Posts

Seandainya Tuhan Yesus Gak Pernah Dilahirkan…

Kisah Natal sering jadi kisah yang terasa biasa saja, atau bahkan bagi sebagian orang terasa tidak masuk akal. Tetapi, inilah peristiwa yang amat penting, yang menjadikan iman Kristen berbeda dari lainnya.

Allah yang telah menciptakan kita, tidak meninggalkan kita di dalam keputusasaan kita. Dia mengasihi kita dan Dia datang untuk memberikan kita pengharapan. Alkitab berkata bahwa “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Yohanes menggunakan sebutan “Firman” untuk bayi kecil yang menjadi pengharapan bagi seisi dunia, dan sebutan itu adalah sebutan yang sarat makna!

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata (@ptrx.renata)

Artspace: Natalku yang Berpohon

Si pohon cemara beserta ornamen bandul-bandulnya tegak berdiri. Kapas-kapas putih pun memberi kesan salju di sekujur tubuh pohon itu.

Tunggu…kapas? Kesan? Ya, itu bukan pohon sungguhan. Itu hanyalah pohon buatan yang menyerupai aslinya. Hadirnya pohon itu menandakan dimulainya sebuah masa yang disebut Natal, sebuah peristiwa agung ketika Allah yang kudus hadir ke dalam dunia melalui kelahiran Kristus.

Apa makna Natal bagimu, sobat muda?

—–

Artspace ini didesain oleh Shereen Feria diadaptasi dari artikel yang ditulis oleh Frans Hot Dame Tua yang telah ditayangkan di WarungSaTeKaMu pada 18 Desember 2017. Klik di sini untuk membaca artikelnya.

Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Bayi Yesus?

Oleh Charmain S.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I’m In Awe Of Baby Jesus

Di bulan ini, aku merayakan setahun perjalananku menjadi seorang ibu. Ya, itu artinya bayiku sekarang usianya sudah genap setahun, dan sungguh luar biasa perjalanan selama setahun belakangan ini. Mungkin ungkapan bahwa menjadi ibu itu begitu melelahkan terdengar klise, tapi di balik segala kelelahannya, setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang begitu berharga.

Salah satu sukacita terbesarku adalah ketika aku bisa menyaksikan sendiri perkembangan anak lelakiku sedikit demi sedikit. Aku begitu girang saat dia belajar duduk, berdiri, bertepuk tangan, dan mengucapkan kata pertamanya. Sungguh menakjubkan melihat anakku bertumbuh.

Namun, ada hal lain yang jauh lebih menakjubkan, yaitu pemahamanku akan Allah yang juga semakin bertumbuh seiring dengan perjalananku sebagai seorang ibu. Ada beberapa pelajaran berharga dan bernilai rohani yang kudapat. Tapi, hari ini aku hanya akan membicarakan tentang satu hal.

Seperti kita semua tahu, Natal adalah masa ketika kita merayakan kelahiran Yesus. Salah satu cerita Natal yang paling familiar adalah cerita tentang kelahiran Yesus itu sendiri. Maria dan Yusuf berlutut; para gembala dan orang-orang Majus berdiri di belakang mereka; dan mereka semua berkumpul di sekitar palungan, mengitari bayi Yesus yang tertidur nyenyak.

Tapi, apa yang terjadi setelahnya?

Setiap kali anakku berhasil melakukan sesuatu, aku jadi bertanya-tanya: Apakah Yesus juga dulu seperti ini? Seberapa sering Dia menangis? Apakah Dia juga pernah muntah saat minum susu? Apakah Dia juga sulit tidur? Berapa bulan yang Dia butuhkan untuk belajar merangkak atau berjalan? Makanan padat apakah yang pertama kali Dia makan? Kata pertama apakah yang Dia ucapkan? Karena Yesus adalah manusia dan Tuhan yang sejati, apakah Dia sadar bahwa saat itu adalah seorang bayi?

Injil mencatat bahwa ketika sudah dewasa, Yesus pun pernah merasa lapar, lelah, bahkan Dia juga pernah menangis layaknya manusia biasa. Oleh karena itu, aku pun percaya bahwa ketika Dia masih seorang bayi, terlepas dari kesempurnaan-Nya, Dia pun turut merasakan apa yang bayi manusia rasakan.

Memiliki kesempatan istimewa untuk membesarkan sendiri bayiku membuatku jadi berpikir: rasanya sulit dimengerti, mengapa Seorang yang Agung sudi membuat diri-Nya menjadi tak berdaya. Yesus bisa saja dengan mudah menarik diri-Nya, naik ke atas kayu salib, dan menyelesaikan penebusan dosa itu. Akan tetapi, Dia memilih untuk datang sebagai seorang bayi. Yesus menundukkan diri-Nya untuk menjadi manusia yang adalah ciptaan-Nya! Dia melewati setiap tahapan dalam kehidupan sehingga Dia dapat sepenuhnya merangkul peran seorang imam besar yang mampu berempati dengan segala kelemahan kita.

Tapi, lebih dari sekadar empati, Filipi 2:6-8 memberikan kita pemahaman yang luar biasa tentang Kristus dan bagaimana Dia menyerahkan segalanya demi kita:

Yang walaupun dalam rupa Allah,
tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri,
dan mengambil rupa seorang hamba,
dan menjadi sama dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib.

Di tahun ini, aku sadar bahwa pelayanan Yesus tidak dimulai ketika Dia berusia 30 tahun. Pelayanan-Nya dimulai tepat saat Dia dilahirkan, ketika Dia merendahkan diri-Nya untuk menjadi seorang manusia yang terbatas. Melalui peristiwa Natal, ayat yang dituliskan oleh Paulus di atas menjadi nyata.

Sekarang aku memiliki pemahaman yang lebih dalam akan kedatangan Tuhan kita. Imanuel, “Allah beserta kita”, memiliki makna yang jauh lebih dalam. Jadi, di Natal kali ini, seiring dengan kita merayakan kelahiran Yesus, aku juga mau memuji Dia atas kasih-Nya yang ditunjukkan-Nya kepada kita. Yesus layak menerima segala kemuliaan, dan aku mau berdoa:

“Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (Filipi 2:10).

Baca Juga:

Selamat Hari Ibu, Ayah!

Selama bertahun-tahun, aku selalu ingin menghindari tanggal 22 Desember. Aku tidak pernah bisa memberi hadiah ataupun ucapan “selamat hari ibu” pada ibuku, karena sejak aku berusia 5 tahun, ibuku telah tiada. Namun, ada sesuatu yang berbeda di hari ibu tahun ini, dan aku ingin membagikannya kepadamu.