Posts

Pahamilah Arti Kasih yang Sejati

Oleh Alvin Nursalim, Jakarta

Sang bapak terlihat lelah, namun semangatnya tidak hilang. Dia mengambil nasi bungkus yang dibelinya di warung di depan rumah sakit dan mencuri waktu untuk makan di samping tempat tidur anaknya. Ketika anaknya mengerang kesakitan, dia dengan sabar mengucapkan kata-kata penyemangat sembari mengelus tangan sang anak.

Bapak itu bukan orang yang asing dengan rumah sakit. Sejak anaknya kecil, dia sudah rutin bolak-balik ke rumah sakit. Anaknya menderita hemofilia, gangguan darah yang mengakibatkan tubuh mudah mengalami pendarahan. Salah satu efek dari penyakit ini adalah gangguan pada sendi-sendi tubuh. Kala si anak beranjak dewasa, penyakit ini tidak sirna, malah serangan pendarahan yang nyeri semakin sering terjanji. Nyeri ini semakin sering jika obat khusus yang menolong pembekuan darah terlambat disuntikkan.

Walau demikian, kedua orangtua dari si anak setia mendampingi proses perawatannya. Sang bapak bukan dari kalangan berada. Proses perawatan dilakukan di bangsal kelas tiga, yang berisi enam pasien dalam satu kamar, bukanlah kondisi yang nyaman bagi pasien dan keluarga yang menjaga. Tetapi, sang ayah rela mengorbankan waktu dan kenyamanannya. Dia bersama istrinya terkadang meringkuk di karpet tipis di samping ranjang.

Begitu besar kasih sayang orangtua pada anaknya. Sakit yang diderita sang anak menjadi kesakitan yang nyata pula, yang turut menyakiti orangtuanya.

* * *

Tiga paragraf di atas adalah sepenggal dari banyak kisah yang kusaksikan dalam keseharianku di rumah sakit. Kala itu aku sedang belajar menjadi dokter dan pengalaman-pengalaman itu membuatku menyadari bahwa yang paling penting selama pendidikanku menjadi seorang dokter bukanlah teori-teori kedokteran, tetapi bagaimana aku bisa berbagi nilai kasih sayang dan kemanusiaan kepada sesamaku.

Kisah sang bapak yang menyayangi anaknya itu menggemakan kembali ingatanku akan kisah yang tertulis dalam Lukas 15, kisah tentang seorang anak yang mengambil harta warisannya, lalu pergi berfoya-foya. Ketika hartanya habis, ia pun mengalami kesusahan. Segala cara ditempuhnya untuk bertahan hidup, sampai akhirnya dia teringat betapa nyamannya kehidupannya dahulu di rumah ayahnya. Dia lantas memberanikan diri untuk pulang. Respons yang mengejutkan terjadi di sini: alih-alih mengusir sang anak karena merasa sakit hati, sang ayah malah menyambutnya dengan pelukan hangat.

Sosok ayah dalam perumpamaan tersebut hendak menunjukkan pada kita akan besarnya kasih Allah. Jika kita bicara tentang Allah, kita tentu akan bicara pula tentang kasih, sebab Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8). Kasih Allah begitu panjang, lebar, dalam, dan tak terselami oleh pemikiran kita. Dan, kasih Allah itu adalah kasih yang kekal dan tidak berubah. Kendati kita seringkali terhilang seperti si anak bungsu yang berfoya-foya, Allah tidak mencampakkan kita. Dia menyambut kita bilamana kita bersedia berpaling dari cara hidup kita yang sesat.

Namun, mungkin yang menjadi pertanyaan kita adalah: bagaimana mungkin kita bisa mempraktikkan kasih yang mulia, seperti yang diteladankan oleh Allah sendiri?

Alkitab dalam 1 Korintus 13:4-8 memberikan gambaran yang lebih spesifik dari kasih yang bisa kita wujud nyatakan:

“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”

Bagiku pribadi, ayat ini terasa begitu dalam. Aku sendiri merenungkan: apakah bisa manusia dengan segala kekurangannya mengasihi dengan standar tersebut? Secara manusiawi mungkin kita berkata mustahil, tetapi sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus, meneladani kasih tersebut bukanlah kemustahilan, sebab barangsiapa di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru (2 Korintus 5:17). Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk hidup kudus dan sesuai dengan kehendak-Nya.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih itu tidak cemburu, kita bisa menerapkannya dalam langkah yang sederhana, semisal tidak membiarkan diri kita jatuh pada iri hati dan tidak puas ketika melihat postingan seorang teman di media sosial.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak bermegah diri dan sombong, kita bisa menahan diri untuk memamerkan pencapaian-pencapaian kita.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, kita bisa menawarkan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, kendati mungkin saat itu kita sendiri merasa lelah atau kekurangan.

Sedikit tindakan kasih yang kita lakukan tentulah tidak sebanding dengan apa yang Allah telah berikan pada kita, tetapi tindakan kasih itulah yang menunjukkan pada dunia bahwa kita telah dikasihi lebih dulu oleh Allah, dan Dia jugalah yang memampukan kita untuk meneruskan kasih itu kepada sesama kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Suatu pertanyaan membekas di hatiku: sungguhkah aku telah berubah? Hidupku tidak terasa wah dan aku jadi gelisah. Namun, lewat satu pertemuan dengan kakak rohaniku, Tuhan memberiku jawaban.

Sebuah Doa yang Mengubahkan Hatiku

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Menjadi orang Kristen sejak lahir tidak menjamin bahwa aku dapat berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Sejak kecil sampai aku masuk kuliah, aku hanya berdoa sebagai kewajiban semata.

Ketika aku akan makan, aku berdoa, “Tuhan, aku mau makan berkati makanan ini, amin.”

Ketika aku akan bepergian dan jika orang tuaku mengingatkan, maka aku akan berdoa dengan cepat, “Tuhan, aku mau pergi. Lindungi aku. Terima kasih. Amin.”

Jika mengingat kembali doa-doaku dulu, rasanya berdoa itu sudah ada template-nya. Aku tidak perlu pusing merangkai kata dan secara otomatis kalimat singkat itu keluar dari mulutku. Aku hanya berpikir, “yang penting aku sudah laporan ke Tuhan dan orang tuaku tidak marah karena aku lupa berdoa”. Tapi, tanpa kusadari, cara doaku yang seperti itu lama-lama membuatku menganggap remeh doa itu sendiri. Bagiku, tanpa berdoa pun sebenarnya Tuhan sudah tahu dan Dia tidak akan marah padaku, sehingga inilah yang membuatku akhirnya acuh tak acuh dengan kehidupan doaku.

Hingga akhirnya, saat aku berumur 23 tahun aku dikecewakan oleh seseorang yang sangat berarti bagiku. Kejadian itu membuatku marah dan berujung menjadi dendam. Sulit rasanya untuk mengampuni saat itu. Selama satu tahun, aku tidak hidup dalam damai sejahtera. Aku tidak bisa tidur, menangis setiap hari, dan mencari pelarian lain sampai akhirnya aku merasa tidak berdaya.

Di tengah ketidakberdayaanku, rasanya aku ingin berdoa dan datang kepada Tuhan. Tapi, entah kenapa meski dulu aku bisa dengan mudah mengucap doa karena seperti ada template-nya, sekarang aku tidak bisa berdoa. Aku tidak tahu caranya berdoa. Bahkan untuk mengucapkan kata-katanya pun aku tidak mengerti. Rasanya asing untuk datang pada Tuhan Yesus.

Namun, kisahku tidak berhenti di situ. Tanpa aku sadari, Tuhan adalah Bapa yang baik, Bapa yang selalu menanti anak-Nya untuk kembali. Ketika aku merasa tidak mampu menghampiri-Nya, Tuhanlah yang terlebih dulu menghampiriku.

Tuhan memakai seorang sahabatku untuk mengingatkanku. Sahabatku berkata, “Yang kamu perlukan untuk berdoa hanyalah hatimu dan lututmu. Bahkan Tuhan menerima air matamu di hadapan-Nya.” Saat itu aku pun mencoba datang pada Tuhan.

Aku menangis sendirian di dalam kamar, menangis sampai rasanya aku tidak sanggup menahannya sendiri. Aku berlutut sambil melipat tanganku. Tidak ada yang aku tutupi di hadapan Tuhan. Selama beberapa saat aku tidak mengucapkan sepatah kata apa pun. Sampai akhirnya, ketika aku mulai berbicara, kalimat awal yang kuucapkan adalah, “Tuhan, aku mau mengampuni. Berikan aku hati untuk mengampuni, karena itu sulit dan menyakitkan.”

Saat itu, mengampuni dia yang telah menyakitiku adalah hal yang sulit untuk kulakukan. Namun, aku percaya jika aku mengizinkan Tuhan hadir dalam hidupku, maka aku dapat melakukannya. Kalimat doa itu aku ucapkan berkali-kali. Namun aku tidak merasa itu seperti sebuah template, aku merasa seperti sedang bercerita kepada Bapa, sampai aku lelah menangis dan akhirnya tertidur. Ketika aku bangun, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Keadaan memang tidak berubah, tetapi ada damai sejahtera di dalam hatiku. Kesedihan yang semula memang masih ada, namun saat itu aku merasakan bahwa doa membuat hatiku tenang.

Doa yang sama kuucapkan, namun aku mengucapkannya dari hatiku. Aku rindu agar aku bisa mengampuni. Sampai akhirnya, saat aku berada di gereja, Tuhan berbicara padaku melalui firman-Nya dalam Yesaya 44:22 yang berkata, “Aku telah menghapus segala dosa pemberontakanmu seperti kabut diterbangkan angin dan segala dosamu seperti awan yang tertiup. Kembalilah kepada-Ku, sebab Aku telah menebus engkau!”

Aku percaya, kekuatan doa mampu mengubahkan segalanya. Bahkan ketika mengampuni kuanggap sebagai hal yang mustahil, nyatanya Tuhan memampukanku untuk melakukannya. Tak hanya itu, Tuhan pun menaruh kasih-Nya padaku agar aku pun dapat mengasihi orang lain.

Sahabatku, yang terpenting saat kita berdoa bukanlah kata-kata yang bagus, tetapi sikap hati yang benar dan murni untuk menghadap kepada-Nya. Jadilah diri sendiri di hadapan-Nya, tak usah ada satu pun hal yang ditutupi. Tuhan adalah Bapa dan sahabat bagi kita. Berbicaralah kepada-Nya selayaknya seorang anak kepada ayahnya, seperti seorang sahabat dengan sahabatnya. Tuhan tidak pernah jauh, Dia selalu ada dekat dengan kita.

Baca Juga:

Berkaca dari Injil Lukas, Inilah Caraku untuk Mengasihi Musuh

Mengasihi musuh adalah perintah Yesus buat kita. Namun, kuakui melakukannya tak semudah mempraktikkannya. Meski begitu, melalui Injil Lukas, aku diingatkan bahwa itu bukan hal yang mustahil. Aku bisa mengikuti teladan Yesus tersebut.

Marvelle Kecil yang Mengajariku Tentang Ketaatan

Oleh Maria Felicia Budijono, Surakarta

“Huaaa… huaaa,” suara tangisan terdengar dari arah tangga. Aku mengenal suara tangisan itu. Marvelle, salah satu muridku yang duduk di kelas 4 berjalan terseok-seok menghampiriku. Air mata membasahi wajahnya.

Sebagai seorang guru, aku tidak tega melihat teman kecilku ini menangis demikian kerasnya. Aku menghampirinya dan bertanya, “Ada apa Marvelle?”

Aku menduga, tangisan Marvelle pasti karena seekor kucing yang ia beri nama Miichan. Beberapa hari belakangan, ada seekor kucing yang berkeliaran di area sekolah. Marvelle senang bermain dengan kucing itu. Dan, ternyata dugaanku benar. Ketika aku menyebutkan nama Miichan, tangisnya semakin keras.

“Kenapa Miichan, Marvelle? Miichannya pergi lagi ya?”

Sambil tetap menangis, Marvelle menjawab dengan terbata-bata, “Aku..aku mau kucing… Tapi nda boleh sama mamaku. Jadi aku nda bisa main sama Miichan lagi.” Aku pun berusaha menghibur Marvelle agar ia dapat lebih tenang.

Tangisan Marvelle siang itu membuat perasaanku campur aduk. Ada rasa terharu, gemas, terenyuh, dan entahlah. Tapi, dari balik tangisannya, aku jadi terpikir akan suatu hal.

Dalam kehidupan kita, ada banyak hal yang “menggiurkan”, yang menarik kita menjauh dari Tuhan. Godaan-godaan dosa mungkin menawarkan hal yang indah dan menyenangkan buat kita. Namun, itu tidaklah menyenangkan hati Tuhan, dan sebenarnya pun tidak baik buat kita.

Tapi, apakah lantas kita memiliki hati seperti Marvelle kecil yang mau taat?

Aku yakin, pasti tidak mudah buat Marvelle mengikuti perintah mamanya. Marvelle begitu menyukai Miichan. Kucing ini tampak menarik dan membuatnya senang setiap kali bermain dengannya. Namun, ketika sang mama akhirnya mengatakan “tidak” untuk bermain dengan kucing ini lagi, pasti Marvelle merasa tidak senang. Marvelle bisa saja melanggar instruksi “tidak” dari mamanya. Toh, kucing itu ada di sekolah, di tempat di mana sang mama tidak ada secara fisik dan mengawasi Marvelle secara langsung.

Tapi, Marvelle—walaupun dengan rasa sedih—dapat mengatakan: “Nda boleh sama mama. Jadi aku tidak bisa main dengan Miichan.”

Di balik rasa sedihnya, Marvelle memilih taat. Ia melakukan apa yang mamanya perintahkan. Aku yakin, bahwa di dalam hatinya, Marvelle tahu bahwa mamanya mengasihi ia. Sehingga, ia pun bersedia taat meskipun mungkin ia sendiri tidak paham mengapa mamanya memerintahkan demikian.

Bagaimana dengan kita? Apakah momen Natal yang baru kita peringati di bulan lalu membuat kita semakin menyadari dan mengingat betapa Allah telah mengasihi kita?

Aku teringat akan perkataan Yesus di malam sebelum Ia ditangkap. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39).

Ketika Yesus lahir ke dunia, Ia tahu bahwa Ia datang untuk sebuah misi: menyelamatkan umat manusia. Dan, Ia pun tahu bahwa Ia akan mati disalibkan. Itu bukanlah hal yang mudah bagi-Nya. Namun, Yesus menunjukkan ketaatan-Nya yang luar biasa.

Di tahun yang baru ini, aku ingin belajar untuk taat sebagaimana Kristus taat kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Dan, aku pun mengucap syukur kepada Bapa untuk kesempatan belajar dari Marvelle, yang menegurku agar aku terus bersedia dibentuk untuk semakin serupa dengan Kristus.

Baca Juga:

Satu Perubahan yang Perlu Dilakukan Sebelum Menjalankan Resolusi

Apakah resolusi tahun baru yang kita buat menyentuh masalah-masalah mendasar dalam hidup kita?

Sebuah Pulang yang Mengubahkanku

Oleh Agustinus Ryanto, Jakarta

Sudah enam tahun terakhir aku tinggal jauh dari rumah karena merantau. Seringkali aku merasa homesick. Tapi, karena latar belakang keluargaku yang broken, pulang bukanlah pilihan yang mudah setiap kali aku merasa homesick.

Sejak aku memutuskan studi dan bekerja di luar kota, hubungan antara ayah dan ibuku berguncang. Ayah yang belum mengenal Tuhan menduakan ibuku. Dia menikahi perempuan lain. Ketika ibuku memberitahuku hal ini, dia menangis, sebab dia bukan hanya kehilangan Ayah, melainkan juga harta benda hasil jerih lelah yang dia upayakan bersama ayahku sejak awal menikah dulu.

Aku tidak tahu harus merespons apa terhadap permasalahan ini. Yang kutahu adalah aku kecewa pada ayahku. Aku harus kuliah sebaik mungkin supaya bisa segera bekerja dan tidak lagi bergantung secara finansial kepadanya. Singkat cerita, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku lulus tepat empat tahun dan diterima bekerja sebelum aku diwisuda.

Setelah bekerja, jarak antara kota tempat perantauanku dengan rumah sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, aku tidak bersemangat untuk pulang. Aku malas jika harus bertemu muka dengan ayahku. Kalaupun aku pulang, motivasi utamaku hanyalah untuk bertemu dengan teman-teman sekolahku dulu.

Sebuah pulang yang tidak terduga

Menjelang libur Imlek yang jatuh di hari Jumat bulan Februari lalu, kantorku memberi kebijakan kepada stafnya untuk pulang kerja lebih cepat di hari Kamis, supaya beberapa staf yang merayakan Imlek bisa bersiap-siap.

“Wah, lumayan, long-weekend nih,” aku bergumam. Aku sudah beride kalau di libur panjang akhir pekan itu aku tidak akan pulang ke rumah. Aku mau beristirahat saja di kos.

Tapi, entah mengapa, aku merasa hatiku tidak tenang. Hati kecilku seolah berbisik, “Ayo, pulang, sebentar saja. Mumpung masih ada kesempatan pulang, pulanglah.”

Jujur, aku enggan untuk pulang. Kutengok tiket kereta api, semuanya ludes. Kulihat tiket travel juga hasilnya sama.

“Masih ada bus kok, ayo pulanglah naik itu,” hati kecilku berbisik lagi.

Aku masih enggan, tapi setelah kupikir-pikir lagi, tidak ada salahnya dengan pulang. Kalaupun nanti aku tidak mau bertemu dengan ayahku, aku bisa pergi ke rumah temanku. Yang penting aku pulang dulu untuk bertegur sapa dengan ibuku, pikirku.

Di hari Kamis, selepas tengah hari, aku pun bergegas ke terminal bus. Setelah sembilan jam perjalanan, aku pun tiba di rumah.

Obrolan yang mengubahkanku

Karena hari itu adalah Imlek, ayahku pun pulang ke rumah. Menjelang tengah malam, saat aku sudah berbaring di kasur, aku mendengar langkah kaki ayahku. Dia berjalan menuju dapur dan bersiap memasak. Selama 25 tahun ini, keluargaku bertahan hidup dengan berjualan makanan yang kami olah sendiri. Ayahkulah yang bertindak sebagai koki utamanya.

Malam itu dia hendak menyiapkan bahan masakan untuk esok. Kutengok dari jendela, lalu aku berjalan menghampirinya. Aku tak tahu apa yang menggerakkanku untuk mendekatinya, karena biasanya aku selalu menghindar untuk mengobrol dengan ayahku.

“Loh, belum tidur kamu?” tanya Ayahku.

“Belum. Aku belum ngantuk.”

Gimana kerjaanmu sekarang?”

Aku terdiam. Pertanyaan ini aneh buatku. Selama enam tahun sejak aku merantau, Ayah tak pernah sekalipun datang menengokku atau sekadar bertanya bagaimana kabarku lewat telepon. Mengapa hari ini dia bertanya begitu padaku, aku jadi bertanya-tanya.

“Ya gitu aja. Senang sih. Tapi sedih karena kalau pulang kerja sepi, gak ada teman.”

“Tahun ini tahun kamu, shiomu kan anjing. Perhitungannya lagi bagus. Kalau kamu mau bikin bisnis sendiri, kamu bisa hoki. Kalau kamu kerja ikut orang, kamu bisa dapet tanggung jawab gede.”

Aku mengangguk meski aku tidak percaya pada hitung-hitungan shio semacam itu.

Bermula dari sekadar basa-basi, tanpa terasa, obrolan itu berlanjut. Aku dan Ayah berbicara tentang banyak hal. Selama enam tahun tak menjalin komunikasi dengannya, Ayah bertutur tentang perjalanan hidupnya, tentang usaha makanannya yang kini merosot, dan bagaimana dia kini terlilit utang karena dia belum bisa terlepas dari dosa judinya.

Setelah dia selesai bertutur, gilirankulah yang bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku di perantauan selama enam tahun. Malam itu, kami berdua untuk pertama kalinya saling berbagi kisah hidup. Saat jam sudah menyentuh angka dua dini hari, aku pamit kepada ayahku untuk tidur duluan.

Di atas kasur, aku tidak langsung tidur. Aku melipat tanganku. Aku tidak percaya bahwa aku bisa duduk berdua dan mengobrol dengan ayahku. Bahkan, dia dululah yang memulai pembicaraan denganku. Melalui obrolan malam itu, aku merasa Tuhan sepertinya menegurku.

Jujur, sejak aku mendengar kabar tentang ayahku yang menikah lagi, aku tidak lagi mendoakan keluargaku pada Tuhan. Kupikir sudah jalan takdirnya keluargaku broken, dan biarlah itu broken sampai akhirnya. Tapi, hari itu ada lilin harapan kembali yang menyala dalamku. Ayahku belum mengenal Tuhan Yesus, dan mungkin inilah yang membuatnya gegabah dalam mengambil langkah kehidupan.

Aku mungkin kecewa dan memutuskan tidak ingin menjalin relasi lagi dengan Ayah. Tapi, aku sadar bahwa bagaimanapun juga, dia adalah ayahku. Terlepas dari status pernikahannya sekarang, yang kutahu tidak pernah ada istilah mantan ayah ataupun mantan anak. Ikatan keluarga itu bersifat permanen. Dan, jika bukan aku yang mulai membuka hati untuk mendekati Ayah, dengan apakah Ayah akan mengenal Tuhan dan diselamatkan? Aku mengimani firman Tuhan yang berkata: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kisah Para Rasul 16:31).

Sekarang aku selalu mendoakan ayahku dan beriman bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah dan ibuku. Aku percaya bahwa meski keluargaku broken, Tuhan bisa menggunakannya untuk kebaikan, seperti ada tertulis bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Dan, imanku perlu diwujudkan dalam perbuatan-perbuatanku sebagaimana firman-Nya berkata: “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26). .

Jika dulu aku pernah mengeluh bahwa Ayah bukanlah ayah yang baik karena tidak pernah mau menjalin komunikasi denganku, kini aku belajar untuk inisiatif duluan berkomunikasi dengannya. Aku mengiriminya SMS, menanyakan kabarnya. Walau dia kadang lama membalasnya dan tidak mengangkat teleponku, kucoba terus lakukan itu. Hingga akhirnya dia pun mau meluangkan sedikit waktunya untuk menjalin komunikasi denganku. Dan, jika dulu aku selalu enggan untuk pulang, kini aku belajar meluangkan waktuku untuk pulang barang sekali dalam beberapa bulan.

Kalau aku mengingat kembali masa di mana aku enggan pulang dulu, aku tak menyangka bahwa kepulanganku di hari Imlek itu dipakai Tuhan untuk mengubahkanku terlebih dulu. Lewat obrolan hangat dengan Ayah, aku jadi mengerti bahwa sesungguhnya peluang komunikasi itu masih terbuka dan harus dirajut. Aku percaya bahwa sebelum keluargaku diubahkan, Tuhan mau akulah yang berubah terlebih dulu. Dia ingin aku tidak lagi memandang ayahku sebagai sesosok yang membuatku kecewa, tapi sebagai seorang di mana aku harus menyatakan kasih Kristus kepadanya.

Kawan, aku tahu kisahku ini belum selesai. Tapi aku percaya bahwa Tuhan masih terus berkarya dalam keluargaku.

Apabila ada di antara kamu yang mengalami keretakan keluarga dan pergi menjauh, aku berdoa kiranya Tuhan memberimu kedamaian hati supaya kamu pun dimampukan untuk pulang barang sejenak dan menjangkau keluargamu dengan kasih.

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Penyelamatan 13 orang yang terperangkap di dalam gua di Thailand adalah misi yang dramatis dan berbahaya. Ketika misi ini berakhir sukses, ada satu hal yang membuatku terperangah dan mengingatkanku akan sebuah pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia.

5 Bulan Jadi Ibu, Aku Semakin Mengenal 3 Sifat Bapa di Sorga Ini

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

14 Juni 2017. Tepat hari itu perjalananku menjadi seorang ibu dimulai. Aku tak pernah tahu apa rasanya menjadi seorang ibu sebelumnya. Ada perasaan berdebar yang kurasakan. “Apakah aku siap untuk menjadi seorang mama?” tanyaku pada diriku sendiri. Namun, di sisi lain aku juga bersemangat ketika melihat bayi perempuanku yang akan memanggilku “mama” ini.

Aku pun memulai babak baru dalam hidupku. Setelah 5 bulan berlalu, ada banyak hal yang berubah dalam hidupku. Salah satunya, pengalamanku sebagai seorang ibu membuatku lebih mengenal hati Bapa di sorga. Setidaknya ada 3 hal berikut yang aku pelajari.

1. Bapa di sorga akan menyediakan kebutuhan anak-anak-Nya

Sebagai seorang ibu, aku ingin sekali memberikan yang terbaik untuk putri kecilku. Sejak dalam kandungan, aku dan suamiku sudah mempersiapkan segala hal yang ia perlukan: mulai dari nama yang menjadi doa kami untuknya, perlengkapan yang kira-kira ia perlukan, sampai dengan tabungan untuk sekolahnya kelak. Semua telah kami persiapkan dengan saksama, dan kami ingin memberikan yang terbaik untuknya.

Suatu hari, aku memperhatikan putri kecilku ketika sedang tertidur lelap. Wajahnya begitu damai. Ia sama sekali tidak perlu khawatir akan hari esok. Ketika ia lapar, aku sudah mempersiapkan makanan untuknya. Ketika ia mulai kedinginan, aku langsung memakaikan pakaian yang lebih hangat untuknya. Ketika kelak ia harus masuk sekolah, aku sudah mempersiapkan dana yang ia perlukan. Tiba-tiba aku terhenyak. Jika aku yang adalah seorang manusia yang penuh kelemahan ini bisa memikirkan sampai sebegitunya untuk putri kecilku, apalagi Bapa di sorga yang begitu setia, sempurna, dan penuh kasih. Tentu Ia telah memikirkan, merencanakan, dan menyediakan semua yang terbaik yang dibutuhkan anak-anak yang dikasihi-Nya. Sama seperti putri kecilku yang tidak perlu khawatir akan hari esok, aku juga tidak perlu khawatir, karena ada Bapa di sorga yang menyediakan kebutuhanku.

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberi yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Matius 7:11).

2. Bapa di sorga kadang mengizinkan kita melewati masa-masa yang tidak nyaman, agar kita bisa belajar dan bertumbuh maksimal

Sebagai seorang ibu, aku tentu ingin putriku mencapai kemampuan maksimalnya. Ketika ia berumur 2 bulan, aku pun memulai latihan otot “tummy time” atau latihan tengkurap. Tummy time ini berfungsi untuk melatih ototnya agar kelak dapat menjadi kuat dan ia mampu merangkak serta berjalan.

Namun, latihan yang sebenarnya baik ini ternyata tidak disukai oleh putriku. Setiap kali aku melatihnya, ia pasti menangis. Mungkin latihan ini tidak nyaman baginya. Ketika melihatnya menangis, aku harus menahan diri untuk tidak mengangkatnya. Aku harus membuat diriku “tega”. Tujuannya tentu agar ia dapat belajar. Jika aku menurutinya dan menghentikan latihan, ia takkan pernah belajar dan proses pertumbuhannya pun akan berjalan lambat dan tidak maksimal.

Pengalaman itu kembali membuatku merenung. Mungkin ada kalanya, Tuhan juga ingin melatih kita dengan mengizinkan hal-hal yang kurang nyaman terjadi dalam hidup kita. Ia ingin kita bisa mencapai pertumbuhan yang maksimal.

Seperti putriku yang menangis ketika latihan, mungkin kita juga mengeluh ketika Tuhan sedang melatih kita. Tetapi Tuhan tetap melanjutkan latihan itu, karena Ia tahu kita sanggup melewatinya (1 Korintus 10:13), dan tanpa latihan itu kita tak dapat belajar dan bertumbuh.

Sekarang, setelah rajin berlatih, putriku tidak menangis lagi ketika tummy time. Sebaliknya, ia malah sudah menguasai kemampuan baru hasil dari latihan tummy time itu, yaitu berguling. Otot kepalanya pun sudah sangat kuat. Pada akhirnya, latihan yang awalnya tidak nyaman itu, menghasilkan buah yang baik ketika kita dengan tekun menjalaninya.

“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” (Yakobus 1:2-4)

3. Bapa di sorga akan tetap mengasihi kita, karena kita adalah anak-anak-Nya

Putriku seringkali rewel. Kadang aku tidak tahu mengapa ia menangis. Kadang ia bisa begitu sulit untuk dimengerti. Namun, seberapa pun rewelnya putriku, aku tidak bisa tidak mengasihinya. Aku percaya, begitu pula kasih Bapa kita yang di sorga kepada kita. Tak peduli seberapa nakalnya kita di masa lalu, Ia tetap mengasihi kita, karena kita adalah anak-anak-Nya. Ketika kita datang kepada-Nya dan mengakui dosa kita, Ia akan mengampuni segala dosa kita (1 Yohanes 1:9).

“Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” (Yesaya 49:15)

* * *

Aku percaya, segala kesempatan yang Allah berikan, termasuk juga pengalaman menjadi orangtua, dapat membuat kita semakin mengenal-Nya. Dengan menjadi seorang ibu, aku jadi semakin mengenal sifat Allah dan semakin mengerti kasih-Nya. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan akan kesempatan yang Ia berikan untukku menjadi seorang ibu bagi putri kecilku: Joanna.

Baca Juga:

3 Hal Tentang Bersyukur yang Harus Kamu Ketahui

Bersyukur adalah hal sederhana yang untuk mempraktikkannya tak semudah mengucapkannya. Namun, di bulan ini maukah kamu bergabung denganku untuk mengucap syukur kepada Allah atas hal-hal yang berbeda setiap harinya?