Posts

Wallpaper: Matius 6:10

“Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10).

Yuk download wallpaper bulan ini.

Ketika Peristiwa Nyaris Celaka Mengubahkan Pandanganku Tentang Kehidupan

Ketika-Peristiwa-Nyaris-Celaka-Mengubahkan-Pandanganku-tentang-Kehidupan

Oleh Lydia Tan, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How (A Close Encounter With) Death Shaped My Perspective On Life

Pernahkah terpikir olehmu kapan kamu akan menghembuskan nafasmu yang terakhir?

Beberapa minggu yang lalu, aku hampir saja harus menghembuskan nafas terakhirku. Waktu itu aku sedang berdiri di atas trotoar di pinggir jalan ketika seseorang mengemudikan mobilnya secara ugal-ugalan dan nyaris menabrakku. Mobil itu hampir menaiki pembatas jalan dan hanya berjarak beberapa inci dariku.

Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku itu sungguh membuatku kaget—namun di saat yang sama aku juga bersukacita karena aku masih hidup dan aku bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan-Nya. Sepanjang malam itu aku tidak bisa tidur, aku merenung tentang hidup dan apa yang benar-benar berarti bagiku. Manusia itu lucu, biasanya kita baru akan menghargai dan berpikir lebih mendalam tentang hidup ini ketika kematian mendekat.

Kematian.

Apa yang membuat kematian menakutkan bagi kita? Apakah karena itu sebuah akhir? Apakah karena itu tak terelakkan? Apakah karena itu tak terprediksi? Kematian adalah sebuah interupsi yang kasar, menghalangi kita mencapai berbagai mimpi, harapan, dan ambisi kita. Kematian adalah ibarat tamu yang tak diinginkan.

Bagi banyak orang, kematian adalah sesuatu yang tabu dan jarang dibicarakan atau dipikirkan, seolah-olah menyebutkan kata itu dapat mengundangnya untuk datang. Tapi, menghindari bicara tentang kematian itu bukanlah jawaban; kematian itu tak terelakkan.

Aku teringat kembali akan kenyataan akan kematian ketika aku bercakap-cakap dengan ibuku beberapa waktu lalu. Ibuku bercerita tentang apa yang terjadi kepada bibinya. Ketika aku mengunjungi bibi ibuku yang tinggal di luar negeri ini, aku kagum melihat suaminya yang begitu memperhatikan dia dengan luar biasa dan selalu berusaha memenuhi kebutuhannya. “Betapa terberkati hidupnya, memiliki seorang suami yang penuh kasih, begitu lemah lembut dan manis!” begitu pikirku. Namun, sebuah tragedi terjadi seminggu sebelum hari pernikahan anak mereka—suami bibi ibuku meninggal secara mendadak karena serangan jantung.

Dapatkah kamu bayangkan mereka harus mempersiapkan acara pernikahan dan pemakaman dalam waktu yang bersamaan? Aku tidak dapat membayangkan rasa duka dan kekalutan yang harus dihadapi oleh bibi ibuku dan keluarganya. Tapi, kenyataannya setiap hari banyak orang di seluruh dunia harus menghadapi kematian seperti ini.

Tragedi itu membuatku berpikir: Ketika kematian datang mendekat, kepada siapakah kita dapat berpaling? Bagaimana caranya kita menemukan harapan di tengah rasa takut dan duka? Alkitab memberi kita jawabannya: berpalinglah kepada Allah, penolong kita dan satu-satunya sumber keselamatan kita (Mazmur 42:6). Di tengah ketidakpastian hidup dan marabahaya, Allah adalah satu-satunya Jangkar kita yang teguh, Gunung Batu kita yang kuat, tempat kita berlindung (Mazmur 18:3).

Tapi, bagaimana itu mempengaruhi cara kita hidup? Sebagai orang Kristen, bagaimana seharusnya kita memandang kehidupan dari kacamata kekekalan? Lagi, Alkitab memberi kita beberapa jawabannya. Di satu sisi, Alkitab berkata bahwa hidup ini sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (Yakobus 4:14). Di sisi lain, Alkitab juga mengingatkan kita bahwa meskipun hidup ini hanya sementara, hidup kita sangat berharga karena Tuhan yang menjadikan kita berharga. Dalam Matius 16:26, Yesus memberitahu kita bahwa nyawa kita jauh lebih berharga daripada seluruh dunia.

Ketika kita mengetahui betapa berharganya hidup kita, kita dapat menghargai hidup ini dan hidup seperti apa yang Pencipta kita inginkan—“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10). Itu berarti kita harus menggunakan waktu yang telah Tuhan berikan kepada kita sebaik mungkin bagi-Nya.

Apakah kamu pernah berpikir untuk menulis sebuah surat untuk menguatkan temanmu? Tulislah sekarang. Apakah kamu pernah berpikir untuk memperhatikan temanmu dan bertemu dengan mereka? Buatlah janji temu itu. Apakah kamu ingin orang yang kamu kasihi tahu bahwa kamu benar-benar mengasihi mereka? Jangan tunda lagi: beritahu mereka sekarang betapa kamu mengasihi mereka. Apakah kamu pernah mengabaikan apa yang Tuhan telah letakkan di dalam hatimu? Kejarlah itu dan mintalah kekuatan dari Tuhan agar kamu dapat melakukannya hingga selesai. Kamu tak pernah tahu apakah kesempatan itu akan datang lagi nanti.

Bagiku, pengalamanku selamat dari tabrakan sebuah mobil adalah sebuah pengingat bahwa tugasku di bumi ini belumlah selesai. Dalam beberapa bulan mendatang, aku akan bergabung dalam sebuah pekerjaan misi di luar negeriku, dan aku pun diyakinkan bahwa tiada sesuatu pun yang akan terjadi padaku kecuali Tuhan mengizinkannya (Roma 14:8).

Marilah kita hidup dengan melihat dari sudut pandang kekekalan, jadikan semua momen menjadi berarti untuk kekekalan. Mari belajar untuk mengucap syukur setiap hari kepada Tuhan atas anugerah-Nya yang menopang kita (yang seringkali tanpa kita sadari) dan hidupi hidup kita untuk membawa kemuliaan bagi Tuhan yang layak menerima segala kemuliaan.

Seperti doa Musa, marilah kita juga meminta Tuhan untuk mengajari kita menghitung hari-hari kita sedemikian, hingga kita beroleh hati yang bijaksana (Mazmur 90:12).

Baca Juga:

Mengapa Aku Mengampuni Ayahku yang Adalah Seorang Penjudi

Aku pernah begitu membenci ayahku. Bagiku dia hanyalah seorang penjudi, munafik, dan sangat tidak layak disebut sebagai seorang ayah. Tetapi, karena suatu peristiwa yang tidak kusangka, aku belajar tentang apa arti mengampuni yang sesungguhnya.

Mengapa Aku Mengampuni Ayahku yang Adalah Seorang Penjudi

Oleh Raganata Bramantyo

Mengampuni itu mudah jika hanya dikatakan, tetapi sulit sekali ketika harus dipraktikkan. Benarkah begitu?

Di tahun 2012, rasa benciku kepada ayahku telah memuncak. Bagiku dulu, dia hanyalah seorang penjudi, munafik, dan sangat tidak layak disebut sebagai seorang ayah.

Suatu pagi ketika matahari masih belum terbit, dia pulang ke rumah dengan kondisi marah besar akibat kalah judi. Pikirannya penuh dengan amarah hingga ia memukul dan menendang banyak perabot rumah. Ibuku yang pagi itu tengah memasak pun tidak luput dari serangan amarahnya.

Sebagai anak lelaki, aku merasa muak untuk mendiamkan semua ini. Kuhampiri dirinya, kubanting pintu dapur yang kala itu tengah terbuka. “Aku tidak peduli tentang judimu, kalah atau menang itu pilihanmu. Tapi, bisakah pulang ke rumah tanpa membawa masalah dari luar?” Karena emosiku memuncak, nada bicaraku pun tinggi.

Bukan jawaban kata-kata yang kudapat, melainkan sebuah tinju yang dilayangkan padaku. Aku menghindar kemudian berlari keluar rumah. Kemudian serangkaian kata-kata kasar dan makian mengalir deras dari mulut ayahku. Hari itu aku merasa berada di titik kebencian tertinggi. Aku merasa tidak sudi memiliki ayah seperti itu.

Karena kondisi rumah yang mencekam, hari itu sejak pagi aku memutuskan untuk tidak pulang. Aku bersepeda tanpa tahu ke mana arah tujuan yang kutempuh, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke gereja tempatku berjemaat. Hari itu bukan hari Minggu sehingga tidak banyak orang di sana. Aku menepikan sepedaku dan duduk di tangga, kemudian melamun selama berjam-jam.

Dalam lamunan itu aku masih mengingat kejadian yang baru saja terjadi pagi itu. Hatiku terasa semakin hancur ketika pikiranku memaksaku untuk mengingat kembali seluruh luka-luka yang pernah digoreskan oleh ayahku dalam keluarga. Aku menjadi semakin frustrasi karena perasaan itu seperti menekanku untuk masuk ke dalam jurang keterpurukan.

Hari itu seorang sahabatku datang, dan ketika ia menghampiriku ia hanya bertanya “Kenapa?” Setelah aku menjelaskan dengan terbata-bata, kemudian dia hanya merangkulku tanpa memberi nasihat apapun. Akhirnya di malam hari aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan ayahku ternyata pergi berjudi kembali.

Keputusan untuk mengampuni

Malam itu, pikiranku berkecamuk. Di satu sisi aku begitu merasa sakit hati atas kejadian tadi pagi, tapi di sisi yang lain aku mempertanyakan kembali identitas diriku. Pada tahun 2004 aku telah mengikrarkan diriku lewat upacara baptisan bahwa aku dengan sungguh-sungguh akan mengikut Yesus. Namun, kejadian hari itu seolah hendak mengujiku apakah aku memang sungguh-sungguh meneladani Tuhan Yesus atau hanya sekadar menjadikan iman Kristenku sebagai agama yang tercantum di kartu identitas.

Saat aku berdoa memohon jalan terbaik dari Tuhan, yang terlintas di benakku hanyalah ayat-ayat mengenai pengampunan. Salah satu ayat yang waktu itu terlintas di benakku adalah Matius 18:21-22 yang tertulis: “Kemudian Petrus datang kepada Yesus dan bertanya, ‘Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ Yesus menjawab, ‘Aku berkata kepadamu, bukan tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

Sesungguhnya ayat itu terdengar klise buatku. Rasanya setiap bulan, atau bahkan tiap minggunya aku sering mendengar ayat itu disebutkan dalam khotbah maupun sekolah minggu. Tapi, ayat yang terdengar klise itu sesungguhnya berbicara tentang inti dari iman Kristen, yaitu tentang mengampuni dan diampuni.

Akhirnya aku menyerah. Ayat yang terdengar klise itu menegurku dengan kuat hingga mulutku pun mengucap, “Tuhan, kalau memang aku harus mengampuni, beri aku kekuatan.” Aku tahu dan percaya Tuhan mendengar doaku saat itu. Perlahan aku mulai merasa tenang dan mulai memahami lebih jernih tentang kejadian yang terjadi pagi tadi.

Aku menyadari bahwa aku juga telah berbuat salah karena lebih mengedepankan emosi ketika berhadapan dengan ayahku yang juga sedang dirundung amarah. Alih-alih bersabar sedikit, aku memilih untuk membalas api dengan api hingga terciptalah konflik yang membakar. Yang harus aku lakukan sekarang adalah menyiramkan air kepada konflik yang terbakar itu, dan air itu adalah pengampunan.

Karena aku masih takut untuk bertemu muka dengan ayahku, malam itu aku mengirimkannya sebuah pesan singkat. “Aku minta maaf karena aku salah,” tulisku singkat, lalu kutekan tombol kirim. Malam itu entah mengapa aku merasa lega dan bisa tidur dengan damai. Esok paginya ketika aku bangun, ayahku masih tertidur di kamarnya. Ketika ia bangun, aku mendekati kamarnya dan mengatakan, “Aku minta maaf”. Dia tidak menjawab apapun seolah tidak menghiraukan kehadiranku.

Tapi, ketika aku mengatakan “maaf” kepadanya, sesungguhnya aku sedang membebaskan diriku sendiri dari belenggu dendam dan keegoisan. Waktu itu aku tidak peduli lagi dengan apa yang akan menjadi respons dari ayahku. Ada sukacita besar yang melingkupiku dan satu hal yang pasti adalah pengampunan itu membebaskanku dari rasa benci yang menekan jiwa.

Sesudah aku mengampuni

Sudah bertahun-tahun berlalu semenjak kali pertama aku mengampuni ayahku. Sekarang aku sudah bekerja dan tidak lagi tinggal satu rumah dengan ayahku. Memang keadaan tidak berubah banyak, bahkan hingga kini ayahku pun masih tetap berjudi.

Pengampunan seringkali tidak mengubah orang yang telah menyakiti kita, ataupun mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tapi, satu hal yang harus kita ingat adalah dengan mengampuni, kita mengubah diri kita untuk menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus.

Ketika Tuhan Yesus dihina dan disiksa dalam perjalanan-Nya ke Golgota, tidak sekalipun Dia mengucap sumpah serapah ataupun memaki-maki orang yang menganiaya-Nya. Alih-alih membalas dengan yang jahat, Tuhan Yesus malah berdoa untuk mereka yang telah menganiaya-Nya. Injil Lukas pasal 23:34 mencatat demikian, “Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Sekarang aku tidak hanya dapat berdoa untuk ayahku supaya dia dapat mengenal Yesus, tapi perlahan aku mulai dapat berbicara kepadanya—sesuatu yang dulu mustahil kulakukan. Aku percaya bahwa pengampunan itu ibarat sebuah benih yang kita tanam. Ketika kita memelihara pengampunan itu untuk tumbuh, kelak itu pula akan berbuah. Ya, berbuah menjadi suatu hubungan yang damai.

Lewat kematian Tuhan Yesus di kayu salib, Dia membawa rekonsiliasi atau pendamaian kita dengan Allah. Dia mau supaya kita tidak lagi terpisah dari Allah karena dosa-dosa yang kita perbuat. Puji Tuhan, karena peristiwa kematian Yesuslah akhirnya kita beroleh sebuah hubungan pribadi yang dekat dengan Allah, hingga kita dapat memanggil-Nya sebagai Bapa.

Seperti Bapa telah mengampuni kita lewat kematian Yesus di kayu salib, di momen Paskah ini maukah kita mengikuti teladan-Nya? Maukah kita mematikan rasa egoisme kita dan melepaskan pengampunan kepada orang-orang yang telah melukai kita?

Pengampunan tidak terjadi dengan instan, jika hari ini kamu masih merasa berat untuk mengampuni, itu bukan berarti kamu tidak mampu mengampuni. Mintalah kepada Tuhan yang telah mengampuni kita terlebih dahulu untuk memberimu kekuatan untuk mengampuni.

Baca Juga:

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain.

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

aku-tidak-lolos-seleksi-masuk-perguruan-tinggi-negeri-haruskah-aku-kecewa

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain. Setelah lulus SMA, aku tidak berhasil mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ataupun masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Dulu tidak pernah terbayang dalam pikiranku kalau jurusan kuliah yang kuambil sekarang ternyata bertolak belakang dengan jurusan yang kuambil di SMA. Sekarang aku belajar tentang Bisnis, sedangkan di SMA aku masuk jurusan IPA. Ibuku adalah seorang dokter sehingga awalnya aku sempat mengira kalau aku akan kuliah di kedokteran nantinya.

Orangtuaku ingin salah satu anaknya meneruskan karier sebagai dokter. Lalu, guru-guru dan teman-temanku di SMA juga mendorongku untuk masuk ke jurusan kedokteran karena mereka beralasan kalau nilai-nilaiku yang baik itu akan memudahkanku untuk diterima di jurusan kedokteran. Akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku ke Jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tanpa tes seraya berharap supaya prestasiku selama SMA bisa menolongku untuk diterima di sana.

Ketika aku harus kecewa

Tapi, ternyata Tuhan tidak membukakan jalan untukku berkuliah di perguruan tinggi negeri itu. Ketika mendaftar lewat jalur undangan (non-tes), aku gagal, lalu aku juga mencoba kembali di jalur tes namun hasilnya tetap sama.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga mencoba mendaftar di perguruan tinggi swasta. Aku coba untuk mendaftar di Jurusan Kedokteran, Arsitektur, dan Desain Interior di beberapa perguruan tinggi. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, aku diterima di Jurusan Kedokteran di salah satu kampus di Jakarta. Tapi, ayahku tidak setuju karena takut apabila aku tidak menikmati kuliahku di sana, selain itu beliau juga kurang percaya dengan kualitas pendidikan di sana. Aku juga diterima di Jurusan Desain Interior di salah satu kampus di Tangerang, tapi setelah aku melakukan survei ke kampus itu, aku merasa kalau lingkungannya tidak nyaman untukku.

Waktu itu aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Jika Dia mengizinkanku untuk bisa kuliah di tahun itu, aku sungguh bersyukur. Tapi, jika tidak pun aku mau tetap percaya kepada-Nya. Aku telah beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi yang kuingini, dan juga aku sendiri masih ragu dengan perguruan tinggi mana yang sebenarnya aku inginkan. Walaupun aku sudah mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu, tapi selalu saja ada pertanyaan yang menggantung di benakku, “Apakah ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Ayahku mendorong anak-anaknya untuk kelak dapat berwirausaha dengan membuka bisnis sendiri. Kemudian aku berpikir mengapa tidak mencoba saja untuk belajar tentang kewirausahaan itu? Akhirnya aku mencoba mendaftar ke Jurusan Bisnis di perguruan tinggi tempat kakakku belajar.

Awalnya ayahku sempat meragukan keputusanku itu. Tapi, menurutku, perguruan tinggi tempat kakakku belajar itu sangat baik dan aku pernah mengikuti kompetisi di sana. Aku sempat pesimis karena aku mendaftar di gelombang kedua sebelum terakhir dan ternyata tes masuknya sangat sulit. Namun, syukur kepada Tuhan karena aku dinyatakan lolos untuk masuk ke Jurusan Bisnis dan keluargaku masih memiliki tabungan yang cukup untuk melunasi semua biaya masuknya.

Kekecewaan yang perlahan berbuah manis

Dulu aku pernah merasa khawatir kalau sehabis lulus SMA aku tidak bisa langsung kuliah di tahun itu. Aku juga khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapku, sampai-sampai aku juga menjadi ragu apakah Jurusan Bisnis yang kuambil ini adalah yang paling tepat buatku atau bukan. Pilihanku untuk kuliah di jurusan Bisnis membuat beberapa teman dan guru-guruku di SMA kecewa. Mereka berharap kalau aku seharusnya berusaha lebih untuk mendapatkan kuliah di Jurusan Kedokteran. Selama tahun pertama kuliahku aku merasa dihantui oleh pandangan mereka.

Tapi, ternyata setelah aku menjalani kuliah ini selama dua tahun, perlahan aku mulai menikmatinya. Tuhan memberiku berbagai kesempatan untuk berkarya di kampus, salah satunya dengan terlibat aktif dalam lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari lembaga itu aku belajar tentang kepemimpinan. Salah satu anugerah Tuhan yang awalnya tak pernah aku pikirkan adalah aku mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil ketua di kegiatan orientasi mahasiswa baru untuk angkatan 2016. Selain di BEM, aku juga aktif terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) orkestra sebagai seorang violist. Aku bersyukur karena aku bisa memaksimalkan talenta dan hobiku dalam kegiatan ini.

1 Korintus 2:9 mengatakan “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Ayat ini benar adanya. Apa yang dipikirkan oleh manusia ternyata berbeda dengan apa yang dirancangkan oleh Yang Mahakuasa. Pikiran-Nya jauh lebih rumit dan tinggi. Rencana-Nya jauh lebih besar dan indah.

Dari kampusku sekarang inilah aku belajar tentang kepemimpinan dalam organisasi yang kuikuti. Pengalaman yang aku dapatkan itu bisa kuterapkan dalam pelayananku sebagai ketua remaja di gereja. Aku belajar mengatur jadwal pelayanan dengan efektif, mendistribusikan tanggung jawab secara adil kepada masing-masing panita.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa memilih perguruan tinggi bukanlah semata-mata karena gengsi. Kita tidak boleh lupa cita-cita dan talenta apa yang kita miliki. Pilihlah jurusan yang membuat kita menikmati setiap prosesnya. Namun, jangan lupa juga untuk selalu libatkan Tuhan dan orangtua kita dalam membuat keputusan ini.

Sebuah anugerah dalam jawaban tidak

Aku belajar bahwa ketika Tuhan menjawabku dengan jawaban “tidak”, itu pun merupakan sebuah anugerah. Jawaban tidak itu memberi kita kesempatan untuk percaya kepada-Nya senantiasa dan percaya bahwa Dia memberikan sesuatu yang indah tepat pada waktu-Nya asalkan kita berani untuk mempercayai-Nya, mendengarkan-Nya, dan melakukan perintah-Nya.

Aku juga belajar bahwa apapun jawaban Tuhan untuk kita, yang wajib kita lakukan adalah percaya sepenuhnya dan berserah kepada Tuhan. Kita juga harus berani melakukan yang terbaik dalam kesempatan itu. Aku bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang melengkapi setiap kebutuhanku.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55:8).

Baca Juga:

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

surat-kepada-diriku-yang-dulu-adalah-seorang-gay

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: A Letter To My Past (Gay) Self

Teruntuk Raphael,

Aku adalah dirimu sendiri di 10 tahun yang akan datang. Sebelum aku mulai berbicara tentang banyak hal, aku ingin kamu tahu bahwa Tuhan begitu mengasihimu dan kamu sangat berharga bagi-Nya.

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”

Aku mengerti. Perasaan bahwa perbuatanmu itu benar dan wajar tumbuh sejak kamu mulai merasakan gairah seksual terhadap laki-laki. Kamu merasa bahwa menyukai sesama lelaki adalah bagian dari jati dirimu dan kamu berpikir bahwa dengan mengikuti hasrat sebagai seorang gay, kamu dapat menemukan sebuah hubungan yang akan membuatmu bahagia.

Aku juga ingat sesuatu, Raph. Bagaimana mungkin aku bisa lupa tentang kisah cinta pertamamu dulu semasa kuliah? Jantungmu berdebar-debar tatkala lelaki yang kamu suka itu melihat ke arahmu, dan kamu juga membayangkan jika suatu saat dia bisa menggandeng tanganmu.

Aku juga ingat siapa yang menjadi pacar pertamamu. Kamu bertemu dengannya empat tahun kemudian. Aku tahu betapa bahagianya perasaanmu bersama dia.

Pasti ada banyak pertanyaan yang menggantung di benakmu sekarang. “Bagaimana bisa semua ini salah? Mengapa Tuhan melarangku untuk mengejar kebahagiaan? Mengapa Tuhan begitu kejam? Tuhan macam apa yang memintaku untuk menyangkal sesuatu yang kurasa sangat wajar bagiku?”

Mungkin saat ini sulit bagimu untuk percaya, tapi aku ingin memberitahu bahwa Tuhan memintamu berbuat demikian karena Dia begitu mengasihimu. Dia memanggilmu untuk keluar dari jerat hubungan sesama jenis. Tuhan itu tidak kejam seperti yang kamu pikirkan. Dia adalah Bapamu yang ingin menunjukkan kasih, anugerah, dan belas kasih-Nya kepadamu. Dia tidak ingin melihat dirimu perlahan dirusakkan oleh kehidupan yang dipenuhi oleh dosa.

Aku mohon, dengarkanlah aku. Pada akhirnya, aku telah melihat kebenaran di balik apa yang Tuhan telah lakukan selama 10 tahun, dan aku ingin membagikan kepadamu hal-hal apa saja yang telah aku pelajari—hal-hal yang kelak akan kamu lihat sendiri.

Menjadi seorang gay bukanlah dirimu yang sebenarnya. Ketika kamu menjadi seorang Kristen, sesungguhnya kamu telah menjadi anak Allah. Itulah identitasmu yang sejati, dan karena itu jugalah Bapamu selalu memperhatikanmu. Dia memanggilmu “anak”. Ya, kamu memang tertarik kepada sesama lelaki, tapi itu hanyalah apa yang kamu rasakan, bukan dirimu yang sesungguhnya. Kamu memiliki gairah sebagai seorang gay, tapi sejatinya kamu bukanlah seorang gay. Yang pertama, terutama, dan sampai selama-lamanya kamu adalah seorang anak yang begitu dikasihi oleh Allah.

Aku tahu kalau perasaan menyukai sesama lelaki itu terasa wajar bagimu. Aku pun masih bisa merasakan perasaan itu. Akan tetapi, Tuhan telah menunjukkan kepadaku, dan kelak Dia juga akan menunjukkannya kepadamu bahwa hasrat menyukai lelaki itu tidaklah wajar seperti yang ada dalam pikiranmu.

Apakah kamu masih ingat kalau dulu kamu selalu menginginkan untuk memiliki seorang kakak laki-laki yang dapat menjadi teladan ketika kamu beranjak dewasa? Ketika masih di sekolah dasar dulu, kamu mengagumi seorang anak laki-laki yang lebih tua darimu. Kamu menganggapnya sebagai seorang kakak dan kamu ingin diperhatikan olehnya. Lalu, apakah kamu juga ingat kalau dulu kamu begitu membenci masa-masa ketika kamu duduk di bangku SMP? Kamu sangat ingin bergaul akrab dengan laki-laki yang ada di kelasmu, namun ternyata kamu tidak dapat melakukannya. Tidakkah kamu menyadari kalau kedua hal ini ternyata saling berhubungan? Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa kedua kisah ini terjadi karena dulu aku ingin seorang laki-laki mengajariku tentang bagaimana caranya menjadi laki-laki yang sejati.

Ketika keinginanmu untuk bergaul akrab dengan laki-laki di kelasmu itu tidak dapat terwujud, kemudian mulai tumbuh rasa suka kepada mereka, itu bukanlah suatu kebetulan. Keinginanmu untuk menjadi seperti mereka, ditambah lagi dengan masa pubertas yang kamu alami kemudian mengubah rasa suka itu menjadi hasrat untuk semakin mendambakan mereka.

Beberapa tahun belakangan ini, Tuhan menolongku untuk mengerti bahwa yang sesungguhnya aku inginkan adalah jati diri sebagai seorang laki-laki dan sebuah hubungan yang intim. Hubungan itu seharusnya aku dapatkan dari ayahku saat aku sedang bertumbuh dewasa. Jauh di dalam lubuk hatimu, sesungguhnya yang kamu inginkan adalah kasih sayang, rasa aman, dan perhatian dari seorang ayah.

Hasratmu untuk menjadi seorang gay bukanlah dirimu yang sesungguhnya. Mengejar hubungan sebagai seorang gay tidak akan membawamu kepada kebahagiaan yang sejati. Kenyataannya, pengejaranmu itu akan semakin menjauhkanmu dari apa yang sesungguhnya kamu butuhkan. Apa yang sesungguhnya kamu butuhkan adalah belajar tentang bagaimana membangun identitasmu sebagai seorang laki-laki sejati, dan menjadi hubungan yang akrab dengan laki-laki lainnya, namun bukan tentang bagaimana berhubungan seksual dengan mereka.

Semua ini mungkin terdengar rumit dan aneh bagimu sekarang, tapi aku akan mencoba menjelaskannya padamu dengan cara yang lain. Kamu tahu kalau selama ini kamu terus berusaha menjalin suatu hubungan yang sempurna dengan seorang laki-laki, tapi kamu tidak pernah mendapatkannya bukan? Awalnya kamu berpikir bahwa dia adalah laki-laki yang tepat, tapi kemudian tatkala kamu semakin dekat mengenalnya, kamu malah merasa bahwa dia bukanlah laki-laki yang tepat. Lalu, apakah kamu juga ingat betapa hancurnya hatimu ketika harapan-harapan yang kamu inginkan itu sirna? Semua itu terasa sulit dimengerti, bukan? Pernahkah terpikirkan olehmu bahwa kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan laki-laki yang tepat itu menunjukkan bahwa sesungguhnya yang kamu butuhkan itu bukanlah seorang laki-laki?

Pada kenyataannya, pencarianmu untuk menemukan laki-laki yang tepat itu justru semakin membawamu kepada putus asa dan rasa frustrasi. Ketika kamu merasa begitu kesepian dan mendambakan sebuah hubungan yang intim, kamu malah melarikan diri dengan meminum alkohol dan melakukan seks bebas dengan harapan kamu bisa menghilangkan rasa pedihmu secara instan. Kamu tahu kalau sesungguhnya pelarianmu kepada alkohol dan seks bebas itu hanya memberimu kenyamanan yang sementara dan akan membawamu ke dalam jurang dosa yang semakin dalam.

Kemudian, rasa bersalah dan malu akan datang menghantuimu sehingga kamu berbalik kepada Tuhan, memohon pengampunan-Nya dan berjanji kalau kamu tidak akan melakukan hal-hal itu lagi. Tapi, tidak lama setelah itu kamu malah terjatuh kembali ke ldalam dosa yang sama. Aku mengerti rasa sakit yang kamu rasakan ketika dirimu terjebak dalam lingkaran dosa itu. Aku tahu betapa dalamnya rasa penyesalanmu setiap kali kamu terjatuh lagi ke dalam dosa. Aku juga tahu betapa muak dan lelahnya dirimu karena terus menerus terjatuh dalam dosa-dosa ini.

Lalu, apakah kamu juga ingat malam-malam ketika kamu menangis sampai akhirnya jatuh tertidur? Aku ingat kalau di suatu malam kamu pernah menangis dengan tersedu-sedu karena kamu merasa begitu kesepian. Sebenarnya, saat itu kamu hanya tidak tahu bagaimana caranya untuk berbahagia. Apakah kamu ingat apa yang Tuhan katakan kepadamu malam itu? Dia berkata, “Percayalah kepada-Ku.” Aku tahu bahwa beberapa tahun setelah itu pun kamu masih tidak percaya bahwa Tuhan dapat memberimu kebahagiaan yang sejatinya kamu dambakan. Aku berada di sini untuk memberitahumu bahwa Tuhan adalah setia. Dia selalu menepati janji-Nya, namun bukan dengan cara-cara seperti yang ada dalam pikiranmu. Dia yang Maha Tahu akan memberimu sesuatu yang jauh lebih baik.

Tuhan akan menunjukkan kepadamu bahwa ada banyak orang Kristen yang juga memiliki hasrat sebagai seorang gay, tapi mereka lebih memilih untuk taat kepada Tuhan dengan cara tidak melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan hasrat itu. Ada cara-cara lain yang lebih baik untuk menjalani kehidupan. Tuhan jugalah yang akan membawamu kepada orang-orang Kristen yang dapat berjalan bersamamu dalam perjalanan hidup ini. Aku menjamin bahwa sekalipun tantangan-tantangan akan tetap ada, kamu akan mengalami lebih banyak sukacita dan kedamaian di dalam hidup yang taat kepada Tuhan dan jalan-jalan yang Dia berikan.

Tuhan ingin menyembuhkan setiap bagian hatimu yang terluka dan hancur. Membiarkan dirimu larut ke dalam hubungan sesama jenis tidak akan pernah membuat dirimu merasa utuh; itu hanya akan membuat luka-luka dalam hidupmu semakin dalam. Percayalah kepadaku, aku sudah pernah mengalami itu semua. Sekarang aku menyadari bahwa Tuhan itu penuh belas kasih dan Dia sungguh mengasihimu ketika Dia memintamu untuk berhenti mengikuti hasrat gaymu itu. Ketika kamu membiarkan dirimu larut dalam hasrat gay itu, kamu hanya menyakiti dirimu sendiri. Bagaimana bisa seorang Bapa yang begitu baik memilih untuk diam saja dan membiarkan anak-Nya terus terjatuh ke dalam dosa yang membawa kepada kepedihan?

Tuhan ingin menyembuhkan hatimu yang hancur dan membalut luka-lukamu (Mazmur 147:3). Akan tetapi, kamu harus berhenti menyakiti dirimu sendiri supaya Tuhan dapat membalut luka-luka itu. Berdiam dirilah, jangan melawan, dan kamu akan tahu bahwa Dia adalah Tuhan yang mengampuni dan memulihkanmu (Mazmur 46:11, Mazmur 103:3).

Ya, memang sampai saat itu rasa tertarik kepada sesama laki-laki itu masih ada, tapi aku telah memutuskan untuk tidak lagi mengikuti hasrat itu. Sekarang, aku mampu mengatasi hasrat itu setiap kali ia muncul. Tapi, kamu harus tahu kalau sekarang aku justru merasa jauh lebih berbahagia dan damai daripada dulu ketika aku masih berusaha untuk menjalin hubungan sebagai seorang gay. Mungkin saat ini kamu masih belum mengerti, tapi percayalah. Kamu bisa percaya kepadaku; aku telah mengalami semua itu, Raph. Kamu harus tahu bahwa Tuhan dapat dipercaya. Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan jangan bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Dia akan meluruskan jalanmu (Amsal 3:5-6).

Teruslah berpegang kepada Tuhan, karena Dia juga terus memegangmu. Kelak, kamu juga akan merasakan seperti apa yang dirasakan oleh Yakub ketika ia bergulat dengan seorang malaikat Tuhan (Kejadian 32:22-32). Jangan pernah lepaskan Tuhan. Sekalipun kamu merasa begitu banyak pergumulan yang kamu hadapi, atau kamu merasa sangat lemah dan ingin menyerah, jangan pernah lepaskan Tuhan dari hidupmu. Pergulatanmu dengan setiap tantangan dan cobaan yang kamu hadapi akan setimpal dengan hasil yang kamu terima. Sama seperti Tuhan memberkati Yakub, demikian juga Dia akan memberkati kamu lewat setiap pergumulan yang kamu hadapi.

Ketika kamu berpegang pada Tuhan, kamu akan semakin mengenal-Nya lebih dekat. Kamu akan mengetahui bahwa Tuhan bukanlah Tuhan yang tidak peduli atau tidak masuk akal. Dia begitu mengasihimu sehingga Dia tidak akan pernah meninggalkanmu. Dia peduli akan keadaanmu dan Dia selalu ingin memberikan yang terbaik kepadamu. Dia adalah Bapa yang penuh kasih, Dia ingin kamu berada dalam rencana-Nya yang terbaik. Semua itu Dia lakukan untuk menyelamatkanmu dari rasa sakit dan penderitaan.

Jadi, janganlah kamu salah paham terhadap Tuhan. Dia bukanlah Tuhan yang kejam. Lewat campur tangan-Nya yang ilahi dalam kehidupanmu, Tuhan sedang menunjukkan cinta, anugerah, dan belas kasih-Nya kepadamu. Dia memanggilmu keluar dari kehancuran supaya kamu mendapatkan keutuhan. Dia memanggilmu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9).

Maukah kamu mempercayai Tuhan? Maukah kamu berpegang kepada-Nya? Maukah kamu membiarkan-Nya memberkati dirimu?

Dari dirimu sendiri di masa depan

Baca Juga:

Ketika Aku Tidak Bisa Merasakan Hadirat Tuhan

Dalam sebuah acara konvensi nasional, aku begitu berharap dapat merasakan hadirat Tuhan di situ. Tapi, orang-orang lain tampak begitu menikmati hadirat Tuhan, aku malah tidak merasakan apapun. Sejujurnya aku kecewa, tapi kemudian aku menemukan bahwa ternyata aku telah salah mengartikan kehadiran Tuhan.

Ketika Aku Tidak Bisa Merasakan Hadirat Tuhan

ketika-aku-tidak-bisa-merasakan-hadirat-tuhan

Oleh Edna Ho, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Couldn’t Feel God

Dalam sebuah aula, ratusan orang dari berbagai daerah di Malaysia telah berkumpul untuk sebuah acara konvensi tahunan yang diselenggarakan oleh gerejaku. Aku begitu bersemangat untuk mengikuti acara ini. Dalam hati aku berkata, “Inilah waktunya. Ada begitu banyak orang yang haus dan lapar akan firman Tuhan di sini. Hadirat Tuhan pasti ada di tempat ini dan aku yakin bahwa ketika Tuhan berbicara kepada jemaat-Nya, maka Dia juga akan berbicara kepadaku.”

Dalam acara konvensi selama tiga hari itu, aku sangat berharap aku bisa sungguh-sungguh merasakan hadirat Tuhan, menangis penuh sukacita dan tenggelam dalam hadirat-Nya. Para pendeta dan penatua di gerejaku telah berulang kali mendorong jematnya agar bersungguh-sungguh menyiapkan hati supaya kuasa Tuhan tercurah dalam acara itu. Mereka mengatakan bahwa mukjizat-mukjizat pasti terjadi ketika jemaat percaya dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan.

Setelah sesi di malam pertama selesai, ada sebuah sesi khusus di mana orang-orang yang merasa diri mereka jauh dari Tuhan ataupun hidupnya seolah terasa datar diundang untuk mengangkat tangan dan bangkit berdiri dari kursi masing-masing. Banyak tangan-tangan yang terangkat, termasuk aku juga ikut mengangkat tangan. Kemudian, pendeta itu mulai berkata-kata sambil musik mengalun dengan lembut. Sesi tersebut terkesan begitu luar biasa dan sang pendeta mengatakan bahwa dia sungguh merasakan betapa kuatnya hadirat Tuhan saat itu.

Aku malu untuk mengakuinya, tapi sejujurnya aku tidak begitu “merasakan” kehadiran Tuhan saat itu. Aku memang menangis dan meresapi setiap lirik pujian yang kunyanyikan, tapi aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Orang-orang di sekelilingku menangis, berlutut di lantai, dan mengangkat tangan tinggi-tinggi kepada Tuhan. Apakah ada yang salah dengan diriku? Mengapa aku tidak bisa merasakan jamahan Tuhan seperti yang mereka rasakan? Aku mencoba untuk lebih bersungguh-sungguh lagi supaya aku bisa merasakan hadirat Tuhan, tapi aku tetap merasa sama saja. Aku masih belum bisa merasakan hadirat Tuhan seperti yang dirasakan oleh orang-orang di sekelilingku saat itu.

Aku tidak ingin menyerah. Aku berkata pada diriku bahwa itu baru malam pertama saja.Sesi-sesi tentang kesembuhan dan nubuat yang merupakan puncak acara konvensi itu baru akan dimulai di malam selanjutnya. Di malam kedua, pembicara tamu mulai berbicara tentang nubuat-nubuat. Dia memanggil beberapa nama peserta dan menyebut secara rinci tentang kondisi yang tengah mereka hadapi. Kemudian dia juga memanggil peserta yang menderita berbagai penyakit, dan meminta panitia konvensi untuk mendoakan mereka. Dari orang-orang yang didoakan itu, ada beberapa yang langsung sembuh seketika, sementara itu yang lainnya mengatakan kalau mereka merasa lebih baik. Lalu, pembicara tamu itu meminta para panitia konvensi untuk berbaris di belakang orang-orang yang akan didoakan. Aku adalah salah satu dari orang-orang yang berdiri untuk didoakan itu, dan seorang panitia yang belum pernah kutemui sebelumnya mulai mendoakanku. Aku pikir dia akan berdoa dan memberiku nubuatan-nubuatan yang luar biasa, tapi kenyataannya dia hanya mengucapkan doa-doa yang umum kepadaku.

Sejujurnya saat itu aku merasa kecewa. Aku bukan kecewa kepada wanita yang mendoakanku malam itu, tapi aku kecewa kepada Tuhan. Aku bertanya dalam hati kepada Tuhan, “Oh Tuhan, aku datang dengan harapan yang begitu besar. Bahkan sebelum datang ke tempat ini aku telah berpuasa dan berdoa. Apa yang salah? Mengapa Engkau tidak juga berbicara kepadaku? Apakah aku kurang sungguh-sungguh dibanding orang-orang lain itu? Atau, apakah ada dosa yang menghalangiku?”

Tuhan tidak menjawabku malam itu. Namun, beberapa hari setelahnya ketika aku sedang membaca sebuah blog Kristen, Tuhan menjawabku lewat sebuah tulisan yang di dalamnya teradapat kutipan dari kitab 1 Raja-raja 19:11-12.

“Lalu firman-Nya: ‘Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!’ Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.”

Apa yang baru saja kubaca itu membuatku tersentak.

Elia belajar bahwa terkadang Tuhan memilih untuk bekerja melalui cara-cara yang lebih tenang. Tuhan mengajarkanku bahwa Dia tidak selalu membutuhkan sesuatu yang spektakuler untuk bekerja dan berbicara kepada kita. Dia sudah berbicara, sedang berbicara, dan akan terus berbicara bahkan di dalam rutinitas kita sehari-hari, bagaikan sebuah suara kecil di dalam hati kita.

Ketika kita menyembah Tuhan, kita tidak harus mengejar suatu pengalaman atau perasaan tertentu yang membuat kita seolah merasakan kehadiran-Nya. Akan tetapi, fokus utama kita ketika menyembah adalah kepada Tuhan itu sendiri, dan juga kepada kasih setia-Nya. Dengan begitu, cepat ataupun lambat, kebaikan-Nya yang melimpah akan melingkupi kita.

Selama konvensi itu berlangsung aku telah salah mengartikan kehadiran Tuhan. Tapi, tidak merasakan kehadiran Tuhan bukan berarti bahwa Tuhan tidak berada di sana. Tuhan tetap ada di sana, dan kebenaran-Nya yang mengubahkan hidup kita tetaplah sama.

Baca Juga:

Ketika Aku Menjawab Panggilan-Nya untuk Melayani di Gereja

Dulu aku hanya seorang simpatisan yang suka berpindah-pindah gereja karena mengikuti orangtuaku. Tak pernah terpikir olehku untuk menetap dan melayani di suatu gereja hingga suatu ketika Tuhan memanggilku secara pribadi untuk mulai melayani-Nya.

Ketika Aku Menjawab Panggilan-Nya untuk Melayani di Gereja

ketika-aku-menjawab-panggilannya-untuk-melayani-di-gereja

Oleh Lovesa Oktaviana, Bandung

“Telah lama kucari-cari langkah hidup yang lebih pasti,” demikianlah penggalan lirik sebuah lagu yang sepertinya cocok dengan keadaanku. Aku lahir di keluarga Kristen yang menjadikanku otomatis Kristen juga. Namun, sejak kecil aku hanya menjadi simpatisan yang berpindah-pindah gereja mengikuti orangtuaku. Tak pernah terpikir olehku untuk menetap dan melayani di suatu gereja.

Datang, duduk, lalu pulang. Itulah aktivitas yang kulakukan setiap minggu. Aku merasa begitu-begitu saja karena imanku tidak bertumbuh. Ketika suatu gereja mengajakku untuk bergabung dalam pelayanan, aku pun menolak. Aku masih asyik dengan duniaku sendiri, tapi aku merasa kalau hatiku jauh dari damai sejahtera karena masih ada kepahitan yang aku simpan.

Waktu itu pikiranku masih terbatas, aku belum menyadari bahwa di luar gereja pun sebenarnya aku bisa melayani Tuhan. Aku pernah berdoa kepada Tuhan kalau jauh di kedalaman hatiku, aku ingin melayani Tuhan di satu gereja. Namun, siapa sangka bahwa Tuhan akhirnya menggelisahkan hatiku dengan kerinduan. Aku berpikir bagaimana caranya aku bisa mulai melayani Dia di dalam gereja.

Sebuah panggilan untuk melayani-Nya di gereja

Panggilan itu muncul pada tahun 2009 ketika aku masih menjadi jemaat simpatisan di sebuah gereja. Setiap minggunya, dalam perjalanan menuju gereja itu, aku harus melewati sebuah gereja lain yang pernah kukunjungi sejak kecil. Entah itu khayalanku atau bukan, tapi setiap kali melewati gereja itu aku seolah mendengar namaku disebut, “Lovesa, ayo sini ! Kamu punya tugas disini.” Suara itu membuatku berpikir, “apa ini? Tugas apa? Apa Tuhan ingin aku melayani Dia?” Hal ini selalu terpikirkan olehku namun tak pernah kuceritakan pada siapapun.

Bulan Desember 2009 gereja tempatku beribadah memutuskan untuk menggeser jam kebaktian menjadi lebih pagi. Karena jarak tempuh antara rumahku dengan gereja yang jauh, dan adik-adikku yang masih kecil, orangtuaku tidak menyanggupi apabila harus berangkat lebih pagi lagi setiap hari Minggu. Dengan pertimbangan itu, ibuku memutuskan untuk pindah ke gereja lain dan ternyata ibu memilih pindah ke gereja yang “memanggilku” itu.

Tepat di minggu pertama bulan Januari 2010 aku mulai beribadah di gereja itu. Sebenarnya gereja ini bukanlah gereja yang benar-benar baru buat keluargaku karena ibuku telah saling mengenal dengan pendetanya sejak mereka masih remaja.

Minggu-minggu setelahnya aku memutuskan untuk mengikuti kelas baptisan. Aku ingin mengikut Tuhan dengan sungguh-sungguh dan lewat kelas baptisan itu Dia merombak isi hatiku. Salah satu topik dalam kelas yang pernah dibahas adalah tentang pelayanan Yesus. Yesus lebih dulu mengasihi dan melayani kita, bahkan ketika kita masih berdosa.

Pelajaran itu membuatku menyadari bahwa selama itu aku masih menyimpan kepahitan terhadap ayahku. Masih teringat jelas dalam ingatanku ketika ayahku dengan ringannya menamparku hingga mimisan. Lalu dia juga memarahiku di depan umum dan selalu menyakiti hatiku lewat kata-kata yang dia lontarkan.

Pelajaran demi pelajaran dalam kelas persiapan baptisan itu membuatku berpikir, bagaimana mungkin aku dibaptis apabila kepahitan itu masih berakar dalam hatiku? Bukankah saat dibaptis nanti kehidupan lamaku harus kutanggalkan? Bukankah aku harus menjadi pribadi baru yang dibangkitkan bersama dengan Yesus?

Dalam pergumulanku untuk melepaskan kepahitan itu, aku bercerita kepada ibu pendeta. “Bagaimanapun juga, dia adalah ayahmu. Di masa tua nanti di pasti membutuhkanmu. Jika kamu tidak bisa mengampuninya, lalu siapa yang nanti akan merawatnya di hari tua?” Tanggapan dari ibu pendeta itu membuatku merenung.

Sebagai anak pertama, tentu adik-adikku akan melihatku sebagai teladan. Jika aku sendiri tidak dapat mengampuni ayahku, bisa jadi adik-adikku akan mengikuti apa yang telah kulakukan itu. Harus kuakui, mengampuni seseorang yang telah menyakitiku itu berat, tapi aku mau terus belajar. Ibu pendetaku menyarankanku untuk selalu mengatakan “aku mengasihi ayahku” walau hanya dalam hati.

Firman Tuhan dalam 1 Petrus 3:10-11 mengatakan, “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya.”

Aku percaya bahwa kata-kata yang kuucapkan itu memiliki kuasa, oleh karena itu aku mau berusaha untuk mengatakan hal-hal yang baik dan penuh kasih, termasuk kepada ayahku. Lambat laun rasa pahitku kepada ayahku mulai pudar. Sekarang aku tidak lagi sakit hati terhadapnya walaupun aku mengingat-ingat masa lalu.

Kehidupan baruku bersama Yesus

Singkat cerita, setelah menuntaskan kelas persiapan, aku pun dibaptis dan bergabung menjadi satu kesatuan jemaat dalam gereja. Sejak saat itu, Tuhan memberiku kesempatan untuk melayani Dia dalam gereja. Mulai dari menari, menyambut tamu, dan memimpin kebaktian.

Aku punya kerinduan untuk melayani Tuhan lewat nyanyian, dan aku berdoa apakah Tuhan mengizinkanku untuk melayani Dia di bidang itu atau tidak. Tanpa kusadari, Tuhan memberikan talenta itu. Segala sesuatunya kini membuatku untuk selalu mengucap syukur tiap kali aku mengingatnya kembali. Tuhan memberikan lebih dari apa yang aku minta.

Aku mengucap syukur karena Tuhan memberikanku kesempatan untuk boleh melayani-Nya baik itu di dalam gereja maupun lewat profesiku sebagai seorang apoteker. Semua ini boleh terjadi semata-mata hanya karena anugerah-Nya yang melayakkan aku untuk menjadi pelayan-Nya.
Sungguh amat istimewa menjadi pekerja Kristus yang mulia.

“Anak-anakku, sekarang janganlah kamu lengah, karena kamu telah dipilih TUHAN untuk berdiri di hadapan-Nya untuk melayani Dia, untuk menyelenggarakan kebaktian dan membakar korban bagi-Nya” (2 Tawarikh 29:11).

Baca Juga:

Ketika Jumat Agung Menjadi Hari yang Menyedihkan Hatiku

Selama bertahun-tahun aku tidak merasakan ada yang istimewa dari momen Jumat Agung hingga suatu ketika sahabatku mengalami kecelakaan dan ia meninggal tepat di hari Jumat Agung. Peristiwa itu kemudian mengajarkanku tentang apa makna sesungguhnya dari kematian Yesus pada hari Jumat Agung.

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Mendengar Injil Kembali

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Reasons Why Christian Need To Be Hearing The Gospel—Again

“Selamat pagi! Silakan ambil traktat Injil ini cuma-cuma,” ucap seorang pria paruh baya sambil menyodorkan sebuah traktat yang berjudul “Seandainya” kepada seorang wanita yang berjalan di depanku.

Wanita itu menolak dengan menggelengkan kepalanya. Kemudian, pria itu mendekatiku dan menawariku sebuah traktat yang sama. Aku menjawabnya dengan senyuman tipis, menggelengkan kepala, dan mempercepat langkahku. “Traktat itu kan untuk orang-orang yang bukan Kristen. Aku sudah jadi orang Kristen, aku tahu apa yang ada di dalam traktat itu dan aku tidak membutuhkannya,” gumamku kepada diri sendiri.

Tapi, tiba-tiba ada pertanyaan yang muncul dalam diriku. “Apa salahnya menerima traktat dan membaca kembali Injil? Kapan terakhir kali aku mendengar Injil itu? Apa aku sudah benar-benar mengerti Injil itu?” Aku menjadi malu dengan diriku sendiri dan berjanji akan mengambil traktat itu jika aku bertemu dengan orang yang menawarkannya lagi.

Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian itu, dan menjelang hari Jumat Agung, ada sebuah pertanyaan yang kurenungkan: Apakah Injil itu hanya untuk orang-orang yang belum Kristen?

Jawaban sederhanaku adalah: Tidak. Pada kenyataannya, jika kita sebagai orang Kristen berpikir kalau kita baik-baik saja, itu berarti kita semakin butuh untuk mendengar Injil. Inilah tiga alasannya.

1. Dunia seringkali membuat kita bingung.

Menerima Yesus masuk ke dalam hidup kita dan menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan tidak serta merta membuat masalah kehidupan kita akan hilang. Perjuangan kita melawan dosa, rasa frustrasi karena atasan kerja atau teman yang jahat, dan kekecewaan kepada anggota keluarga kita akan tetap ada. Bencana alam dan sakit penyakit juga masih tetap akan terjadi.

Selain tantangan-tantangan dari luar, kita juga seringali harus menghadapi suara-suara yang berusaha menjatuhkan kita. “Kamu gagal,” suara itu berkata ketika aku masih saja terjatuh dalam dosa. “Jangan mengubah dirimu, kamu sudah sempurna,” kata dunia kepada kita. Ketika rasa kecanduan dan perasaan bersalah memburu kita, kita mendengar suara-suara itu lagi, “Kamu itu tidak cukup baik.” Suara-suara itu akan terus-menerus muncul untuk membuat kita menyerah.

Dunia ini sedang mengalami perubahan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, kita perlu terus-menerus mendengar Injil yang tidak pernah berubah. Kita perlu untuk selalu diingatkan kalau Tuhan menilai kita bukan karena penampilan kita, kemampuan kita, atau latar belakang keluarga kita, tapi semata-mata karena Dia menciptakan kita (Mazmur 139:13-16). Kita perlu untuk selalu diingatkan kalau Tuhan itu mengasihi kita tanpa mempedulikan seberapa buruknya kita, dan Dia menunjukkan kasih itu dengan Yesus yang mati untuk kita (Roma 5:8). Kita butuh untuk selalu diingatkan bahwa segala sesuatu yang kita hadapi saat ini hanya bersifat sementara, dan ada harapan mulia yang menanti kita di depan (Roma 8:18).

Mengerti Injil dengan baik memberi kita dasar hidup yang teguh.

2. Kita mudah untuk lupa dan hilang fokus.

Sayang sekali, lupa adalah sifat manusia. Memang, ada kalanya kita diliputi perasaan yang begitu berapi-api untuk berlutut dan menyesali setiap perbuatan kita, atau juga mengucap syukur atas kasih dan anugerah Tuhan. Perasaan berapi-api itu juga membuat kita seolah ingin memperbaharui kembali hidup kita, berjanji untuk berhenti menyia-nyiakan hidup dan mempersembahkan waktu, tenaga, dan uang kepada Tuhan. Kemudian, tanpa berpikir panjang kita mengartikan perasaan-perasaan itu sebagai panggilan untuk melayani Tuhan.

Tapi, ketika semangat kita sedang berapi-api, Iblis datang dan bekerja keras mencari celah untuk menjauhkan kita dari Tuhan. Ada dua jurus yang Iblis gunakan, yaitu: membuat kita putus asa dan mengalihkan perhatian kita. Banyak hal mungkin tidak terjadi sesuai rencana, masalah sehari-hari mungkin tetap ada, atau orang-orang yang kita hargai malah mengecewakan kita, dan kita menjadi tawar hati. Atau, keluarga dan pekerjaan terlalu menuntut kita hingga kita kehilangan fokus.

Kenyatannya, waktu-waktu seperti itu akan datang. Yesus sendiri mengatakan kalau pengikut-Nya akan diserang rupa-rupa pencobaan. Bagaimana kita dapat bertahan dan tetap hidup bagi Yesus? Jawabannya adalah dengan membiasakan diri dengan Injil. Bacalah Injil itu lagi dan lagi supaya kita dapat melekat dengan kebenaran Tuhan ketika waktu-waktu sulit datang. Ketika kita mengerti kemuliaan yang Yesus janjikan kelak, kita menemukan kekuatan untuk tekun menghadapi tantangan yang ada saat ini.

Menjadi terbiasa dengan Injil bukanlah hal yang buruk. Kenyataannya, semakin kita mengenal dan akrab dengan Injil, semakin kita dikuatkan dan mampu untuk menghadapi godaan iblis dan tantangan dunia (Efesus 6:10-17).
Mengenal Injil dengan baik akan menjaga kita tetap berfokus kepada Allah.

3. Kita masih bisa jatuh ke dalam dosa.

Sekalipun Adam dan Hawa menikmati relasi dengan Tuhan, mereka masih dicobai oleh hal-hal duniawi (Kejadian 3:6). Bukankah itu cukup jelas kalau tidak ada satupun manusia yang kebal terhadap pencobaan?

Sebagai manusia, kita memiliki hawa nafsu dan jika kita tidak menjaga panca indra kita—rasa, sentuhan, bau, pendengaran, dan pandangan—kita akan jatuh terpikat ke dalam dosa. Aku tahu kalau diriku mudah jatuh kepada dosa iri hati dan memberhalakan sesuatu. Aku tahu kalau diriku mudah sekali merasa tidak puas dan iri terhadap mereka yang tampak lebih baik, terlihat lebih mampu dan sukses. Sekalipun aku tahu benar kalau hal-hal yang aku inginkan itu tidaklah terlalu penting, aku malah mengambil waktu dan berusaha untuk mengejar itu semua daripada mengembangkan hubunganku dengan Tuhan. Ironisnya, semua pengejaran itu malah membuatku semakin kosong dan kekurangan.

Tapi, bisa juga kita melakukan hal yang ekstrem lainnya. Bisa saja kita membaca Alkitab setiap hari, berdoa setiap hari, dan melayani dengan berapi-api—dan berpikir kalau kita baik-baik saja karena kita tidak punya dosa “besar” dalam hidup kita. Bahkan kita mungkin juga berpikir kalau kebaikan-kebaikan yang kita buat itulah yang menyelamatkan kita. Mungkin juga kita berpikir kalau kita lebih baik dari orang lain, kemudian kita menghakimi mereka karena kita tidak menganggap mereka setia seperti kita. Mungkin inilah alasan mengapa Yesus menggunakan banyak waktu di hidupnya menegur orang-orang Farisi yang merasa diri mereka benar.

Tidak ada orang Kristen yang sempurna. Hanya ketika kita membenamkan diri kita ke dalam Injil, kita akan ingat kalau semuanya bukan tentang apa yang dapat kita kerjakan, tapi apa yang Tuhan sudah lakukan dalam hidup kita. Kolose 2:6-7 mengingatkan kita kalau menjadi Kristen itu bukan hanya sekadar menerima Yesus ke dalam hidup kita, tapi juga tentang menumbuhkan relasi bersama-Nya.

Mengenal Injil dengan baik menjaga kita untuk berlaku kudus, karena kita mau menyenangkan Tuhan Yesus.

Jadi, bagaimana jika kita memberi diri untuk mendengarkan berita Injil secara rutin? Khotbahkan berita Injil itu kepada diri kita sendiri! Paul Tripp, seorang pendeta dari Amerika pernah berkata, “Tidak ada seorangpun yang lebih berpengaruh dalam hidupmu selain dirimu sendiri. Karena, tidak ada seorangpun yang berbicara kepadamu melebihi yang kamu lakukan.”

Di hari-hari menjelang Paskah ini, akankah kamu mewartakan Kabar Baik ini lagi kepada dirimu?

Baca Juga:

Ketika Tuhan Menolak Proposal Hidupku

Selama bertahun-tahun aku memohon supaya Tuhan mengabulkan semua impianku, seolah-olah aku sedang mengajukan sebuah proposal kepada Tuhan. Namun, ternyata tidak satupun proposal hidupku itu yang berjalan sesuai rencanaku. Aku sempat mengalami kecewa, tapi kemudian Tuhan mengajarkanku satu hal berharga.

Ketika Tuhan Menolak Proposal Hidupku

Ketika-Tuhan-Menolak-Proposal-Hidupku

Oleh Listiyani Chita Ellary, Jember

Semua orang tentu bercita-cita untuk memiliki hidup yang damai, aman, semua impian tercapai, dan tentunya tidak ada orang yang ingin hidupnya dipenuhi kerikil-kerikil tajam. Aku pun bercita-cita demikian. Sudah sejak lama aku membuat daftar rencana hidupku ke depan, mulai dari tempat kuliah, target kelulusan, nanti akan bekerja di mana, bahkan menikah di umur berapa. Semua itu telah kurencanakan dengan rapi bahkan sejak aku masih duduk di bangku sekolah.

Selama bertahun-tahun aku memohon supaya Tuhan mengabulkan semua impianku itu, seolah-olah aku sedang mengajukan sebuah proposal kepada Tuhan. Namun, setelah tahun-tahun berlalu, aku terus menerus mengajukan proposal itu tanpa memohon persetujuan-Nya. Akhirnya tidak satupun proposal hidupku itu yang berjalan sesuai dengan rencanaku. Aku pun menjadi kecewa ketika ternyata Tuhan tidak mengabulkan apa yang selama ini aku impikan.

Ketika Tuhan menjawab proposal itu dengan jawaban lain

Jurusan kuliah yang kutekuni ternyata melenceng jauh dari yang aku rencanakan. Sejak sekolah dulu aku selalu membayangkan diriku menjadi seorang interior designer ternama. Namun, impianku buyar ketika orangtuaku ternyata tidak setuju dengan keinganku berkuliah di jurusan itu. Kami pun berselisih paham dan akhirnya aku memilih untuk kuliah di fakultas teknik.

Selama kuliah pun indeks prestasi yang kuraih hanya pas-pasan, bahkan di beberapa semester aku sempat mendapatkan nilai yang sangat rendah. Aku sempat menyalahkan Tuhan dan mengeluh kepada-Nya. “Tuhan, aku sudah berusaha sebisa mungkin tapi kenapa hanya hasil seperti ini yang kudapatkan?” Aku juga menyalahkan kedua orangtuaku karena mereka menuntutku untuk kuliah di jurusan yang bukan keinginanku. Jadi, kupikir wajar saja jika nilai-nilai yang kuperoleh itu pas-pasan.

Setelah melewati pergumulan sepanjang kuliah, aku pun lulus dan menyandang gelar sarjana Teknik. Tapi, permasalahan tidak berhenti di situ. Pekerjaan yang kudapatkan ternyata jauh berbeda dengan bidang yang aku pelajari selama kuliah. Kok sarjana Teknik kerjanya di bidang marketing? Pertanyaan itu sering kudengar dari orang-orang sekitarku yang akhirnya membuatku gerah dan menggerutu.

Rasa kecewaku itu masih harus ditambah ketika aku dan kekasihku harus putus setelah menjalin hubungan selama 4 tahun. Aku merasa hatiku saat itu telah hancur dan aku kembali mengeluh kepada Tuhan. “Tuhan, aku sudah merencanakan pernikahanku dengannya, tapi kenapa kami harus berpisah?” Aku sudah mengenal kekasihku dengan baik, sikap buruk maupun baiknya aku sudah tahu, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengan keluarganya. Dan sekali lagi, Tuhan menolak kembali proposal terakhirku. Sirna sudah rencana pernikahan yang sudah aku susun dengan rapi.

Di mana Tuhan ketika aku kecewa?

Aku bertanya, “Di mana Tuhan ketika aku mengajukan banyak proposal hidupku? Tuhan diam saja kah? Atau Tuhan sudah tidak mau ambil bagian di hidupku? Kenapa semua proposal hidupku tidak satupun yang Tuhan kehendaki?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benakku hingga suatu ketika aku hadir di sebuah ibadah hari Minggu. Khotbah hari itu diambil dari Yeremia 29:11 yang berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Sejenak aku merenung dan melontarkan pertanyaan kepada diriku sendiri. “Apakah selama ini semua rencanaku adalah rencana damai sejahtera? Ataukah semua rencanaku itu merupakan buah ambisiku semata?” Tentu aku hanya mengajukan permohonan, bukan lagi memohon revisi Tuhan atas semua proposal hidupku.

Aku mulai menyadari bahwa aku terpaku pada rencanaku tanpa mempedulikan rencana Tuhan yang sudah Dia rancangkan untukku. Aku telah melupakan Allah pencipta hidupku yang sudah tentu jauh lebih mengenalku bahkan sejak aku masih dalam kandungan.

Dari setiap kejadian “kegagalan proposal” ini aku menyadari banyak kesalahan yang terjadi pada diriku sendiri. Aku salah karena aku mengabaikan kehendak Tuhan tanpa bertanya terlebih dulu apakah Dia menyetujui proposalku. Aku malah bersikeras menganggap kalau proposal versiku sendiri adalah yang terbaik buatku.

Aku menyadari bahwa setiap proposal yang aku ajukan kepada Tuhan itu hanyalah ambisiku pribadi dan aku mengabaikan apakah proposal itu menyenangkan hati Tuhan? Apakah proposal hidupku itu memberi dampak baik bagi banyak orang, membuat makin mengasihi Tuhan, atau justru malah membuatku membanggakan diri dan menjauh dari Tuhan?

Kalau saja Tuhan menyetujui semua proposal hidupku, mungkin sekarang aku sudah semakin tinggi hati dan berbangga diri atas kemampuanku sendiri. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan sudah menolak bukan hanya sebagian, tapi seluruh proposal hidupku. Penolakan itu membuat aku bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Sekarang aku tidak lagi mengajukan proposal hidupku, melainkan aku menikmati Tuhan menyatakan semua rencana dan proses-Nya di dalam hidupku. Aku percaya bahwa aku sedang dibentuk-Nya untuk semakin baik dalam karakter, iman, dan cara pandangku terhadap hidup.

Kita dapat memandang kehidupan dengan cara yang berbeda ketika kita bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Kita percaya bahwa tangan Tuhan senantiasa tersedia bagi masa depan kita. Tidak ada yang patut ditakutkan dan dikhawatirkan lagi ketika kita memiliki penjamin hidup yang kekal. Sebuah kesia-siaan ketika kita hanya sibuk pada fokus pribadi tanpa mengerti tujuan kita. Apakah kita mau memuaskan keinginan diri sendiri atau menyenangkan hati Tuhan?

Aku pun mulai menyadari dan terus menghidupi firman-Nya di dalam hatiku. Bahwa bukan saja aku yang memiliki rencana melainkan Tuhan sudah berencana dan berkuasa penuh atas hidupku. Masa-masa mendatang tak perlu kucemaskan lagi, karena Sang Empunya hidup sudah memegang kendali penuh atas hidupku.

Lalu apakah aku hanya diam saja menanti kehendak Tuhan? Tentu tidak. Aku menjalani hidup dengan “proposal baru” dengan membiarkan Tuhan mengoreksi proposal-proposal baruku. Sehingga hidupku bukan hanya saja tentang aku melainkan tentang kehendak Tuhan atas hidupku.

Pekerjaanku sebagai seorang marketing bukan hal yang harus kututup-tutupi lagi. Aku bersyukur dan bangga bahwa melalui pekerjaan ini aku banyak bertemu orang dengan berbagai karakter, malah menjadi sarana untuk boleh mewartakan kasih Tuhan melalui perjumpaanku dengan mereka. Aku percaya melalui sikap yang baik, pikiran yang baik, dan tutur kata yang baik akan membawa orang-orang mencari sumber dari kebaikan tersebut dan dari situlah aku tahu bahwa Tuhan mengutusku bukan hanya mengerjakan bagianku ala kadarnya melainkan aku diutus untuk menjadi garam dan terang bagi sekelilingku.

Baca Juga:

Menikmati Anugerah Tuhan dalam Cacat Fisik yang Kualami

Perjalananku untuk menggapai cita-cita sebagai Sarjana Psikologi tidaklah mudah, terlebih karena sebuah cacat fisik yang kupunya sejak lahir. Tapi, ketika aku mengingat kembali bagaimana akhirnya aku bisa kuliah Psikologi, aku menyadari bahwa semuanya itu hanya karena anugerah Tuhan.