Posts

Kegagalan yang Dipulihkan

Minggu, 10 Desember 2017

Kegagalan yang Dipulihkan

Baca: Mazmur 145:1-16

145:1 Puji-pujian dari Daud. Aku hendak mengagungkan Engkau, ya Allahku, ya Raja, dan aku hendak memuji nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya.

145:2 Setiap hari aku hendak memuji Engkau, dan hendak memuliakan nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya.

145:3 Besarlah TUHAN dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga.

145:4 Angkatan demi angkatan akan memegahkan pekerjaan-pekerjaan-Mu dan akan memberitakan keperkasaan-Mu.

145:5 Semarak kemuliaan-Mu yang agung dan perbuatan-perbuatan-Mu yang ajaib akan kunyanyikan.

145:6 Kekuatan perbuatan-perbuatan-Mu yang dahsyat akan diumumkan mereka, dan kebesaran-Mu hendak kuceritakan.

145:7 Peringatan kepada besarnya kebajikan-Mu akan dimasyhurkan mereka, dan tentang keadilan-Mu mereka akan bersorak-sorai.

145:8 TUHAN itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya.

145:9 TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.

145:10 Segala yang Kaujadikan itu akan bersyukur kepada-Mu, ya TUHAN, dan orang-orang yang Kaukasihi akan memuji Engkau.

145:11 Mereka akan mengumumkan kemuliaan kerajaan-Mu, dan akan membicarakan keperkasaan-Mu,

145:12 untuk memberitahukan keperkasaan-Mu kepada anak-anak manusia, dan kemuliaan semarak kerajaan-Mu.

145:13 Kerajaan-Mu ialah kerajaan segala abad, dan pemerintahan-Mu tetap melalui segala keturunan. TUHAN setia dalam segala perkataan-Nya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya.

145:14 TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk.

145:15 Mata sekalian orang menantikan Engkau, dan Engkaupun memberi mereka makanan pada waktunya;

145:16 Engkau yang membuka tangan-Mu dan yang berkenan mengenyangkan segala yang hidup.

Tuhan itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk. —Mazmur 145:14

Kegagalan yang Dipulihkan

Pada suatu waktu, pujian dan penyembahan di gereja kami dipimpin oleh sebuah grup musik tamu. Hasrat mereka dalam menyembah Tuhan sangat mengharukan dan jemaat dapat melihat serta ikut merasakan semangat mereka.

Kemudian para pemusik itu mengungkapkan bahwa mereka semua adalah bekas narapidana. Mengetahui hal itu membuat kami melihat makna yang baru dari puji-pujian yang mereka naikkan. Kata-kata dalam lagu pujian itu terasa begitu berarti bagi mereka. Penyembahan mereka menjadi kesaksian dari hidup yang tadinya rusak tetapi kini telah dipulihkan kembali.

Mungkin dunia lebih menghargai kisah-kisah keberhasilan. Namun, kisah-kisah tentang kegagalan masa lalu seseorang juga dapat memberikan pengharapan. Kisah-kisah kegagalan meyakinkan kita bahwa Allah tetap mengasihi kita meskipun kita telah gagal berulang kali. Pendeta Gary Inrig mengatakan bahwa apa yang kita sebut sebagai Galeri Pahlawan Iman dalam Ibrani 11 sebenarnya dapat juga diberi judul Galeri Karya Pemulihan Allah. “Hampir tidak ada seorang pun dalam pasal itu yang hidupnya bebas dari noda kegagalan,” menurut pengamatan beliau. “Namun, Allah berkarya memulihkan setiap kegagalan. . . . Itulah prinsip yang agung dari anugerah Allah.”

Saya sangat menyukai kata-kata penghiburan dalam Mazmur 145. Mazmur itu bercerita tentang “perbuatan-perbuatan [Allah] yang ajaib” (ay.5-6) dan kemuliaan kerajaan-Nya (ay.11). Pasal itu menggambarkan kasih sayang (ay.8-9) dan kesetiaan-Nya (ay.13)—kemudian langsung menyatakan kepada kita bahwa Tuhan adalah penopang bagi semua orang yang jatuh (ay.14). Seluruh sifat Allah dinyatakan-Nya ketika Dia mengangkat kita kembali. Allah memang sanggup memulihkan kita.

Pernahkah kamu gagal? Tentu kita semua pernah gagal. Namun, sudahkah kamu dipulihkan oleh-Nya? Hidup setiap orang yang sudah diselamatkan Allah merupakan kisah anugerah-Nya. —Leslie Koh

Setiap kisah kegagalan kita dapat menjadi kisah anugerah Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Hosea 1-4 dan Wahyu 1

Bertahan Hidup di Gurun

Rabu, 25 Oktober 2017

Bertahan Hidup di Gurun

Baca: Keluaran 17:1-7

17:1 Kemudian berangkatlah segenap jemaah Israel dari padang gurun Sin, berjalan dari tempat persinggahan ke tempat persinggahan, sesuai dengan titah TUHAN, lalu berkemahlah mereka di Rafidim, tetapi di sana tidak ada air untuk diminum bangsa itu.

17:2 Jadi mulailah mereka itu bertengkar dengan Musa, kata mereka: “Berikanlah air kepada kami, supaya kami dapat minum.” Tetapi Musa berkata kepada mereka: “Mengapakah kamu bertengkar dengan aku? Mengapakah kamu mencobai TUHAN?”

17:3 Hauslah bangsa itu akan air di sana; bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa dan berkata: “Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?”

17:4 Lalu berseru-serulah Musa kepada TUHAN, katanya: “Apakah yang akan kulakukan kepada bangsa ini? Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu!”

17:5 Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Berjalanlah di depan bangsa itu dan bawalah beserta engkau beberapa orang dari antara para tua-tua Israel; bawalah juga di tanganmu tongkatmu yang kaupakai memukul sungai Nil dan pergilah.

17:6 Maka Aku akan berdiri di sana di depanmu di atas gunung batu di Horeb; haruslah kaupukul gunung batu itu dan dari dalamnya akan keluar air, sehingga bangsa itu dapat minum.” Demikianlah diperbuat Musa di depan mata tua-tua Israel.

17:7 Dinamailah tempat itu Masa dan Meriba, oleh karena orang Israel telah bertengkar dan oleh karena mereka telah mencobai TUHAN dengan mengatakan: “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?”

Berita itu tidak ada gunanya. Sebab ketika mereka mendengarnya, mereka tidak percaya. —Ibrani 4:2 BIS

Bertahan Hidup di Gurun

Pada dekade 1960-an, kelompok musik Kingston Trio merilis lagu berjudul “Desert Pete”. Lagu itu berkisah tentang seorang koboi yang sedang kehausan, dan ketika melintasi padang gurun ia menemukan pompa air manual. Di sebelah pompa itu, Desert Pete meninggalkan selembar catatan yang mendorong pembacanya untuk tidak meminum air dalam kendi yang ada di situ, tetapi menggunakan air itu untuk memancing pompa agar mengeluarkan air dari tanah.

Koboi itu menolak godaan untuk meminum air dalam kendi dan menggunakannya sesuai petunjuk yang tertulis itu. Sebagai upah dari ketaatannya, ia memperoleh air dingin yang segar dan berlimpah untuk memuaskan dahaganya. Jika tidak mempercayai pesan itu, ia hanya memperoleh air hangat dalam kendi yang dapat diminumnya tetapi yang tidak akan memuaskan dahaganya.

Kisah itu mengingatkan saya tentang perjalanan bangsa Israel yang melintasi padang gurun. Ketika mereka sangat kehausan (Kel. 17:1-7), Musa berseru meminta pertolongan Tuhan. Musa diperintahkan Tuhan untuk memukul gunung batu di Horeb dengan tongkatnya. Musa percaya dan taat, dan air pun menyembur dari bukit batu itu.

Sayangnya, bangsa Israel tidak konsisten mengikuti teladan iman Musa. Pada akhirnya, “berita itu tidak ada gunanya. Sebab ketika mereka mendengarnya, mereka tidak percaya” (Ibr 4:2 BIS).

Terkadang kehidupan ini dapat terasa seperti padang gurun yang gersang. Namun, Allah sanggup memuaskan kehausan jiwa kita di tengah situasi-situasi yang tidak terduga sama sekali. Ketika dengan iman kita mempercayai janji-janji Tuhan dalam firman-Nya, kita akan menikmati kelimpahan air hidup dan anugerah yang kita butuhkan sehari-hari. —Dennis Fisher

Tolonglah kami untuk mempercayai-Mu, Tuhan. Engkaulah yang sanggup memuaskan jiwa kami yang haus.

Hanya Yesus, Sang Air Hidup, yang bisa memuaskan dahaga kita akan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 6-8; 1 Timotius 5

Lempeng Batu

Rabu, 18 Oktober 2017

Lempeng Batu

Baca: Yesaya 53:1-6

53:1 Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan?

53:2 Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.

53:3 Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.

53:4 Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.

53:5 Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.

53:6 Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.

Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita. —Yesaya 53:5

Lempeng Batu

Kota Yerusalem yang kita kenal sekarang bisa dikatakan dibangun di atas puing-puing sebagai akibat dari peperangan dan penghancuran yang berlangsung dari abad ke abad. Suatu kali dalam liburan keluarga, kami menyusuri Via Dolorosa (Jalan Penderitaan), yang menurut tradisi merupakan rute yang dilalui Yesus dalam perjalanan-Nya menuju tempat penyaliban. Panasnya cuaca hari itu mendorong kami untuk beristirahat sejenak dan turun ke ruang bawah tanah yang sejuk dari Convent of the Sisters of Zion (Biara para Biarawati Sion). Di ruangan itu, saya terpikat oleh jalan setapak kuno dari batu yang pada saat itu baru ditemukan lewat suatu penggalian. Lempeng-lempeng batu pada jalan itu diukir dengan gambar beragam permainan yang dilakukan tentara Romawi di waktu senggang mereka.

Meski kemungkinan berasal dari periode setelah masa hidup Yesus di dunia, lempeng-lempeng batu itu membuat saya memikirkan kehidupan rohani saya dengan sungguh-sungguh. Seperti tentara yang bosan dan bermain-main di waktu senggangnya, saya telah menjadi puas akan diri saya sendiri hingga mengabaikan Allah dan sesama. Saya begitu tersentuh saat membayangkan bahwa di dekat tempat saya berdiri saat itu, Tuhan Yesus pernah dipukuli, dicemooh, dihina, dan dianiaya sembari memikul semua kesalahan dan pemberontakan saya.

“Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (Yes. 53:5).

Lempeng batu itu masih mengingatkan saya pada kasih karunia Tuhan Yesus yang lebih besar dari semua dosa saya. —David C. McCasland

Tuhan Yesus, lewat pengorbanan-Mu yang agung bagi kami, kami menerima pengampunan, pemulihan, dan pengharapan. Terima kasih karena hari ini dan untuk selamanya kami dapat hidup di dalam kasih-Mu.

Dosa kita sungguh besar, tetapi anugerah Allah jauh lebih besar.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 53-55; 2 Tesalonika 1

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

4-Perbedaan-dari-Pendosa-di-Dalam-Gereja

Oleh Charles Christian

“No perfect people allowed.”
(“Orang sempurna dilarang masuk.”)

Ini adalah motto sebuah gereja yang aku rasa menarik. Motto ini mengingatkanku bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini—termasuk juga orang-orang yang ada di dalam gereja. Jika hanya orang-orang sempurna saja yang boleh masuk ke dalam gereja, gereja akan menjadi kosong, karena tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi syarat itu.

Namun, banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja. Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

Ketika kita baru memasuki sebuah gereja, mudah bagi kita untuk berpikir bahwa gereja hanya berisi orang-orang baik yang mengasihi Tuhan, mengasihi sesama, dan membenci dosa. Namun, apakah mungkin itu karena kita melihat gereja itu dari jauh? Cobalah lihat lebih dekat, dan kita akan menyadari bahwa itu begitu berbeda dari yang kita pikirkan. Tidak ada gereja yang sempurna, karena Alkitab berkata bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Gereja berisi orang-orang yang berdosa. Ya, setiap dari kita adalah seorang berdosa.

Namun kalau begitu, mungkin kamu berpikir, kalau kita semua adalah orang-orang berdosa lalu apa bedanya mereka yang ada di dalam gereja dan mereka yang tidak ada di dalam gereja? Aku percaya para pendosa yang ada di dalam gereja menjadi berbeda karena 4 ciri berikut ini.

1. Para pendosa di dalam gereja mengakui bahwa mereka adalah pendosa

Di dalam Lukas 18:9-14, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang orang Farisi dan dengan pemungut cukai:

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:

“Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Di dalam cerita ini ada 2 orang—yang satu adalah seorang pengajar agama yang sangat dihormati, yang lain adalah seorang pemungut cukai yang dibenci banyak orang. Namun meskipun ada perbedaan status sosial yang begitu jelas di antara mereka, yang Yesus tekankan dalam perumpamaan tersebut adalah perbedaan respons mereka. Sang pemungut cukai mengetahui dan mengakui bahwa dia adalah seorang pendosa. Di sisi lain, sang Farisi berpikir bahwa dirinya begitu baik di hadapan Tuhan. Yesus membenarkan respons sang pemungut cukai, dan berkata bahwa dia “dibenarkan Allah”.

Orang-orang Farisi yang merasa diri mereka benar telah menjadi buta dan tidak menyadari bahwa mereka adalah “orang sakit” dan membutuhkan seorang tabib (Markus 2:17; Matius 9:12-13). Dan itu adalah sesuatu yang berbahaya yang beberapa dari kita—bahkan yang ada di dalam gereja—dapat jatuh jika kita tidak berhati-hati.

Apakah kita menyadari betapa dalamnya kita telah jatuh di dalam dosa dan maukah kita datang kepada Tuhan dengan pertobatan yang sepenuh hati?

2. Para pendosa di dalam gereja mengandalkan Tuhan

Para pendosa di dalam gereja percaya kepada Tuhan dan tahu bahwa mereka tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri—hanya Tuhan satu-satunya yang dapat menyelamatkan mereka.

Kita hidup di dalam kebergantungan kepada Tuhan, yang juga berarti jujur dalam mengungkapkan pergumulan-pergumulan terdalam dan tergelap kita kepada-Nya dan senantiasa datang kepada Tuhan untuk memohon pertolongan dan pengampunan-Nya.

St. Teresa dari Avila, seorang biarawati Spanyol di abad ke-16, pernah berdoa kepada Tuhan dengan sebuah kejujuran yang luar biasa: “Oh Tuhan, aku tidak mengasihi-Mu, aku bahkan tidak ingin mengasihi-Mu, tapi aku ingin untuk punya keinginan untuk mengasihi-Mu!”

Apakah kita mengungkapkan isi hati kita dengan jujur kepada Tuhan dan mengandalkan Dia setiap hari?

3. Para pendosa di dalam gereja berjuang melawan dosa setiap hari

Kita tidak imun terhadap dosa. Kita masih dapat jatuh ke dalam dosa, namun kita terus kembali dan bertobat, dan terus berjuang melawan dosa. Ini bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Tuhan memperingatkan kita untuk berjaga-jaga, karena lawan kita, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (1 Petrus 5:8).

Hanya ketika kita mengandalkan Tuhan dan terus dekat dengan-Nya, kita dapat mengalahkan godaan-godaan yang ada dalam hidup kita sehari-hari. Dan setiap kali kita jatuh, kita dapat—dengan anugerah Tuhan—bangkit kembali.

Apakah kita berjuang melawan dosa setiap hari dan meminta kekuatan daripada Tuhan untuk melepaskan dosa-dosa kita?

4. Para pendosa di dalam gereja mengasihi pendosa-pendosa lainnya

Para pendosa di dalam gereja tahu bahwa Tuhan mengasihi pendosa-pendosa lainnya sama seperti Dia mengasihi kita. Dan karena Tuhan mengasihi pendosa-pendosa lainnya, kita juga mengasihi mereka. Kita tidak menghakimi kesalahan mereka atau mengabaikan mereka. Namun, kita berdoa untuk mereka, mengingatkan mereka di dalam kasih, dan membantu mereka untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi orang yang lebih baik.

Apakah kita mengasihi sesama kita seperti Tuhan mengasihi kita?

Penulis Morton Kelsey berkata: “Gereja bukanlah museum untuk orang-orang kudus tapi rumah sakit untuk para pendosa.” Bukankah benar demikian? Tapi jangan berhenti sampai di sana. Karena apa yang telah Yesus lakukan, kita bukan hanya para pendosa di dalam gereja, kita adalah para pendosa yang telah diselamatkan di dalam gereja.

Dialah yang Menemukan Aku

Jumat, 31 Juli 2015

Dialah yang Menemukan Aku

Baca: Lukas 19:1-10

19:1 Yesus masuk ke kota Yerikho dan berjalan terus melintasi kota itu.

19:2 Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya.

19:3 Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek.

19:4 Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ.

19:5 Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”

19:6 Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita.

19:7 Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: “Ia menumpang di rumah orang berdosa.”

19:8 Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”

19:9 Kata Yesus kepadanya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.

19:10 Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”

Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. —Lukas 19:10

Dialah yang Menemukan Aku

Film Amazing Grace (Anugerah yang Ajaib) berlatar belakang kehidupan di akhir abad ke-18. Film itu bercerita tentang William Wilberforce, seorang politikus yang digerakkan oleh imannya kepada Kristus untuk menyalurkan uang dan tenaganya guna menghentikan perdagangan budak di Inggris. Dalam salah satu adegan, kepala pelayan rumah tangga Wilberforce melihat tuannya itu sedang berdoa, lalu ia bertanya, “Apakah tuan menemukan Allah?” Wilberforce menjawab, “Kupikir Dialah yang menemukan aku.”

Alkitab melukiskan kemanusiaan sebagai domba yang menyeleweng dan terhilang. Dikatakan, “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri” (Yes. 53:6). Bahkan, kondisi menyeleweng tersebut sedemikian mengakar di dalam diri kita hingga Rasul Paulus pun mengatakan: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng” (Rm. 3:10-12). Itulah mengapa Yesus datang. Kita tidak akan pernah mencari Dia, maka Dialah yang datang mencari kita. Yesus menyatakan misi-Nya dengan kalimat berikut, “Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10).

Wilberforce sangatlah tepat. Yesus datang untuk menemukan kita, karena kita tidak akan pernah dapat menemukan Dia dengan upaya kita sendiri. Inilah pernyataan yang jelas dari kasih Sang Pencipta bagi umat ciptaan-Nya yang terhilang, yaitu bahwa Dia terus mencari kita dan rindu menjadikan kita milik-Nya. —Bill Crowder

Ajaib benar anugerah, pembaru hidupku! ‘Ku hilang, buta, bercela; oleh-Nya ‘ku sembuh. (Kidung Jemaat No. 40) —John Newton

Dahulu hilang, kini ditemukan. Ku bersyukur selamanya!

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 54–56; Roma 3

Gurun yang Tandus

Sabtu, 11 Juli 2015

Gurun yang Tandus

Baca: Yesaya 48:16-22

48:16 Mendekatlah kepada-Ku, dengarlah ini: Dari dahulu tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi dan pada waktu hal itu terjadi Aku ada di situ.” Dan sekarang, Tuhan ALLAH mengutus aku dengan Roh-Nya.

48:17 Beginilah firman TUHAN, Penebusmu, Yang Mahakudus, Allah Israel: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh.

48:18 Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti,

48:19 maka keturunanmu akan seperti pasir dan anak cucumu seperti kersik banyaknya; nama mereka tidak akan dilenyapkan atau ditiadakan dari hadapan-Ku.”

48:20 Keluarlah dari Babel, larilah dari Kasdim! Beritahukanlah dengan suara sorak-sorai dan kabarkanlah hal ini! Siarkanlah itu sampai ke ujung bumi! Katakanlah: “TUHAN telah menebus Yakub, hamba-Nya!”

48:21 Mereka tidak menderita haus, ketika Ia memimpin mereka melalui tempat-tempat yang tandus; Ia mengeluarkan air dari gunung batu bagi mereka; Ia membelah gunung batu, maka memancarlah air.

48:22 “Tidak ada damai sejahtera bagi orang-orang fasik!” firman TUHAN.

Mereka tidak menderita haus, ketika Ia memimpin mereka melalui tempat-tempat yang tandus. —Yesaya 48:21

Gurun yang Tandus

Gersang, berdebu, berbahaya. Itulah padang gurun—suatu wilayah yang hanya memiliki sedikit air dan yang tidak bisa menunjang kehidupan. Gurun juga dipakai untuk melukiskan suatu tempat yang tak berpenghuni. Kehidupan di gurun memang keras dan tidak banyak orang yang mau hidup di sana. Namun, terkadang kita tak dapat menghindarinya.

Dalam Kitab Suci, umat Allah telah terbiasa dengan kehidupan gurun. Sebagian besar wilayah Timur Tengah, termasuk Israel, adalah padang gurun. Namun demikian, masih ada sejumlah daerah yang subur, seperti Lembah Yordan dan tanah di sekitar Danau Galilea. Allah memilih untuk “membesarkan keluarga-Nya” di tempat yang dikelilingi gurun, di mana Dia dapat menyatakan kebaikan-Nya kepada umat-Nya apabila mereka mempercayai Dia untuk melindungi dan memberi mereka makan sehari-hari (Yes. 48:17-19).

Di masa kini, kebanyakan dari kita tidak hidup di padang gurun secara harfiah, tetapi kita sering merasa seperti sedang berjalan melalui padang gurun. Terkadang kita melewatinya sebagai bentuk ketaatan kita. Di lain waktu, kita mendapati diri berada di padang gurun bukan oleh pilihan atau kesadaran kita. Ketika seseorang menelantarkan kita, atau penyakit menyerang tubuh kita, kita bagai terdampar di tengah padang gurun yang langka dengan sumber daya dan mengalami sulitnya bertahan hidup.

Akan tetapi, maksud utama dari pengalaman di padang gurun, baik dalam pengertian harfiah maupun kiasan, adalah untuk mengingatkan bahwa kita bergantung kepada Allah yang menopang kehidupan kita. Itulah pelajaran yang perlu kita ingat, bahkan ketika kita sedang hidup di dalam kelimpahan sekalipun. —Julie Ackerman Link

Apakah kamu sekarang hidup di dalam kelimpahan atau justru berkekurangan? Bagaimana cara Allah memelihara hidupmu? Gurun yang Tandus

Di setiap padang gurun, ada mata air anugerah yang disediakan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 1–3; Kisah Para Rasul 17:1-15

Anugerah di dalam Hati Kita

Kamis, 9 Juli 2015

Anugerah di dalam Hati Kita

Baca: Efesus 2:4-10

2:4 Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita,

2:5 telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita–oleh kasih karunia kamu diselamatkan–

2:6 dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga,

2:7 supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus.

2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,

2:9 itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.

2:10 Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.

Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih. —Kolose 4:6

Anugerah di dalam Hati Kita

Beberapa tahun lalu, Jenderal Peter Chiarelli (pimpinan tertinggi kedua di jajaran Angkatan Darat AS pada masa itu) pernah dikira sebagai pelayan oleh seorang penasihat senior bagi presiden pada sebuah acara jamuan makan malam kenegaraan. Penasihat senior itu tanpa sadar meminta sang jenderal yang sedang berdiri di belakangnya untuk mengambilkannya minuman. Saat penasihat itu menyadari kesalahannya, sang jenderal dengan ramah berusaha menolongnya agar tidak merasa malu dengan mengisi ulang gelasnya, bahkan mengundangnya untuk makan malam bersama keluarganya di lain kesempatan.

Kata gracious (ramah) berasal dari kata grace (anugerah), dan itu bisa berarti perbuatan baik atau sopan-santun, seperti yang dilakukan sang jenderal. Namun kata itu bermakna lebih dalam bagi para pengikut Kristus. Kita adalah penerima anugerah—karunia ajaib yang diberikan cuma-cuma dan tak layak kita terima—yang disediakan Allah melalui Anak-Nya, Yesus (Ef. 2:8).

Karena kita telah menerima anugerah, kita patut menunjukkannya dalam cara kita memperlakukan orang lain—misalnya, dalam ucapan kita kepada mereka: “Ucapan orang arif membuat ia dihormati” (Pkh. 10:12 BIS). Anugerah yang kita hayati di dalam hati akan tercurah lewat perkataan dan perbuatan kita (Kol. 3:16-17).

Belajar menyalurkan anugerah di dalam hati kita kepada orang lain merupakan buah dari kehidupan pengikut Yesus Kristus—pemberi anugerah terbesar—yang dipenuhi oleh Roh Kudus. —Cindy Hess Kasper

Bapa di surga, tolong aku hari ini untuk berkata-kata dengan penuh kasih. Kiranya setiap perkataan dan perbuatanku menunjukkan kasih kepada orang lain dan menyenangkan-Mu, ya Tuhan, kekuatanku dan penebusku.

Anugerah Allah yang dihayati di dalam hati akan membuahkan perbuatan baik di dalam hidup.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 38–40; Kisah Para Rasul 16:1-21

Seorang Ayah yang Berlari

Senin, 20 April 2015

Seorang Ayah yang Berlari

Baca: Lukas 15:11-24

15:11 Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki.

15:12 Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka.

15:13 Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.

15:14 Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat.

15:15 Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya.

15:16 Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya.

15:17 Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.

15:18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa,

15:19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.

15:20 Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

15:21 Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.

15:22 Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya.

15:23 Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita.

15:24 Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.

Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. —Lukas 19:10

Seorang Ayah yang Berlari

Setiap hari seorang ayah memanjangkan lehernya untuk melihat jauh ke jalan sambil menunggu putranya pulang. Dan setiap malam ia pergi tidur dengan kecewa. Namun suatu hari, ada bintik kecil terlihat. Dilatarbelakangi langit yang kemerahan, sesosok siluet terlihat berjalan sendirian. Mungkinkah itu putraku? sang ayah bertanya-tanya. Kemudian ia mengenali gaya berjalan sosok itu. Ya, itu pasti putraku!

Jadi, sementara sang putra “masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia” (Luk. 15:20). Sungguh luar biasa bahwa sang kepala keluarga melakukan sesuatu yang dipandang tidak pantas dalam budaya Timur Tengah, yaitu berlari untuk menemui putranya. Sukacita sang ayah begitu tak terbendung ketika melihat putranya kembali.

Sang putra tidak layak menerima sambutan seperti itu. Ketika ia meminta bagian harta sang ayah yang menjadi haknya dan meninggalkan rumah, itu sama saja seperti menganggap ayahnya mati. Namun setelah segalanya yang dilakukan sang putra, ia tetaplah anak bagi ayahnya (ay.24).

Perumpamaan ini mengingatkan bahwa saya diterima oleh Allah karena anugerah-Nya, bukan karena jasa saya. Saya diyakinkan bahwa walaupun saya jatuh, saya tidak akan pernah berada di luar jangkauan kasih karunia Allah. Bapa Surgawi kita sedang menunggu untuk berlari dan menyambut kita dengan tangan terbuka. —Poh Fang Chia

Bapa, aku begitu bersyukur untuk semua yang telah Anak-Mu lakukan untukku di atas kayu salib. Aku berterima kasih untuk anugerah. Aku persembahkan kepada-Mu hati yang rindu menjadi seperti Yesus—hati yang penuh kasih dan sayang.

Kita layak dihukum, tetapi beroleh pengampunan; pantas ditimpa murka Allah, tetapi justru menerima kasih-Nya. Philip Yancey

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 9-11; Lukas 15:11-32

Terlalu Berat Bagiku

Rabu, 15 April 2015

Terlalu Berat Bagiku

Baca: Matius 26:36-46

26:36 Maka sampailah Yesus bersama-sama murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa."

26:37 Dan Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus serta-Nya. Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar,

26:38 lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku."

26:39 Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."

26:40 Setelah itu Ia kembali kepada murid-murid-Nya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?

26:41 Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah."

26:42 Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!"

26:43 Dan ketika Ia kembali pula, Ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat.

26:44 Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga.

26:45 Sesudah itu Ia datang kepada murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa.

26:46 Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat."

Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku. —Matius 26:39

Terlalu Berat Bagiku

Tuhan tak mungkin membebani kita lebih daripada yang dapat kita tanggung,” kata seseorang kepada seorang ayah yang baru saja kehilangan putranya yang berusia lima tahun karena kanker. Kata-kata tersebut dimaksudkan untuk menguatkan sang ayah, tetapi ternyata justru membuat ia tertekan dan menyebabkannya bertanya-tanya mengapa ia sama sekali tidak dapat “menanggung” rasa pedih dari kepergian putranya sendiri. Kepedihan itu begitu membebaninya, sehingga ia pun sulit bernapas. Ia menyadari bahwa kepedihan itu terlalu berat baginya dan ia sangat membutuhkan Allah untuk merengkuh dirinya erat-erat.

Ayat Alkitab yang dipakai orang untuk mendasari pernyataan “Tuhan tak pernah membebani kita lebih daripada yang dapat kita tanggung” tadi adalah 1 Korintus 10:13, “Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” Akan tetapi, konteks dari ayat itu adalah tentang pencobaan, bukan penderitaan. Kita dapat memilih untuk keluar dari pencobaan melalui jalan yang telah Allah sediakan, tetapi kita tidak mempunyai pilihan untuk keluar dari penderitaan.

Yesus sendiri menginginkan jalan keluar dari penderitaan yang akan dialami-Nya ketika Dia berdoa, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. . . . Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku” (Mat. 26:38-39). Namun demikian, Dia tetap rela menanggung semuanya demi keselamatan kita.

Ketika beban hidup terasa terlalu berat untuk kita tanggung, itulah saatnya kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada belas kasihan Allah, dan Dia pasti akan merengkuh kita erat-erat. —Anne Cetas

Bapa, aku merasa rapuh dan lemah. Aku tahu Engkaulah perlindunganku dan kekuatanku, pertolonganku saat kesusahan. Aku berseru memanggil nama-Mu, Tuhan. Rengkuhlah diriku.

Jika Allah berjaga di belakang kita dan lengan-Nya menopang kita, kita dapat menghadapi apa pun di hadapan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 27-29; Lukas 13:1-22

Photo credit: ace_alejandre / Foter / CC BY-NC