Posts

Tiga Hal yang Kerap Terlupakan Tentang Kasih

Oleh: Elisabeth Ch.

3-Things-I-Forget-About-Love

Love is a Verb”, kata John Mayer dalam lagunya, dan Gary Chapman dalam bukunya. Sebuah film tahun 2014 juga mengangkat judul yang sama. Pada dasarnya ungkapan ini memberitahu kita bahwa kasih sejati seharusnya ditunjukkan dalam tindakan nyata, bukan teori semata. Aku sepenuhnya setuju, karena Alkitab sendiri berkata, “Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran (1 Yohanes 3:18). Hukum yang terutama dalam Alkitab juga menegaskan bahwa “kasih” itu melibatkan keseluruhan hidup kita: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu … dan… kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:37-39).

Namun, kadang-kadang aku merasa “menunjukkan kasih” kepada orang lain itu melelahkan dan sia-sia. Belum tentu “tindakan kasih” kita dihargai atau membawa dampak yang kita harapkan. Adakalanya juga aku merasa seperti orang munafik ketika kelihatannya ikut membantu sesama karena situasi tertentu, padahal sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan tentang mereka. Mungkin kamu juga pernah merasakan hal yang sama.

Tanpa tindakan nyata, segala pembicaraan tentang kasih menjadi omong kosong belaka. Namun, tindakan yang didasari oleh alasan-alasan yang keliru juga sama buruknya. Rasul Paulus menulis dalam 1 Korintus 13:3, “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku”. Sangat mungkin orang berbuat baik tanpa didasari kasih.

Kasih lebih dari sekadar tindakan, lebih dari sekadar keinginan-keinginan berbuat baik yang hanya bertahan sebentar. Alkitab mengajarkan banyak hal tentang kasih ilahi, kasih yang sejati. Berikut ini tiga hal yang kupikir penting untuk selalu diingat:

1. Kasih berasal dari Allah.
Alkitab berkata, “Kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah” (1 Yohanes 4:7). “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:16). Kasih kepada Allah dan sesama adalah buah Roh yang dihasilkan ketika kita memberi diri dipimpin oleh-Nya (Galatia 5:22).

2. Kasih adalah alasan yang menggerakkan kita bertindak.
Kita membaca bahwa: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, …” (Yohanes 3:16). Kasih menggerakkan Allah untuk mengaruniakan Anak-Nya, dengan tujuan “…supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”. Tindakan Allah didasarkan pada kasih-Nya yang tidak berubah dan kekal. Kasih Allah adalah alasan kita untuk berbuat baik kepada orang lain, mengasihi mereka supaya mereka juga dapat mengenal Allah dan memiliki hidup yang berkelimpahan di dalam Dia. Alasan lainnya akan membuat kita mengasihi ala kadarnya atau pada waktu-waktu tertentu saja.

3. Kasih mengalir dari sukacita mengenal Allah dan menaati Dia.
Mustahil menjadi orang yang penuh kasih di luar Allah, karena kasih bersumber dari Allah. Ketika kita tidak memiliki sukacita bersekutu dengan Allah, bagaimana mungkin kita memiliki kasih-Nya? Tuhan kita, Yesus Kristus tekun memikul salib, mengarahkan pandangan-Nya pada “sukacita yang disediakan bagi Dia”, sukacita menyelesaikan tugas yang diberikan Bapa-Nya (Ibrani 12:2). Tindakan kasih-Nya mengalir dari sukacita mengetahui bahwa Bapa-Nya berkenan terhadap tindakan-Nya itu! Betapa perlu kita memandang teladan Yesus ketika kasih kita menjadi lemah dan kebaikan yang kita tunjukkan terasa sia-sia (Ibrani 12:3).

Aku tahu aku masih perlu banyak bertumbuh dalam kasih. Sebab itu, aku berdoa agar Allah mengaruniakanku sukacita untuk terus tinggal di dalam Dia, Sumber Kasih yang sejati, untuk menikmati persekutuan dengan-Nya sebagai harta terbesar dalam hidup. Hanya dengan demikian kasih sejati dapat mengalir di dalam dan melalui hidupku kepada orang lain, entah itu kepada keluarga, sahabat, rekan kerja, atau setiap orang yang Allah izinkan hadir dalam perjalananku. Kiranya ini menjadi doamu juga.

3 Hal yang Kugumulkan dalam Mengampuni

Oleh: Ian Tan
(artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things About Forgiveness I Grapple With)

3-THINGS-ABOUT-FORGIVENESS-I-GRAPPLE-WITH

Pengampunan lebih sering dibicarakan daripada dipraktikkan. Mengapa begitu sulit untuk mengampuni? Apa sebenarnya arti mengampuni?

1. Mengampuni tidak berarti melupakan
Kita mungkin sering mendengar ungkapan bahwa kita harus “mengampuni dan melupakan”. Tetapi, praktiknya, upaya “mengampuni dan melupakan” itu bisa membuat sebagian kita sangat lelah dan frustrasi oleh luka-luka masa lalu dan masalah yang sebenarnya belum sepenuhnya selesai. Ketika kita mengampuni seseorang, tidak berarti berbagai konsekuensi menyakitkan yang telah ditimbulkan oleh orang itu serta merta hilang. Ini adalah hal yang menurutku paling sulit dihadapi.

Bayangkanlah situasi suami atau istri yang berselingkuh. Sekalipun ia kemudian menyesali dan minta ampun kepada pasangannya, sangat wajar jika suami atau istri yang telah dikhianati itu tetap hancur dan sakit hatinya. Melupakan hal yang menyakitkan bukanlah sesuatu yang alamiah bagi kita sebagai manusia yang diberi Tuhan kapasitas untuk mengingat. Kecuali ada keajaiban yang membuat memori menyakitkan itu hilang, kita akan tetap dapat mengingatnya dalam waktu yang lama. Sangat sering aku berkata “Tidak apa-apa, aku memaafkanmu,” dan menyadari bahwa perasaanku sebenarnya berkata lain. Pengampunan tidak sedikit pun menghapus memori yang menyakitkan.

2. Mengampuni tidak berarti kita mendapat keadilan
Selain mustahil melupakan kesalahan orang kepada kita, tindakan mengampuni orang yang sebenarnya tidak layak diampuni itu sama halnya dengan tidak mendapat keadilan. Di dalam Alkitab, kita belajar bahwa seringkali, pengampunan harus tetap diberikan sekalipun tidak diminta.
Belum lama ini aku membaca tentang seorang pria dari Kamboja, Sokreaksa Himm, yang menyaksikan seluruh anggota keluarganya dibantai oleh tentara Khmer Merah di depan matanya sendiri saat ia berusia 14 tahun. Trauma masa remaja itu membuatnya tumbuh dalam kepahitan dan kemarahan, menyebabkan ia ingin membalas dendam. Sekian tahun kemudian, Sokreaksa mengenal Yesus sebagai Juruselamat pribadinya dan belajar bahwa ia harus mengampuni untuk mengatasi kebencian dan kepahitan yang ia miliki terhadap orang-orang yang telah membunuh keluarganya. Akhirnya, ia mencari para pembunuh itu, tetapi bukan untuk membalas dendam. Ia memberitahu mereka satu per satu bahwa ia telah memaafkan mereka. Bagiku sungguh mengherankan bahwa seorang manusia bisa mengampuni dalam situasi yang demikian. Para pembunuh itu tidak memohon pengampunan, mereka bahkan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Pengampunan berarti kita tidak membalas orang lain setimpal dengan kesalahan mereka.

3. Mengampuni tidak menjamin adanya perubahan
Apa yang terjadi setelah pengampunan diberikan? Akankah orang yang diampuni berubah? Pengalamanku selama bertahun-tahun sebagai seorang guru mengajarku bahwa tidak ada jaminan bahwa orang yang diampuni akan mengalami transformasi hidup. Ia bisa saja terus mengulangi kesalahan yang sama. Setiap kali aku duduk bersama murid-muridku untuk mengoreksi kelakuan mereka yang salah dan memberitahu mereka bahwa mereka sudah dimaafkan, selalu saja ada perasaan ragu bahwa mereka akan berubah, karena aku ingat bahwa mereka sudah pernah melakukan kesalahan yang sama.

Mengampuni—mungkinkah dilakukan?
Kesadaran bahwa mengampuni itu tidak menghapus ingatan akan kesalahan orang, tidak adil bagi kita yang telah disakiti, dan tidak ada jaminan bahwa hidup orang yang diampuni akan berubah, dapat membuat kita merasa mustahil untuk mengampuni. Namun, kita diminta untuk meneladani Kristus yang mengampuni dosa hingga mati di kayu salib (Kolose 3:12-13). Apa yang sudah dilakukan Yesus membuatku mengerti bahwa ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pengampunan. Yesus memberikan nyawa-Nya bagi pengampunan kita, yang sesungguhnya sangat tidak layak menerima pengampunan itu.

Menurutku, kita perlu mengubah cara kita memandang diri kita dan orang lain. Seringkali aku menemukan bahwa aku sulit mengampuni karena aku membanding-bandingkan besarnya kesalahan orang lain dengan kesalahanku sendiri. Kita baru dapat mengampuni ketika kita lebih dulu memandang salib Yesus, mengingat bahwa di hadapan Allah semua kesalahan sesungguhnya sama-sama tidak layak diampuni, namun oleh anugerah-Nya, Yesus menyucikan kita dengan darah-Nya.

Mengampuni dan melupakan adalah sesuatu yang mustahil dilakukan. Tetapi, mengampuni sekalipun kita ingat kesalahan yang telah menyakiti kita, itu adalah anugerah Allah, dan dapat terjadi hanya karena Yesus dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita. Mari memandang salib-Nya untuk mendapatkan kekuatan yang kita butuhkan untuk mengampuni, karena pengampunan hanya dapat dimungkinkan oleh Dia yang telah mati dan telah mengampuni kita.

Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat

Oleh: Alex Tee
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Ways To Know She Is The One To Marry)

5-ways-to-know-she's-the-one-to-marry-2

Kamu yakin ia adalah calon istri yang tepat?”

Pertanyaan semacam ini sangat sering kuterima saat sedang berpacaran. Sejujurnya​​, tanggapan pertama yang muncul di pikiranku adalah, “Aku nggak tahu“, karena rasanya terlalu lancang jika aku mengaku-ngaku lebih tahu dari Tuhan siapa pasangan yang tepat bagiku. Tetapi, tidak berarti aku kemudian sembarangan saja menjalin hubungan. Setidaknya lima hal berikut telah menolongku untuk memiliki kemantapan hati dengan pasanganku.

1. Ia tidak mendorongku berubah menjadi sosok yang ia inginkan, tetapi yang Tuhan inginkan.
Aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti aktor Korea favoritnya, Lee Min Ho. Aku pun tidak sekaya atau sepintar teman-temannya. Namun, ia tidak pernah membanding-bandingkan aku dengan mereka. Sebaliknya, dengan lembut ia selalu mengingatkan aku untuk menjadi seorang pria yang Tuhan kehendaki. Sebagai pelayan Tuhan penuh waktu, sering kali aku ingin berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih bergengsi. Tetapi, ia selalu mengingatkan aku bahwa bukanlah suatu kebetulan aku terlibat dalam pelayanan penuh waktu untuk kaum muda. Sungguh adalah suatu berkat yang luar biasa jika pekerjaan itu dipercayakan kepadaku meskipun aku bukan orang yang paling cerdas dan pintar bicara menurut ukuran dunia. Butuh kerendahan hati yang besar dari sisiku untuk menerima kata-kata itu. Tetapi, butuh keberanian yang lebih besar dari sisinya untuk bisa mengutarakannya dan mendorong aku menjadi orang yang tekun mengikuti kehendak Tuhan.

2. Ia mendengarkan Tuhan.
Ketika Tuhan berbicara, kita harus berusaha mendengarkan-Nya sebaik mungkin. Ketika dua orang sedang marah, apa pun yang dikatakan oleh salah satu pihak sering kali tidak didengarkan dengan baik, karena tiap pihak hanya memikirkan hak dan kepentingannya sendiri. Tetapi, ketika fokus kita terarah kepada Tuhan, kita tahu bahwa firman-Nya lebih penting daripada hak-hak kita; firman-Nya akan mengarahkan perasaan dan perkataan kita untuk memberi respons yang tepat. Setiap kali aku merasa tidak dapat berkomunikasi dengan pasanganku, Tuhan tidak pernah gagal untuk berbicara kepadanya melalui firman-Nya, dan memampukannya memberi tanggapan yang tepat, bahkan ketika kami sedang bertengkar hebat.

3. Ia terbuka dan jujur ​dalam membagikan pemikirannya.
Salah satu “aturan” pertama yang kami tetapkan pada awal hubungan kami adalah untuk selalu terbuka dan jujur terhadap satu sama lain​​. Aku pun takjub menyadari betapa nyamannya kami bisa saling berbagi segala sesuatu tentang hidup, mulai dari acara-acara yang kami ikuti hingga hal-hal yang telah melukai hati. Bayangkan jika kita harus menyembunyikan semua pemikiran dan rahasia terdalam kita dari orang yang seumur hidup akan mendampingi kita. Sangat tidak nyaman bukan? Sangat penting kita bisa saling terbuka dengan pasangan kita—tahu bahwa ketika kamu jujur kepadanya, kamu tidak akan dihakimi atau ditertawakan, sebaliknya kamu akan dimaafkan dan dihiburkan.

4. Ia ikut aktif memelihara hubungan kami, tidak sekadar mengikuti atau hanya menerima semua yang aku katakan dan lakukan.
Butuh dua tangan untuk bertepuk tangan. Butuh dua pihak yang sama-sama aktif untuk memelihara sebuah hubungan. Pasanganmu tidak bisa menjadi seorang yang hanya mengiyakan segalanya, tetapi harus menjadi seorang yang bisa ikut bertukar pikiran denganmu. Aku bersyukur bahwa dalam hubungan kami, pasanganku tidak mengizinkan aku menjadi seorang yang angkuh. Ia juga tidak berperilaku seperti seorang putri yang tidak bisa menerima kata “tidak”. Aku bersyukur ia sering kali mempertanyakan keputusan-keputusanku, mencoba memahami cara berpikirku, serta membantu mempertajam pemikiranku, agar pada kali berikutnya, aku dapat membuat keputusan yang lebih baik.

5. Ia suka (atau belajar menyukai) apa yang kusukai.
Menjalin sebuah hubungan tidak berarti harus mengakhiri semua hobi dan kegemaran pribadi kita. Tidak juga berarti kamu harus menemukan seseorang yang semua kesukaannya sama persis denganmu. Pada dasarnya aku menyukai olahraga (salah satu olahraga favoritku adalah basket), sementara pasanganku justru takut terhadap bola karena trauma buruk di masa kecil. Perbedaan ini tidak membuatku harus berhenti bermain basket. Pasanganku selama ini sangat mendukung; terkadang ia juga ikut bermain untuk belajar menikmati apa yang aku nikmati.

Alkitab berbicara tentang bagaimana “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya” (Kejadian 2:24). Prinsip yang dibicarakan di sini adalah pergi dan meninggalkan hal yang lama untuk memulai sesuatu yang baru bersama orang yang kita kasihi. Jika kamu merasa tidak mampu meninggalkan kebiasaan lama atau kecenderungan pribadimu, menyerahkan “ruang pribadimu” untuk belajar menyukai apa yang disukainya, serta membuka seluruh isi hatimu kepadanya, mungkin kamu sebenarnya hanya ingin berteman saja, tidak ingin menjadikannya pasangan hidupmu.

Apakah ini terdengar seperti usaha yang mustahil dan sulit? Jangan berkecil hati! Perjalanan “pergi dan meninggalkan hal yang lama untuk memulai sesuatu yang baru” ini pada praktiknya sangat menyenangkan, lebih daripada apa yang dapat kamu bayangkan.

 
 
Baca juga artikel oleh Tracy tentang Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Suami) yang Tepat.

Aku Memerlukan-Mu

Oleh: Dewi Simanungkalit

busy-days

Menjelajah waktu yang terus melaju
Terlalu sibuk, aku memekik jerih
Namun langkahku terus maju
Seolah tak bisa berhenti

Lelah, letih, penat
Semuanya beradu
Dalam relung hati ini
Tak ada yang mengerti

Tatkala sang ratu malam menghias jagat raya
Butiran itu jatuh
Aku, dengan sudut ruang itu

Tuhan …
Aku memerlukan-Mu …

Asyik kucari semua yang kusenangi
Melarutkan diri di dalamnya,
Hingga terbuang waktu yang tak terulang
Dan Engkau pun hilang dari pandangan

Ini tanganku, jangan lepaskan
Aku tak bisa hidup tanpa-Mu, Tuhan
Ini hidupku, jangan tinggalkan
Jadikanku seturut kehendak-Mu

Tatkala nyata waktu-Mu saja yang terbaik
Butiran itu jatuh
Aku, dengan sudut ruang itu

Tuhan …
Aku memerlukan-Mu …

 
 
Ya Allah, Engkaulah Allahku, Aku mencari Engkau;
jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu,
seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair
” (Mazmur 63:1-2)

Mengasihi Itu Tidak Mudah

Oleh: Deborah Tao
(artikel asli dalam bahasa Mandarin: 「愛」難,愛人更難)

Mengasihi-Itu-Tidak-Mudah

Kasih adalah konsep yang selalu sulit kumengerti. Dengan kondisi keluarga seperti yang kuhadapi, kasih adalah sesuatu yang terlalu indah untuk dibayangkan, terlalu jauh untuk diraih.

Ketika aku berusia 14 tahun, ibuku menikah lagi. Aku bersama ibu dan adikku lalu bermigrasi dari China ke Singapura untuk tinggal bersama ayah tiriku yang adalah warga negara Singapura. Saat itu aku bertanya-tanya dalam hati: Mengapa ibu menikah lagi? Mungkin ia sangat mencintai ayah tiriku itu.

Tetapi, ternyata ibuku malah sering bertengkar dengan ayah tiriku. Ibuku memang mudah naik darah dan keras kepala. Ketika konflik terjadi di antara mereka, barang-barang di rumah akan beterbangan, diikuti suara kaca yang pecah. Setiap kali mereka ribut, aku akan menyelinap keluar dari rumah untuk jalan-jalan sejenak. Namun, tetap saja suara-suara penuh kemarahan itu terdengar di seputar kompleks tempat kami tinggal. Perkelahian mereka kerap membekaskan luka di tubuh ayah tiriku dan mengundang kunjungan polisi. Sudah sering aku menangis dan berkata kepada ibuku bahwa aku rindu punya keluarga yang harmonis, tetapi jawabannya selalu meremukkan hati: “Itu tidak akan pernah terjadi”.

Parahnya lagi, hidup di Singapura tidaklah seperti yang kami bayangkan. Aku harus bisa mencukupkan diri dengan uang dua dolar sehari. Sebaik apa pun aku membaginya, tetap saja aku sering menahan lapar. Bisa punya cukup makan sehari sudah membuatku bahagia, sangat kontras dengan teman-temanku yang berusaha keras mengurangi makanan mereka demi menjaga bentuk tubuh. Kebiasaan mereka sangat menggangguku. Setiap kali aku melihat orang membuang-buang makanan, rasanya ingin sekali aku menggantikan mereka untuk memakannya sampai habis.

Demi mengisi perut, aku mulai bekerja paruh waktu pada umur 15 tahun. Pagi hingga siang hari aku sekolah, lalu malamnya aku bekerja sebagai seorang pelayan hotel. Sebagai konsekuensinya, aku hanya bisa beristirahat 4-5 jam setiap harinya. Namun, sekalipun sudah bekerja keras, aku tetap saja hampir tidak bisa memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Bisa dibilang tiga tahun itu adalah masa-masa tersulit dalam hidupku dan aku selalu merasa kelelahan.

Aku sangat sedih dengan kondisi hidupku, sekaligus sangat iri dan benci kepada mereka yang dilahirkan dalam keluarga bahagia. Aku bertekad suatu hari nanti akan meninggalkan keluargaku dan menjalani kehidupan yang kudambakan.

Demi mencapai tujuanku, aku mulai bekerja lebih keras agar bisa menabung. Bahkan pada hari sebelum ujian pun, aku tetap pergi bekerja seperti biasa. Aku belajar lebih giat agar dapat meraih apa yang kucita-citakan. Hidupku sarat dengan keletihan dan kemarahan. Aku berjalan tanpa arah dan kehilangan tujuan hidup.

Tak kuat lagi menanggung kesengsaraan dalam hidup, aku akhirnya memutuskan untuk menyerah. Namun, pada hari aku hendak mengakhiri hidupku, aku bertemu dengan seorang pendeta. Ia memberitahuku bahwa Tuhan mencintaiku. Saat itu aku berpikir, “Kalau benar Tuhan ada, Dia tidak mungkin membiarkan aku menderita seperti ini.”

Jadi aku bertanya kepada pendeta itu, “Bisakah Anda memberiku alasan mengapa aku harus tetap hidup?” Ia menjawab, “Jika kamu terus hidup, kamu dapat menolong banyak orang untuk hidup lebih baik.” Hatiku bergetar. Momen itu memperbarui tujuan hidupku, Tuhan memberiku alasan untuk tetap hidup.

Aku pun mulai menghadiri kebaktian di gereja dan mengenal banyak saudara-saudari seiman dalam Kristus. Kami saling mendukung seperti layaknya sebuah keluarga. Melalui proses membaca dan mendalami Alkitab, aku belajar apa artinya mengasihi diri sendiri, memaafkan diri sendiri, dan melepaskan beban masa lalu.

Dulu aku tidak tahu bagaimana cara menghargai hidupku sendiri, juga tidak tahu bagaimana bersikap sabar dan baik terhadap orang lain. Aku tidak bisa menerima kesalahan, aku seorang yang perfeksionis. Keangkuhanku seperti tembok yang tidak dapat ditembus—tebal dan keras.
Namun, setelah mengenal Yesus, karakterku mulai diproses dan diubahkan. Yesus mengajarku untuk mengasihi, untuk menerima perbedaan, dan untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang lain, sembari memberi diriku sendiri waktu untuk belajar dan memperbaiki diri. Aku juga belajar untuk rendah hati, menanggalkan kesombonganku, dan melepaskan diri dari kepahitan masa lalu.

Setelah beberapa waktu berlalu, aku memberi diri menjadi volunter, dan bertemu banyak orang yang juga telah kehilangan tujuan hidup mereka. Atas kasih karunia Tuhan, kesaksian hidupku menguatkan mereka untuk memulai kehidupan yang baru.

Mengingat kehidupanku yang dulu, sungguh tidak pernah terpikir olehku bahwa Tuhan akan menyediakan sebuah keluarga lain (dalam Kristus) untukku (dan anggota keluarga besar ini terus bertambah!). Seiring aku bertumbuh makin dekat dengan Tuhan, aku juga belajar untuk mengampuni ibuku. Aku mulai bisa memahami bahwa ia sebenarnya juga menderita; ia menyakiti kami dengan tutur lakunya karena ia sendiri tidak mengenal Tuhan. Bila aku berada pada posisinya, mungkin aku juga akan memiliki sikap yang sama.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas damai dan sukacita yang telah Dia diberikan kepadaku sejak aku mengenal Dia secara pribadi. Kiranya Tuhan juga memberikan berkat yang sama bagi Saudara.

Tentang Cinta dan Pernikahan: Siapakah “Jodohku”?

Oleh: Kezia Lewis
(artikel asli dalam bahasa Inggris: Of Love And Marriage: Who Is “The One”?)

Of-Love-and-Marriage--Who's-the-One-

 
Aku baru menikah selama 4 tahun dari 34 tahun usiaku, jadi jelas aku bukan seorang pakar tentang cinta dan pernikahan. Namun, karena aku sudah menikah, aku sering ditanyai oleh banyak teman yang masih lajang: “Bagaimana kamu tahu bahwa Jason, suamimu, adalah ‘jodohmu’?”

Jadi, bagaimana aku tahu?

Dulu aku juga suka menanyakan hal yang sama. Aku sangat percaya bahwa Tuhan menyediakan seorang pria tertentu bagiku. Aku ada dalam sebuah perjalanan panjang untuk menemukan jodohku itu. Tetapi, pada saat yang sama aku pun bertanya-tanya: ”Bagaimana aku bisa mengenali siapa jodohku, orang yang tepat untukku?”

Aku bergumul cukup lama dengan pertanyaan ini. Bagaimana gerangan aku bisa tahu apakah pria di depanku adalah orang yang seharusnya kunikahi? Perasaan seperti apa yang seharusnya aku punya? Tanda apa yang harus aku cari?

Aku terus berusaha mencari jawabannya hingga akhirnya aku menemukan betapa cacatnya gagasanku tentang cinta dan pernikahan. Pada akhirnya aku menyadari bahwa yang namanya “jodoh” itu sebenarnya tidak ada.

Jika Allah telah menentukan satu orang tertentu menjadi jodohmu, itu artinya pilihanmu sangat sempit dan sulit ditemukan. Siapa gerangan orangnya? Allah tidak pernah memberikan detail yang spesifik dalam Alkitab tentang seperti apa orang itu. Aku percaya bahwa jika kamu memiliki hubungan yang selaras dengan Tuhan, dan hidup menurut jalan-Nya, Dia akan memimpinmu kepada beberapa orang yang mungkin dapat menjadi pasanganmu. Ya, benar. Beberapa. Tidak hanya satu, tetapi banyak. Seorang pria atau wanita yang adalah seorang pengikut Kristus sejati dapat saja menjadi suami atau isterimu karena kalian berdua sudah memiliki Kristus sebagai fondasi yang sama untuk membangun hubungan. Yang membuat orang itu memenuhi syarat untuk menjadi pasanganmu adalah hubungan yang sungguh-sungguh dimilikinya dengan Yesus. Hubungan tersebut dapat terlihat dengan cara yang berbeda-beda dalam hidup tiap-tiap orang. Namun, itulah yang mendasar. Hal-hal lainnya adalah pelengkap, ibarat hiasan gula di atas sebuah kue.

Kemudian, Tuhan mau kamu membuat sebuah pilihan. Kamu bertanya kepada Tuhan apakah pria atau wanita ini adalah “jodohmu”, sebaliknya Tuhan juga meminta kamu memilih apakah pria atau wanita ini adalah orang yang tepat buatmu. Inilah salah satu keindahan menjadi anak Tuhan: Dia memberimu kebebasan untuk membuat pilihan. Dia bukanlah seorang diktator yang memberi perintah, dan kamu hanya mengikuti. Tuhan memberimu kapasitas untuk berpikir dan menginginkan. Jadi, aku berani berkata: Pilihlah seseorang. Pilihlah untuk mencintai dan untuk menjanjikan cinta. Janganlah pemikiran untuk menemukan “jodoh” membuatmu hidup penuh keraguan untuk melangkah.

Aku tidak menikahi “jodohku”. Tetapi, karena aku memilih suamiku, ia pun menjadi “jodohku.” Aku menikahi seorang pria yang dibawa Tuhan ke dalam perjalanan hidupku, orang yang kupilih untuk kucintai, orang yang kulihat dapat melayani dan bertumbuh bersamaku.

Aku mendorongmu untuk mendoakan seorang pasangan hidup, untuk memohon hikmat dari Tuhan saat kamu membuat keputusan. Tuhan mau kita berdoa dalam menemukan pasangan hidup. Tetapi, yang lebih penting lagi, kita seharusnya berdoa agar kita semakin memahami bahwa pernikahan itu bukan tentang seorang yang kita nikahi atau tentang pemenuhan kebahagiaan kita (bukan berarti Tuhan tidak menghendaki kita bahagia). Pernikahan itu pada akhirnya adalah tentang apa yang Allah inginkan kita lakukan dalam hidup agar dapat mencerminkan kemuliaan-Nya. Pernikahan adalah tentang Allah yang menunjukkan kasih yang tidak berkesudahan bagi kita dan bagi gereja/umat-Nya (Efesus 5:21-33).

Meskipun menantikan “orang yang tepat” atau “jodoh” dari Tuhan kedengaran romantis, baik, dan bahkan mungkin alkitabiah, kamu sungguh tak perlu menunggu. “Pribadi yang tepat”, yang sungguh kita butuhkan dan yang dapat memuaskan hasrat hati kita sepenuhnya, sudah ada bersama dengan kita 一Yesus. Di dalam Dia, kita sudah menjadi pribadi yang utuh.

Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Suami) yang Tepat

Oleh: Tracy Phua
(artikel asli dalam bahasa Inggris: 5 Ways To Tell He Is The One To Marry)

5-ways-to-know-he-is-the-one-to-marry

Berkencan bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan melelahkan—bagaimana kamu tahu bahwa orang yang berkencan denganmu adalah orang yang tepat menjadi pasangan hidupmu? Inilah pertanyaanku sekitar 16 bulan yang lalu. Hari ini, aku bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua anggota keluarga yang sudah menolongku dalam mengambil keputusan pada saat itu. Pengalamanku belum banyak, tetapi berikut ini setidaknya ada lima tanda yang telah menolongku mengenali apakah cowok yang berpacaran denganku dapat serius kupertimbangkan sebagai pasangan hidup.

1. Ia mendengarkan. Aku belajar bahwa para pria pada dasarnya suka mencarikan solusi. Sejak kecil aku melihat ayah dan para pamanku selalu siap memberikan solusi setiap kali para wanita di rumah menunjukkan ketidakberdayaan mereka dalam situasi-situasi tertentu. Sayangnya, kebanyakan pria cenderung berlebihan dalam memberikan solusi, terutama ketika suasana hati pasangan mereka sedang kacau. Biasanya yang diinginkan para wanita ketika mereka sedang merasa lelah dan marah hanyalah kesediaan para pria untuk mendengarkan dan hadir untuk mereka. Mereka tidak ingin para pria menawarkan solusi pada saat yang tidak tepat, tanpa mempedulikan apa yang sedang mereka rasakan. Para wanita ingin ada sosok yang menemani dan membuat mereka merasa tenang. Dan, cara terbaik untuk itu adalah mendengarkan mereka meluapkan apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka.

2. Ia peduli dengan apa yang kamu pedulikan. Pada awal hubungan, kebanyakan pria akan memperhatikan segala sesuatu yang melibatkan pasangan mereka. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, adakalanya mereka berhenti melakukannya, bahkan mulai menganggap hal-hal tertentu sebagai sesuatu yang biasa. Seseorang yang dapat mendampingimu seumur hidupmu akan menjadikan apa yang kamu pedulikan sebagai kepeduliannya juga. Ketika ia tahu bahwa ada peristiwa penting yang harus kamu hadiri, ia juga akan hadir untuk memberikan dukungan. Bagi aku pribadi, momen itu adalah ketika pacarku (yang sekarang menjadi suamiku) datang pada pemakaman nenekku. Nenekku sangat berarti untukku, dan kehadiran pacarku saat aku kehilangan nenek sangatlah berarti untukku.

3. Ia cepat meminta maaf. Seorang bernama Garrett McCoy sekali waktu pernah berkata, “Lebih baik aku minta maaf sekarang kepadamu karena tidak bersikap sepatutnya, daripada nanti aku harus berhadapan dengan murka Tuhan.” Seorang yang cepat minta maaf menunjukkan kedewasaannya dengan mengakui kesalahan dan menunjukkan keinginannya untuk memulihkan hubungan. Ia tidak dikendalikan oleh keangkuhan maskulinnya, tetapi bersedia mengakui kelemahannya dan bertumbuh bersama dalam hubungan itu. Aku pribadi percaya bahwa dalam berbagai situasi, pernyataan “maafkan aku” dapat lebih bernilai dibandingkan pernyataan “aku sayang kamu.”

4. Ia bisa berhubungan baik dengan keluargamu. Keluargaku adalah bagian yang sangat penting bagi hidupku, sebab itu aku sangat berharap suamiku dapat diterima dengan baik oleh mereka. Aku bersyukur para tanteku sangat senang dengan pacarku (yang sekarang menjadi suamiku), dan membuatkan masakan kesukaannya setiap kali kami datang mengunjungi mereka. Sebaliknya ia juga suka membantu para tanteku saat mereka perlu memperbaiki sesuatu di rumah. Mendapat jempol dari keluarga memberi rekomendasi dan bukti bahwa ia punya karakter yang baik. Jika ia punya karakter yang baik, separuh pertandingan sudah dimenangkan.

5. Ia takut akan Tuhan. Aku sering mendengar ungkapan ini:“A couple that prays together, stays together.” [Pasangan yang berdoa bersama, akan tetap bersama]. Aku bersyukur bahwa aku dan suamiku telah berdoa bersama secara teratur bahkan sebelum kami menikah. Selain itu, aku sangat bersyukur melihat kecintaannya pada Tuhan tercermin dari ketaatannya. Selama 9 bulan pernikahan, aku telah melihat sendiri bagaimana ia menyediakan waktu secara khusus setiap pagi bersama Tuhan, membaca Alkitab secara teratur, dan sering mendiskusikan Firman Tuhan denganku. Sikapnya menginspirasiku untuk lebih rajin dalam kehidupan doa dan saat teduhku sendiri.

Sembilan bulan ini mengajarku bahwa pernikahan melibatkan dua orang yang tidak sempurna, yang berdosa, yang tidak bisa menjadi satu dengan sendirinya. Butuh pihak ketiga, yaitu Allah, untuk menyatukan keduanya.

Jadi, menikahlah dengan seseorang karena siapa yang berusaha ia ikuti/teladani dalam hidupnya, dan bergabunglah dalam perjalanannya. Banyak yang telah memberi kami peringatan bahwa jalan ke depan bukanlah jalan yang mudah, sarat dengan sukacita juga dukacita. Tetapi, kami dapat melaluinya dengan berani, karena selain punya teman seperjalanan, kami juga memiliki Kristus di pusat pernikahan kami, dan yang lebih penting lagi, di pusat hidup kami masing-masing.

 
Baca juga artikel oleh Alex tentang Lima Hal yang Menunjukkan Ia Calon (Istri) yang Tepat.