Posts

Bahasa Cinta: Lebih dari Sekadar Kata

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Ajarilah kami bahasa cinta-Mu
Agar kami dekat pada-Mu ya Tuhanku
Ajarilah kami bahasa cinta-Mu
Agar kami dekat pada-Mu

Sebagian besar dari kita mungkin tidak asing dengan penggalan lirik lagu di atas. Namun, pernahkah kita berpikir: bagaimana sih bahasa cinta itu? Bagaimana kita bisa mempelajarinya? Dan, mengapa bahasa cinta bisa menolong kita lebih dekat pada Tuhan?

Ketika kita belajar bahasa, pasti kita akan diajarkan juga tentang aturan baku tata bahasa. Misalnya, ketika kita belajar bahasa Indonesia, kita diajak untuk mengenal susunan kalimat yang baik, yang terdiri dari subyek, predikat, obyek, dan keterangan (S-P-O-K), juga tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Atau, ketika kita belajar bahas Inggris, kita turut juga belajar tentang grammar dan vocabulary. Ketika kita sudah fasih mengaplikasikan bahasa yang kita pelajari, maka kita bisa dianggap berhasil mempelajarinya. Lantas, bagaimana dengan bahasa cinta?

Dr. Gary Chapman, seorang pendeta senior di Calvary Baptist Church, di Amerika Serikat pernah menulis buku yang membahas tentang 5 Love Languages alias 5 Bahasa Cinta. Dalam bukunya, beliau menjelaskan bahwa setidaknya ada lima bahasa cinta yang dimiliki manusia. Ketika kubaca ringkasan buku tersebut yang sudah banyak beredar di berbagai website, kupikir apa yang ditulis Dr. Gary Chapman tentunya sudah terlebih dahulu diteladankan oleh Tuhan Yesus, karena Dialah sumber kasih tersebut.

Inilah lima bahasa kasih dan teladan Kristus:

1. Words of affirmation (kata-kata penguatan)

Dalam beberapa kisah, Yesus memberi teladan bagaimana Dia melontarkan kata-kata yang membangun. Ketika murid-murid meminta-Nya untuk mengusir wanita yang meminta tolong pada-Nya dengan berteriak, Yesus tidak lantas memperlakukan wanita itu dengan kasar. Yang Yesus katakan adalah kalimat penghargaan kepadanya, “Hai ibu, besar imanmu maka jadilah padamu seperti yang kaukehendaki” (Matius 15:28).

Kalimat pujian, kalimat penghargaan, atau ucapan terima kasih adalah contoh dari kalimat yang membangun. Namun, kalimat yang membangun juga tidak selalu harus berupa pujian atau penghargaan, melainkan bisa juga berupa teguran. Amsal 27:5 mengatakan, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi”. Mengasihi bukan berarti membiarkan seseorang terus menerus melakukan kesalahan. Teguran adalah salah satu bukti kasih yang nyata. Namun, hendaknya kita menegur dengan kata-kata yang membangun, bukan dengan cacian atau kata-kata yang menjatuhkan.

2. Quality time (waktu yang berkualitas)

Menghabiskan waktu bersama orang yang kita kasihi tentu adalah hal yang sangat menyenangkan. Orang-orang yang kita kasihi pun tentu berharap kita dapat menyediakan waktu bersama mereka.

Di tengah pelayanan-Nya dari satu kota ke kota lain, Yesus tetap menyediakan waktu berkualitas untuk membangun kedekatan dengan murid-murid-Nya. Di beberapa perikop, disebutkan bahwa ada waktu-waktu di mana Yesus makan bersama dengan murid-murid-Nya dan berbincang bersama mereka (Yohanes 21:20; Lukas 7:49; Yohanes 13:2).

Terkadang pekerjaan maupun pelayanan kita membuat kita lupa bahwa ada orang-orang di sekitar kita—pasangan, orang tua, anak, saudara, maupun sahabat—yang menunggu untuk sekadar mengobrol atau beraktivitas dengan kita. Yuk sediakan waktu terbaik sebagai wujud kasih kita, karena waktu adalah salah satu pemberian terbaik yang bisa kita berikan kepada orang-orang yang kita kasihi.

3. Receiving gifts (menerima hadiah)

Menerima sebuah hadiah adalah salah satu cara yang membuat kita merasa dikasihi.

Ketika menerima hadiah, mungkin kita tak asing apabila si pemberi mengatakan, “Ini hadiah untukmu, jangan dilihat dari harganya ya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa makna dari pemberian hadiah lebih penting dari harga sebuah barang yang menjadi hadiah tersebut. Hadiah memang identik dengan pemberian barang, namun bagi Zakheus dan seorang perempuan sundal, hadiah memiliki makna yang lebih dalam daripada sebuah barang. Mereka merasa dikasihi Yesus bukan karena hadiah berwujud barang, namun hadiah yang berwujud penerimaan (Lukas 19:1-10; Lukas 7:36-50). Mengasihi seseorang berarti kita mampu menerima mereka apa adanya dengan kesadaran bahwa setiap manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:26), itulah salah satu hadiah terbaik yang bisa kita berikan.

4. Acts of service (tindakan melayani)

Tindakan melayani tentu menjadi hal yang sangat kita teladani dari Yesus, salah satu tindakan pelayanan-Nya adalah ketika Dia membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:5). Yesus menunjukkan bagaimana Dia mengasihi murid-murid-Nya. Dia yang disebut sebagai rabi, namun tidak menempatkan diri-Nya untuk selalu dilayani. Mungkin kita memiliki jabatan, status sosial, atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari orang lain, namun ini bukanlah alasan bagi kita untuk tidak melayani.

Tindakan melayani bisa kita lakukan mulai dari hal-hal sederhana, misalnya saat sedang makan bersama, kita menolong teman, pasangan, atau orang tua kita mengambilkan makanan, dan segudang hal sederhana lainnya.

5. Physical touch (sentuhan fisik)

Yesus juga memberikan teladan bahwa kasih dapat diwujudkan melalui sentuhan fisik. Yesus memeluk anak-anak yang dibawa kepada-Nya pada saat Dia sedang mengajar (Markus 10:16). Sentuhan bisa menjadi wujud kehadiran kita secara nyata untuk orang-orang yang kita kasihi, dan dalam kondisi tertentu sentuhan bisa mengungkapkan hal-hal yang lebih dari sebatas kata-kata.

* * *

Belajar tentang bahasa cinta tentu tidak terbatas pada lima bentuk yang dituliskan Dr. Gary Chapman. Ada banyak bentuk bahasa cinta yang telah diteladankan oleh Yesus. Semakin kita mengenal Yesus, maka akan semakin banyak pula perbendaharaan bentuk bahasa cinta yang bisa kita teladani untuk mengungkapkan kasih kita kepada orang-orang sekitar. Dengan demikian, kita pun akan semakin dekat dengan Kristus seperti yang diungkapkan dalam penggalan lagu “Bahasa Cinta”.

“Barangsiapa mengasihi Allah, ia juga harus mengasihi saudaranya” (1 Yohanes 4:21).

Baca Juga:

Dalam Kegagalanku, Rencana Tuhan Tidak Pernah Gagal

“Gagal”, kata ini hinggap di pikiranku hingga aku berpikir untuk tidak usah kuliah saja setelah SMA. Namun, keluarga dan orang-orang terdekatku tidak menyerah menyemangatiku. Aku ingat sahabatku berkata, “ke mana pun kita coba lari dari hadapan-Nya, Dia pasti akan menaruh kita di tempat yang memang sudah Dia pilih.”