilihat sebagai simbol kontemplasi atau saat teduh.

Penting dipahami, bahwa kisah ini bukan tentang dua sikap yang kontradiktif: mendengarkan firman Tuhan, saat teduh atau kontemplasi, dan pelayanan praktis kepada sesama kita. Bukan tentang mana lebih penting: bekerja atau berdoa? Sama sekali bukan tentang dua sikap yang bertentangan satu sama lain, tetapi sebaliknya, kisah ini menunjukkan bahwa bekerja dan berdoa merupakan dua aspek penting dalam kehidupan Kristen kita. Berdoa dan bekerja adalah dua aspek yang tidak pernah dapat dipisahkan, tetapi dihayati dalam kesatuan dan harmoni yang dalam.

Perhatikan dua perikop sebelum dan sesudah nats ini, yang mengapit kisah Marta dan Maria. Di situ ada perikop tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Lukas 10:25-37), yang menunjukkan karya atau tindakan nyata kepada sesama, dan perikop tentang Hal Berdoa (Lukas 11:1-12), yang menunjukkan aktivitas doa yang intim bersama Tuhan. Kedua perikop ini lantas menemukan integrasinya dalam kisah Maria dan Marta (Lukas 10:41-42), di mana karya nyata (bekerja) dan berdoa seharusnya menjadi satu nafas hidup tiap orang percaya. Baik berdoa maupun bekerja sama-sama penting.

Lalu mengapa Yesus berkata seakan Ia menegur Marta? Tampaknya karena Marta menganggap hanya apa yang dia lakukan (bekerja) yang paling penting. Sejatinya, karya pelayanan tidak pernah terlepas dari prinsip semua tindakan kita: Mendengarkan sabda Tuhan, menjadi seperti Maria, dan bekerja secara nyata, menjadi sama seperti Marta. Contoh: Yesus yang aktif melayani sekaligus tak pernah meninggalkan saat teduh-Nya secara pribadi (Matius 14:23, 26:36-46; Markus 1:35)

Bekerja, belajar, dan melayani adalah penting. Namun, persekutuan secara pribadi dengan Tuhan tak kalah pentingnya. Keduanya harus menjadi nafas hidup kita secara sebagai anak Tuhan. Dunia ini membutuhkan orang-orang muda yang memiliki kombinasi Marta dan Maria: giat bekerja dan rajin berdoa. Orang-orang muda yang murni hatinya, sopan ucapnya, dan elok lakunya. Itu adalah panggilan bagi kita.

Yuk, kita belajar dari Marta dan Maria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menantikan Pertolongan Allah

Respons alami ketika kita mendapat masalah adalah segera mencari pertolongan. Tetapi, Allah pernah menghukum Israel karena melakukan ini. Belajar dari peristiwa itu, bagaimana seharusnya kita merespons persoalan?

Bekerja Layaknya Seorang Atlet

Oleh Dian, Surabaya

Aku bekerja sebagai guru. Di bulan April 2019, aku mendapatkan keputusan dari atasanku bahwa kontrak kerjaku tidak dilanjutkan lagi. Berita yang membuatku hopeless dan cukup gelisah. Teman-temanku yang mengetahui kabar ini pun sempat tidak percaya dan menyarankanku untuk bertanya lagi. Tetapi, nyatanya memang keputusan itu tidak bisa dibatalkan. Ada teman juga yang memberikan beberapa informasi lowongan pekerjaan untukku. Beberapa lowongan sudah aku daftarkan dan tak kunjung dapat balasan juga.

Hari demi hari, beberapa teman bersimpati atas kejadian ini. Tapi tak jarang, aku bilang ke teman-temanku, “Tidak apa-apa, aku bisa cari pekerjaan lain”. Tapi itu hanya ketenangan semu untuk menutupi kekecewaanku. Apalagi, kondisiku bukanlah seorang bujang, yang bekerja untuk diri sendiri. Aku punya istri yang sedang mengandung. Tentu masalah finansial memenuhi pemikiranku. Meskipun aku hafal ayat 1 Petrus 5:7 “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia memelihara yang kamu”, namun tetap saja itu tidak mampu membuat tidurku nyenyak. Apakah aku tidak bisa mengimani ayat ini? Aku juga tidak bisa menjawabnya, karena kenyataannya aku susah untuk tidur atas kekhawatiranku ini. Di sisi lain ayat ini mengatakan Tuhan akan memelihara hidupku.

Selama bekerja memang aku nampak cuek di sekitarku, aku hanya berpikir apa yang bisa kukerjakan dan tidak memikirkan yang lain. Aku juga tidak berpikir terhadap penilaian orang terhadap pekerjaanku dan apa yang kulakukan. Selama siswaku mengerti dan memahami tujuanku mengajar, itu sudah cukup. Tapi bagi atasanku itu tidak cukup untuk melanjutkan karierku bekerja di situ. Di sisi lain, beliau mungkin memiliki pertimbangan yang tidak bisa aku prediksi. Aku menghargai itu, tetapi aku cukup sulit menerima konsekuensi dari keputusannya, karena penghasilanku akan berkurang. Dengan kondisiku sekarang, aku sudah menghitung detail bahwa kemampuan finansialku tidak mampu memenuhi kebutuhan persalinan istriku dan biaya setelahnya.

Lantas apa solusinya? Utang.

Aku memikirkan kata itu untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku, tetapi istriku menolaknya. Ia mengingatkan bahwa kami harus menghindari utang, karena itu akan memberatkan kami dalam melunasinya. Ia selalu memintaku untuk apply pekerjaan. Aku bilang kepadanya, “mending aku kerja jadi marketing aja ya? Gak apa-apa tekanan tinggi, tetapi setidaknya bisa mengejar target finansial kita.”

Ia pun tidak mengizinkan, karena itu bukan background-ku dan kesenanganku. “Percuma kalau kamu bekerja cuma targetnya finansial”, katanya.

“Coba dulu kamu masukkan lamaran di beberapa sekolah,” tambahnya.

Bulan Juli 2019

Bulan ini ada sebuah kelegaan bagiku karena aku mendapatkan pekerjaan baru. Aku bekerja di salah satu sekolah swasta di Surabaya, meskipun sekolah ini hanya memberikan masa orientasi kerja selama 3 bulan. Ini pun membuatku berpikir, “Ternyata Tuhan masih memperhatikanku, meskipun aku sulit menaruhkan kekhawatiranku kepada-Nya”.

Apakah kekhawatiranku sudah hilang? Tidak. Aku masih khawatir apakah aku mendapatkan kesempatan bekerja setelah masa orientasi. Kekhawatiran ini membuatku sangat berhati-hati dalam bekerja. Aku mengusahakan tidak cuek terhadap orang lain, mencoba mencari tahu penilaian orang terhadapku itu seperti apa. Sehingga, secara tidak sadar aku membuat image sesuai apa yang diinginkan oleh rekan kerja, terutama atasan. Berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya, yang tidak memedulikan omongan orang lain.

Aku bertanya kepada partner kerjaku, “Apa kriteria atau syarat supaya kontrak kerjanya lanjut di sini?”

“Ngapain dipikirkan, Pak. Yang penting kerja bener, untuk urusan dilanjut atau enggak. Itu gak usah dipikir. Aku dulu seperti itu,” Jawabnya.

Jawabannya menamparku sejenak. Jawabannya mengingatkanku bahwa aku bekerja bukan untuk dilihat oleh orang lain baik, tapi bagaimana memberi pengaruh baik. Jelas, aku sudah kehilangan esensi dan visi dalam bekerja. Aku sudah takut kehilangan pekerjaanku, bahkan hidup matiku seakan-akan hanya bergantung kepada pekerjaanku itu. Meskipun aku bisa beralasan bahwa itu untuk memenuhi kebutuhan istriku dan kelahiran anakku. Itu nampaknya bukan diinginkan Tuhan yang telah memberikan dan mempercayakan pekerjaan itu kepadaku. Pikiranku melintir menjadi 180 derajat, dari “apa yang bisa kuberikan dari pekerjaan” menjadi “apa yang bisa kudapatkan dari pekerjaanku”.

Ternyata orang bekerja itu ibarat seorang atlet yang bertanding. Meskipun ribuan penonton memberikan ejekan, hinaan, pujian, semangat atau komentar lain terhadap atlet yang bertanding, atlet yang baik pasti tidak terpengaruh oleh seluruh komentar penonton melainkan fokus pada tujuan dalam pertandingan, yaitu menang dengan sportif, respect dan penuh semangat. Walapun atlet itu mengalami kekalahan, ia pasti akan berlatih lebih keras lagi untuk mencapai tujuan kemenangan tersebut. Begitu juga pekerja yang baik adalah pekerja yang tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain, melainkan menjaga fokus terhadap tujuan dalam pekerjaan. Apalagi tujuan yang ia bawa sejalan dengan tujuan Tuhan. Aku pun masih mengusahakannya, meskipun jatuh bangun dan rasa kecewa serta was-was masih aku rasakan. Tapi setidaknya aku mencoba belajar menjadi atlet yang baik. Jika masih kalah aku untuk melatihnya lagi.

Baca Juga:

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Data WHO menunjukkan ada 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri. Kita tidak bisa diam saja menanggapi isu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah.

Untuk Siapa Aku Bekerja?

Senin, 11 April 2016

Untuk Siapa Aku Bekerja?

Baca: Pengkhotbah 4:4-16

4:4 Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seseorang terhadap yang lain. Inipun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.

4:5 Orang yang bodoh melipat tangannya dan memakan dagingnya sendiri.

4:6 Segenggam ketenangan lebih baik dari pada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin.

4:7 Aku melihat lagi kesia-siaan di bawah matahari:

4:8 ada seorang sendirian, ia tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, dan tidak henti-hentinya ia berlelah-lelah, matanyapun tidak puas dengan kekayaan; –untuk siapa aku berlelah-lelah dan menolak kesenangan? –Inipun kesia-siaan dan hal yang menyusahkan.

4:9 Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka.

4:10 Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!

4:11 Juga kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas, tetapi bagaimana seorang saja dapat menjadi panas?

4:12 Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.

4:13 Lebih baik seorang muda miskin tetapi berhikmat dari pada seorang raja tua tetapi bodoh, yang tak mau diberi peringatan lagi.

4:14 Karena dari penjara orang muda itu keluar untuk menjadi raja, biarpun ia dilahirkan miskin semasa pemerintahan orang yang tua itu.

4:15 Aku melihat semua orang yang hidup di bawah matahari berjalan bersama-sama dengan orang muda tadi, yang akan menjadi pengganti raja itu.

4:16 Tiada habis-habisnya rakyat yang dipimpinnya, namun orang yang datang kemudian tidak menyukai dia. Oleh sebab itu, inipun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.

Untuk siapa aku berlelah-lelah dan menolak kesenangan? —Pengkhotbah 4:8

Untuk Siapa Aku Bekerja?

Henry bekerja 70 jam seminggu. Ia mencintai pekerjaannya dan memperoleh penghasilan besar yang dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia selalu berencana untuk mengurangi jam kerjanya, tetapi itu tidak pernah dilakukannya. Suatu malam, ia pulang ke rumah dengan kabar gembira—ia dipromosikan ke posisi tertinggi di perusahaannya. Akan tetapi, tidak seorang pun ada di rumah. Anak-anaknya telah tumbuh dewasa dan menjalani hidup mereka masing-masing, sementara sang istri sibuk dengan kariernya sendiri. Tidak seorang pun ada di rumah untuk mendengar kabar gembira tersebut.

Salomo berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup dengan pekerjaan kita. Salomo menulis, “Orang yang bodoh melipat tangannya dan memakan dagingnya sendiri” (Pkh. 4:5). Kita tidak ingin bersikap ekstrem dengan bermalas-malasan, tetapi kita juga tidak ingin terjebak hingga menjadi orang yang sangat gila kerja. “Segenggam ketenangan lebih baik dari pada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin” (ay.6). Dengan kata lain, lebih baik harta yang lebih sedikit, tetapi lebih menikmatinya. Mengorbankan hubungan dengan sesama demi mengejar kesuksesan adalah sikap yang tidak bijaksana. Pencapaian tidak akan bertahan lama, tetapi hubungan dengan sesama itulah yang menjadikan hidup berarti, memuaskan, dan menyenangkan (ay.7-12).

Kita dapat belajar bekerja untuk hidup dan bukan hidup untuk bekerja, dengan memilih untuk membagi-bagi waktu kita dengan bijaksana. Tuhan akan memberi kita hikmat dalam melakukannya, ketika kita mencari dan mempercayai-Nya sebagai Allah Pemelihara hidup kita. —Poh Fang Chia

Ya Tuhan, sadarkanlah aku apabila prioritasku telah menyimpang dan tunjukkan perubahan apa yang perlu kulakukan. Terima kasih untuk keluarga dan teman yang Kau anugerahkan kepadaku.

Bijaklah menggunakan waktu dengan menginvestasikannya pada kekekalan.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 17-18; Lukas 11:1-28

Komik Kamu: Senin

Oleh: Bella Nessya

Komik-Bella-Senin

Alasan Kita Bekerja

Senin, 3 September 2012

Alasan Kita Bekerja

Baca: Efesus 6:5-9

Jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah. —Efesus 6:6

Di akhir dekade 1660-an, Sir Christopher Wren ditugaskan untuk merancang ulang gereja Katedral St. Paulus di London. Menurut cerita, suatu hari Wren mengunjungi lokasi pembangunan gereja megah tersebut dan ia tidak dikenali oleh para pekerja di sana. Sambil berkeliling, Wren bertanya kepada beberapa pekerja tentang apa yang sedang mereka lakukan. Salah seorang pekerja menjawab, “Saya sedang memotong sebongkah batu.” Pekerja kedua menjawab, “Saya bekerja demi upah.” Namun pekerja ketiga memiliki pandangan berbeda: “Saya sedang menolong Christopher Wren membangun gedung katedral yang megah untuk kemuliaan Allah.” Sungguh suatu sikap dan motivasi yang sangat berbeda!

Alasan kita mengerjakan apa yang kita kerjakan adalah hal yang sangat penting, terutama menyangkut pekerjaan dan karir kita. Oleh karena itu, Paulus menantang jemaat di Efesus untuk melakukan pekerjaan mereka, “jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia” (Ef. 6:6-7).

Apabila kita melakukan pekerjaan hanya untuk mendapatkan gaji atau menyenangkan atasan, kita akan kehilangan motivasi yang tertinggi, yakni melakukan yang terbaik sebagai bukti dari pengabdian kita kepada Allah. Jadi, apa alasan kita bekerja? Sama seperti pekerja yang menjawab pertanyaan Wren, kita bekerja “untuk kemuliaan Allah.” —WEC

Jangan hanya selalu ingin
Mengerjakan pekerjaan lain,
Tetapi dengan syukur kerjakanlah
Tugas yang padamu Tuhan berikan. —NN.

Siapa pun yang menggaji Anda, sesungguhnya Anda bekerja untuk Allah.

Iman Disertai Perbuatan

Jumat, 3 Agustus 2012

Iman Disertai Perbuatan

Baca: Yakobus 2:14-26

Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. —Yakobus 2:17

Karena penyakit radang sendi yang dideritanya, Roger tak lagi mampu menghadapi musim dingin di Illinois sehingga ia pindah ke Bangkok, Thailand, yang bercuaca tropis. Pada suatu hari, ia teringat sebuah lagu kesukaan neneknya, What You Are (Sikap Dirimu): Sikap dirimu berbicara lebih keras hingga orang tak mendengar yang kau katakan; mereka melihat caramu menjalani hidup, bukan mendengar yang kau katakan; yang dinilainya adalah tingkah lakumu setiap hari.

Lagu tersebut menginspirasi Roger untuk memberi makan para tunawisma yang tinggal di jalan sepanjang hampir 1 km. Setiap pagi, ia menyediakan sarapan hangat untuk lebih dari 45 keluarga. Beberapa tahun kemudian, salah satu wanita tunawisma menerima Kristus sebagai Juruselamatnya dan mencari Roger untuk berterima kasih karena telah mengenalkannya pada kasih Kristus.

Dalam kitab Yakobus, dengan jelas dikatakan bahwa iman yang tidak disertai perbuatan pada hakekatnya adalah mati (2:17). Hal itu tidak berarti bahwa perbuatan akan menghasilkan iman, melainkan perbuatan baik akan memperkuat bukti bahwa iman kita adalah iman yang sejati. Memang mudah untuk mengatakan bahwa kita percaya kepada Allah, tetapi hanya perbuatan kita yang dapat membuktikan kebenaran dari apa yang kita ucapkan. Abraham adalah contoh dari hal tersebut. Ia tidak sekadar berbicara tentang imannya; ia menunjukkan imannya melalui kesediaannya untuk mempersembahkan anaknya yang tunggal dalam ketaatan kepada Allah (Yak. 2:21-24; lih. Kej. 22:1-8). Ishak pun akhirnya tidak jadi dipersembahkan.

Hari ini, bagaimana kita dapat secara aktif menunjukkan kasih kita kepada Allah dan mempercayai-Nya? —AL

Iman menguatkan kita untuk melangkah
Memberi roti kepada mereka yang lapar—
Iman lebih dari sekadar pengajaran,
Karena iman tanpa perbuatan itu mati. —Woodrum

Yang penting bukanlah iman dan perbuatan; iman atau perbuatan; melainkan iman yang berbuat sesuatu.