Posts

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Biasalah warga +62”

Kalimat itu tertulis di sebuah stiker WA. Ketika seorang teman berkata atau berbuat sesuatu yang menurutku udik, stiker tersebut jadi respons yang kurasa pas. Tapi, meski cuma candaan, tanpa kusadari aku melabeli “warga +62” atau warga negara Indonesia sebagai pihak yang kurang tahu sopan santun atau kampungan. Tidak berusaha membenarkan diri, namun aku melihat bukan hanya aku yang melakukannya.

Lebih lanjut, ketika melihat berita mengenai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, seringkali aku melihat komentar di sosial media yang kurang mengenakkan. Kritik dan kekecewaan terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia datang dari berbagai penjuru. Kemelut, konflik, dan debat-debat di kolom komentar tidak bisa dihindari hingga terkadang membacanya membuatku menghela napas.

Pernahkah terpikir oleh kita mengapa kita lahir sebagai orang Indonesia pada waktu seperti ini?

Menjadi Nehemia bagi Indonesia

Nehemia bin Hakhalya merupakan orang Yahudi yang dibuang ke Persia dan bekerja sebagai juru minuman Raja Artahsasta I (raja Persia) di Puri Susan. Suatu hari ia mendengar kabar mengenai Yerusalem, kampung halamannya; dan kondisi orang-orang Yahudi yang terluput, yang terhindar dari penawanan dari salah seorang dari saudara dari Yehuda.

“Orang-orang yang masih tinggal di daerah sana, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar.”

(Nehemia 1:3)

Ketika Nehemia mendengar berita itu, dia duduk menangis dan berkabung selama beberapa hari. Nehemia kemudian berpuasa dan berdoa kepada Allah untuk memohon pengampunan atas dosanya, kaum keluarganya, serta bangsanya; dan memohon belas kasihan Allah untuk memulihkan bangsanya. Tidak berhenti di situ, Nehemia kemudian kembali ke kampung halamannya untuk membangun kembali Tembok Yerusalem, sebuah tindakan yang nekad namun penuh dengan kasih untuk bangsanya. Perlu diingat kembali bahwa sebagai seorang juru minuman raja yang tinggal di istana, Nehemia sebenarnya telah hidup dalam zona nyaman. Namun, Nehemia memutuskan untuk menginggalkan segala kenyamanan dan kemapanannya untuk melakukan sesuatu bagi bangsa yang dikasihinya.

Mungkin sebagian dari kita, seperti Nehemia, hidup dalam kenyamanan dan privilese yang kadang membuat kita terlena dan merasa aman. Kenyamanan menumpulkan indera-indera kita; membuat kita seringkali abai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini: budaya korupsi yang mengakar, penegakan hukum dan keadilan yang seolah mati suri, kemiskinan di mana-mana, keagamaan yang serba formalitas belaka, serta kekerasan dan intoleransi yang dibiarkan saja. Kita berpikir bahwa masalah-masalah ini hanya ada di dunia maya dan tidak bersentuhan langsung dengan kita dalam kehidupan nyata. Kita mungkin bekerja pada sektor yang “tidak menantang”, sehingga kita berpikir bahwa urusan untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas bukanlah bagian kita, bahkan mungkin kita yang berhadapan kondisi-kondisi tersebut, cenderung memilih untuk mengambil tempat yang aman dan bekerja secara mekanik: datang ke kantor setiap pagi, mengerjakan bagian kita sebisanya, kemudian pulang ke rumah dan melupakan apa pun yang terjadi di kantor hari ini. Yang penting pekerjaan selesai, yang penting aku tidak berbuat curang.

Namun, orang Kristen tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala (Matius 10:16a). Dalam anugerah Tuhan, masing-masing kita diberikan bagian untuk berkarya untuk sesuatu yang lebih besar daripada atasan atau instansi/perusahaan tempat kita bekerja; kita dipanggil untuk mengerjakan misi Allah bagi dunia di dalam pekerjaan kita.

“Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.

(Ester 4:13-14)

Seperti Nehemia dalam jabatannya sebagai juru minuman raja di istana atau Ester dalam jabatannya sebagai ratu, kita dipanggil dalam profesi kita untuk berkontribusi menghadirkan shalom di dunia. Dalam kedaulatan Tuhanlah Nehemia dan Ester memiliki jabatan yang strategis pada waktu tantangan besar sedang terjadi, sehingga Nehemia dan Ester dapat membuat perubahan. Sama seperti Nehemia dan Ester, kita dipanggil untuk merespons panggilan Allah secara spesifik bagi hidup kita, untuk berani keluar dari “cangkang kenyamanan” dan mau berjuang bagi bangsa kita.

Mewujudkan shalom tidak melulu bicara soal transformasi besar-besaran pada sebuah bangsa atau komunitas. Shalom yang adalah damai sejahtera, keadaan di mana Allah berkuasa, dapat kita hadirkan ketika kita bersedia melihat dengan hati dan melayani setiap orang yang kita jumpai dengan sepenuh hati. Ketika seorang guru mengajar muridnya, ketika seorang dokter mengobati pasiennya, ketika seorang petugas kebersihan menjaga lingkungan tetap asri, Allah dapat memakai setiap buah pekerjaan itu bagi kemuliaan-Nya.

Jika Engkau Mempunyai Mata, Maka Melihatlah

“Jika engkau mempunyai mata, maka melihatlah” adalah salah satu judul bab dalam Buku Vision of Vocation (Panggilan untuk Mengenal dan Mengasihi Dunia) oleh Steven Garber. Judul bab ini (tentu beserta isinya) menghantuiku—mengguncangku untuk membuka mata dan telinga selebar-lebarnya terhadap lingkungan sekitar. Aku tahu bahwa kondisi Indonesia jauh dari kata ideal, tapi apakah aku benar-benar “tahu”? Aku melihat ketidakadilan dan kemiskinan di depan mata, tapi apakah aku benar-benar “melihat”? Bagaimana denganmu? Apakah kamu “melihatnya”?

“Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

(Yeremia 29:7)

Kita tidak perlu menjadi pejabat publik atau posisi strategis lain untuk mengambil bagian dalam membangun bangsa dan negara kita. Panggilan atau pekerjaan apa pun yang Tuhan percayakan bagi kita; apabila kita menyadari bahwa kita mengerjakannya untuk Tuhan demi menghadirkan kesejahteraan bagi negara ini, maka kita telah menjadi bagian dalam pekerjaan Tuhan bagi Indonesia.

Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk menjadi Nehemia-Nehemia, Ester-Ester, dan Daniel-Daniel di masa kini. Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk sungguh-sungguh melihat, sungguh-sungguh berdoa, dan sungguh-sungguh berkarya bagi Tuhan, Bangsa Indonesia, dan sesama.

Soli Deo Gloria.

May we be a people, a people mending broken lives
Giving hope to broken world by the grace of God
May we be a people, a people serving God and man
Bringing love and dignity, in Jesus’ Name
(lirik bait kedua Bring Your Healing to The Nation – Liz Pass dan David Pass)

Semoga kita menjadi umat yang dapat memperbaiki hidup yang rusak
Memberi harapan bagi dunia yang rusak dalam kasih karunia Tuhan
Semoga kita menjadi umat yang melayani Tuhan dan manusia
Membagikan cinta dan martabat, di dalam nama Tuhan Yesus

div style=”line-height: 20px; background-color: #dff2f9; padding: 20px;”>Baca Juga:

Lima, Dua, Satu

Ketika Tuhan memberi talenta dengan jumlah yang berbeda, banyak orang berpikir Dia tidak adil. Mengapa tidak dibuat sama? Mengapa harus berbeda?

Menjaga Toleransi di Tengah-Tengah Masyarakat yang Majemuk

Oleh Josua Martua Sitorus, Palembang

Aku sangat bersyukur sekaligus bangga diciptakan Tuhan sebagai orang Indonesia, bangsa yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam membuatku belajar untuk memahami bahwa pola pikir setiap orang berbeda-beda karena terbentuk dari latar belakang yang berbeda pula. Indahnya hidup toleransi di tengah keberagaman ini kurasakan ketika memasuki dunia perkuliahan.

Merantau ke kota Bandung, aku bertemu dengan teman-teman baru yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia, tentunya dengan latar belakang mereka yang beragam. Pengalaman ini terbilang baru bagiku karena selama bersekolah di Sumatera Utara, hampir semua teman-temanku memiliki latar belakang budaya dan agama yang sama denganku. Dalam lingkungan pergaulanku yang dilingkupi sikap toleransi, aku belum pernah menemui masalah yang berarti meskipun aku tergolong minoritas. Kami saling membantu dalam menyelesaikan tanggung jawab perkuliahan sampai akhirnya berhasil lulus bersama-sama. Perbedaan tidaklah menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin persahabatan yang saling membangun.

Ayat Alkitab yang selalu menjadi peganganku untuk menjalani kehidupan yang toleran adalah Matius 22:37-39, yaitu tentang kasih.

Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Ayat ini mengingatkanku bahwa mengasihi sesama manusia sama nilainya dengan mengasihi Tuhan Allah. Mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi yang akan memampukan kita untuk mengasihi sesama. Jika kita mengasihi Tuhan, kita pasti ingin menyenangkan hati Tuhan dengan melakukan kehendak-Nya dan meneladani kebaikan-Nya. Sama seperti Allah yang tidak memandang bulu (Roma 2:11, Ulangan 10:17), bersikap toleran sudah sepatutnya kita lakukan sebagai anak-anak-Nya.

Mengelola perbedaan dengan sikap toleransi bisa jadi merupakan sebuah tantangan. Berangkat dari pengalamanku, setidaknya ada tiga hal yang dapat diterapkan untuk hidup di tengah keberagaman.

Menerima Perbedaan

Aku mempunyai sahabat yang berasal dari Jayapura. Berhasil memperoleh beasiswa, ia berkuliah di tempat yang sama denganku. Ia banyak bercerita tentang betapa berbedanya kehidupan di Jayapura dan kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan di sana dengan dunia perkuliahan di Bandung. Bukan hanya budaya, bahasa, dan pergaulan saja yang harus ia terima, sistem pendidikan yang baru pun harus ia jalankan. Namun, ia tidak pernah mengeluh. Ia belajar untuk menerima keadaan yang baru secara positif dan percaya bahwa Tuhan akan menolongnya sampai akhir.

Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. – 2 Timotius 3:17

Tuhan menciptakan setiap manusia secara unik, dengan segala karakteristik, potensi, dan bakat masing-masing. Toleransi tidak hanya bersinggungan dengan agama dan budaya, tetapi juga perihal menghargai keunikan setiap individu! Kita perlu memaknai maksud Allah yang mulia dalam menghadirkan perbedaan, yaitu agar kita semua dapat saling melengkapi dalam melakukan pekerjaan Tuhan di dunia sesuai dengan panggilan masing-masing.

Menyesuaikan Diri

Sikap toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, melainkan juga soal bagaimana kita mampu menyesuaikan diri. Seperti kata pepatah “di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung”, kita harus bisa beradaptasi dengan budaya di mana kita berada.

Setiap budaya tentunya memiliki perbedaan norma. Aku yang lahir dan besar di Sumatera Utara yang sudah terbiasa berbicara dengan suara yang keras, belajar menyesuaikan diri dengan budaya Sunda yang ketika berbicara dengan cenderung menggunakan suara yang pelan dan halus agar suasana lebih kondusif dan dapat diterima.

Dalam 3 Yohanes 1:5, Tuhan mengingatkan kita untuk senantiasa mencerminkan diri sebagai orang percaya terhadap siapapun dengan latar belakang apapun, “…sekalipun mereka adalah orang-orang asing”. Dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, kita dapat diterima dimanapun Tuhan menempatkan kita.

Menjadi Berkat

Di manapun, kapanpun, dan terhadap siapapun, hendaklah motivasi kita dalam bertindak adalah untuk membagikan kasih Yesus yang sudah kita nikmati setiap hari sehingga dapat menjadi berkat bagi sesama. Sikap toleransi membuat kita dapat membantu dan mendukung sesama kita ketika mereka sedang dalam kesusahan, tanpa memandang perbedaan yang ada. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk tidak lagi menjadi kendala ketika hidup kita dipimpin oleh Tuhan, yang adalah kasih itu sendiri.

Kita semua dianugerahi kesempatan berharga menjadi Warga Negara Indonesia untuk menjadi garam dan terang bagi bangsa ini tanpa terkecuali. Dengan belajar menerapkan sikap toleransi, kiranya semakin banyak orang yang dapat merasakan kasih Kristus melalui sikap hidup kita! Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Dalam Yesus, Ada Harapan bagi Keluargaku

Seisi keluargaku telah menerima Tuhan Yesus, namun ayahku belum. Aku sempat pesimis jika Tuhan akan menjamah hati ayahku untuk mau menerima-Nya, tetapi Tuhan telah bekerja, dan Tuhan mengasihi ayahku.

Pemilu 2019: Saatnya Lakukan Tanggung Jawab Kita

Oleh Bungaran Gultom, Jakarta

Guys, besok kita akan melaksanakan Pemilu loh. Mungkin ada sebagian dari kita yang pertama kali mengikuti pesta demokrasi yang diadakan tiap lima tahun sekali ini. Melalui tayangan televisi, baliho, atau spanduk-spanduk yang menampilkan sosok para politisi dan slogan partai-partai politik, euforia pemilu terasa sekali.

Meski begitu, kadang semua itu malah membuat kita bingung. Belum lagi jika kita mengikuti banyak perdebatan yang berujung caci maki di media sosial, mungkin kita jadi bertanya: pemilu kok begini banget sih?

Santai, guys. Proses untuk menjadi sebuah bangsa yang matang dalam berdemokrasi memang bukanlah proses yang sebentar. Untuk memahami bahwa demokrasi adalah dari, oleh, dan untuk rakyat itu sama sekali tidak mudah, apalagi dalam konteks Indonesia yang beragam. Namun, kematangan dalam berdemokrasi sangat diperlukan, karena kalau tidak setiap kelompok masyarakat akan menuntut agar kepentingan mereka yang harus didahulukan atau diprioritaskan. Bisa dibayangkan betapa chaos alias kacaunya kondisi bangsa ini jika hal itu sampai terjadi, kan? Nah, karena itulah kita perlu terlibat agar nantinya kita menjadi bangsa yang matang dalam berdemokrasi. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan ikut pemilu.

Ada dua jenis pemilihan. Pertama, pemilihan legislatif, kita memilih orang-orang yang akan mewakili kita di parlemen. Kedua, pemilihan presiden dan wakilnya. Dua orang ini kelak akan menentukan seperti apa bangsa kita. Bayangkanlah jika orang-orang yang terpilih kelak adalah orang yang tidak kompeten, mungkin sulit sekali bagi negeri kita untuk maju.

Setiap orang memiliki dua pilihan: menggunakan hak suara mereka, atau tidak. Keduanya adalah hak masing-masing individu. Tetapi, cobalah jujur: sebenarnya kita ingin bangsa ini dipimpin oleh orang yang kompeten atau tidak? Meski tiap kita punya preferensinya masing-masing, tetapi kita tentu berharap memiliki pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab pada tugasnya.

Bagaimana caranya agar mereka yang kompeten dan jujur bisa muncul dan terpilih untuk mewakili kita di pemerintahan nanti? Cara paling sederhananya adalah dengan memilih atau mencoblos di bilik pemungutan suara nanti. Tapi, sebelum itu dilakukan, kita perlu rajin-rajin mencari tahu tentang orang-orang yang mencalonkan diri tersebut. Dan, tak kalah penting adalah kita mencari tahunya dari sumber yang terpercaya.

Bagaimana jika akhirnya upaya yang kita lakukan sia-sia dan orang yang terpilih adalah politisi-politisi yang tidak kompeten? Aku berharap hal itu dijauhkan dari kita, tetapi jika itu terjadi, maka kita tidak perlu tawar hati, karena Allah berdaulat dalam kehidupan bangsa-bangsa. Kedaulatan Allah berlaku atas semua pemerintahan yang dipilih-Nya (baca Roma 13:1). Kedaulatan Allah ini menjadi pengharapan yang kuat bagi kita, bahwa Allah yang tetap memegang kendali atas semua pemerintahan di bumi ini. Tanggung jawab kita adalah memilih anggota parlemen, presiden, dan wakilnya yang kompeten, jujur, dan mau mengabdi bagi bangsa ini. Inilah yang harus jadi karakteristik nomor satu, yang harus menjadi alasan kita dalam memilih mereka.

Masih tersisa satu hari lagi sebelum pemilu dilaksanakan besok. Bagi kamu yang belum tahu siapa yang hendak kamu pilih, masih ada kesempatan untukmu untuk menggali informasi yang valid tentang para kandidat yang kelak jika terpilih akan duduk di pemerintahan.

Selamat melaksanakan pesta demokrasi!

Baca Juga:

Belajar dari Nehemia dan Ester: Mencintai Bangsa melalui Doa dan Tindakan

“Seberapa greget kamu mencintai Indonesia?

Ketika mendengar pertanyaan itu, mungkin kamu akan menjawab dengan berbagai kalimat ala generasi millenial yang akhir-akhir ini sedang hits. Tapi, benarkah kamu segreget itu dalam mencintai Indonesia? Atau, jangan-jangan nama Indonesia tidak masuk dalam daftar sesuatu yang kamu cintai?”

Doaku untuk Indonesia

Oleh Agustinus Ryanto, Jakarta

Tuhan, aku bersyukur atas bangsa Indonesia yang hari ini memperingati kemerdekaan-Nya.
Aku bersyukur atas segala kekayaan alam yang Kau limpahkan di negeri ini.
Pun, aku bersyukur atas segala keragaman yang Kau karuniakan di bangsa ini.

Namun, Tuhan, di balik segala hal baik yang tampak menghiasi negeriku, aku melihat ada banyak hal buruk yang tidak berkenan kepada-Mu terjadi di sini. Di balik kekayaan alamnya, ada orang-orang yang hidupnya terjerat dalam kemiskinan. Di balik keragaman yang menjadikan bangsa ini kaya, ada perseteruan-perseteruan yang meruncing karena tidak ada saling pengertian.

Tuhan, kadang aku merasa sedih dan ingin menutup mataku dari segala hal yang tampak buruk tersebut.

Tapi, ingatkan aku Tuhan, bahwa Engkau tidak pernah berhenti mengasihi Indonesia. Maka, sudah seharusnya pula aku terus belajar untuk mengasihi bangsaku.

Ajar aku untuk selalu mendoakan bangsaku, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanku (Yeremia 29:7).

Ajar aku untuk menghormati pemimpin-pemimpinku, sebab merekalah yang Engkau tetapkan untuk memerintah bangsa ini (Roma 13:1).

Aku percaya, Tuhan, bahwa ketika aku dan umat-Mu bersama-sama bertekun mencari wajah-Mu dan merendahkan diri di hadapan-Mu, serta berbalik dari jalan-jalan kami yang jahat, Engkau mendengar seruan kami dan kiranya Engkau berkenan untuk memulihkan negeri kami.

Terima kasih ya Tuhan. Dalam nama Yesus.

Amin.

Baca Juga:

Sekelumit Kisahku Ketika Menghadapi Depresi dalam Pekerjaan

Aku sadar bahwa tak peduli seberapa banyak uang yang bisa kuraih, atau seberapa potensial pekerjaan yang kugeluti, aku telah tiba di titik di mana kalau aku melanjutkannya, aku akan melukai kesehatan mentalku.