Posts

Mengapa Harus Tunggu Nanti?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Anita melirik notifikasi pesan di ponselnya.
Pesan sama yang muncul tepat jam 08.00 setiap pagi.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 22 November 2022: Kisah Para Rasul 15-16.

“Ok. Akan kubaca nanti kalau sempat,” janji Anita setelah membaca pesan itu. Namun biasanya dia tidak pernah sempat. Sebagai desainer interior yang baru mulai bergabung dengan salah satu perusahaan besar, tugas dan tanggung jawab Anita tidaklah kecil. Meski usianya baru menginjak pertengahan 20-an, pengalaman kerja Anita cukup banyak mengingat dia sudah mulai bekerja sebagai freelancer sejak kuliah. Maka tidak heran bila Anita dipercayai untuk berbicara dengan beberapa klien penting, dan sketsa desainnya cukup diminati oleh atasan dan para kliennya. Anita juga menyukai tantangan untuk memenuhi kebutuhan klien sesuai standar perusahannya. Karena itu, bekerja dengan durasi sesuai jam kantor tidak akan cukup bagi Anita. Waktu seakan tidak pernah cukup untuk pekerjaannya, apalagi melakukan hal lain.

Anita baru sampai lagi di rumah saat malam pekat sudah menyapa. Orang-orang serumah pun sudah tidur. Hanya keheningan yang terdengar. Setelah mandi, Anita akan merebahkan badannya yang lelah dan baru membalas pesan-pesan dalam ponselnya. Kembali dia membaca sekilas pesan yang diterimanya tadi pagi.

Dengan menguap, Anita bergumam, “Oh, iya. Baca Alkitab. Tapi… aku ngantuk. Besok saja, ya Tuhan. Tentu Kau tidak ingin aku membaca dengan tidak fokus, bukan?” Ponsel itu diletakkan dan dia segera tidur.

Keesokan pagi, pesan yang sama muncul kembali dengan bacaan Alkitab yang berbeda. Kadang Anita merasa kagum pada sie kerohanian di gerejanya. Setiap hari dengan setia, dia mengirimkan pesan di grup obrolan gereja. Mengingatkan setiap orang untuk membaca Alkitabnya. Sedikit perasaan bersalah menghinggapi Anita ketika menyadari dia tidak pernah membaca Alkitabnya lagi.

Bukannya Anita tidak pernah berusaha membaca Alkitab. Salah satu resolusi akhir tahun lalu yang dia tuliskan adalah membaca Alkitab setiap hari. Dengan tekad bulat, dia berjanji akan melakukannya. Apalagi gereja menyediakan fasilitas reminder dengan mengirimkan pesan bacaan Alkitab setiap hari dalam grup obrolan gereja, Anita merasa dia mampu melakukannya. Dan dia memang dengan setia melakukannya bahkan dia berhasil menyelesaikan kitab Imamat yang buat sebagian besar orang sulit dibaca.

Namun, ketika Anita diterima bekerja dan beban pekerjaan mulai menekannya, kebiasaan membaca Alkitab setiap pagi perlahan jadi hilang. Anita masih bangun pagi seperti kebiasaannya, namun sekarang dia berangkat kerja lebih awal. Bahkan sarapan pun tidak sempat, karena mengejar waktu untuk sampai di kantor sepagi mungkin.

Awal-awal kerja dia masih mengusahakan buat membaca Alkitab setelah pulang kerja, namun dia tidak kuasa menahan kantuk. Pikirnya, “lebih baik aku tidur sebentar, nanti aku baru lanjut baca lagi”, tapi ternyata dia baru bangun keesokan paginya.

Bukannya Anita pasrah begitu saja dengan keadaan. Pernah dia memaksa diri membaca Alkitab meskipun sudah ngantuk berat. Tapi, yang namanya halangan selalu ada-ada saja. Baru saja dia membaca sebentar, ponselnya berbunyi. Atasannya menghubunginya.

“Pasti ini yang penting,” pikirnya.

Benar rupanya. Di luar jam kerja pun, masih ada sederet kerjaan penting yang didelegasikan buatnya. Begitu dia meletakkan ponselnya, dia langsung memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Dan… pembacaan Alkitab pun terlupakan.

Hasrat untuk membaca Alkitab masih belum padam, namun terus tertunda, sampai pada akhirnya Anita tidak lagi berusaha membaca Alkitab sama sekali.

Sambil diliputi sedikit rasa bersalah, Anita berdoa: “Tuhan, Engkau pasti mengerti kesibukan kerjaku. Aku akan baca kalau sudah tidak sibuk.”

Sementara kesibukan kerja Anita terus berjalan, pesan pengingat pembacaan Alkitab pun selalu muncul setiap pagi tanpa absen.

Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 2 Desember 2022: 1 Korintus 12-14.

Notifikasi ini tak lagi mengundang urgensi. “Ah…sudah Desember ya. Kalau begitu, nanti saja di awal tahun, aku mulai baca.” Pikirnya tahun ini sudah hampir habis, lebih baik keputusan baca Alkitab lebih tepat dijadikan resolusi tahun depan saja. Sekaligus ini bisa jadi bahan refleksi buat ibadah akhir tahun di gereja.

Sejak pikiran itu muncul, semua pesan pengingat diabaikannya karena toh nanti semua akan dimulai dari awal lagi. Fokus Anita bergeser sepenuhnya pada pekerjaannya yang makin hari makin sibuk. Klien-klien berdatangan sampai akhir pekan pun harus dipakai buat kerja.

Seminggu sebelum tahun berganti, akhirnya ada waktu liburan yang diberikan kepada semua karyawan. Dia lalu berencana liburan ke luar kota bersama keluarga. Saat dia mencari rekomendasi tempat wisata di ponselnya, muncullah notifikasi yang sudah lama tidak digubrisnya.

Selamat Natal.
Mengapa harus tunggu nanti?
Sudahkah kamu membaca Alkitab hari ini?
Bacaan 26 Desember 2022 : 1 Yohanes 1-5.

Anita membaca pesan itu. Pesan biasa, yang saking terlalu biasanya tak lagi dibacanya. Tapi, hari itu ada sesuatu yang menyentaknya. Mengapa harus tunggu nanti?

Anita merasa pernah mendengar kalimat itu, tetapi di mana dan kapan? Oh, iya. Bukankah itu tema khotbah Natal kemarin? Dengan sederhana, hamba Tuhan dalam khotbahnya menyampaikan banyak orang tidak mau percaya kepada Tuhan Yesus dengan alasan masih banyak waktu. Nanti saja percaya kepada Tuhan Yesus jika sudah mau meninggal. Tetapi, tidak ada yang tahu kapan manusia akan meninggal. Jangan sampai terlambat.

Cuplikan khotbah itu bergema kuat di pikiran Anita. Memang dia sudah percaya Tuhan Yesus sehingga tak perlu takut lagi akan keselamatannya, tapi hati kecilnya berbicara lembut kalau ada pesan lain yang ingin disampaikan dari khotbah itu.

Sebagian orang menunggu untuk dapat percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada yang sudah percaya namun juga masih menunggu. Salah satunya menunggu untuk menaati perintah-Nya, menunggu untuk membangun relasi yang intim dengan-Nya, menunggu untuk berani menyerahkan segala yang ada dalam hidupnya untuk jadi kepunyaan Allah.

Perenungan ini menuntun Anita pada pertanyaan, apakah dia juga menunggu untuk taat? Teringat olehnya pembacaan Alkitab itu. Ah…ya. Bukankah dia terus menundanya? Bahkan dia bertekad menunggu sampai awal tahun. Mengapa harus tunggu nanti? Pesan itu muncul kembali dalam benaknya. Mengapa harus menunggu? Mengapa tidak mulai saja sekarang?

Alasan klasiknya adalah selalu tentang tidak ada waktu. “Sekarang, bukankah aku ada waktu? Mengapa aku harus menunggu sampai awal tahun? Mengapa tidak sekarang saja?”

Tersentak oleh kesadaran baru yang diterimanya, Anita segera meletakkan ponselnya, meraih Alkitab dan mulai membuka 1 Yohanes. “…jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain…

Ayat ini mengalir pelan, menyusuri dinding-dinding hati Anita yang tebal tetapi lelah dihujam oleh segudang pekerjaan dan tuntutan. Ada bagian-bagian dari surat Yohanes yang kurang dapat dia mengerti, tapi dia terus membacanya. Ada setitik rasa lega yang terselip bahwa dia bisa memulai kembali membaca Alkitanya.

Sekarang bagaimana agar dia bisa meneruskannya? Anita mulai memikirkan strategi yang harus dia lakukan, terutama jika kesibukan kerja kembali menghampirinya lagi. Dia tahu dia perlu belajar memprioritaskan kembali apa yang paling penting dalam hidupnya.

Membaca Alkitab bukanlah ritual belaka, tetapi ini menunjukkan apa yang kita tempatkan pertama dan utama di hati kita. Memilih untuk memberi waktu terbaik buat Tuhan dan merenungkan sabda-Nya ibarat memberi air dan pupuk pada sebuah tanaman. Jika teratur dilakukan, maka tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.

“Tuhan, ampunilah aku yang berdosa ini. Tuntunlah aku untuk hidup seturut yang Engkau kehendaki. Amin.”

5 Tips Saat Teduh Anti Mager!

Bulan ketiga di tahun 2021 sudah hampir berlalu, adakah yang saat teduhnya masih konsisten dan tidak absen?

Menjaga kekonsistenan saat teduh kadang terasa sulit. Kadang kita terjebak dalam kesibukan, atau tak jarang juga rasa malas yang kita pelihara membuat kita jadi lupa dan enggan bersaat teduh. Yuk kita bangun kembali semangat untuk berelasi erat dengan Tuhan!

Apa saja tipsmu untuk tetap semangat bersaat teduh?

Hanya Sekadar Baca Alkitab Tidaklah Cukup

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reading The Bible Did Not Make Me A Better Christian

Suatu pagi asisten rumah tanggaku tidak sengaja mendengarku berdiskusi dengan suamiku dan dia salah paham. Dia pikir aku sedang membicarakan hal-hal buruk tentangnya. Akibatnya, sepanjang pagi itu sikapnya kepadaku jadi dingin.

Untuk menghangatkan suasana, aku mengklarifikasi kejadian itu. Namun, apa yang kulakukan malah membuatnya bersikap makin buruk. Dia membantah ucapanku. Emosiku terpicu, nada bicaraku jadi meninggi dan kata-kata yang kurang baik keluar dari mulutku. Dia lalu keceplosan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Setelahnya, dia bergegas ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kata-katanya seperti tamparan di wajahku. Tadi pagi aku baru saja baca Alkitab. Namun, ketika kesalahpahaman muncul, aku menyerah pada pencobaan dan meresponsnya dengan marah. Aku terdiam.

Sungguhkah aku mencerminkan Kristus?

Aku pun pergi mandi, tapi apa yang barusan terjadi terulang-ulang di kepalaku. “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Kata-kata itu seolah bermakna begini buatku: “Kamu tidak ada bedanya sama orang yang tidak percaya. Firman Tuhan tidak berdampak apa-apa di hidupmu!” Pernyataan itu membuatku serasa dihakimi. Aku merasa bersalah karena telah gagal menunjukkan Kristus padanya.

Ketika dia membantahku pertama kali, ada bisikan dalam hatiku, “Maafkan! Maafkan! Aku harus jadi terang yang bersinar di tengah kegalapan hatinya”. Aku coba arahkan pandanganku kepada Tuhan dan mengingat ayat dari Matius 18:21-22 yang berkata agar kita memaafkan orang lain. Namun, aku gagal, dan kemudian aku kehilangan kesabaran dan pengendalian diri. Aku tidak mencerminkan Kristus sebagaimana aku seharusnya.

Membaca Alkitab tanpa mengizinkan Roh Kudus bekerja dalam hidupku, aku tak ubahnya orang Farisi yang mempelajari Alkitab dengan rajin, tapi menolak datang kepada Yesus (Yohanes 5:39-40).

Apakah asisten rumah tanggaku melihatku sebagai pengikut Kristus? Kupikir tidak. Kata-katanya yang dia ucapkan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Dunia seringkali melihat kita sebagai pengikut Kristus dari buah-buah yang kita hasilkan. Nada bicaraku yang tinggi dan kasar tidak mencerminkan Kristus dalamku. Buah-buah roh—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri—absen dari diriku.

Tuhan memampukanku

Aku merasa kacau, tidak benar, dan tidak layak mendapatkan kasih Tuhan, hingga kemudian aku teringat bahwa aku dibenarkan bukan karena perbuatanku sendiri, melainkan oleh Tuhan—penebusan-Nya di kayu salib (2 Korintus 5:21). Tuhan membenarkanku dari dosa-dosaku ketika aku tidak layak mendapatkannya, dan aku mendapatkan itu hanya karena iman.

Setelah ditebus-Nya, aku tahu aku harus menyingkirkan kebanggaan diriku sendiri dan mengundang Roh Kudus untuk bekerja dengan penuh kuasa dalam hidupku. Dengan pertolongan Roh Kudus, aku bisa menghasilkan buah roh berupa kesabaran dan kasih untuk orang-orang di sekitarku, sehingga ketika aku berkata-kata, kata-kata yang kukeluarkan adalah yang membangun.

Sejak Yesus menebus dosaku, aku diampuni-Nya dan diberi kemerdekaan untuk menghidupi hidupku. Aku bisa mengusahakan pengampunan terhadap asisten rumah tanggaku. Yang menghalangiku untuk melakukannya adalah ego dan pembenaran diriku sendiri, yang seharusnya sudah dipaku oleh Kristus di atas kayu salib.

Dengan pemahaman ini, aku punya cukup keberanian untuk mengampuni dan berdamai dengan asisten rumah tanggaku. Aku duduk berdua dengannya, dan dengan suara tenang, kami meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi sampai kami mendapatkan pemahaman bersama.

Tanpa Tuhan yang telah menunjukkanku kebenaran, anugerah, dan belas kasihan, aku tak akan mampu melakukan ini semua. Seiring aku berusaha menghidupi imanku, aku terus mengingat bahwa upayaku membaca Alkitab hanya akan menghasilkan hafalan semata, dan aku tidak akan pernah jadi murid yang sejati jika aku tidak mengarahkan pandanganku kepada Tuhan dan apa yang diinginkan-Nya bagiku.

Baca Juga:

Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang

Natal sudah berlalu, namun beberapa waktu belakangan, tema Natal “Hiduplah Sebagai Sahabat Bagi Semua Orang” terus terngiang-ngiang di benakku. Tema itu terdengar baik, tapi sekaligus juga seperti utopis bagiku.