Posts

Memperbarui Resolusi Setiap Hari

Oleh: Melody Tjan

Have-you-given-up-on-your-new-year-resolutions

Mungkin kamu pernah mendengar ungkapan, “Keledai saja tidak akan jatuh pada lubang yang sama.” Pada dasarnya ungkapan ini hendak mendorong kita untuk belajar dari kesalahan, jangan sampai mengulang kebodohan yang sama. Tapi, jujur saja, bukankah sering kita mendapati diri kita mengulangi kegagalan yang serupa dengan tahun-tahun sebelumnya?

Aku teringat duduk di dalam kelompok kecil setiap tahun baru tiba, menuliskan resolusi kami dalam berbagai bidang kehidupan. Kami menuliskan harapan yang indah dan tekad yang hebat, seperti:

Aku ingin memperbaiki HPdT dengan menata lagi waktu teduhku secara teratur.
Aku mau olahraga tiap hari untuk menjaga tubuh yang Tuhan berikan tetap sehat.”
Aku akan menabung lebih banyak dan mengurangi belanja.”
Aku bertekad membaca seluruh Alkitab selama tahun ini.”
Aku mau membagikan Kristus di lingkungan tempat tinggalku.”
Aku ingin bertumbuh menjadi orang yang lebih sabar dan penuh kasih.”
Aku tidak akan menunda-nunda pekerjaan.
Aku ingin lebih cepat mendengarkan dan lebih lambat untuk bicara atau marah-marah.

Lalu, dalam beberapa minggu berikutnya, kami akan nyengir sambil membagikan perjuangan kami menjalankan resolusi masing-masing. Kami punya banyak alasan pemaaf yang baik. Urusan keluarga yang banyak. Tidak punya cukup waktu. Terlalu banyak beban kerja. Hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi tanpa diduga. Kami menghadapi orang-orang yang sulit. Tiap kali kami bertemu, kami punya banyak alasan baru. Entah bagaimana, semangat tahun baru kami menguap dengan cepat seiring dengan mulai datangnya berbagai tugas dan masalah baru. Tanpa diminta, tidak ada lagi yang membicarakan soal resolusi tahun baru dalam pertemuan-pertemuan sesudahnya. Setidaknya sampai tahun baru kembali tiba, dan pemimpin kami membagikan lagi lembar resolusi tahun baru untuk diisi.

Aku tidak tahu apa yang menjadi pengalamanmu. Tetapi kandasnya resolusi-resolusi yang pernah aku buat (dan gagalnya lebih dari sekali), sangat mudah menyurutkan semangatku pribadi. Aku tahu aku seharusnya berusaha hidup serupa Kristus, menjadi teladan bagi sesama, tetapi faktanya, aku sangat mudah menyimpang, sangat mudah jatuh. Menyedihkan sekali! Selama beberapa tahun kemudian aku menyerah, berhenti membuat resolusi. Untuk apa membuat rencana-rencana hebat jika sudah jelas nanti akan gagal juga? Kita hidup dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, tidak ada yang sempurna. Jadi, tak perlulah berpikir panjang, nikmati saja apa yang ada di depanmu.

Tapi, Tuhan baik! Firman-Nya mengingatkan kita bahwa kegagalan tak seharusnya menghalangi kita membuat resolusi untuk melakukan apa yang baik, apa yang dapat menolong kita untuk bertumbuh dalam kedewasaan rohani. Rasul Paulus yang punya hasrat besar untuk mengenal Kristus lebih dalam dan melayani-Nya secara total pun mendapati dirinya pernah gagal. Ia telah mengajar orang untuk bersukacita di dalam Tuhan, beriman kepada-Nya, dan menghidupi panggilan-Nya. Namun, ia mengakui bahwa itu tidak berarti ia sendiri sudah sempurna dalam semua itu (Flp. 3:12). Tempatkan diri kita pada posisi Paulus. Resolusi yang ia buat untuk mengikuti Kristus telah menggantikan reputasinya yang hebat dengan deraan cambuk dan borgol di penjara (bandingkan Flp.3:4-7). Belum lagi ia harus menghadapi rasa iri dan permusuhan dari orang-orang yang seharusnya menolongnya sebagai saudara-saudara seiman (Flp.1:15). Sangat bisa dimaklumi jika Paulus memilih untuk menyerah dan menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja. Tetapi, sepertinya Paulus membuat resolusi baru setiap hari karena ia bertekad untuk: “melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.” (Flp.3:13). Paulus mengarahkan pandangannya pada sukacita besar yang telah disediakan Allah dalam anugerah-Nya di masa yang akan datang: “[Aku] .. berlari-lari pada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Paulus tidak membiarkan kegagalan melumpuhkan semangatnya. Ia terus berlari maju karena ia yakin bahwa tujuan-tujuan Allah dalam dirinya pasti akan digenapi. Tuhan akan menyediakan anugerah yang cukup untuk setiap hari yang ia jalani!

Apa pun situasi yang kita hadapi, mari memperbarui komitmen kita (atau buatlah sebuah komitmen baru) di hadapan Tuhan. Tuliskan. Tempelkan di tempat yang mudah dilihat tiap hari. Bila perlu, tambahkan catatan kecil seperti yang kudapatkan dari seorang pendeta berikut: “Jika aku gagal, aku tidak akan berkubang dalam keputusasaan. Aku akan menyemangati diriku dalam kasih karunia Allah, bertobat, dan memulai lagi.” Mari menjadi orang-orang Kristen yang bersemangat tahun ini! Bersemangat mengejar keserupaan dengan Kristus sepanjang 365 hari ke depan. Kita mungkin pernah gagal di babak sebelumnya. Namun, jangan biarkan kegagalan melumpuhkan kita. Ambil waktu untuk membuat resolusi baru dan arahkan pandangan kita pada anugerah Allah, pada upah besar yang telah disediakan-Nya bagi setiap orang yang setia hingga akhir!

Dia Hadir … dan Memberi Anugerah!

Oleh: Leokristi

dia-hadir

Mungkin kamu merasa hari-harimu adalah hari-hari biasa. Tidak ada yang istimewa. Kamu bangun pagi, siap-siap ke sekolah (atau kerja), mengerjakan tugas, ngobrol dengan temen, begitu seterusnya tiap hari. Semua yang terjadi ya memang sudah sewajarnya terjadi.

Itulah yang kurasakan selama bertahun-tahun. Masa sekolahku adalah masa yang tak jauh berbeda seperti anak-anak pada umumnya. Sejak TK, SD, SMP hingga SMA aku bersekolah di sekolah swasta bersama dengan kakak perempuanku, putri dari saudara perempuan ibuku. Usia kami sama, hanya saja aku dua bulan lebih muda darinya. Saat TK, SD, dan SMP kami satu sekolah, bahkan satu kelas, hanya saja saat SMP kami berbeda kelas. Hingga akhirnya Ujian Nasional untuk SMP tiba. Kami lulus bersama, namun dengan hasil yang berbeda. Nilai kakakku ada jauh di atas nilaiku. Hal ini yang membuatnya dapat bersekolah di SMA Negeri, sedangkan aku hanya dapat bersekolah di SMA swasta. Mungkin kelihatannya sepele. Tetapi tidak bagiku. Aku cukup terpukul dan merasa minder saat itu. Selama ini aku merasa lebih baik dari kakakku. Nilai-nilai ujian harianku biasanya selalu di atas kakak perempuanku. Namun, kali ini, aku kalah. Aku tidak bisa meraih apa yang aku inginkan.

Hari-hari awalku di SMA terasa sangat berat. Suatu hari aku membaca Alkitab, dan aku sampai pada firman Tuhan yang berkata “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya.” (Matius 21:22). Setiap malam aku membaca ayat ini, aku tulis dalam secarik kertas, aku ucapkan dengan mulutku. Aku seperti mensugesti diriku sendiri berdasarkan ayat firman Tuhan ini dengan mengatakan, “aku akan memperoleh apa yang aku minta kepada Tuhan asalkan aku berdoa dengan penuh kepercayaan kepada Allah”. Setiap malam, sebelum aku tidur aku berdoa “Tuhan izinkanlah aku untuk masuk sekolah negeri”. Aku bahkan pernah menulis impianku ini dalam catatan harianku.

Hari pun berlalu. Dan aku mulai melupakan doa yang pernah aku ucapkan di awal masuk SMA itu. Bertahun-tahun tumbuh di lingkungan sekolah berlatar belakang Kristen dan Katolik, aku tentu saja percaya bahwa Tuhan itu ada. Aku berdoa dan membaca Alkitab. Tetapi, apakah Tuhan benar-benar mendengarkan? Entahlah… Aku tidak berani berharap banyak. Masa SMA-ku pun berjalan seperti biasa, normal seperti anak SMA pada umumnya. Pada tahun terakhir, aku mendapat tawaran dan dorongan dari guru BP-ku untuk mengisi sebuah formulir pendaftaran dan membuat surat lamaran untuk masuk universitas melalui jalur PMDK atau masa itu disebut PSSB. Sekali lagi aku tidak berani berharap banyak. Takut kecewa.

Namun, Tuhan memakai momen itu untuk mengajarku bahwa Dia sungguh ada, Dia memegang kendali atas hidupku, dan Dia memperhatikan kerinduan hatiku.

Beberapa waktu kemudian, di luar dugaan, aku diberitahu bahwa aku diterima di sebuah universitas negeri di Semarang. Aku tertegun. Rasanya sangat luar biasa. Ini anugerah! Hadiah yang tak terbayangkan! Pemberian yang sangat hebat! Saat teman-teman lain masih bingung harus meneruskan ke mana, aku sudah dinyatakan diterima masuk ke universitas negeri yang pernah kuimpikan. Betapa hatiku melimpah dengan ucapan syukur.

Ya, hari-hari kita bisa saja terasa datar. Kita menaikkan doa-doa kita setiap hari tanpa ada sesuatu yang istimewa terjadi. Kita lalu ragu apakah Tuhan benar menyertai dan memperhatikan hidup kita. Sebagian orang bahkan mungkin berhenti berdoa dan akhirnya meninggalkan Tuhan. Kenyataannya, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Memang tak selalu Dia menjawab doa menurut waktu dan cara yang kita tentukan. Itu karena Dia Tuhan! Dia tahu apa yang dilakukan-Nya! Kita saja yang kadang-kadang merasa lebih tahu dari Tuhan, dan bahkan mungkin mencoba mengatur Tuhan kapan dan bagaimana Dia harus menjawab doa-doa kita. Lucu ya? Padahal, Allah kita adalah Allah yang Mahabijak dan Mahakuasa, Mahabaik dan Mahapemurah. Jelas Dia tahu hal terbaik yang kita perlukan!

Seandainya Tuhan langsung memberikan apa yang aku inginkan, mungkin saja sampai hari ini aku tidak memahami apa artinya anugerah. Mungkin aku akan merasa sudah sewajarnya aku meraih semua yang aku peroleh, karena aku berusaha keras untuk itu. Mungkin aku akan selalu merasa diri lebih baik dari orang lain dan tidak mengandalkan Tuhan. Mungkin aku akan menjalani hari-hariku begitu saja tanpa ucapan syukur dari hati. Namun, dengan mengizinkanku mengalami kegagalan dan kekecewaan, Tuhan mengajarku untuk melihat setiap hari dan setiap kesempatan sebagai anugerah yang tak ternilai dari-Nya.

GitaKaMu: Kau Besertaku

Berapa banyak kaum muda yang putus asa dalam hidup ini?

Menurut riset Universitas Indonesia, penyebab kematian tertinggi kedua pada kelompok usia 10-24 tahun di Indonesia adalah bunuh diri, karena putus asa dengan hidupnya. Sungguh tragis bahwa kaum muda yang seharusnya penuh dengan gairah hidup dan harapan akan masa depan, pada faktanya justru banyak terpuruk dalam rasa putus asa, dan tidak tahu harus berbuat apa dengan hidupnya. Sebagian kaum muda mungkin tidak sampai bunuh diri, tetapi merasa kehidupan begitu berat dan tidak berpihak kepadanya. Kaum muda Kristen pun bisa mengalami hal yang sama. Merasa sudah melayani Tuhan sedemikian rupa, tetapi seringkali merasa Tuhan tidak membalas “kebaikan” mereka, dan bahkan membiarkan mereka tidak berdaya menghadapi hidup ini.

Betapa perlu kaum muda mendengarkan apa yang dikatakan Alkitab.
Hidup ini bukan berpusat pada kita!

“Segala sesuatu adalah dari Dia [Tuhan], dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36).

Tuhan tidak eksis karena kita dan untuk kita! Sebaliknya, kita eksis karena Dia dan untuk Dia! Di tengah dunia yang sudah jatuh dalam kegelapan dosa, tantangan dan kesulitan sudah pasti akan dihadapi semua orang, bukan hanya kita seorang! Tetapi, Tuhan telah menyelamatkan kita oleh Kristus. Dia memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, untuk memberitakan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar (1 Petrus 2:9). Jadi, pertanyaannya bukan, “Mengapa semua ini terjadi kepadaku?” melainkan, “Bagaimana Tuhan akan memakai semua hal yang terjadi di hidupku untuk menyatakan kemuliaan-Nya?”

Ketika pencobaan datang, mari hadapi dengan berani. Katakan tidak pada perilaku berdosa! Katakan tidak pada keputusasaan! Bapa kita di surga kita lebih berkuasa dari semua itu, dan Dia memegang tangan anak-anak-Nya saat menjalani hidup yang penuh tantangan ini. Kepada setiap kita yang percaya kepada-Nya, Dia berjanji: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu.” (1 Korintus 10:13)

Lagu dari rekan-rekan muda yang tergabung dalam kelompok BOG berikut ini kiranya menjadi pengingat dan penyemangatmu untuk bangkit dari kelesuan hidup, dan terus melangkah maju bersama Tuhan di tahun yang baru ini!

Kau Besertaku

Bait 1:
Saat pencobaan datang
Menghadang dan mengguncang hidupku
Namun satu yang ku ta’u
Tangan-Mu ‘kan memegang aku

Bait 2:
Semua hal yang ku hadapi
Tak lebih dari kekuatanku
Hanya satu yang ku pegang
Kau tak ‘kan membiarkan aku

Refrain:
Ku kan maju dengan-Mu Tuhan
Ku kan berlari pada-Mu
Ku tak takut dan ku tenang dalam-Mu
Kar’na ku percaya Kau besertaku
(Yesus Kau besertaku)

Bridge:
Kau Allah yang setia
Dan ku menyembah-Mu
Kau Allah yang setia
Ajaib selamanya

 
Tentang BOG

BOG (Bless Our Generation) adalah bagian dari tim pujian dan penyembahan BOG-youth yang merupakan youth church dari GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia) IMMANUEL Garut. Misi utama kami adalah mengajak generasi muda makin dekat dan makin radikal menjalani hidup menurut ajaran Juruselamat kita, Yesus Kristus.

Kami memulai pelayanan kami sejak tahun 2007 dan bersyukur kami bisa tetap berkarya sampai hari ini. Tuhan meletakkan kerinduan di hati setiap kami untuk hidup lebih dekat dengan Tuhan dan menjadi alat yang berguna di tangan-Nya. Kami kemudian dipersatukan Tuhan untuk bersama melayani kaum muda di gereja kami dalam sebuah tim yang kami namakan Blessing Our Generation (BOG). Sesuai namanya, kami ingin segenap hidup dan karya kami dapat memberkati generasi kami. Kami ingin mengajak rekan-rekan muda untuk bangkit menjadi teladan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, dan kesucian hidup, sebagaimana Firman Tuhan dalam 1 Timotius 4:12. Teladan yang demikian, kami yakini, akan menerangi dunia yang gelap ini dan mengarahkan orang kepada Tuhan.

Dalam anugerah Tuhan, kami juga telah berkesempatan melayani kaum muda di tiga gereja dan tiga kota: BSD, Tasik, dan Tegal. Namun, kami tak ingin berpuas diri. Kami ingin terus bertumbuh di dalam dan melalui pelayanan ini sepanjang hidup kami. Doakan agar kami dapat terus membawa kabar sukacita dan berkat bagi generasi muda melalui karya-karya musik kami.

Aku (Ternyata Tidak) Bodoh

Oleh: Helen Maria Veronica
(adaptasi dari artikel Oktober 2014: Ditolong Oleh Firman)
aku-tyt-tidak-bodoh

Tahun baru. Semua orang tentunya berharap tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, pernahkah kamu tak berani lagi untuk berharap, karena merasa situasimu tak mungkin berubah? Tuhan memang sudah mengaturnya demikian. Kamu kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Aku pernah kehilangan harapan untuk berubah.

Aku kecewa karena aku merasa diciptakan Tuhan sebagai seorang yang bodoh. Nilai-nilaiku di sekolah sejak kelas 1 SD selalu banyak merahnya. Sempat mencoba les, tetapi sia-sia, nilaiku tetap saja jelek. Sampai-sampai, guruku sendiri pun menyebutku sebagai anak yang bodoh. Sakit rasanya dicap sebagai orang bodoh. Aku jadi mudah patah semangat dan sering mengeluh karena merasa diriku tidak bisa apa-apa. Mungkin karena putus asa membayariku les tanpa hasil, orangtuaku memutuskan agar aku berhenti saja. Jadi, aku mulai belajar sendiri di rumah dengan dibantu mama.

Melihat teman-teman yang punya ranking di kelas, aku sering merasa iri. Mengapa Tuhan ciptakan mereka pintar dan aku bodoh? Diam-diam aku suka mengamati teman-temanku yang pintar. Betapa aku ingin menjadi seperti mereka. Aku perhatikan kebiasaan mereka, gerak-gerik mereka, untuk aku tirukan. Ketika aku mendengar teman yang pintar suka makan banyak protein seperti ikan dan telur, aku pun ikut suka makan ikan dan telur supaya pintar seperti mereka. Ketika aku melihat teman yang pintar mengelap keringat di keningnya dengan gaya tertentu (dan ia bilang bahwa cara itu bisa membuat pikiran lebih encer), aku pun sering menirukannya. Ada sisi positifnya, karena aku yang tadinya malas jadi mulai rajin belajar, yang tadinya pilih-pilih makanan jadi suka makan banyak makanan berprotein. Nilaiku mulai membaik meski masih naik turun tak jelas. Namun, sekalipun lebih sering belajar, tetap saja aku masih merasa bodoh. Sepertinya sia-sia berusaha, karena aku merasa memang aku ini diciptakan sebagai orang bodoh. Mau apa lagi?

Lalu, suatu saat aku mendengar kesaksian yang mengatakan bahwa membaca Alkitab tiap hari dapat membuat orang menjadi pintar dan berhikmat. Wow, tentu saja aku mau mencobanya. Aku pun mendisiplin diri untuk membaca Alkitab. Meski hanya berawal dari rasa penasaran, Tuhan memakai waktu-waktu pembacaan Alkitab itu untuk menyapaku secara pribadi. Dia berfirman dalam Matius 11:28: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Tuhan sungguh tahu bahwa menjalani hidup di dunia ini tidaklah mudah, termasuk untuk seorang anak muda seperti aku. Apalagi dengan tekanan dari orang-orang di sekelilingku yang menganggap aku bodoh. Tuhan memberiku undangan untuk datang kepada-Nya. Aku tidak perlu menanggung semua beban hidup ini sendirian.

Tuhan juga meluruskan pikiranku tentang apa yang sebenarnya disebut sebagai orang bodoh. Amsal 1:7 berkata “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang yang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Tidak ada yang diciptakan Tuhan sebagai orang bodoh. Semua orang diberi-Nya kemampuan untuk belajar. Orang bodoh adalah orang yang “menghina hikmat dan didikan” alias tidak mau belajar atau tidak merasa butuh diajar. Sebaliknya, orang yang takut akan Tuhan menyadari keterbatasannya dan bersedia dituntun Tuhan untuk belajar hal-hal baru. Ayat Alkitab ini sangat menguatkanku dan terus aku ingat dalam menghadapi tiap masalah dalam pelajaran.

Aku mulai menyadari bahwa selama ini pikiranku terlalu penuh dengan keluhan dan sakit hati pada Tuhan dan orang-orang di sekitarku. Aku jadi tidak bisa melihat kebaikan Tuhan dan kesempatan-kesempatan belajar yang Dia sediakan. Ketika aku membaca Alkitab secara teratur, Tuhan menolongku untuk melihat masalah-masalahku dari sudut pandang-Nya. Dengan pikiran yang diperbarui itu, aku pun bisa belajar tanpa beban, yakin bahwa Tuhan punya rencana bagi hidupku yang indah pada waktu-Nya. Aku jadi semangat belajar, tahu bahwa Tuhan sesungguhnya tidak pernah menciptakanku sebagai orang bodoh. Tidak hanya nilaiku yang berubah, tetapi juga cara pandangku terhadap Tuhan, terhadap diriku sendiri, dan terhadap orang lain.

Salah satu kata motivasi yang pernah kudengar adalah: “terimalah apa yang tidak bisa kamu ubah, dan ubahlah apa yang tidak bisa kamu terima”. Adakalanya kita kecewa karena hal-hal yang memang tidak bisa kita ubah. Misalnya: bagaimana orang lain memahami dan memperlakukan kita. Menghadapi hal-hal semacam itu, kita dapat bersandar pada janji Tuhan bahwa Dia dapat bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, membentuk kita makin serupa Kristus (Roma 8:28). Adakalanya juga, kekecewaan kita muncul dari hal-hal yang sebenarnya bisa dan perlu kita ubah. Misalnya: pemikiran kita yang keliru, kebiasaan-kebiasaan buruk kita, pengetahuan atau keterampilan kita yang kurang. Jadi, jangan pernah putus harap! Di tahun yang baru ini, mari kita terus mendekat dan melekat pada Firman Tuhan. Tuhan akan memperbarui pola pikir dan sikap hidup kita melalui Firman-Nya!

Apa Resolusi Tahun Barumu?

Selamat Tahun Baru! Apa yang menjadi resolusimu tahun ini? Video berikut menawarkan cara yang SMART untuk memastikan resolusimu bisa terlaksana dengan baik.

 
 

Sumber:
ODJ: Don’t Diss Resolutions
ODB: Help from His Spirit

Menyadari Keajaiban Setiap Hari

Oleh: Charles Christian

keajaiban-setiap-hari

Sejak tahun 2014, salah satu resolusi tahun baruku adalah mencatat semua perjalananku sepanjang tahun. Secara sengaja aku berusaha menuliskan berapa jauh jarak yang kutempuh dan berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk setiap perjalanan. “Hanya untuk catatan pribadi,” ujarku sembari tersenyum, setiap kali ada rekan yang menanyakan kebiasaan baruku itu.

Tak terasa sudah dua kali 365 hari berlalu. Setiap tahun, keseluruhan catatanku mencapai ribuan baris, yang kemudian kurangkum dalam grafik yang menggambarkan seluruh perjalananku. Ternyata di tahun 2014, aku telah melakukan lebih dari 1000 perjalanan, menghabiskan hampir 40 hari penuh di jalanan, dan menempuh hampir 10.000 km. Di tahun 2015, jumlah perjalananku meningkat 2% (1802) dan jarak yang kutempuh bertambah hingga 11.345 km. Wow! Data yang cukup membuatku tercengang. Perjalanan yang bisa dibilang sangat banyak untuk orang sepertiku.

Hampir semua perjalanan itu kulakukan di tengah salah satu kota terpadat di dunia: Jakarta. Lalu lintas Jakarta yang sangat ramai membuat seorang kolumnis surat kabar di Indonesia pernah menuliskan bahwa di Jakarta, setiap detik adalah sebuah keajaiban. Jadi, ketika aku bisa melewati jutaan detik di jalanan sepanjang tahun kemarin, sesungguhnya aku telah mengalami jutaan keajaiban!

Pengalaman ini menyadarkanku akan suatu hal yang lain—betapa seringnya aku menganggap sepi perlindungan Allah! Meski aku jarang berdoa mohon perlindungan-Nya dalam perjalanan, namun Dia telah melindungiku di setiap detik perjalananku. Aku jadi teringat pada sebuah kalimat yang belum lama ini dikutip seorang teman: “Inilah yang membedakan Allah dengan manusia: Allah memberi, memberi, memberi, dan mengampuni; sedangkan manusia menerima, menerima, menerima, dan melupakan.”

Tahun ini, mari kita lebih banyak bersyukur untuk keajaiban setiap hari yang kerap luput dari perhatian kita. Mari awali tahun ini dengan hati yang penuh syukur!

Ketika Tuhan Menghancurkan Mimpiku Dua Kali

Oleh: Ian Tan
(artikel asli dalam bahasa Inggris: When God Crushed My Dreams, Not Once But Twice)

crushed-dreams

Dibesarkan dalam keluarga militer, aku bercita-cita untuk menjadi tentara, meneruskan jejak ayah dan paman-pamanku. Di negaraku, Singapura, setiap pria dewasa yang sehat jasmani harus menjalani wajib militer selama dua tahun.

Aku tak pernah bisa lupa hari pertama menjalani wajib militer. Sementara teman-temanku merasa sengsara dan tersiksa kehilangan kebebasan mereka, aku justru merasa sangat bersemangat. Hari itu adalah awal petualangan untuk mewujudkan cita-cita masa kecilku. Lebih hebat lagi, aku masuk dalam daftar pasukan khusus, sebuah kehormatan yang tidak diperoleh oleh sembarang orang. Di barak tentara malam itu, sembari memandang keluar jendela, aku memanjatkan doa syukur, “Tuhan, terima kasih untuk kesempatan yang hebat ini, tolong aku untuk menjalaninya dengan baik, dan lindungi aku dalam pelatihan ini. Amin.

Tiga bulan pertama menjalani pelatihan dasar militer adalah masa-masa yang berat, namun hatiku merasa puas. Melewati berbagai hal bersama setiap hari, persahabatan dengan rekan-rekan satu tim terjalin dengan cepat dan erat. Aku terus mengalami hal-hal yang menyenangkan, apalagi ketika kemudian aku meraih penghargaan sebagai lulusan terbaik dalam latihan fisik. Luar biasa rasanya. Prestasi itu menjadi salah satu momen terbaik dalam hidupku. Aku bersyukur atas berkat Tuhan. Aku makin yakin bahwa inilah karir yang dikehendaki Tuhan untukku. Pada tahap berikutnya yang meliputi latihan terjun payung, aku juga berhasil memenuhi semua persyaratan untuk masuk dalam pasukan khusus terjun payung.

Namun, segala sesuatu berubah dengan cepat. Pada suatu sore yang cerah, kami diminta untuk bergerak menuju pangkalan udara untuk melakukan latihan rutin terjun payung. Seperti biasa, dalam perjalanan ke sana, aku menghafalkan ulang semua prosedur yang harus dilakukan, dan perlengkapan yang harus diperiksa. Aku melompat keluar pesawat dengan penuh semangat. Tanpa diduga, menjelang saat mendarat, arah angin mendadak berubah. Akibatnya, pendaratanku tidak sempurna, dan kakiku patah. Dalam sekejap, awal perjalananku yang tampaknya begitu cemerlang kini hancur berantakan. Karir militerku seketika itu juga berakhir, dan aku harus mengalami masa pemulihan yang sangat lama. Tak ayal, aku pun mengalami depresi berat.

Pada masa-masa yang berat itu, seorang teman baik mendorongku untuk mencari kesibukan baru. Dengan begitu, mungkin aku bisa melupakan mimpiku yang telah hancur berkeping-keping. Aku tidak tahu harus bagaimana, rasanya tidak ada lagi yang layak diperjuangkan. Mengapa Tuhan mengizinkan aku mengalami momen-momen yang hebat, membiarkan aku meraih prestasi, lalu mengambil kembali semuanya? Rasanya seperti orang yang kalah perang, ditertawakan banyak orang. Teman baikku itu mengusulkan, bagaimana kalau aku mencoba melamar sebagai seorang guru olahraga. Aku menertawakan ide itu. Saat menjadi siswa dulu aku selalu menyusahkan guruku, dan aku tidak pernah ingin mengalami hal serupa.

Beberapa bulan berlalu, dan aku mulai merasa gelisah. Setiap hari yang berlalu membuatku makin merasa perlu melakukan sesuatu. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba saran temanku. Aku mengajukan lamaran sebagai seorang guru pengganti di sebuah sekolah dasar, dan akhirnya diterima untuk mengajar selama setahun (guru yang kugantikan saat itu sedang cuti melahirkan). Bukan sebuah profesi yang membuatku sangat bersemangat, tetapi aku menghibur diri sendiri agar tetap bersikap positif dan terbuka untuk belajar.

Setelah dua bulan mengajar kelas pertamaku, aku menemukan diriku ternyata jatuh cinta dengan pekerjaan baruku ini, juga dengan murid-muridku. Mengajar dan berinteraksi dengan para siswa menolongku mengatasi depresi. Aku menemukan kembali tujuan dan arah dalam hidupku. Setelah kondisiku pulih total, aku diminta untuk mengajar olahraga di sekolah itu. Pada saat yang sama, aku juga mulai mengambil kuliah pascasarjana dalam ilmu-ilmu olahraga. Targetku kini adalah meraih gelar pascasarjana dan mendaftar ke Departemen Pendidikan sebagai seorang guru olahraga yang diakui pemerintah. Inilah rencana Tuhan untukku, aku berkata pada diri sendiri. Aku berdoa mohon Tuhan sendiri yang menuntunku dan memberiku kesempatan untuk membangun hubungan yang baik dengan para siswa dan rekan guru. Selama empat tahun berikutnya, semua berjalan lancar, jauh lebih baik dari apa yang aku pikirkan, dan aku menikmati apa yang aku lakukan. Rekan-rekan kerja dan anggota keluarga terus meneguhkan keputusanku dan memuji semangatku.

Lulus kuliah, aku mengajukan aplikasi kepada Departemen Pendidikan untuk mendapatkan pelatihan dan penempatan sebagai guru. Di luar dugaan, aku harus kembali menelan kekecewaan. Departemen Pendidikan menolak aplikasiku. Tidak ada kata-kata yang bisa dengan tepat mengungkapkan rasa kecewa dan frustrasi yang kualami. Awal yang baru sudah begitu dekat di depan mataku, namun aku tidak bisa meraihnya. Aku merasa Tuhan sangat tidak adil, menutup pintu kesempatanku, tidak hanya sekali, tetapi dua kali! Sekali lagi, semua peneguhan yang selama ini aku terima terasa seperti omong kosong belaka.

Beberapa tahun telah berlalu sejak kegagalanku yang kedua itu. Betapa aku berharap bisa memberi kesaksian bagaimana Tuhan menganugerahkanku salah satu dari mimpi-mimpi yang aku miliki. Sayangnya kenyataan berkata lain. Aku belajar untuk menerima bahwa Tuhan memiliki rencana yang lain untuk hidupku. Melalui kedua masa yang sangat sulit dalam hidupku itu, Tuhan mengajarku untuk merendahkan diri di hadapan-Nya, dan menolongku melihat betapa jalan-jalan-Nya selalu lebih tinggi daripada jalan-jalanku sendiri (Yesaya 55:8-9). Tuhan tidak membiarkan aku mengandalkan diri sendiri dalam merencanakan hidupku. Sebaliknya, Tuhan menunjukkan bahwa Dialah yang sesungguhnya memegang kendali, dan tidak ada yang dapat kulakukan di luar Dia.

Jika kamu mengetahui apa yang kukerjakan sekarang, kamu pasti berpikir bahwa ini bukan pekerjaan yang tepat untukku. Tidak seperti pengalamanku yang sudah-sudah, aku tidak menganggap diriku hebat dalam peran yang kini aku jalankan. Namun, dalam kelemahanku, aku bisa mengingat bagaimana anugerah Tuhan itu selalu cukup dalam masa-masa yang tidak pasti dan membuat putus harap. Kuasa Allah paling jelas dinyatakan melalui kelemahanku, seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam 2 Korintus 12:10: “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Melalui semua yang kualami, Tuhan terus menggendongku, dan dengan setia menolongku agar dapat hidup untuk kemuliaan-Nya.

CerpenKaMu: Penyembahan Puja

Oleh: Yohana P.D.Utami

penyembahan-puja

Kacau! Kacau sekali jalannya ibadah pagi itu. Penyanyi dan pemusik kejar-kejaran nada. Jemaat pun sangat tidak antusias dalam melantunkan puji-pujian. Tidak ada suasana penyembahan yang syahdu menghanyutkan kalbu. Yang ada hanyalah gerutuan dalam hati yang memuncak menjadi nyanyian sumbang. Mana mungkin ada damai sejahtera yang melegakan kalau begini caranya! Duh, Tuhan, ampunilah kami.

Persiapanku menjadi sia-sia, acara ibadah terasa sangat berantakan. Padahal aku dan rekan-rekan sudah latihan dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Alat-alat musik dan sound system sudah dicek semua. Demikian juga perlengkapan multi media, semua sudah siap, rapi jali. Kurang apa lagi? Apakah memang jemaat di tempat kami ini tidak bisa mengekspresikan pujian dan penyembahan dengan segenap keberadaan? Bukankah Tuhan merindukan umat-Nya untuk menyembah-Nya dengan segenap kekuatan, akal budi, dan jiwa?

Letih sekali rasanya memimpin pujian dan penyembahan di mana tidak ada keselarasan antara tim ibadah dengan jemaat. Bayangkan saja bagaimana kita sudah bersemangat mengajak jemaat untuk menyanyikan gita nada bagi Tuhan tapi jemaat sepertinya adem ayem saja. Atau mereka bertepuk tangan, tetapi lirak-lirik samping kiri kanan karena tidak percaya diri dan malah sibuk melihat orang lain yang juga sama-sama tidak antusias. Apalagi saat masuk ke dalam musik lembut yang dimaksudkan sebagai pengantar doa. Semestinya, semua dapat masuk ke dalam suasana doa sembari menyanyi. Tapi kenyataannya? Garing! Pujian yang diulang-ulang terasa sangat lama dan membosankan. Salah siapa ini?

Namaku Puja Rahayuningtyas. Setengah tahun sudah aku memimpin tim ibadah ekspresif di tempat pemujaan ini. Tantangannya banyak sekali. Mulai dari kebiasaan dan tata cara ibadah yang terkesan monoton dan kurang bergairah, sampai ke gegar budaya antara generasi senior dan junior yang berbeda selera musik dan pemahaman teologisnya. Aku yang berada di antara gap generasi itu, dalam usiaku yang menginjak kepala tiga ini, harus menjadi mediator untuk menjaga komunikasi dan menyampaikan aspirasi. Meskipun gereja tempat aku berjemaat termasuk yang cukup dinamis bagi denominasinya, tetap saja ada semacam penghalang bagiku untuk mengajak jemaat mencoba lebih ekspresif dalam ibadahnya, khususnya dalam melantunkan pujian sembahyang.

Mbak Puja,” kata Bapak Pendeta suatu ketika, ”Mungkin ada baiknya Mbak Puja istirahat dulu dari pelayanan pujian di depan.”

Maksud Bapak? Apakah saya sudah tidak layak lagi?” ada sudut hati yang mendadak terasa perih.

Bukan, bukan begitu. Saya melihat Mbak Puja sepertinya terlalu letih. Itu saja.

Jadi?”

Ambillah waktu untuk retret pribadi, Mbak. Biar mbak Puja mendapat penyegaran dari Tuhan. Untuk ibadah Natal dan Tahun Baru kali ini, biar diserahkan ke anak-anak pemuda dan remaja saja.”

Maka, di sinilah aku pada malam tahun baru kali ini. Tidak turut serta dalam hingar-bingar persiapan ibadah Natal dan tahun baru di gereja. Aku lebih banyak berdiam diri di rumah, mengurus acara Natal kecil keluargaku. Acaranya pun bukan aku yang menyusun. Aku hanya membantu mengiringi musiknya (ya, aku bisa bermain piano atau kibor sekadarnya). Dan, waktu-waktu luang yang ada lebih banyak kugunakan untuk mencari wajah Tuhan—istilah umum untuk bermeditasi menurut imanku—di kamar atau di tempat aku bisa berdua saja dengan-Nya. Waktu-waktu yang sering hilang di tengah kesibukan pelayananku.

Kudapati memang aku letih, lesu, dan berbeban berat. Hatiku jauh dari hening, apalagi bening. Perasaan gagal dan marah membuatnya kian keruh. Aku terlalu terobsesi untuk membawa jemaat bisa ikut “memuji dan menyembah Tuhan” menurut versi yang aku harapkan, meskipun tentunya tetap dalam pakem tata liturgi yang menjadi ciri khas gerejaku. Begitu terobsesinya aku sehingga aku melupakan esensi dari penyembahan dan pujian itu sendiri. Ya, memuji dan menyembah Tuhan itu bukanlah sesuatu yang bisa direka-reka dari luar. Bahkan dengan musik yang paling indah sekalipun. Penyembahan adalah respons yang keluar dari hati. Respons itu akan mengalir dengan sendirinya secara alamiah tanpa dibuat-buat, ketika jemaat dibawa untuk mengingat siapa Pribadi Tuhan yang mereka sembah. Tiap jemaat mungkin datang dengan beragam pergumulan. Bila tiap orang berfokus pada dirinya masing-masing, termasuk pemimpin ibadahnya, bagaimana mungkin tercipta harmoni dalam memuja? Hanya ketika tiap hati bersentuhan dengan hati Tuhan, tiap pikiran dipenuhi kebenaran tentang Dia, barulah suasana penyembahan yang indah dapat tercipta sebagai respons atas kehadiran-Nya.

Malam tahun baru di rumah keluarga besarku, kami sekeluarga duduk melingkar di atas tikar pandan yang hangat. Setelah mendengarkan renungan dari seorang saudaraku, tibalah saatnya tiap-tiap orang melakukan perenungan pribadi. Hanya ada piano tua yang tersedia di hadapanku. Tanpa alat musik lainnya, tanpa perlengkapan multimedia dan sound system yang canggih.

Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku
Dia membaringkan aku di padang yang berumput hijau

Jemariku mulai menari di atas piano, melantunkan kebenaran tentang Tuhan yang dinyatakan dalam Mazmur 23. Setelah satu bait, hatiku tak tahan untuk tidak menyenandungkan liriknya perlahan. Sungguh Tuhan adalah gembalaku! Betapa sering aku menyimpang, tetapi Sang Gembala selalu membawaku pulang. Terima kasih Tuhan, untuk penyertaan-Mu di sepanjang tahun yang telah lewat! Hatiku membuncah dengan rasa syukur. Tak berapa lama kemudian kudengar satu per satu anggota keluargaku turut bersenandung. Hatiku bergetar. Suara-suara sederhana. Lagu lama tanpa aransemen istimewa. Namun, kami sama-sama mengangkat pujian dari hati kami. Sukacita dan damai surgawi rasanya melingkupi segenap ruangan, ketika kami melantunkan puja dalam balutan kesederhanaan. Aku percaya, malaikat-malaikat pun ikut bersenandung memuja Sang Raja.

Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allah-ku
Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allah-ku

Pujian demi pujian mengalun hingga malam usai. Kesegaran baru mengaliri jiwaku seiring dengan tahun yang berganti. Aku yakin tak satu pun kerabat yang pulang dengan sia-sia hari itu. Semua mendapatkan berkat dan rahmat yang tiada terhingga. Wajah-wajah penuh syukur dan pengagungan menghiasi ruangan, saat kami saling berjabat tangan, menyemangati satu sama lain di tahun yang baru. Terima kasih Tuhan yang Maha Agung, Engkau sudah berkenan menerima ungkapan syukur, doa, dan pujian kami. Sungguh aku bersyukur atas segala yang ada dalam hidupku. Tolong aku ‘tuk selalu menghidupi namaku, Puja – Rahayu – Ning Tyas. Pujian, damai sejahtera, di dalam hati yang bening. ***

Mengapa Kita Suka Sesuatu yang BARU?

Oleh: Shawn Quah
(artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Do We Love New Things?)

mengapa-suka-yg-baru

Semua atau setidaknya kebanyakan orang suka dengan sesuatu yang baru. Apalagi jika hal yang baru itu dapat menunjang penampilan kita. Entah hal itu benar-benar diperlukan atau tidak, keinginan kita untuk memiliki hal-hal yang baru seolah tidak ada habisnya (kita ingin hp baru, sepatu baru, memulai sesuatu yang baru, dan seterusnya).

Gereja tempat aku berjemaat belum lama ini merenovasi aula kebaktian. Baru satu bulan ini kami mulai dapat memakainya untuk kebaktian. Sangat menyenangkan ketika akhirnya bisa menikmati aroma yang baru, ruang yang lebih luas, juga perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang baru sekaligus yang sudah begitu dekat dengan kami.

Adakalanya aku bertanya-tanya, apakah selalu menginginkan sesuatu yang baru itu adalah perasaan yang sewajarnya kita miliki? Mengapa kita begitu senang memiliki sesuatu yang segar dan baru? Apakah itu berarti hal-hal yang dulunya “baru” bagi kita telah kehilangan nilainya seiring dengan waktu yang berlalu?

Sepertinya kerinduan kita untuk sesuatu yang lebih baik dan baru sudah dimulai sejak kejatuhan manusia dalam dosa. Kita membaca tulisan Paulus di kitab Roma, bahwa sejak kejatuhan manusia, kondisi segala makhluk terus memburuk, baik dalam aspek jasmani maupun rohani, dan sebab itu selalu mengharapkan datangnya sesuatu yang lebih baik.

Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” —Roma 8:22-23

Tubuh yang baru, yang sempurna dan tidak bercela. Semua kita tentu menginginkannya, bukan? Jadi, menurut standar Alkitab, menginginkan sesuatu yang baru bukanlah sesuatu yang keliru. Pertanyaannya adalah, “hal baru” apa yang kita kejar? Apakah kita mencari hal-hal baru yang bersifat materi belaka? Ataukah kerinduan kita tertuju pada “langit baru”, “bumi baru”, dan “tubuh baru” yang dijanjikan Allah?

Setiap hari kita ditantang untuk tidak beralih fokus pada berbagai hal menarik dari dunia ini yang dapat membuat Firman Tuhan tampak tidak relevan dan ketinggalan zaman. Namun, mari terus menjaga fokus kita kepada hidup kekal yang dijanjikan oleh Tuhan dan Pencipta kita bersama-Nya.

Di tahun yang baru ini, mari mengingat kembali saat-saat pertama kita mengenal Tuhan. Ingatlah selalu apa alasan kita percaya dan mengikut Dia. Kiranya perspektif kekekalan menyertai keinginan kita akan “hal-hal yang baru”—pertemuan di surga, bersama dengan orang-orang yang kita kasihi, dalam tubuh yang baru, dan bersama Tuhan yang telah lebih dulu mengasihi kita!

 

Menanti
Namun tak pernah menemukan
Terus mencari, tak kunjung menjumpai
Apa gerangan yang kukejar selama ini?
Hal-hal yang sia-sia
Mimpi-mimpi yang kosong
Adakah sesuatu di dunia ini
yang akan dapat memuaskan jiwaku ini?
Aku berdiri di sana dan mengingat
Hari ketika aku datang dengan tangan hampa
Namun dipenuhi Tuhanku dengan luapan kerinduan
Yakin teguh akan janji-janji-Nya
Sembari menanti
Menanti
….