Keteladanan Hidup Apa yang Akan Kita Tinggalkan?
Oleh Astrid Winda Sondakh
Beberapa waktu lalu, orang yang paling kukasihi dan sayangi pergi meninggalkanku. Dia adalah omaku, namun lebih akrab kupanggil “mama”, panggilan yang kurasa sangat tepat untuknya karena sampai saat ini aku merasa oma bukanlah sekadar nenek. Mama benar-benar seperti wanita yang melahirkanku karena kasih sayangnya yang luar biasa padaku.
Kematian mama telah membawaku “terbangun dari tidur”. Bagaimana tidak, segala keteladanan hidupnya benar-benar membuatku kagum dan bangga, memotivasiku untuk menjalani hidupku sebaik mungkin. Integritasnya dalam pelayanan dan juga dalam segala hal sungguh luar biasa. Dari dulu—sejak sosok mamaku masih ada—aku memang sudah sangat kagum padanya. Mama sering mengajakku ikut di kegiatan pelayanan, juga kegiatan-kegiatan lain di sekolah tempatnya mengajar. Dia sosok yang bersemangat, bertanggung jawab, dan berwibawa sehingga di mataku dialah sosok panutan yang membuatku terkagum. Namun, saat kematiannyalah yang benar-benar menambah kekagumanku, karena ternyata bukan hanya aku saja yang kagum, namun ada banyak orang juga.
Ketika mama disemayamkan, saat itu aku sedang duduk di samping jenazah. Para pelayat bergantian datang melihat jenazah mama untuk terakhir kalinya. Di sela-sela itu, setiap kali para pelayat masuk, aku mendengar mereka memberi kesaksian tentang mamaku ini, entah mereka bercerita pada satu dengan yang lain atau pun bercerita langsung kepadaku. Mereka menceritakan tentang kekaguman mereka, tentang bagaimana perjuangannya dalam menghidupi keluarga sampai perjuangannya dalam pelayanan. Mereka juga kagum dengan sosok mamaku yang sampai akhir hayatnya tidak pernah buang-buang waktu, padahal sebagai seorang pensiunan, kebanyakan orang hanya duduk santai di rumah. Namun tidak dengannya, dia menggunakan waktu itu untuk pergi berkebun dan menanam segala macam tanaman yang dapat menghasilkan untuk anak-anak dan cucu-cucunya. Mereka juga sering mengatakan bahwa mamaku dari masih muda sampai akhir hayatnya selalu aktif dalam pelayanan, baik itu dalam pelayanan pemuda, kaum ibu, sampai lansia. Banyak kepercayaan, khususnya pelayanan yang diberi padanya, bahkan selain sebagai seorang guru Fisika, dia juga diberi kepercayaan di sekolah untuk menjadi guru agama.
Bukan hanya sekadar kesaksian orang-orang itu, namun aku pun menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan mama sampai akhir hayatnya, sehingga bagiku, perkataan Paulus dalam 2 Timotius 4:7-8 (TB) sangat tepat untuk mamaku, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.” Mama benar-benar telah memelihara imannya, bahkan sampai pada garis akhirnya.
Hampir setahun lebih mamaku mengalami sakit, sudah masuk keluar rumah sakit, sampai pergi ke dokter spesialis pun sudah mama lakukan namun sakit yang mama alami tak kunjung sembuh malah kondisinya semakin menurun, sampai kami keluarga mulai khawatir dan mulai menyalahkan pihak medis. Namun mamaku tetap sabar walaupun aku tahu dia juga hanya manusia biasa yang pastinya ada rasa kecewa, khawatir dan sebagainya. Dalam sakitnya sampai akhir hayatnya itu, mamakulah yang terus menguatkan kami keluarga dan mengajak kami untuk terus berdoa, bahkan di tengah goncangan iman ini, mamakulah yang berkata pada kami, “Kita sudah berdoa, Tuhan pasti tolong.” Imannya tidak goyah, bahkan saat dia sedang dalam kelemahan dan kesakitan. Di saat–saat terakhirnya itu dia masih terus mengatakan, “Tuhan, tolong hamba-Mu” berulang kali. Dan, saat itu juga air mataku langsung jatuh, karena melihat betapa teguh imannya itu. Dia tidak marah, tidak berteriak-teriak. Dia tetap tenang menahan kesakitan dan kelemahannya itu. Tidak heran, ekspresinya saat meninggal benar-benar menunjukkan sedang tersenyum dan begitu tenang.
Dalam perenunganku, aku terpikir dengan perkataan Yesus tentang “Ajakan Juruselamat” dalam Matius 11:29 (TB), “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Dalam proses hidupnya, mamaku benar-benar telah dibentuk dan terbentuk menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Bahkan, dalam ibadah pemakaman, gembala yang memimpin ibadah pemakaman dan setiap sambutan yang disampaikan terus mengatakan bahwa dia adalah surat Kristus yang terbuka, karena mereka benar-benar menyaksikan bahwa Injil benar-benar mama hidupi dalam hidupnya. Darinya, aku belajar tentang arti kehidupan ini. Membuatku mengerti betapa pentingnya menabur dan taat pada setiap proses, dalam ziarah kita di dunia yang fana ini.
Ketika aku menceritakan kisahnya pada temanku, temanku berkata, “Eh, pernah terpikir tidak, kalau kita meninggal, apa yang akan orang katakan?” Aku belum pernah terpikir akan hal itu. Namun, pertanyaan itu membuatku merenungkan akan apa arti hidup kita di dunia ini dan apa yang seharusnya kita tinggalkan. Bukan sekadar mencari nama baik, namun apa yang kita bisa berikan pada mereka yang telah kita tinggalkan lewat keteladanan semasa hidup di dunia fana ini dan bagaimana kita dapat menginspirasi banyak orang lewat cerita dan proses hidup kita sampai akhir hayat.
Aku menulis ini bukan untuk membangga-banggakan mamaku, aku sadar dia juga hanya manusia biasa yang jauh dari kata sempurna namun aku menulis ini, karena aku rindu cerita hidupnya menjadi berkat dan teladan, bukan hanya untukku, namun untuk kita semua.
Aku ingin memberi pertanyaan kepada kita semua, “Teladan apa yang akan kita tinggalkan setelah kita tiada? Apakah kita juga bisa menghidupi Injil semasa hidup kita ini dan menjadi surat Kristus yang terbuka? Dan, hal apa yang kita ingin orang ingat tentang kita?”
Akhirnya, aku ingin berterima kasih kepada mama, untuk semua yang telah mama lewati dan keteladanan yang telah mama tinggalkan.