Posts

Ketika Aku Hidup di Keluarga yang Agak Laen

Oleh Baginda Hutapea, Jakarta
Gambar diambil dari screenshot 

“Kau itu sarjana hukum. Kenapa kau sia-siakan gelarmu itu, dengan menjalani pekerjaan yang nggak jelas, macam pelawak itu?”

Kira-kira begitulah penggalan kalimat yang diucapkan Pak Domu kepada Gabe, anak ketiganya, dalam film Ngeri-Ngeri Sedap yang baru-baru ini kutonton. Menurut Pak Domu—juga kebanyakan orang tua—seorang anak belum dianggap “bekerja” dan mapan kalau mereka tidak menjadi pegawai bank, dokter, ASN, dan sederet pekerjaan klasik lainnya. Pandangan ini tentu sangat menyebalkan bagi kita yang tidak berkarier di bidang-bidang itu. Kita mungkin menganggap pola pikir orang tua kita begitu kolot dan sempit, yang hanya mengenal kesuksesan dari profesi tertentu. Namun, sebenarnya mereka tidaklah salah. Generasi orang tua kita tidak mengalami masa muda seperti kita… dan sesungguhnya, mereka hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Lahir dan bertumbuh di dalam sebuah keluarga Batak, tentu film besutan sutradara Bene Dion Rajagukguk ini menjadi sangat relate bagiku pribadi. Meskipun sejak aku lahir, kami sekeluarga sudah hidup di Kota Jakarta, namun nilai-nilai budaya Batak itu tetap dipelihara oleh orang tuaku, terutama pada saat ompung masih hidup. Sebagai seorang anak laki-laki Batak, aku sepakat dengan masalah utama yang diangkat dalam film Ngeri-ngeri Sedap bahwa hubungan anak laki-laki Batak dengan ayahnya seringkali bermasalah dan tidak akur. Meskipun tentunya tidak terjadi di semua keluarga Batak, namun sebagian besar pasti setuju dengan kenyataan unik-pahit ini.

Aku dan papaku tinggal satu rumah, tapi hubungan kami tidak terlalu akrab. Kami jarang mengobrol, karena aku cukup segan kepada bapak yang dalam pandanganku suka marah-marah. Atau, mungkin pula karena ‘gengsi’ yang turut disuburkan oleh rumor yang bilang kalau anak lelaki ya memang lebih dekat dengan ibunya sendiri.

“Somarlapatan nauli, nadenggan patupaonmu, molo dung mate ahu.
Uju di ngolungkon ma nian, tupa ma bahen angka nadenggan.
Asa tarida sasude, holong ni rohami marnatua-tua i.”

Lirik lagu Uju di Ngolungkon di atas, jika diterjemahkan secara bebas, kira-kira mengatakan, “Tidak ada gunanya semua perbuatan kalian yang baik dan indah, jika aku (orang tua) sudah meninggal. Sebaiknya di saat aku (orang tua) masih hidup, lakukanlah segala yang terbaik, supaya terlihat semua rasa sayangmu kepada orang tuamu.”

Ketika mencoba menyelami lirik tersebut, sebagian dari kita mungkin memiliki stigma bahwa orang tua Batak itu sangatlah pamrih terhadap anak-anaknya dan sangat ingin diperhatikan/diurus oleh anak-anaknya pada masa tuanya. Segala materi yang mereka keluarkan dan kerja keras yang mereka lakukan untuk menyekolahkan dan membesarkan anak-anaknya seolah harus mendapat “balasan” yang senilai ketika nanti anak-anaknya sudah dewasa.

Bagi keluarga-keluarga yang berasal dari suku lain di luar Batak, tuntutan-tuntutan seperti ini mungkin terkesan yang unik dan tidak biasa. Agak laen, kalau kata orang Medan. Meski punya maksud positif, keunikan ini seringkali menjadi beban moral bagi para anak yang memicu perpecahan dan konflik dalam keluarga-keluarga Batak. Para bapak Batak yang cenderung merasa paling tahu yang terbaik turut andil dalam timbulnya akar pahit dan dendam bagi anak-anaknya, terutama anak laki-laki. Memang ada anak yang ketika dewasa akhirnya memahami sikap sang ayah seperti itu adalah demi kebaikannya dan rasa kesal atau marah muncul karena cara berkomunikasi mereka yang kurang baik, tetapi tak sedikit pula yang tetap merasa pahit.

Keunikan relasi bapak-anak dalam keluarga suku Batak ini sedikit-banyak mengingatkanku akan hubungan kita (manusia) dengan Tuhan. Seringkali, kita salah/gagal dalam menangkap maksud baik Tuhan yang Ia nyatakan di dalam hidup kita. Misalnya ketika kita menginginkan sesuatu. Kita menganggap keinginan kita adalah yang terbaik bagi kita, namun sesungguhnya, mungkin saja menurut Tuhan keinginan itu bukanlah yang terbaik bagi kita. Malahan, terkadang kita justru sering mengambil peran seperti seorang bapak Batak, yang seolah-olah tahu segala yang terbaik, dan memosisikan Tuhan sebagai seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Yang menjadi penyebabnya tentu adalah kekurangpekaan kita dalam mendengar suara Tuhan, yang lahir dari ketidakintiman hubungan pribadi kita dengan-Nya.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9).

Sebagai seorang anak generasi Milenial dan Z, tentu kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan di keluarga yang mana. Ketika kita harus lahir dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga Batak, atau keluarga mana pun yang memiliki keunikan budaya tertentu, maukah kita tetap mengucap syukur kepada Tuhan dan menjadikan keunikan budaya tersebut sebagai sebuah warisan yang perlu dijaga dan dilestarikan? Sekalipun bagi kita, orang tua kita agak laen jika dibandingkan dengan orang tua teman-teman kita, yang mungkin dari luar terlihat sangat baik dan rukun keadaannya, maukah kita tetap bersyukur atas kehadiran mereka di dalam hidup kita?

Semenyebalkan apa pun orang tua kita di mata kita, dan setidak asyik apa pun cara mereka dalam menunjukkan cinta kasihnya kepada kita, maukah kita belajar untuk menghargai dan menyayangi mereka, selagi mereka masih ada?

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” —Keluaran 20:12

Ketika Calon Pasangan Hidup Tidak Satu Suku

Oleh Santi Jaya Hutabarat

“Kamu menikah dengan anak Namborumu itu saja,” ungkap papa saat aku berusaha membujuknya lagi.

Kutarik nafas dalam-dalam agar emosiku terkendali. Udara sore itu terasa lebih panas sekalipun teras kami dinaungi pohon rimbun. Sebenarnya bayangan perbincangan ini pernah terbersit di pikiranku sejak menjalin hubungan dengan Brema tiga tahun lalu. Perbedaan suku di antara kami membuatku menghindari perbincangan panjang tentang Brema pada papa dan mama. Namun, kami tidak mungkin seterusnya menjalin hubungan backstreet dari mereka. Karena itu sore ini aku memberanikan diri berbicara serius tentang hubunganku pada mereka.

Aku dan Brema bertemu di acara Kamp Regional Mahasiswa untuk daerah Sumatera bagian Utara. Bersama peserta lain yang ditetapkan panitia, kami sekelompok selama seminggu rangkaian kegiatan.

“Halo! Namaku Brema Tarigan. Aku Batak Karo, lahir dan besar di Tanah Karo.” Brema memperkenalkan diri.

Berawal dari perkenalan dalam diskusi komsel, kami terus berteman dan semakin dekat hingga akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Dan akhir tahun lalu, aku menjawab “ya” saat Brema menembakku secara pribadi.

“Brema baik, Pa. Aku sudah lama mengenalnya. Kami juga pernah mengikuti konseling. Kami cocok kok!” beberku pada papa.

“Pasti lebih mudah kalau menikah dengan yang satu suku. Lihat abang dan edamu (kakak ipar perempuan), kalau ada masalah kita lebih mudah menyelesaikan, karena kedua keluarga sama-sama tahu apa yang perlu dilakukan sesuai adat dan budaya batak Toba,” terang papa mengulang ketidaksetujuannya.

Memakai marga dibelakang namanya–tidak hanya tulen–menurutku papa dan mama sangat cinta dengan budaya batak Toba. Mereka terbilang aktif dalam berbagai kegiatan adat. Papaku juga beberapa kali berkesempatan jadi “parhata” dalam pesta kerabat. Parhata merupakan juru bicara acara adat yang harus memahami seluk-beluk adat Batak Toba pada umumnya, adat yang berlaku bagi rumpun semarganya, dan aturan batak Toba lainnya. Tidak heran kalau mereka ingin aku dan abangku menikah dengan orang Batak Toba juga.

Dibesarkan dengan prinsip dan nilai kebudayaan suku ini tentu membuatku bersyukur karena banyak prinsip dan nilai yang baik dan juga bermanfaat. Pun sedari kecil aku sudah dibekali dengan beragam nilai adat, jadi aku tidak mengingkari kalau aku semakin bangga terlahir jadi boru ni raja dan terus belajar menghidupi karakternya. Istilah boru ni raja (putri raja) merupakan identitas bagi perempuan batak Toba, yang artinya perempuan Batak itu sosok yang harus disayangi dan dihormati, sekaligus sebagai panggilan agar terus menjaga nilai-nilai kehormatan, seperti kepatutan, moral, etika, sensitivitas dan lain sebagainya.

“Pariban-mu itu baik, Ito. Kita sudah mengenalnya. Meski bukan sekandung, tapi amangboru dan bou-mu itu dekat dengan papa, mereka pasti setuju kamu jadi menantunya. Lagian, dia sekarang sudah PNS. Penugasannya juga disini, jadi dekat kalau ada apa-apa sama kalian.” Mama berusaha meyakinkanku.

Menikah dengan pariban sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, bahkan dianggap ideal. Pariban merujuk kepada saudara sepupu. Anak laki- laki akan memanggil “pariban” kepada anak perempuan dari tulang (tulang = paman, saudara laki-laki ibu), sebaliknya anak perempuan akan menyebut “pariban” kepada anak laki-laki dari namboru-nya (namboru = bibi, saudara perempuan ayah). Selain mempererat hubungan kekeluargaan, pernikahan ini biasanya mempermudah komunikasi keluarga mengenai acara adat, terlebih dalam urusan sinamot (mahar) untuk perempuan yang sering menyulitkan calon mempelai pria karena nominalnya dianggap terlalu besar.

“Kalau kau nikah sama pacarmu, nanti jadi tambah kerjaan. Kau akan diberi marga Karo dulu, adatnya juga berbeda. Semua jambar dan ulos pun tak akan lagi bisa dijalankan di pestamu. Kek mana lah nanti,” tambah Papa.

Ya, seperti kata Papa, dalam budaya Batak, jika ada pesta pernikahan adat Batak Karo, Uis tidak diberikan untuk pengantin dan orang tua pengantin, sedangkan dalam pesta pernikahan adat Batak Toba, pemberian ulos untuk pengantin dan orang tua termasuk dalam agenda acara adat. Ulos yang diberikan tersebut berasal dari saudara-saudara sedarah maupun semarga/rumpun marga. Lalu ada jambar yang menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang), seperti pemberian nama dan beberapa bagian yang diberikan. Pemberian hak ini berbeda antar batak Toba dengan batak Karo.

“Kami setuju kalau nanti ada pesta adat Batak Toba dan Batak Karo,” belaku.

“Ya, sudah. Terserah kamu!”

“Apa yang Papa takutkan sebenarnya? Yang nikah ‘kan aku!”

Papa mengalihkan pandangan, ia menggeleng tanpa suara lalu beranjak meninggalkanku bersama mama.

Huft.. Jika boleh memilih, lebih baik aku melakukan negosiasi pengadaan barang (procurement), seperti kesibukanku saat ini, dan mengurus penawaran (bidding) dari beragam penjual (vendor) yang kaya pengalaman dengan rata-rata tender berdigit-digit agar mau mengerjakan proyek yang sedang digarap NGO tempatku bekerja.

Sealot-alotnya perdebatan dalam pekerjaan, ini takkan membuahkan penyesalan dalam diriku. Tetapi ini berbeda. Rasanya berat harus beradu pendapat dengan papa dan mamaku sendiri. Silap sedikit, tidak hanya restu yang terhalang, relasi dengan orang tuaku pun bisa rusak.

“Kamu sudah yakin akan menikah dengan Brema?” tanya mama menatapku serius.

Belum sempat kujawab, ponselku berdering, ada panggilan video dari Brema.

“Boleh mama yang ngobrol dengan Brema?”

Dengan kikuk, aku menjawab panggilan video itu bersama mama di sampingku.

“Halo, Nantulang. Sehat?” sapa Brema dari seberang. Sepertinya ia sengaja memanggil nantulang agar bisa lebih akrab dengan mamaku. Selain panggilan untuk istri tulang, nantulang juga bisa dipakai laki-laki Batak Toba untuk menyapa calon ibu mertua.

“Sehat, Nak. Kamu bagaimana? Pekerjaanmu lancar?”

“Aman, Nantulang. Sedang apa, Nantulang?”

“Lagi duduk santai, Nak, cerita-cerita sama Ito. Dia banyak ngomongin kamu, lho.” Mama menggodaku.

Walau tidak direncanakan, aku melihat percakapan Mama dan Brema mengalir begitu saja. Sebelumnya, mereka tidak pernah bertemu langsung, tapi pernah beberapa kali berbicara lewat telepon saat aku sambungkan, itu pun tidak lama.

Aku lantas masuk ke rumah, beres-beres, dan menyiapkan makan malam. Aku membiarkan Mama dan Brema berbicara berdua.

“Kamu tidak ada rencana membawa Brema kesini?” tanya Mama saat mengembalikan ponselku.

Mama berlalu melihatku yang mengangguk tidak yakin. Pertanyaan mama sungguh diluar dugaanku.

“Kamu tadi ngomong apa sama mama?” Aku kirim pesan pada Brema.

“Aku bilang kalau putrinya tidak akan bisa hidup tanpaku.” balasnya disertai emoji meledek.

Saking penasaran, aku segera menelponnya.

“Tadi nantulang cerita kalau kamu baru selesai berdebat sama papamu. Terus nantulang undang aku ke rumah, katanya biar papamu ngobrol langsung dulu denganku,” jawab Brema atas rasa penasaranku.

“Terus kamu bilang apa?”

“Boleh, Nantulang, tapi Ito belum kasih kesempatan, nih. Begitu jawabku.”

Dalam hati aku membenarkan jawaban Brema. Selama ini aku belum pernah mengajak ia bertemu langsung dengan papa dan mama, aku hanya fokus bagaimana agar papa dan mama percaya dengan semua ceritaku tentang Brema dan menyetujui rencana pernikahanku. Padahal, selain perbedaan suku di antara kami, bisa saja papa dan mama tidak setuju karena belum mengenal Brema.

Bagaimanapun, pertimbangan papa dan mama tentang tantangan dalam pernikahan antar suku ada benarnya. Tidak semudah yang dibayangkan karena masing-masing suku memiliki cara pandang dan kebiasaan sendiri. Dan tanpa disadari, semua itu akan diadopsi oleh anggota suku masing-masing. Jika dua orang dari suku yang berbeda mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan, mereka pasti membutuhkan penyesuaian lebih banyak dibandingkan dengan pasangan lain yang berlatar belakang sama.

Selain penyesuaian antara suami-istri, adaptasi dengan keluarga besar pasangan juga diperlukan. Bagi beberapa suku atau keluarga, sangat lazim untuk ikut mengurus permasalahan yang dialami anggota keluarga lain. Misalnya, sebuah persoalan dalam pernikahan si anak bisa dipandang sebagai urusan seluruh keluarga besar. Ya, batasan privasi tidak selalu diperhatikan, karena begitulah cara menolong sesuai adat yang berlaku dalam suku tersebut. Lebih jauh, cara mereka menyelesaikan persoalan tentu mengikuti kebiasaan adat mereka, di mana apa yang dianggap baik oleh suku tersebut belum tentu baik bagi yang lain. Aku setuju hal-hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan.

“Kalau aku ajak di liburan paskah mendatang, mau?” tanyaku pada Brema.

Brema mengangkat jempolnya pertanda setuju.

Kendati Brema hanya berkunjung sebentar, aku melihat perubahan sikap orang tuaku, terlebih papa. Tidak terlalu besar, tapi aku menangkap adanya sinyal persetujuan dari papa untuk hubungan kami. Hampir sepekan berinteraksi langsung dengan Brema, tampaknya Papa dan Mama juga merasakan hal yang sama denganku mengenai Brema, ia supel dan apa adanya.

“Modal yang dikumpulkan belum banyak Tulang. Ke sini juga rencananya sekalian mengajukan pinjaman lunak.”

Kami terkekeh mendengar jawaban Brema saat papa iseng menanyakan besaran “sinamot” yang ia sanggupi untukku. Meski terkesan bercanda, papa tampaknya senang Brema mau terbuka. Brema juga tidak segan menceritakan beberapa hal yang menjadi ketakutannya saat memintaku menjadi istrinya. Bukan saja tentang perbedaan budaya di antara kami, Brema juga mengaku ada kalanya ia khawatir bagaimana kecukupan kebutuhan rumah tangga kami nantinya, mengingat kami masih sama-sama pegawai kontrak. Untuk kondisi yang terakhir, Brema sudah pernah mengatakannya padaku, namun aku tidak menyangka ia tidak sungkan membagikan hal yang sama pada papa dan mamaku.

Saat itu tidak mudah bagi kami untuk meyakinkan diri masing-masing. Di satu sisi, aku punya “bucket list” untuk pernikahanku, termasuk agar aku dan pasanganku mandiri secara finansial. Sementara akan sangat egois kalau aku hanya menuntut Brema mencukupi semua hal yang menjadi “dream wedding-ku”. Perbedaan sering mewarnai percakapan kami.
“Kayaknya, budget untuk souvenir dan prewedding bisa di-cut,” kata Brema.

“Kamu yakin? Bukannya kamu yang bilang prewedding masuk top of the list karena ada konsep Toba dan Karo yang akan jadi representatif kita?”

Memori obrolan kami sebelumnya terlintas di benakku. Salah satu momen dimana aku mengandalkan mauku, terkesan ngotot. Sebaliknya Brema bersikap lebih tenang.

“Nanti kita bahas lagi ya. Sekalian kita ambil waktu melirik ulang catatan “our dream wedding”, aku banyak lupa sepertinya.” Ia mengingatkanku.

Aku tidak mengingat persis kapan kami memulainya. Selain menikmati banyak hal berdua, aku dan Brema juga punya satu jurnal bersama. Di buku itu, beragam perkara kami catat. Mulai dari remeh temeh seperti ulasan film, makanan atau tempat wisata hingga menyangkut prinsip penting yang kami sepakati harus ada dalam relasi ini.

“Yakin dong, kayaknya kemarin itu aku terlalu memaksakan mauku. Rasanya keren bisa berkunjung dan berfoto langsung di Rumah Bolon dan di Rumah Si Waluh Jabu, dua rumah adat sekaligus. Dipantengin netizen kan pasti kece…….Setelah kupikir-pikir, kalau semua keinginanku dituruti, susah bukan?!” ucapanku seperti bertanya dan menjawab diriku sendiri.

Good! I wonder God, what I’ve done to deserve a wise girl like you.” Senyumnya merekah.

Kendati aku merasa kalimat ini berlebihan, aku juga bersyukur dipertemukan dengan Brema.

***

Perbedaan suku yang aku kira akan mengakhiri relasiku dengan Brema ternyata membuka jalinan hubungan keluarga yang berbeda secara suku. Diam-diam aku memperhatikan Brema berusaha belajar budaya batak Toba, terkhusus bahasanya, agar ia bisa nyambung berbicara dengan papa dan mama. Sama halnya dengan papa dan mama, kini keluarga besarku tidak lagi memintaku menikah dengan paribanku, mereka malah sering mengingatkanku untuk lebih mengakrabkan diri dengan keluarga Brema.

Lagi-lagi aku belajar, ternyata perbedaan tidak selalu jadi alasan untuk tidak bersama, baik dalam relasi kita dengan sesama, berpacaran, pekerjaan, bahkan untuk seluruh kehidupan kita sehari-hari. Lagipula, Alkitab secara konsisten mengajarkan bagaimana semua ras setara karena semua orang telah berbuat berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23), tetapi oleh kasih karunia, orang yang menerima Kristus beroleh anugerah pengampunan. Inilah kuncinya. Dalam mencari dan memilih pasangan hidup, Alkitab mengatakan agar kita mencari pasangan yang seimbang (2 Kor 6:14), yang mengarah pada kesepadanan. Sepadan tak harus seratus persen sama, tetapi berakar kuat pada dasar yang sama: Kristus, dan bertumbuh di dalam-Nya. Kesepadanan itulah yang akan mengikat suatu pasangan untuk hidup setia satu sama lain seraya melayani Tuhan dalam bahtera pernikahan.

Bertemu dan menjalin relasi dengan orang lain tidak selalu mudah, terlebih saat kita menemui banyak hal yang berbeda. Pasang surut tentu saja sering terjadi. Dalam relasiku dengan Brema, ada saat kami merasa perbedaan yang ada tidak jadi penghalang, semua mengalir baik-baik saja, penuh romansa. Pun sebaliknya terkadang gesekan perbedaan yang membuat kami seperti kehilangan makna dari setiap kebersamaan hingga merasa perlu berdiam dan merenungkan kembali apa yang menjadi tujuan hubungan kami. Dalam perjalanan menuju pernikahan, kami terus berusaha meyakini untuk melakukan bagian kami dan percaya bahwa dalam penyertaan-Nya, segala sesuatu akan dicukupkan atas rencana kami (Amsal 16:3).

Soli Deo Gloria

“Aku Gak Suka Dipanggil Si Batak!” Sebuah Kisah tentang Streotip

Oleh Santi Jaya Hutabarat

“Aku tidak suka dipanggil “si Batak”, mamaku menamaiku Togar!” ucapnya kesal setiba di mes.

Aku kaget mendengar reaksinya itu, mengingat saat kejadian sebelumnya dia tidak berkomentar apapun.

“Si Batak tidak usah dikasih mic. Suaranya sudah besar kok sejak orok,” kata salah satu rekan kerja kami saat Togar diminta menyampaikan sambutan untuk teman-teman yang sedang berpuasa. Hari ini ada acara berbuka bersama dengan teman-teman beragama Islam dari tempat kami bekerja.

Menganggap hal itu sebagai gurauan yang biasa saja, kami menyambutnya dengan gelak tawa. Sebaliknya, Togar ternyata merasakan hal berbeda.

Di kantor, Togar terkenal dengan logatnya yang khas serta bicaranya yang kuat. Pria bermarga yang lahir dan dibesarkan di Dolok Sanggul, Sumatera Utara ini, memang bersuku Batak Toba. Jadi, menurutku wajar saja kalau ia dipanggil “si Batak”. Lagipula selama ini kami tidak tahu kalau dia tidak nyaman dengan panggilan dan gurauan kami tentang ke-batakannya itu.

“Aku kan bicara keras tidak dibuat-buat, begitulah caraku ngomong. Janggal kali kurasa kalau pelan-pelan, macam berbisik,” terangnya tanpa kuminta.

“Tapi memang kamu kan orang Batak, mengapa kamu tidak nyaman dipanggil begitu?” tanyaku memberanikan diri.

“Jadi kalau kamu kupanggil Padang “si manusia pelit” mau?” balasnya seperti menyerangku balik.

Aku tertegun. Dalam diam aku memikirkan bagaimana hal yang terkesan sepele ini bisa menyulut emosi Togar. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama dia tidak nyaman dengan stereotip yang kami anggap candaan itu, dan aku yakin rekan kerjaku yang lain juga tidak menyadari hal itu.

Tidak hanya merusak relasi, dalam dampak yang lebih besar, pemberian stereotip juga bisa menimbulkan masalah. Seperti salah satu kasus yang terjadi di 2020 silam. Saat itu, di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam hampir seluruh dunia, perhatian publik tertuju pada kematian pria kulit hitam, George Floyd. Hal ini bermula dari penangkapan dirinya oleh oknum polisi karena diduga melakukan transaksi dengan uang palsu. Derek Chauvin, polisi yang menangkapnya, memborgol kedua tangan Floyd dan menjatuhkannya ke aspal. Ia juga menekan leher Floyd dengan lututnya sampai lemas dan menyebabkan Floyd meninggal dunia di rumah sakit.

Peristiwa George Floyd tidak hanya menggugah kesadaran publik tentang stereotip yang berujung pada tindakan diskriminasi, namun kerusuhan atas aksi demonstran juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Meski tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya stereotip tertentu pada kulit hitam, kejadian ini mengingatkan kita bagaimana pandangan atau stereotip terhadap kelompok tertentu sangat membahayakan. Dalam kejadian ini, seseorang sampai kehilangan nyawanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise. Lebih lanjut didefinisikan bahwa stereotip merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tetap. Stereotip tidak sesederhana pandangan positif maupun negatif pada kelompok tertentu. Penyematan label-label tertentu pada etnis atau ras, gender, kelas sosial, usia, warna kulit, kebangsaan hingga agama tersebut, lahir dari anggapan yang dapat menimbulkan prasangka hingga diskriminasi.

Dalam konteks kehidupan kita sebagai umat Kristen di Indonesia yang sarat dengan perbedaan, beragam stereotip terhadap kelompok tertentu mungkin sudah sering kita dengar. Wajah ber-siku, mudah emosi, ngomong kasar, serta logat yang khas untuk suku batak Toba. Ada juga sebutan “si mata sipit dan kikir” pada etnis Tionghoa, “rambut keriting, kulit hitam” untuk teman-teman dari Timur, “Dang Jolma” (Batak Toba: tidak berkemanusiaan) bagi suku Nias, serta ragam penyebutan untuk suku dan ras lainnya. Di satu sisi penyebutan ini terkadang dianggap candaan, namun di sisi yang berbeda, hal ini juga bisa menimbulkan masalah dalam relasi.

Belajar dari hubungan orang Yahudi dan orang Samaria yang banyak sekat (Yohanes 4:9). Orang Yahudi memandang najis orang Samaria karena nenek moyang mereka yang melakukan kawin campur. Begitu juga orang Samaria menganggap orang Yahudi memegang ajaran yang salah karena berkeyakinan bahwa Taurat dan syariat Yahudi berasal dari Tuhan.

Lebih lanjut, kita juga dapat membaca kisah Natanael dalam Yohanes 1:45-46. “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” tanya Natanael ragu saat Filipus mengaku bertemu dengan Mesias, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret. Tidak ada yang salah dengan Kota Nazaret, namun kota ini tidak pernah disebut sebagai kota asal sang Juru Selamat dalam nubuatan para nabi. Lain hal dengan Kota Betlehem, kota ini sudah dinubuatkan oleh Nabi Mikha bahwa akan bangkit seorang pemimpin bagi Israel (Mikha 5:1). Hal ini juga yang mungkin mendorong keraguan Natanael. Padahal Yesus lahir di kota Daud, Betlehem. Tetapi, demi penggenapan rancangan Allah, Yesus disebut orang Nazaret (Matius 2:23).

Tentang penggolongan, dalam pasalnya yang kedua dari ayat 1 sampai 4, Yakobus mengingatkan agar tidak ada pembedaan dalam hati yang membuat kita memperlakukan orang lain dengan berbeda. Yakobus memberikan nasihat agar tidak menilai dan memperlakukan seseorang berdasarkan penampilan atau kelas sosialnya.

Sama seperti pengalamanku dalam pertemananku dengan Togar, kita tidak pernah bisa mengetahui secara pasti bagaimana stereotip tertentu memberikan dampak bagi orang lain. Bagi sebagian orang, sebutan/panggilan tertentu mungkin terkesan biasa saja, namun untuk sebagian lainnya, penyebutan tersebut menyinggung atau mengganggu.

Yesus pun pernah menjadi korban dari prasangka. Ketika Dia menjumpai seorang perempuan Samaria di sumur Yakub, hal tersebut bukanlah tindakan lazim pada zaman itu, mengingat orang Yahudi tidak bergaul dengan perempuan Samaria. Komunikasi antara pria Yahudi dengan seorang perempuan Samaria tidaklah dibenarkan menurut budaya karena orang Samaria dianggap lebih rendah derajatnya. Belajar dari sikap Yesus yang mematahkan prasangka itu dengan hadir secara langsung dan bercakap dengan si perempuan Samaria, kita bisa memulai dengan belajar mengenal orang lain secara pribadi tanpa embel-embel stereotip tertentu.

Seperti keraguan Natanael yang terjawab setelah ia bertemu dengan Yesus, tentu saja pengenalan kita yang bersifat pribadi tidak boleh kita jadikan sebagai penilaian yang sama pada semua orang, meski mereka berasal dari daerah yang sama atau memiliki latar belakang yang mirip. Lebih dari itu, sebagai anak-anak Allah hendaknya kita juga terus belajar untuk mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37, 39) tanpa membeda-bedakan, sebab kita adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28).

Soli Deo Gloria