Posts

Apakah Mengikuti Kata Hati Bisa Membuat Kita Berbahagia?

Oleh Ashley Ashcraft
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Key To Happiness—Don’t Follow Your Heart

“Ikuti kata hatimu.” Kita mungkin telah mendengarnya berjuta-juta kali. Mungkin juga kita telah membacanya di Instagram, gelas kopi, karya seni, bahkan di toko buku Kristen. Tapi, apakah benar jika aku mengikuti kata hatiku? Apakah mengikuti kata hatiku bisa membuatku bahagia?

Ada masa-masa dalam hidupku di mana aku menyesal karena telah mengikuti kata hatiku. Contohnya, aku mengikuti kata hatiku untuk memanjakan diri dengan makan yang banyak. Tapi, pada akhirnya, bukan kebahagiaan karena kenyang yang kudapat, aku malah sakit perut. Aku juga pernah mengikuti kata hatiku untuk menjalin sebuah relasi yang pada ujungnya berakhir dengan kesedihan. Seruan “ikuti kata hatimu” ini sepertinya mempengaruhi dan mewarnai banyak hal dalam kehidupan kita.

Hati kita licik

Banyak orang berjuang untuk mengikuti kata hati. Mereka percaya bahwa suara hati mereka adalah penuntun terbaik yang mereka miliki. Namun, Alkitab memberitahu kita bahwa sesungguhnya hati kita itu licik (Yeremia 17:9). Jika kita mengetahui kebenaran ini, tentunya kita tidak ingin mengikuti sesuatu yang bisa menyesatkan kita begitu jauh, bukan?

Tapi, seringkali pula kita sulit untuk menyadari bahwa hati itu licik. Perlu usaha keras untuk mengubah pemahaman di kepala kita dan menyadari bahwa kedagingan kita bisa berdampak buruk untuk kita. Namun, kita perlu bersyukur kepada Tuhan. Meskipun hati kita licik, tetapi ketika kita dibasuh dan dikuduskan oleh Yesus (1 Korintus 6:11), Tuhan dapat bekerja mentransformasi hati kita untuk semakin serupa dengan hati Yesus. Namun, hingga kelak nanti kita tiba di kehidupan yang baru, hati kita saat ini tetap bisa saja menuntun kita ke jalan yang salah.

Aku tidak mengatakan bahwa suara hati yang umumnya menyangkut aspek emosi kita adalah hal yang buruk. Emosi atau perasaan yang kita alami memampukan kita merasakan Tuhan dengan lebih penuh. Kita tahu bahwa Tuhan bersama dengan kita dalam kesedihan, sukacita, dan Dia pun tahu betul seperti apa yang kita rasakan. Tapi, emosi tidak seharusnya menjadi penggerak dalam keputusan atau tindakan kita. Penggerak dari kehidupan kita yang seharusnya adalah iman kita—apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, apa yang kita percayai terlepas dari apa yang kita rasakan. Ketika iman menjadi penggerak kehidupan kita, kemungkinan bahwa emosi menuntun kita ke sesuatu yang salah menjadi semakin kecil.

Jadi, bagaimana caranya kita dapat memahami dengan betul bahwa emosi adalah pemberian dari Tuhan sekaligus juga sesuatu yang bisa saja menuntun kita ke arah yang salah?

Jangan ikuti kata hatimu, ikutilah hati Kristus

Kurasa jawaban dari pertanyaan di atas terdapat di dalam pengorbanan. Pengorbanan adalah bagian esensial dari pesan Injil dan itu jugalah yang seharusnya kita lakukan sebagai orang Kristen. Yesus telah berkorban lebih dulu untuk kita. Yesus merendahkan diri-Nya untuk datang ke dalam dunia; Dia melayani orang-orang; dan Dia menderita, memberikan pengorbanan-Nya yang terbesar di kayu salib. Pada malam sebelum kematian-Nya, Dia berdoa di Taman Getsemani, “Bukan kehendak-Ku, tapi kehendak-Mu.” Oleh karena itu, sebagai orang yang memiliki gambar dan rupa Kristus, pengorbanan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, bagian dari DNA spiritual kita.

Jika kita selalu mengikuti kata hati kita, melakukan apa yang kita inginkan dengan cara kita, bagaimanakah kita dapat berkorban? Apakah kita benar-benar bisa menjadi murid Kristus dan selalu mendapatkan apapun juga yang kita inginkan? Di sinilah perubahan harus terjadi: kita tidak lagi mengikuti kata hati kita sendiri, kita harus mengikuti kata hati Kristus.

Karena kata hati kita dan kata hati Kristus seringkali tidak selalu sejalanan, di sinilah pengorbanan menjadi hal yang penting. Kita perlu menanggalkan kehendak kita dan memilih taat pada kehendak-Nya. Kita perlu berkata seperti Yesus, “Bukan kehendakku, tapi kehendak-Mu.” Dan, kita melakukan ini karena kita percaya pada Tuhan lebih daripada kita mempercayai hati kita sendiri.

Mengorbankan kehendak diri sendiri untuk taat pada kehendak Tuhan adalah hal yang sulit dilakukan, tapi kurasa dengan kita berusaha untuk tidak mengikuti kehendak diri kita sendiri, ini adalah disiplin rohani yang dapat menolong kita. Kita diingatkan bahwa bukan kitalah yang memegang kendali atas kehidupan. Apakah kita mengikuti hati Kristus atau hati kita sendiri? Apakah ada bagian-bagian dari kehidupan kita di mana kita harus mengorbankan kehendak kita?

Di dalam hidupku, contoh pengorbanan ini terjadi di dapur. Jika aku mengikuti kata hatiku, di sore hari aku tidak akan pergi ke dapur. Aku lebih memilih aktivitas lain yang lebih menyenangkan, sebab sesungguhnya aku tidak menikmati aktivitas cuci piring dan menyiapkan makanan. Dan, hal yang membuatku kesal adalah dapurku cuma bisa bersih beberapa saat saja sebelum ada remah-remah, tumpahan makanan, dan cucian baru untuk kubersihkan.

Tapi, pada akhirnya aku sadar bahwa tidak ada tempat lain yang lebih baik untukku melatih disiplin dan berkorban bagi keluargaku selain di dapurku. Dari dapurku, aku bisa menghidupi Injil. Aku bisa mematikan keinginan dagingku sendiri dan mengarahkan hatiku kepada Yesus. Aku bisa mengasihi keluargaku dalam bentuk menyiapkan piring yang bersih dan menyajikan makanan yang lezat dan sehat.

Mungkin apa yang kulakukan tidaklah seberapa kalau dibandingkan dengan orang-orang lain yang sudah berkorban dengan jauh lebih besar dan dengan cara-cara yang mengagumkan. Namun, aku percaya Tuhan menghargai pengorbananku sekecil apapun.

Jadi, setiap sore aku pun pergi ke dapur. Aku menyiapkan makanan dan mencuci piring. Tapi, sekarang aku tidak pergi ke dapur atas kehendakku sendiri. Aku pergi karena Tuhan telah memintaku untuk mengasihi keluargaku dengan menyiapkan kebutuhan makanan mereka. Sejak aku mulai mengubah pola pikirku, aktivitas di dapur yang tampaknya sederhana menjadi suatu berkat yang besar buatku. Seandainya aku mengikuti kata hatiku sendiri dan bukan hati Kristus, aku mungkin akan melewatkan begitu saja pengalaman ini, sebuah latihan yang dipakai Tuhan untuk menghidupi Injil dalam keseharianku.

Apakah artinya aku tidak boleh berbahagia?

Setelah menyampaikan ceritaku di atas, aku tidak sedang berkata bahwa Tuhan mau agar kita selalu mengorbankan keinginan kita, dan bahwa emosi adalah hal yang buruk. Sebagai orang tua, ketika aku melihat anakku berbahagia, aku pun turut merasa bahagia. Dan, kupikir ini jugalah yang Tuhan rasakan terhadap kita. Ketika kita bahagia, Dia pun berbahagia. Namun, poin pentingnya adalah, apa yang membuat kita bahagia? Tuhan ingin mengaruniakan kita kebahagiaan yang sejati—yang berlangsung abadi dan memuaskan—dan kebahagiaan ini bisa kita dapatkan dengan mengikuti hati-Nya.

Bagaimana kita bisa tahu isi hati Tuhan? Jawabannya adalah dengan membaca firman-Nya. Dengan membaca firman-Nya, kita belajar untuk percaya bahwa Tuhan tidak hanya tahu apa yang terbaik, tapi apa yang benar-benar dapat membuat kita berbahagia. Banyak hal di dunia ini mungkin bisa menghibur kita secara sementara, tapi itu semua tidak bisa bertahan hingga selamanya. JIka kita mulai mencari kebahagiaan kita sendiri, mengikuti kata hati sendiri, kemungkinannya kita akan berhenti di suatu hal yang fana dan kurang berarti, dan pada akhirnya mengecewakan kita.

Mazmur 86 telah jadi mazmur favoritku sejak lama. Di ayat 11, Raja Daud berkata, “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu; bulatkanlah hatiku untuk takut akan nama-Mu.” Daud mengerti dengan benar—fokus hati kita mudah terbagi. Dan karena itu, hati kita bisa saja menyesatkan kita. Oleh karena itu, kita dapat menggemakan kata-kata Daud dan berkata, “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu Tuhan.”

Motto hidup kita seharusnya bukan: ikuti kata hatimu, tetapi ikuti kata hati-Nya. Saat kita mengikuti kata hati Tuhan, kita menunjukkan kepercayaan kita kepada jalan-Nya, juga kita mengakui kedaulatan-Nya. Pun kita menunjukkan pada dunia bahwa kita dipuaskan ketika kita meminum dari-Nya, sang Mata Air Kehidupan. Segala jalan lain di dunia tidak akan pernah memberikan kita kepuasan, hanya Tuhan sajalah. Hanya Tuhan yang dapat membuat kita berbahagia. Ikutilah kata hati-Nya.

Baca Juga:

Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar.

3 Alasan Mengapa Kita Perlu Berhenti Berpindah-pindah Gereja

Oleh Ashley Ashcraft, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Reasons Why We Should Stop Church-Shopping

Pernahkah kamu merasa bersalah karena berpindah-pindah gereja?

Berpindah-pindah gereja biasanya terjadi ketika seseorang pindah ke suatu tempat yang baru. Mungkin itu seorang mahasiswa baru atau sebuah keluarga yang pindah ke luar kota. Apapun alasannya, ketika kita berada di masa-masa transisi atau perpindahan, berkomitmen untuk tertanam di satu gereja adalah sesuatu yang menantang, dan berpindah-pindah gereja seringkali tidak terhindarkan.

Aku bisa memahami mengapa beberapa orang memilih untuk berpindah-pindah gereja. Ayahku pernah melayani sebagai pendeta sementara untuk banyak gereja, aku bahkan tidak bisa menghitung berapa jumlahnya. Ketika kami pindah ke tempat baru dan mendapati gereja yang kami kasihi dan kami sebut sebagai rumah, seringkali aku tidak bisa rutin beribadah di sana. Aku harus pergi beribadah ke gereja lain di mana ayahku melayani di hari Minggu pagi. Tapi, aku suka melihat bagaimana gereja-gereja yang berbeda itu melakukan banyak hal. Aku melihat banyak bangunan gereja, hierarki gereja, musik dalam ibadah yang beragam, kelas-kelas sekolah Minggu, dan rapat-rapat… Dan, aku menyukai semuanya. Aku terpesona dengan bagaimana gereja dapat melangsungkan kegiatan-kegiatannya, juga bagaimana orang-orang memilih gereja mana yang akan mereka sebut sebagai rumah.

Berpindah-pindah gereja untuk mencari gereja mana yang tepat mungkin terkesan sebagai langkah yang bijak. Tapi, hal ini bisa jadi berbahaya apabila terus menerus dilakukan.

1. Ketika kita berpindah-pindah gereja, kita membiarkan selera kita mengontrol diri kita

Salah satu alasan mengapa berpindah-pindah gereja itu berbahaya adalah itu bisa membuat kita percaya bahwa gereja semata-mata adalah tentang kita, seolah gereja itu hadir hanya untuk menghibur atau memenuhi selera kita. Pemikiran ini berbahaya. Seberapa sering kita mendengar perpecahan di gereja karena selera musik atau gaya berkhotbah yang berbeda?

Ibadah bersama jemaat di gereja bukanlah tentang kita dan selera kita. Ada suatu hal yang lebih besar dan lebih kuat yang bisa mengikat jemaat daripada sekadar soal selera musik atau gaya berkhotbah. Gereja kita adalah keluarga kita. Di dalam keluarga, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi, apakah itu memutus hubungan kita sebagai keluarga? Tentunya tidak.

Aku ingat ketika aku berada di sebuah gereja kecil di mana gereja itu tidak memiliki pendeta tetap. Pendeta sementara lalu dipanggil untuk mengisi jabatan itu. Kami tidak menyukai cara pendeta sementara itu berkhotbah, tapi kami tidak pergi meninggalkan gereja itu. Tapi jangan salah sangka: kalau di sebuah gereja ada kesalahan atau pengajarannya tidak sesuai Alkitab, itu bisa jadi suatu panggilan untuk kami melakukan perubahan, atau mungkin juga alasan untuk pergi. Tapi, bukan itu yang akan dibahas di sini. Apa yang pendeta sementara itu khotbahkan tidaklah salah; hanya cara dia menyampaikannya bukanlah cara yang biasanya kami lihat. Tapi kami memutuskan untuk tetap berjemaat di gereja itu.

Keputusan kami untuk bertahan tidaklah mudah, tapi bagi kami gereja itu jauh lebih penting daripada sekadar cara berkhotbah pendetanya. Gereja adalah tentang Tuhan dan umat-Nya, bukan tentang kami sendiri. Ketika kami tetap berkomitmen untuk tetap berjemaat di gereja itu, kami mengalami pertumbuhan rohani. Kami diberikan kesempatan untuk memimpin dan melayani. Apabila saat itu kami memutuskan pindah hanya karena selera kami berbeda, kami mungkin akan kehilangan semua kesempatan yang baik ini.

Di dalam Efesus 2, Paulus mengingatkan kita bahwa Kristus adalah fondasi dari Gereja. Fondasi adalah batu pertama yang diletakkan di dasar ketika sebuah bangunan dibangun. Dan batu-batu lainnya dibangun di sekitar batu Fondasi itu. Ini juga berlaku untuk Kristus dan Gereja. Gereja adalah tentang Yesus, bukan tentang kita. Apapun yang kita lakukan adalah karena-Nya.

2. Ketika kita berpindah-pindah gereja, kita kehilangan kesempatan untuk melayani

Berpindah-pindah gereja untuk waktu yang lama juga berarti kita tidak pernah berkomitmen untuk tertanam di suatu komunitas gereja. Kita tidak pernah berakar. Kita tidak melayani di gereja yang hanya kita “kunjungi” saja. Dan ini adalah sebuah masalah yang besar. Paulus menjelaskan di beberapa suratnya bahwa gereja adalah satu tubuh yang terdiri dari banyak anggota. “Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota” (1 Korintus 12:14). Karena itu, dengan berpindah-pindah gereja, kita menolak menjadi bagian dari tubuh Kristus–yang tentunya tidak sehat buat kita. Itu juga berarti kita membuat tubuh Kristus tidak mendapatkan karunia dan pelayanan yang diperlukan untuk membuatnya semakin bertumbuh.

Di gerejaku yang sekarang, aku sangat bersyukur untuk guru-guru yang mengajari putriku, untuk seorang wanita baik hati yang bekerja sangat keras untuk menyediakan kopi, untuk orang-orang yang menyapaku di depan pintu dengan senyuman. Aku bersyukur bisa bergabung dengan persekutuan wanita di gereja. Aku bersyukur untuk suamiku yang membantu pelayanan di bagian sound-system. Tidak ada karunia pelayanan atau bidang pelayanan yang lebih baik dari yang lainnya. Beberapa pelayanan lebih terlihat oleh jemaat, tapi itu tidak berarti kalau mereka lebih penting. Ada orang yang bertugas memfotokopi kertas, membuka pintu, melayani balita, menyiapkan perlengkapan ibadah, juga menyampaikan khotbah. Semuanya ini adalah pelayanan yang penting di dalam sebuah komunitas gereja lokal.

3. Ketika kita berpindah-pindah gereja, kita kehilangan kesempatan untuk menjadi bertumbuh

Beberapa dari kita mungkin suka berpindah-pindah gereja karena tidak ingin terlihat menonjol di suatu gereja. Mungkin kita takut untuk terlibat lebih aktif dalam gereja. Mungkin kita takut untuk mengambil komitmen pelayanan atau mungkin juga kita pernah terluka di gereja kita sebelumnya sehingga kita berhati-hati untuk bergabung dengan komunitas gereja yang lain.

Ada suatu masa dalam hidupku ketika aku merasa bersalah karena aku hanya sekadar datang ke gereja. Aku dan suamiku baru saja menikah, dan kami pindah ke kota yang baru. Suamiku sedang dalam proses mencari pekerjaan, sedangkan aku baru saja lulus kuliah. Waktu-waktu itu terasa sulit buat kami. Jadi, meski kami percaya bahwa pergi ke gereja itu penting, tapi kami tidak mau tertanam di suatu gereja. Kami hanya jadi simpatisan yang datang lalu pulang tiap Minggu, tidak diketahui dan dikenal oleh jemaat lainnya.

Sekadar datang ke gereja itu mudah, tapi bukanlah sesuatu yang sehat untuk dilakukan. Pada suatu waktu ketika kami seharusnya dikelilingi oleh saudara seiman dan melayani bersama mereka, kami tidak melakukannya. Kemudian kami merasa tidak puas dengan gereja yang kami hadiri. Kami merasa ada sesuatu yang kurang dan puji Tuhan kami menyadarinya. Tuhan memanggil kami untuk bertumbuh bersama jemaat-Nya. Tuhan meyakinkan kami bahwa sekadar datang ke gereja lalu pulang bukanlah tujuan-Nya untuk gereja-Nya.

Apakah tujuan dari Gereja? Kisah Para Rasul 2:42 berkata, “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Melalui ayat ini, kami mendapatkan gambaran seperti apakah gereja mula-mula dulu. Pengajaran Alkitab yang benar, komunitas yang erat, dan doa yang teratur—semua ini seharusnya menjadi bagian dari sebuah komunitas gereja lokal.

Tapi, jangan sampai kita lupa: komunitas gereja lokal kita adalah sebagian kecil dari Gereja yang lebih besar—tubuh Kristus, mempelai-Nya, yang terdiri dari orang-orang kepunyaan-Nya di seluruh dunia dan sepanjang sejarah. Di dalam Injil, Yesus berbicara tentang gereja dengan penuh kasih sayang dan belas kasihan. Yesus mengasihi gereja-Nya. Dan jika Yesus pun mengasihi gereja, kita pun seharusnya begitu. Kita harus gigih mengupayakan gereja-Nya. Kita membutuhkan orang-orang yang mau menggali, menanamkan akarnya, bekerja keras sebagai orang-orang kepunyaan Tuhan, dan menjadi bagian dari gereja-Nya.

Baca Juga:

Saat Aku Belajar untuk Berhenti Mengikuti Perasaanku

Sebagai orang Kristen yang berjuang untuk berjalan mengikuti jejak Yesus, kita akan menjumpai momen-momen yang mengharuskan kita melawan kedagingan kita.