Posts

#GaliDasarIman: Apakah yang Tidak Tahu Tidak Berdosa?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Pertanyaan di atas mencoba mengeksplorasi keterkaitan antara kesalahan dan pengetahuan. Maksudnya, apakah seseorang yang tidak mengetahui bahwa tindakannya salah dapat dipersalahkan karena tindakan tersebut? Jika jawabannya adalah tidak, apakah orang itu perlu diberi tahu bahwa tindakan itu adalah salah?

Terhadap pertanyaan ini Alkitab menyediakan jawaban yang cukup jelas dan konsisten. Ketidaktahuan tidak membebaskan seseorang dari dosa. Tindakan seseorang tetap diperhitungkan sebagai dosa walaupun orang itu tidak menyadarinya.

Poin ini diungkapkan dengan baik dalam sebuah perumpamaan Alkitab tentang hamba-hamba yang tidak taat (Lukas 12:37-48). Perumpamaan ini ditutup dengan sebuah kesimpulan: “Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan” (ayat 47-48a). Alasan di balik hal ini juga dijelaskan: “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (ayat 48b). Ketidaktahuan hanya mengurangi, bukan meniadakan, hukuman.

Alkitab juga mengajarkan bahwa dalam taraf tertentu semua manusia sebenarnya sudah mengetahui kehendak Allah. Persoalan manusia bukanlah “tidak tahu,” melainkan “tidak mau tahu” atau “tidak mampu”. Dosa manusia adalah “menindas kebenaran dengan kelaliman” (Roma 1:18). Kepada mereka sudah dinyatakan kebenaran-kebenaran ilahi melalui wahyu umum, misalnya ciptaan yang dapat dinalar (Roma 1:19-20) atau hukum moral dalam hati mereka (Roma 2:14-15). Permasalahannya, mereka tidak mau dan/atau tidak mampu menaati pengetahuan tersebut.

Untuk memperjelas hal ini, ada baiknya kita mengenal dua istilah: dosa dan pelanggaran. Dosa merujuk pada segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah yang sempurna. Pelanggaran berarti ketidaksesuaian dengan aturan (perintah atau larangan) tertentu. Ada dua teks Alkitab yang perlu untuk disinggung di sini. Roma 4:15 mengajarkan: “Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.” Selanjutnya dikatakan: “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (Rm. 5:13). Dari teks ini terlihat bahwa semua kesalahan adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu pantas dikategorikan sebagai pelanggaran.

Ketidakmampuan untuk hidup seturut dengan wahyu Allah bersumber dari natur manusia yang berdosa. Hal yang sama bahkan menimpa mereka yang diberi wahyu khusus. Paulus dengan jujur mengungkapkan pengalamannya: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku” (Roma 7:15-17). Jadi, persoalan terbesar manusia bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmampuan.

Sebuah ilustrasi mungkin bermanfaat untuk menerangkan kebenaran di atas. Banyak orang di pedalaman terbiasa mandi di sungai yang kotor. Mereka bahkan menyikat gigi mereka dengan air yang sama. Dari kacamata orang perkotaan yang sudah mengenal beragam informasi kesehatan, kebiasaan ini sangat berbahaya. Dari kacamata mereka sendiri yang sudah tinggal di sana berabad-abad, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam kebiasaan tersebut. Mereka tidak tahu informasi kesehatan yang memadai. Kalaupun tahu, belum tentu mereka mempercayainya. Bahkan sekalipun mereka tahu dan mempercayainya, belum tentu mereka mau dan mampu hidup sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan itu. Mereka sudah terlanjur merasa nyaman dan aman dengan apa yang mereka lakukan. Mereka belum tentu mampu mendapatkan air yang bersih dalam jumlah yang memadai.

Apakah ketidaktahuan penduduk setempat terhadap kesehatan menjadikan kebiasaan mereka dapat ditolerir? Apakah tindakan mereka dapat dianggap benar hanya gara-gara mereka tidak mengetahui apa yang ideal? Tentu saja tidak, bukan? Demikian pula dengan dosa dan pengetahuan kita. Apa saja yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sempurna adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu disebut pelanggaran. Bagi mereka yang tahu, kesalahan mereka tergolong dosa sekaligus pelanggaran. Dalam keadilan Allah yang sempurna, Ia akan mempertimbangkan ketidaktahuan seseorang (yang tidak tahu akan menerima hukuman lebih ringan), tetapi tetap tidak meniadakan hukuman sama sekali (yang tidak tahu tetap dihukum).

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Baca Juga:

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

Banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja.

Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

⠀⠀⠀⠀

#GaliDasarIman: Mengapa Kita Tidak Membela Agama Kita?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Serangan terhadap kekristenan terus dilancarkan sepanjang zaman. Salah satu bentuknya adalah pelecehan terhadap Yesus Kristus. Entah sudah berapa buku dan film yang diluncurkan untuk menampilkan Yesus Kristus yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Alkitab. Misalnya, Yesus yang bercumbu dan menikah dengan Maria Magdalena. Tidak terhitung lagi sikap-sikap lain yang merendahkan gereja, pendeta, atau orang Kristen. Artikel ini tidak akan cukup untuk memaparkan semua contoh serangan yang melecehkan atau menista tersebut.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Menariknya, banyak orang Kristen tampaknya tidak memberikan reaksi yang berlebihan terhadap isu ini. Bagi penganut agama-agama lain, sikap ini cukup mengejutkan. Jika hal yang sama ditujukan pada agama mereka, mereka tentu sudah mengambil tindakan yang tegas dan keras, bahkan kasar sekalipun (jika itu dirasa perlu). Jadi, mengapa kita tidak membela agama kita?⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Hal pertama yang perlu dijernihkan adalah ini: kita sungguh-sungguh membela. Alkitab memberikan banyak contoh tentang orang-orang Kristen yang berani membela keyakinannya. Paulus beberapa kali memberikan pembelaan untuk Injil di ruang pengadilan (Kisah Para Rasul 24:10; 25:8, 16; 26:1; Filpi 1:7). Petrus menasihati orang-orang Kristen untuk selalu bersiap-sedia memberikan pertanggungjawaban (lit. “pembelaan”; 1 Petrus 3:15-16). Jadi, orang-orang Kristen wajib membela keyakinannya.⠀⠀⠀

Yang menjadi perbedaan antara kita dengan penganut agama lain adalah bentuk pembelaan yang kita berikan. Yesus Kristus menentang segala bentuk kekerasan. Pada saat orang lain menolak Injil yang kita beritakan, kita hanya perlu untuk meninggalkan mereka (Matius 10:14; Markus 6:11; Lukas 9:5). Tidak boleh ada kekerasan, pembalasan, maupun pemaksaan. Sebagai contoh, ketika penduduk salah satu desa di Samaria tidak mengizinkan Yesus untuk melintasi daerah mereka, murid-murid-Nya sangat marah dan ingin menghukum penduduk tersebut, tetapi Yesus justru menghardik murid-murid itu (Lukas 9:53-55). Ketika Petrus melawan para tentara yang hendak menangkap Yesus, dia justru menerima teguran dari Yesus (Yohanes 18:10-11).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kebenaran di atas tidak hanya diajarkan oleh Yesus, melainkan juga dilakukan-Nya sendiri. Ketika Dia terpaku di atas kayu salib dan diolok-olok oleh banyak orang, Dia tidak membalas sekalipun. Kemarahan pun tidak ada pada-Nya. Sebaliknya, Dia justru melepaskan pengampunan untuk mereka (Lukas 23:34).⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pembelaan yang harus kita berikan adalah penjelasan rasional. Tatkala Yesus menerima serangan dan penolakan, Dia mengajak orang lain untuk berpikir secara jernih. Kepada orang-orang Yahudi yang hendak melempari-Nya dengan batu, Yesus bertanya: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” (Yohanes 10:32). Dia juga mengajak orang-orang Farisi memikirkan ke-Mesiasan-Nya secara logis dari kitab suci (Matius 22:41-46). Petrus menasihatkan kita untuk memberikan jawaban setiap kali ada orang yang menanyakan keyakinan dan pengharapan kita di dalam Kristus (1Petrus 3:15-16).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Bentuk pembelaan lain adalah melalui kesalehan hidup. Menghidupi kebenaran sama pentingnya dengan memberitakan kebenaran itu sendiri. Orang-orang Kristen diperintahkan untuk meresponi fitnahan dengan kesalehan (1 Petrus 2:12). Kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, sebaliknya justru mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:17, 21). Kesalehan adalah senjata ampuh untuk menaklukkan para penentang (1 Petrus. 3:1-2). Ketika kita memberikan pembelaan secara rasional, kita harus melakukan itu dengan sikap yang saleh: lemah-lembut, hormat, dan tulus (1 Petrus 3:15-16). Sama sekali tidak ada kekerasan! Kebenaran harus dibela dengan cara yang benar pula.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pernahkah kita merasa tertantang dan bergumul untuk membela kepercayaan kita?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

⠀⠀
Bagaimana Jika Kekristenan Adalah Sebuah Kebohongan?

Bertahun-tahun silam, seorang temanku pernah berkata, “Keberadaan Tuhan itu tergantung pada iman kita.”

Pada saat itu aku berpikir, wah, masuk akal. Ini pemikiran orang cerdas.

Pernyataan itu memang ada benarnya. Tampaknya sangat logis: jika suatu hari aku memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan, tidak akan ada lagi yang namanya Tuhan dalam hidupku. Dia akan segera lenyap. Kehidupan akan berjalan seperti biasa. Bahkan, aku mungkin akan bertanya: Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Tuhan? (Jangan protes dulu sebelum selesai membaca).

Arti Doa menurut Iman Kristen

Subtitle oleh Felicia Shelly

Apakah doa orang Kristen hanyalah sekadar ritual? Apakah doa yang dimaknai oleh iman Kristen hanya sekadar aktivitas tanda rohani?

Apa arti doa menurut iman Kristen?

Yuk temukan pembahasan mengenai “Arti Doa menurut Iman Kristen” oleh Ev. Samuel Soegiarto (@s4m4jc) co-founder @apologetikaindonesia

Moderator oleh Grasella Mingkid (@grasellamingkid)
Video ini merupakan cuplikan Instagram Live @warungsatekamu pada hari Kamis, 25 April 2019.

Lihat video series lainnya:
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa

#GaliDasarIman: Apakah Tujuan Hidup Manusia?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

“Apakah Tujuan Hidup Manusia?”

Pertanyaan yang sangat fundamental ini menyangkut aspek filosofis dan praktis. Para filsuf memikirkannya. Orang biasa pun menggumulkannya. Apakah jawabannya? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa hidup memiliki tujuan?

Hal PERTAMA yang perlu dipikirkan adalah kompleksitas dan keteraturan alam semesta maupun tubuh kita. Semua yang rumit dan teratur pasti menyiratkan sebuah tujuan. Kerumitan tanpa keteraturan adalah kekacauan dan hanya bersifat kebetulan. Tumpukan sampah, misalnya, mengandung kompleksitas tetapi tanpa keteraturan. Kita dapat melihat bahwa kerumitan dan keteraturan di alam semesta dan tubuh kita. Semua anggota tata surya bergerak dengan pola yang teratur. Dibutuhkan kesesuaian dengan hukum alam yang begitu kompleks untuk memiliki alam semesta seperti sekarang ini. Begitu pula dengan tubuh kita. Perkembangan ilmu biomolekuler menunjukkan bahwa DNA manusia jauh lebih kompleks daripada yang dipikirkan oleh banyak orang. Bukan hanya ada struktur yang jelas dan rumit, tetapi juga mengandung semacam informasi di dalamnya.

Hal KEDUA yang menyiratkan tujuan hidup adalah pencarian nilai hidup. Semua orang ingin hidupnya bermakna. Makna ini dipengaruhi oleh tujuan yang diyakini oleh orang tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak selaras atau mendukung pencapaian tujuan tersebut akan dianggap kurang bernilai. Begitu pula dengan sebaliknya. Hal-hal yang berhubungan dengan tujuan itu dipandang bernilai. Tanpa kesadaran tentang tujuan hidup, seseorang akan merasa hidupnya kurang bernilai. Apalah artinya seorang manusia di antara miliaran yang pernah ada di bumi? Apalah artinya seorang manusia di tengah-tengah alam semesta yang sedemikian besar?

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa hidup mempunyai tujuan karena Alkitab mengajarkan demikian. Misalnya, manusia diciptakan untuk memuliakan Allah (Yesaya 43:7). Segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Dia (Roma 11:36).

Hampir semua orang memikirkan kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Manusia ada untuk menikmati kebahagiaan. Menariknya, Alkitab maupun teologi Kristen yang benar tidak menolak hal ini. Allah menciptakan dunia yang sedemikian baik untuk didiami oleh manusia (Kejadian 1:31). Semua yang baik di dalamnya disediakan untuk dinikmati oleh manusia (1Timotius 4:4). Katekismus Singkat Westminster juga mengajarkan: “Tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.” Ada kenikmatan yang disinggung di sana. Tujuan hidup memang berkaitan dengan kebahagiaan. Persoalannya, manusia seringkali tidak memahami kebahagiaan yang sejati, pula bagaimana mencari kebahagiaan. Atau, benarkah kebahagiaan perlu dicari? Mungkinkah kebahagiaan merupakan konsekuensi (hasil) dari mencari yang lain?

Realita hidup mengungkapkan bahwa hal-hal yang non-material membawa kepuasan yang lebih daripada hal-hal yang material. Beragam survei menunjukkan bahwa manusia mendapatkan kepuasan yang lebih pada saat mereka membagi apa yang mereka miliki dengan orang lain daripada menggunakannya untuk diri sendiri.

Lalu, banyak orang juga menyetujui bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki oleh seseorang, tetapi seberapa banyak orang itu bisa mengapresiasi apa yang dia miliki. Ada orang kaya yang tidak berbahagia karena selalu merasa kurang. Sebaliknya, ada orang yang hidup sederhana namun bahagia.

Kenyataan juga mengajarkan bahwa orang rela menguras harta mereka demi sesuatu yang non-material. Sebagai contoh, semua orang yang berpikiran jernih pasti akan sependapat bahwa uang pada dirinya sendiri tidak membawa kebahagiaan. Uang hanyalah sarana untuk mendapatkan hal lain yang mampu memberi kebahagiaan. Dengan uang yang melimpah, seseorang bisa membeli barang-barang yang berharga, sehingga dia mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Orang mau kehilangan begitu banyak uang untuk operasi plastik dan perbaikan penampilan, demi mendapatkan pujian dari orang lain.

Lebih jauh, di antara semua hal yang non-material, kita menemukan bahwa hal-hal yang bermoral adalah lebih bernilai daripada yang lain. Kita mengeluarkan uang untuk berlibur dan menikmati keindahan alam. Yang kita peroleh dari aktivitas ini juga non-material, yaitu pengalaman, kenyamanan, dan ketakjuban. Namun, harus diakui, orang lain akan lebih mengapresiasi apabila kita menggunakan uang kita untuk sesuatu yang mengandung bobot moralitas, misalnya proyek misi atau kemanusiaan di pedesaan atau tempat terpencil.

Pengamatan terakhir: Keutamaan hal-hal yang personal juga terlihat pada saat manusia berada di penghujung hidupnya. Orang tidak lagi memusingkan hal-hal yang material. Bahkan pencapaian-pencapaian moral pun seringkali dianggap kurang begitu penting. Yang diutamakan adalah relasi. Keluarga. Orang-orang yang dia kasihi.

Semua penjelasan di atas – keutamaan hal-hal yang non-material, bermoral, dan personal – seyogyanya menuntun kita untuk memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Apa yang sering ditawarkan oleh dunia sebagai tujuan hidup atau kebahagiaan hidup ternyata tidak esensial, apalagi fundamental. Semua hanya di permukaan belaka (superfisial). Tidak heran, semakin besar upaya mereka untuk memperoleh kebahagiaan, semakin besar kekecewaan mereka.

Allah memang menyediakan kebahagiaan bagi manusia. Namun, jalan menuju ke sana sangat berbeda degan yang diberikan oleh dunia. Kebahagiaan bukan motivasi atau destinasi, namun sebuah KONSEKUENSI atau HASIL dari memuliakan Tuhan. Tatkala manusia berhasil mencapai tujuan hidupnya – yaitu memuliakan Penciptanya – manusia akan mendapatkan kenikmatan, sebab ia telah mendapatkan arti, nilai, serta tujuan hidup. Inilah pencapaian yang sesungguhnya. Inilah jalan menuju kebahagiaan versi Alkitab. Maka, jangan menyia-nyiakan hidupmu!

Renungkanlah:

Sudahkah kita menemukan tujuan hidup yang sejati dalam Kristus, serta menghidupinya?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika. ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Baca Juga:

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

Untuk menjawab pertanyaan di ini, ada lima pertanyaan yang dapat kita renungkan.

#GaliDasarIman: Apakah Keberadaan Allah Jelas Bagi Semua Orang?

Oleh Wilson Jeremiah
Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Maksud pertanyaan ini lebih tepatnya, “Apakah keberadaan Allah jelas bagi semua pada dirinya sendiri, tanpa diajarkan atau tanpa tanda-tanda khusus?” Mungkin sebagian orang berkata, “Jelas lah!”, dan juga akan berpikir pertanyaan seperti agak konyol. Juga sebagian mungkin berkata, “Kita ini di Indonesia, penuh dengan agama yang berbeda-beda. Pastilah orang percaya Tuhan itu ada!” Juga Menurut Roma 1:19-20, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada semua orang sehingga mereka sedikit banyak tahu bahwa Allah itu ada.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kalau begitu, untuk apa apologetika? Apalagi penginjilan? Toh, kalau semua orang tahu bahwa Allah ada dan beragama, ngapain lagi kita susah-susah belajar apologetika dan penginjilan yang berisiko kita menyinggung bahkan kehilangan teman atau orang lain di sekitar kita? Tentu saja jika kita menjawab pertanyaan utama kita bahwa keberadaan Allah JELAS bagi semua orang, pembelajaran apologetika serta praktek penginjilan menjadi kurang penting, bahkan sia-sia.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Tetapi, jika kita memikirkan lebih jauh, kita akan mendapati bahwa sesungguhnya keberadaan Allah tidak selalu jelas bagi semua orang. Jika kita memahami “semua orang” di sini termasuk orang di luar Indonesia, atau orang Indonesia yang sudah mencicipi budaya luar negeri, kita akan melihat jumlah orang agnostik dan ateis yang cukup signifikan sekalipun masih minoritas. Apalagi di era globalisasi serta kemajuan dalam sains dan teknologi, semakin banyak orang (Indonesia) yang mayoritas beragama yang mulai dipengaruhi oleh ateisme atau budaya sekularisme dari berbagai negara luar. Mengapa demikian?

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Alkitab, khususnya Roma 1:19-20, mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya mengetahui akan adanya Allah tetapi samar-samar dan tidak menyeluruh. Dosa manusia mengaburkan bahkan menjauhkan pikiran mereka dari Allah yang benar, sehingga mereka berkata bahwa Allah tidak ada (Mazmur 14:1-3; Roma 3:10-12). Apalagi, Allah dikatakan sebagai roh yang tidak kelihatan (Yohanes 4:24) dan tidak ada yang pernah melihat-Nya (Yohanes 1:18; 1 Yohanes 4:12).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Oleh sebab itu, aku beberapa kali menjumpai orang-orang yang tidak mengaku percaya akan Allah tetapi kepada “sebuah kuasa yang lebih tinggi dari dirinya” (a higher power). Kita juga mendapati bahwa banyak agama-agama yang tidak mengajarkan Allah yang berpribadi dan berkomunikasi dengan ciptaan-Nya, tetapi lebih kepada “Allah dalam diri kita” atau “dalam dunia ini.” Jadi, kita mungkin heran bahwa ada agama yang “tidak bertuhan” dan tidak menyinggung sedikitpun tentang Allah, lebih mirip dengan sebuah filsafat atau cara hidup saja.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Maka dari itu, sebagai orang Kristen, kita perlu belajar dan mempraktikkan apologetika, minimal karena dua alasan. PERTAMA, apologetika berguna untuk memperjelas bahwa Allah itu ada bagi orang-orang yang tidak percaya Allah ada, bahkan untuk mereka yang sudah percaya pada Allah dan beragama. Di zaman seperti sekarang ini, khususnya di mana kredibilitas agama dan iman sering dipertanyakan, apologetika dapat menolong kita untuk memahami bahwa lebih rasional dan masuk akal bagi kita untuk percaya akan keberadaan Allah dari pada tidak.

KEDUA, bukan hanya untuk memperjelas keberadaan Allah saja, tetapi apologetika berguna untuk memperjelas Allah seperti apa yang kita percayai dan sembah. Di tengah pasar global yang menawarkan begitu banyak ide dan gambaran (palsu) mengenai siapa Allah itu, kita perlu memahami bagaimana kita dapat mengenal Allah yang benar, sehingga kita dapat merespons dengan hidup tepat sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah yang benar itu. Tanpa pengetahuan dan pengenalan yang benar akan Allah, kita tidak mungkin mampu memahami arti dan tujuan hidup kita di dunia yang kompleks ini.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kesimpulannya: Karena tidak semua orang mampu menangkap dengan jelas akan keberadaan Allah, maka apologetika diperlukan untuk menunjukkan bahwa keberadaan Allah sesungguhnya cukup jelas dan Allah seperti apa yang harus kita percayai. Teolog Herman Bavinck berkata bahwa apologetika adalah ilmu Kristen yang pertama muncul (“the first Christian science”), dan yang tentunya akan terus dibutuhkan sepanjang zaman.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Apakah kita sudah meyakini akan keberadaan Allah, serta mengenal Allah yang kita yakini dan percayai itu?

* * *

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Wilson Jeremiah adalah anggota tim API yang sedang menempuh studi Ph.D. dalam bidang Systematic Theology di Trinity Evangelical Divinity School, USA.⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Artikel ini sebelumnya sudah pernah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API). Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?