Posts

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Baru saja Ianuel pulang memimpin sebuah kelompok pendalaman Alkitab, Benu sudah menunggunya di taman tempat mereka biasa mengobrol. Benu bilang penting, ingin bicara. Segera Ian beranjak dari kamarnya menuju teras. Setelah berpamitan dengan Ibu, Ian menyalakan motornya.

“Baru pulang sudah pergi lagi. Mau ke mana kamu?”

“Hmm… pelayanan, Pah. Tadi sudah pamit Ibu,” kata Ian ragu.

“Pelayanan mulu. Waktu buat keluarga kapan? Ini, kan, weekend.”

“Sebentar, kok, Pah. Ke taman biasa,” Ianuel berusaha menenangkan ayahnya.

“Sebentar tapi, sampai malam. Pulang cepet. Kalau sudah pada tidur, tidak ada yang akan bukain pintu,” ayah Ian memunggunginya menuju ruang TV.

Telah satu tahun Ian tidak mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Terakhir kali, pada hari Ian terkunci di luar rumah karena pulang hampir tengah malam. Sejak saat itu Ian mulai mengatur waktu kegiatannya dengan teliti. Dia tahu, jika ayahnya mengucapkannya lagi, berarti sang ayah benar-benar memaksudkannya. Mengganjal. Namun, Ian harus pergi.

Bagi Ian bertemu Benu adalah sebuah bagian dari panggilannya. Panggilan yang dimulai dari keputusan Ian satu setengah tahun lalu untuk bekerja di suatu lembaga Kristen yang melayani kaum muda. Lembaga ini baru saja membuka pos rintisan di kota kecil tempat Ian tinggal. Sedangkan pusat lembaganya berada 2 jam jauhnya dari kota ini. Capek, kehabisan ide, tertekan, sedih adalah teman pelayanan Ianuel, sebab belum ada orang yang bersedia menemani pelayanannya. Ian melayani seorang diri di pos kecil tersebut. Meskipun begitu, dia mengerti bahwa lewat pos pelayanan inilah dia mengabdi kepada Tuhan.

Ayahnya sendiri sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Ian. Dia tidak bisa memahami pekerjaan Ian dan pertimbangannya. Ayahnya hanya tahu kalau anaknya suka kerja sebar-sebar ajaran Alkitab. Namun, menurut hemat ayahnya, pekerjaan tersebut sulit untuk membeli sebuah rumah untuk anak istri Ian kelak. Terang-terangan atau sindiran halus sudah dilakukannya tapi, Ian tetap tidak mengubah pilihan pekerjaanya.

Sesampainnya di taman, Ianuel menemui Benu di bangku taman. Dari bangku itulah Benu bercerita bahwa ia baru saja berkonflik hebat dengan ayahnya yang dominan lantaran ia kelupaan mematikan lampu kamar. Keduanya terlibat adu mulut dan saling merendahkan satu sama lain. Ketika konflik semakin menegang, Benu mengakhirinya dengan keluar rumah. Sambil menghisap rokoknya, Benu mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi pulang ke rumah.

Hari itu malam Minggu dan matahari sudah semakin gelap. Taman semakin dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan mulai membuka lapaknya.

“Makan, yuk. Gue traktir,” ajak Ian.

Ian sudah biasa melakukan hal ini kepada para pemuda tanggung yang dilayaninya. Hanya ingin berbagi dan meringankan beban mereka yang dia layani. Mereka melipir ke tenda pecel ayam tak jauh dari taman itu. Percakapan terus mengalir tanpa ujung bersamaan dengan perut mereka yang semakin penuh. Waktu berlalu hingga pukul delapan lewat. Dalam hatinya Ian bertekad untuk pulang sebelum jam sembilan malam, sebab ia teringat pesan ayahnya. Percakapan masih berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Ian memberikan saran-saran praktis untuk masalah Benu dengan ayahnya.

“Memang sih, Ben, disalah mengerti oleh orang yang kita harapkan sebagai yang pertama kali memahami kita itu menyakitkan. Tapi, lari dari tanggung jawab untuk saling mencari pengertian justru akan melahirkan kesalahpahaman lainnya. Usahakan tidak mengoleksi luka sebab semua luka sudah ditanggung Yesus di atas kayu salib, Ben,” kata Ian.

“Jadi, kalau menurut Abang. Sebaiknya kamu pulang dan meminta maaf. Siapa tau dengan begitu terjadi rekonsiliasi. Abang yakin Tuhan akan bekerja. Soalnya Dia yang paling mau relasi kalian membaik. Jadi segera balik, yak, tidak perlu kelayapan lagi,” bujuk Ian sambil menepuk pundak Benu.

Benu merasa pita suaranya kusut. Dia tidak menjawab bujukan Ian yang telah pulang dengan motornya. Di taman itu Benu masih mempertimbangkan saran dari Ian sebelum akhirnya dia memutuskan pulang pada dini hari.

Di tengah perjalanan Ian terus bertanya mengapa ia perlu mengurusi anak orang lain jika relasinya sendiri dengan orang tuanya masih berjarak. Ian merasa jago bicara tapi, gagal dalam praktiknya. Dia juga ingin agar Tuhan memperbaiki relasinya dengan sang ayah. Itulah mengapa Ian memacu motornya secepat mungkin supaya sampai tepat sebelum jam 9. Dia berharap agar tidak terjadi lagi konflik pada hari ini. Namun, di jalan motornya malah menabrak sebuah roda truk.

Truk tersebut sedang menepi mengganti salah satu roda kanannya. Badan truk menghalangi lampu penerangan jalan sehingga Ian tak dapat melihat sebuah roda besar di sisi kanan truk. Ianl tak sempat lagi mengelak dan hantaman itu terjadi.

“Brakk!”

Setang motornya bengkok dan sebagian lampu depannya pecah. Ian sendiri terlempar dari motornya. Tulang tangan kirinya patah dan dahinya berdarah. Banyak orang langsung berkerumun dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Tiga hari lamanya Ian berada di rumah sakit sebelum ia pulang diantarkan sang ibu. Keningnya dijahit dua kali dan tangannya telah dirawat dengan tepat. Untuk beberapa hari Ian perlu beristirahat menunggu luka-lukanya untuk pulih. Ayahnya tidak menyalahkan Ian atas kecelakaan tersebut. Dia hanya masih belum mengerti masa depan seperti apa yang sedang dibangun oleh anaknya. Dari ambang pintu kamar Ian sang ayah memperhatikan keadaan anaknya.

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.”

Di tempat tidur Ianuel hanya mendengarkan tegang.

“Nanti kalau sudah sembuh kamu kerja aja sama anak teman papa. Bilang ke bos kamu mau keluar. Mau cari pengalaman baru.”

Ian diam saja. Ian tahu komitmennya sedang diuji kembali. Hanya saja kali ini Ian tidak bisa menjawab. Kejadian ini membuat Ian merasa seperti kalah perang. Berkorban nyawa untuk sebuah negara yang kalah.

“Kamu keluar biaya berapa? Ditanggung sama tempat kerjamu?”

“Sekitar enam jutaan, Pah.”

Ian berhenti sampai situ dan tidak berniat menjawab pertanyaan kedua.

“Itu diganti semua?”

“Tidak tahu, Pah. Kantor juga masih kurang bulan ini.”

Ayah Ian menghela napas, semakin prihatin dengan masa depan anaknya.

“Ya, sudah kamu pikirin deh, nanti kalau kamu mau papa telepon temen papa, biar kamu kerja di tempat anaknya. Papa keluar dulu ketemu mama.”

Selonjoran di dipan, Ian masih memproses kata-kata ayahnya. Ada benarnya maksud sang ayah. Memang bujukan itu belum pernah berhasil membuat Ian mencari pekerjaan lain, tapi bukan berarti tidak pernah membuat dia ragu. Dari celah pintu, Ian dapat mengintip kedua orang tuanya sedang berdiskusi.

Tak lama kemudian ibunya melangkah menuju kamar. Nampaknya ayah Ianuel masih mencoba membujuknya kali ini lewat sang ibu. Ia lelah untuk berdiskusi tapi, sekali lagi dia harus berusaha menguatkan tekadnya kembali.

“Ian ini ada parsel. Tadi ada ojek online yang kirim.”

Ianuel tak menduga sama sekali ibunya datang hanya untuk mengantarkan parsel buah segar. Di atas keranjang anyaman bambu buah-buah tersebut disusun. Ian menerimanya. Wajahnya masih kaget tapi, hatinya tersenyum.

“Itu dari siapa ?”

“Gak tau, Mah. Tapi ini kayaknya ada suratnya deh.”

“Coba dibaca dulu.”

Ianuel membaca surat itu dan tahulah ia bahwa parsel itu berasal dari adik-adik pemuda yang selama ini dilayaninya.

“Semoga Tuhan memulihkan kondisi kak Ian seperti kami yang dipulihkan Tuhan lewat kak Ian. Kak, kami sudah urunan dan transfer. Tidak seberapa tapi semoga dapat meringankan beban Kak Ian.”

Kemudian dalam surat itu mereka mengutip penggalan ayat dari Mazmur 23. Ianuel tak tahu dari mana anak-anak itu mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk mengganti biaya perawatannya dan perbaikan motornya, tapi ini menghibur hatinya. Memang perjalanan pelayanan Ian cukup terjal. Namun, dia semakin yakin bahwa dia tidak pernah ditinggal sendiri. Kekuatan dan penghiburan diberikan di saat perlu. Mengimbangi duka dengan suka. Di dalam pengabdian untuk nama Tuhan.

Baca Juga:

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Kita tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala.

Doa: Sebuah Usaha Bergantung Pada Kebaikan Hati Bapa

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Aku setuju dengan apa yang dikatakan Martyn Lloyd-Jones tentang doa. Hamba Tuhan tersebut mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan Kristen jauh lebih mudah dikerjakan daripada berdoa. Aku pun mengalaminya karena aku punya ribuan alasan untuk tidak berdoa.

Sebenarnya bercerita tentang doa bagiku sama seperti membuka sebuah aib, sebab aku adalah seorang pelayan Tuhan yang tidak gemar berdoa. Aku selalu merasa kesulitan untuk memulai dan bertahan dalam doa. Aku pun mulai merasa seperti orang munafik, mengajak orang lain untuk berdoa padahal aku sendiri kesulitan dalam berdoa. Sekalinya aku berdoa, isinya hanyalah permohonan dan itupun kulakukan saat situasi tidak dapat lagi kutangani.

Perasaan kurang rohani

Kesulitanku dalam berdoa membuatku merasa kurang rohani. Aku suka menepis perasaan ini dengan mengatakan bahwa aku adalah anak Tuhan. Aku dikasihi bukan karena seberapa rajinnya aku berdoa, melainkan karena pekerjaan Yesus di atas kayu salib. Memang hal itu benar adanya, tapi aku malah menjadikan itu sebagai sebuah pembenaran untuk lalai berdoa.

Hatiku juga semakin ciut jika melihat kehidupan doa teman-teman sepelayananku yang begitu hidup. Semakin sering aku melihat teman-temanku berdoa, maka semakin sering aku merasa ada yang salah dengan relasiku dengan Tuhan, khususnya dalam hal berdoa.

Aku pun mulai terdorong untuk mengubah kehidupan doaku. Aku mulai mencari tahu apa yang kurang dari kehidupan doaku. Selama ini aku mengira bahwa aku kurang jam doa dan disiplin. Walaupun itu mungkin benar, tapi ternyata aku kekurangan hal yang jauh lebih serius dari dua hal tersebut. Selama ini aku kurang mau bergantung pada Tuhan karena aku telah salah memahami Tuhan. Maka tak heran jika kehidupan doaku berjalan di tempat.

Sikap ini semakin berkembang ketika dulu doaku tidak dikabulkan Tuhan. Saat itu aku berdoa agar dapat diterima di salah satu SMA yang kuinginkan, tapi Tuhan tidak mengabulkannya. Kejadian tersebut terulang ketika aku ujian masuk perguruan tinggi negeri. Kembali Tuhan tidak mengabulkan doa sesuai dengan kehendakku. Di saat itu aku mengerti bahwa doa bukanlah sebuah tombol darurat pengontrol situasi.

Namun, kendati aku tahu doa bukanlah tombol darurat, aku malah menjadi ragu untuk berdoa. Aku takut mengalami kekecewaan kembali jika doaku tidak dikabulkan lagi. Aku lebih memilih bergantung pada diri sendiri dan menerima apapun situasi yang akan aku hadapi.

Salah paham tentang Tuhan

“Toh, Tuhan Mahatahu. Kalau Dia mau tolong pasti akan menolong. Kenapa harus serius berdoa? Semakin serius, malah semakin kecewa kalau tidak dikabulkan.”

Di sinilah letak kesalahpahamanku tentang Tuhan. Aku menilai kemurahan hati Tuhan hanya dari jawaban doa yang Dia berikan padaku. Jika Dia mengabulkan doaku maka Dia murah hati dan patut dipercaya, jika tidak dikabulkan maka lebih baik aku mempercayai diri sendiri saja.

Pandangan ini tidaklah tepat dan aku perlu mengubahnya sesuai dengan apa yang Alkitab katakan. Aku teringat akan sebuah bagian firman Tuhan dari Lukas 11:9-13 yang menolongku untuk mengenal Tuhan lebih baik lagi.

“Oleh karena itu Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Ada banyak alasan kita berdoa. Kita bisa berdoa karena digerakkan oleh perasaan bersalah, atau karena kewajiban semata. Bisa juga kita berdoa karena tidak lagi menemukan solusi lain untuk masalah kita. Namun, dari bagian ini aku belajar bahwa landasan kita berdoa adalah karena kemurahan hati dari Bapa di sorga.

Dia berjanji setiap doa akan didengarkan (Mazmur 116:1-2). Dia berjanji setiap yang meminta tidak akan pulang dengan tangan kosong. Dia tidak pernah menahan-nahan berkat-Nya jika itu memang yang terbaik untuk kita. Dia mau agar kita bergantung penuh dan percaya akan pemeliharaan-Nya.

“Aku mengasihi Tuhan, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohohanku. Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya” (Mazmur 116:1-2).

Terkadang kita sendiri pun tidak tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita berdoa meminta sesuatu pada Tuhan tapi, kita tidak benar-benar tahu apakah hal itu baik untuk kita. Namun, Bapa yang di sorga tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita tidak perlu memaksakan kehendak doa kita sebab Bapa sudah memilah doa mana yang baik dan yang tidak baik untuk dikabulkan.

Jujur, mengetahui hal ini memotivasiku untuk berani berdoa. Sebab jika sekalipun aku salah berdoa, Bapa tidak akan mengabulkannya. Bahkan Dia akan mengajariku berdoa lewat Roh Kudus yang berdiam dalam hatiku .

“Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

Namun, doa bukanlah selalu tentang apakah keinginan kita terkabul atau tidak. Doa bukanlah sekadar cara untuk memperoleh sesuatu dari Tuhan, melainkan cara untuk memperoleh Tuhan sendiri. Doa adalah kerja keras bergantung kepada Tuhan sehingga kita dapat semakin mengenal dan menikmati pribadi-Nya.

Thomas Manton mengatakan bahwa doa adalah sebuah percakapan jiwa yang mengasihi Tuhan. Tindakan persahabatan dan persekutuan seharusnya dilakukan secara konstan dan sering. Jika kita mengasihi Tuhan, kita tidak bisa lama-lama jauh dari Tuhan, tetapi akan terus rindu bersama-Nya dan mencurahkan isi hati kita.

Saat merenungkan semua kebenaran di atas aku semakin sadar bahwa doa perlu kedisiplinan dan cinta kepada Tuhan. Ketika aku merasa baik-baik saja tanpa berdoa, sebenarnya solusinya bukan hanya sekedar menambah jadwal berdoa atau membulatkan tekad untuk rajin berdoa. Melainkan perlu kembali mengorientasikan ulang hati dan pikiranku menuju Tuhan. Jangan-jangan kasihku pada Tuhan saat itu sedang kritis.

Namun, aku juga setuju kita perlu disiplin dalam berdoa. Sehingga kita tidak perlu menunggu-nunggu hati kita untuk kembali berapi-api kepada Tuhan untuk memulai berdoa. Sebab terkadang ketika kita berdoa, Tuhan bisa memakai saat itu untuk mengobarkan kembali cinta kita pada-Nya. Jadi keduanya memang diperlukan baik disiplin ataupun cinta.

Pada akhirnya doa merupakan sebuah kerja keras. Mungkin justru karena itulah, lewat janji-Nya, Tuhan telah menyediakan upah melimpah bagi mereka yang mencari dan bergantung pada-Nya.

Baca Juga:

Dengan Berhenti, Maka Kamu Bisa Berjalan

Ketika relasi yang kami bangun akhirnya kandas, aku pun bertanya: mengapa Tuhan menghentikan langkahku?

Duta Pengampunan di Tengah Budaya Pengenyahan

Oleh Antonius Martono

Bagi mereka yang sering berkelana dalam media sosial, pasti sudah tidak asing dengan fenomena para pelanggar yang mendadak diangkat menjadi seorang duta. Alih-alih mendapatkan sanksi mereka justru diminta berkampanye untuk bidang yang mereka langgar. Biasanya mereka diangkat oleh lembaga masyarakat atau lembaga formal lainnya. Fenomena ini tentu membuat kita garuk kepala kebingungan. Sebab idealnya seorang duta adalah seseorang yang secara konsisten memberi pengaruh positif dan telah menjadi teladan terhadap bidang yang disuarakannya. Sehingga adalah wajar jika kita curiga dan mempertanyakan keefektifitasan peran mereka. Selain itu, menjadikan seorang pelanggar sebagai duta cenderung tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku.

Secara bersamaan di media sosial sedang berkembang juga budaya pengenyahan atau lebih dikenal dengan istilah cancel culture. Secara singkat, budaya pengenyahan adalah sebuah gagasan untuk “membatalkan” pengaruh orang tersebut di dunia maya ataupun nyata. Sehingga pendapatnya dan dirinya tidak lagi perlu diperhitungkan oleh masyarakat. Budaya ini digunakan sebagai sanksi atas tindak pelanggaran atau sekadar perkataan yang dianggap menyinggung opini populer. Siapapun dapat menjadi target sasaran budaya ini, baik figur publik ataupun orang biasa. Namun, umumnya figur publiklah yang paling merasakan dampaknya. Pembatalan semacam ini akan mempengaruhi banyak aspek si penerimanya. Baik dari segi karir dengan memboikot segala karyanya ataupun kesehatan mental si penerima karena dipermalukan oleh masyarakat.

Tentu itu adalah sebuah sanksi yang berat. Oleh sebab itu wajar jika akhirnya banyak bermunculan video klarifikasi, sebagai sebuah upaya pertanggungjawaban dan permintaan maaf kepada publik. Lantas bukankah sebaiknya mereka yang melanggar “dibatalkan” saja daripada menjadi seorang duta?

Di dalam Alkitab sendiri kita melihat banyak sekali tokoh-tokoh berpengaruh yang melakukan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Baik dari raja, nabi, bahkan sampai murid-murid Yesus sendiri. Dari kisah perzinahan Daud, pelarian Yunus, sampai kepada penyangkalan Petrus, adalah bukti bahwa tidak ada satu manusia pun yang tidak melakukan kesalahan. Oleh karena itu manusia layak untuk “dibatalkan” oleh Tuhan. Namun, Tuhan tidak melakukannya.

Contohnya, perjanjian Tuhan dengan Daud tidak dibatalkan sekalipun Daud harus menerima kematian anaknya sebagai konsekuensi dosanya. Yunus tidak dibiarkan tenggelam di lautan. Dia diselamatkan seekor ikan raksasa atas kehendak Tuhan dan diizinkan untuk melakukan misinya kembali. Petrus pun tidak dimaki Yesus atas tindakanya yang pengecut, justru Yesus mempercayakan kepadanya jemaat untuk digembalakan. Hal-hal tersebut mencerminkan isi hati Tuhan kepada para pelanggar. Dia rela mengampuni, mengasihi, dan memanggil mereka untuk melayani Dia kembali bahkan menjadikan mereka sebagai duta kasih pengampunan-Nya.

Tuhan tidak sedang naif ketika memberikan manusia kesempatan kedua. Dia melakukan hal itu bukan karena isi hati manusia dapat diandalkan. Melainkan, Tuhan memberikan kesempatan kedua karena kesetiaan-Nya. Justru ketika Tuhan memberikan kesempatan kedua, Dia sedang merisikokan hati-Nya untuk disakiti kembali atau misi-Nya untuk diabaikan lagi. Namun, Tuhan tidak memilih seorang duta kasih secara ceroboh. Tuhan tidak meninggalkan mereka sendiri dan membiarkan mereka melakukan kesalahan yang sama. Tuhan mengirimkan Roh-Nya yang kudus ke dalam hati setiap duta-Nya. Roh itu yang akan menginsafkan mereka dari dosa dan memimpin mereka melaksanakan misi Tuhan. Selain itu Tuhan juga memberikan komunitas tubuh Kristus yang bisa menopang mereka di kala susah. Nyatalah bahwa Tuhan yang penuh kasih memang serius memperlengkapi duta perwakilan-Nya.

Lantas bagaimana dengan kita? Kita pun juga tidak berbeda dengan tokoh-tokoh di Alkitab. Kita juga melakukan kesalahan. Meskipun begitu Tuhan tidak membuang kita. Dia mau menerima kita. Dia menunggu kita untuk datang menikmati kasih pengampunan-Nya. Lebih menakjubkannya lagi Dia menjadikan kita duta kasih pengampunan-Nya supaya semakin banyak orang yang dapat menikmati kasih pengampunan-Nya.

Menjadi duta pengampunan Tuhan adalah sebuah anugerah dan tanggung jawab yang besar. Ini berarti kita perlu mewakili hati Tuhan kepada setiap yang bersalah kepada kita. Kita perlu rela mengampuni mereka sekalipun mereka akan berkesempatan menyakiti kita kembali. Kita perlu sabar mendampingi mereka yang berulang kali gagal dalam komitmen. Kita perlu membangun komunitas pemberi kesempatan kedua, karena kita sedang melayani Tuhan pemberi kesempatan kedua, yang siap menandingi budaya pengenyahan di dekat kita. Ini bukan tugas yang mudah tapi, Roh Kudus yang dijanjikan Tuhan akan memampukan kita.

Pada akhirnya budaya pengenyahan dapat menjadi saran keadilan jika terjadi pelanggaran pada taraf tertentu. Namun, praktiknya banyak disalahgunakan untuk mengintimidasi dan menyakiti hidup orang lain. Pada dua ribu tahun yang lalu, seorang Pribadi tak bercela dibatalkan sepihak oleh sekelompok pendosa. Pribadi itu dituduh telah menista Tuhan dan dijatuhi hukuman mati salib. Pribadi itu bernama Yesus Kristus, Anak Allah. Dia yang tidak bersalah dijadikan bersalah. Dia yang seharusnya layak diterima justru dibatalkan agar kita para pelanggar dapat diterima dan diampuni Tuhan yang kudus.

Sekarang Pribadi yang kudus itu mengajak kita untuk menjadi duta-Nya, Duta pengampunan kasih-Nya agar kasih-Nya semakin terang bersinar dalam dunia gelap ini.

Baca Juga:

3 Pelajaran Berharga Dariku, Seorang Penyintas Covid-19

Iman adalah hal penting dalam hidup orang percaya, namun bukan berarti itu meniadakan tindakan kita untuk mewaspadai supaya tidak terkena Covid-19. Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati.

Anak Bawang Tuhan

Oleh Antonius Martono

Percuma saja. Badanku sudah dibungkus dua selimut, tapi tetap saja dingin menggigil. Seolah-olah ada balok es yang tak dapat cair di dalam tubuhku sekalipun aku berupaya menghangatkan tubuhku.

Kala itu adalah malam yang panjang. Aku menderita masuk angin. Segala usaha pun telah kulakukan agar tubuhku segera merasa hangat kembali. Mulai dari meminum air hangat, menutup tubuh dengan selimut tebal, melaburi tubuh dengan balsam panas, tapi kehangatan yang diharapkan tak kunjung kurasa. Aku seperti kehilangan kemampuan untuk merasakan kehangatan kala itu. Dalam ringkuk tidurku di balik selimut, aku merenungkan kondisi fisik diriku ini. Bukankah kondisi seperti ini juga dapat terjadi dengan hatiku? Ada masa di mana aku “tidak dapat” merasakan kehangatan kasih Tuhan.

Dari dulu aku telah diajarkan bahwa Tuhan itu baik dan aku mempercayainya. Hanya saja bagiku kebaikan Tuhan bersifat eksklusif. Tidak semua anak Tuhan merasakanya secara melimpah termasuk aku. Memang benar aku adalah anak Tuhan, tapi aku memandang diriku sebagai anak bawangnya Tuhan. Jika seandainya Tuhan mau memberkati anak-anak-Nya, pasti aku akan kebagian paling akhir. Sebab Tuhan memprioritaskan berkatnya untuk anak-anak emasnya, sedangkan aku tidak masuk hitungan.

Aku menyimpulkan seperti ini berdasarkan kondisi keluargaku. Aku berasal dari keluarga broken home. Kedua orang tuaku pisah rumah saat aku berumur 15 tahun. Ibuku meninggal saat aku berusia 19 tahun yang membuatku menjadi seorang yatim piatu, sebab ayahku telah tiada 3 tahun sebelumnya. Sejak saat itu aku harus hidup berdua dengan adikku. Berdasarkan kondisi ini aku menyimpulkan bahwa Tuhan tidak mengasihiku seperti Dia mengasihi orang lain yang memiliki keluarga harmonis.

Kesimpulan ini berpengaruh terhadap caraku memandang Tuhan dan kehidupan. Aku jadi menaruh kecurigaan terhadap Tuhan. Aku kesulitan mendoakan pergumulan-pergumulanku sebab bagiku Tuhan tidak terlalu peduli. Aku merasa seperti berjuang sendiri dalam kehidupan ini dan Tuhan menjadi sosok penentu nasib yang harus kulawan. Aku seperti sedang adu kekuatan dengan Tuhan ketimbang bergantung kepada-Nya dan berusaha memenangkan pertandingan agar bisa hidup bahagia.

Dengan sikap seperti ini aku cenderung melihat kehidupan secara negatif. Aku iri dengan kehidupan teman-teman sebayaku dan menjadi orang yang mengasihani diriku sendiri. Aku juga menjadi sulit bersyukur atas berkat-berkat kecil di sekelilingku. Sehingga kebaikan yang aku terima dari orang di sekitarku pun kuanggap biasa saja. Seolah-olah ada atau tidak ada kebaikan itu pun tidak mempengaruhi hidupku. Toh, tidak ada yang berubah juga pada akhirnya. Padahal kebaikan-kebaikan tersebut mungkin adalah cara Tuhan menyatakan kehangatan kasih-Nya, tapi aku bergeming. Hatiku terlalu dingin terfokus pada kondisi keluargaku.

Aku tahu ini adalah pandangan yang tidak tepat tentang Tuhan. Aku ingin mengubahnya, tapi rasanya sulit. Sampai suatu ketika aku diingatkan oleh sebuah bagian dari buku rohani yang kubaca. Buku itu mengatakan bahwa untuk mengubah orientasi hati, kita perlu sadar bahwa kita telah, sedang, dan selalu dicintai Tuhan dengan dalam. Bukan sekadar dicintai melainkan dicintai dengan dalam.

Aku akhirnya tersadar bahwa selama ini Tuhan telah mengasihiku dengan dalam sekalipun lewat kebaikan-kebaikan kecil. Aku telah salah menilai kasih Tuhan. Aku menjadikan kondisiku sebagai sebuah indikator kasih Tuhan. Aku teringat sebuah ayat:

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma5:8).

Salib Kristus adalah bukti solid bahwa Tuhan mengasihiku dengan dalam. Bahkan Dia mengasihiku saat aku masih musuh Tuhan. Kalau Tuhan sendiri telah memberikanku anak tunggal emas-Nya, bukankah adalah perkara kecil bagi Tuhan untuk merawat masa depanku?

Kesimpulanku tentang Tuhan mencerminkan betapa sempitnya hatiku. Aku hanya mau dikasihi dengan satu cara, yaitu berubahnya kondisi kehidupanku secara drastis. Jika Tuhan tidak memberikannya maka benar aku adalah anak bawangnya Tuhan. Padahal Tuhan telah mengasihiku seumur hidupku. Kasih Tuhan begitu luas. Tuhan memiliki banyak cara untuk menunjukan kasih-Nya. Selama ini justru akulah yang membatasinya. Aku mengharuskan Tuhan menunjukan kasih-Nya sesuai ekspektasiku. Sehingga aku tak menyadari kehangatan kasih-Nya yang telah lama Dia berikan.

Setelah kuevaluasi kembali hidupku, ternyata Tuhan telah banyak menunjukan jejak kasih-Nya. Ekspresi kasih-Nya, sekalipun terlihat tidak sesuai kondisiku atau tidak menjawab doaku, tapi selalu melayani kebutuhanku. Selalu saja ada ekspresi kasih-Nya yang selama ini tidak aku sadari. Jika aku mampu bertahan sampai hari ini bukankah itu karena kasih-Nya? Jika aku dapat mengenal komunitas yang mendorongku untuk bertumbuh bukankah itu bentuk kasih-Nya? Jika aku dapat menikmati hubungan pribadi dengan Tuhan, bukankah itu bentuk kasih-Nya?

Perlahan pandanganku terhadap Tuhan dan kehidupan berubah. Aku menjadi pribadi yang lebih positif dan optimis dari sebelumnya. Aku berhenti mengasihani diri sebab aku tersadar bahwa kasih Tuhan yang dalam juga tertuju padaku. Sekarang aku lebih terbuka terhadap bentuk kasih dari Tuhan dan orang sekitarku. Aku bukanlah anak bawang Tuhan meskipun kondisi tidak seideal ekspektasiku.

Bagiku, ketika aku menyadari bahwa aku dikasihi oleh-Nya adalah kunci untuk mengubah cara pandangku melihat Tuhan. Aku yakin perubahan cara pandangku ini pun juga termasuk salah satu cara Dia mengasihiku.

Baca Juga:

Dilema Memutuskan Keluar Kerja di Tengah Pandemi

Meninggalkan pekerjaan yang telah kutekuni selama 15 tahun terasa berat, dan semakin berat ketika itu kulakukan di tengah masa pandemi.

3 Hal yang Hilang Jika Kita Menikah dengan Pasangan Tidak Seiman

Oleh Antonius Martono

Semua manusia mencari kenyamanan. Ketika manusia telah menemukannya maka sangat sulit bagi mereka untuk meninggalkannya dan pergi menghadapi risiko-risiko baru. Begitu juga halnya dengan memilih pasangan hidup. Terkadang kita sudah memiliki firasat dan keyakinan untuk segera mengakhiri sebuah relasi tapi, kita tidak memiliki keberanian untuk melepaskannya. Rasanya terlalu berat. Terlalu sayang merelakan segala hal yang telah diinvestasikan dalam relasi tersebut. Lebih menyedihkannya lagi kita harus menghadapi rimba kesedihan dan kebingungan pencarian setelahnya.

Memang melepaskan seseorang yang telah membuat kita nyaman selama ini tidak pernah menjadi hal yang mudah, sekalipun kita tahu bahwa hubungan tersebut jelas tidak akan berfungsi dengan baik dalam jangka waktu panjang, seperti pacaran beda keyakinan.

Namun, meninggalkan kenyamanan sesaat demi menaaati firman Tuhan adalah hal yang layak untuk diperjuangkan. Firman Tuhan pada 2 Korintus 5:14a mengatakan bahwa: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.” Tidaklah berlebihan jika kita menerapkan ayat ini dalam mencari pasangan hidup kita kelak. Sebab jika kita menikahi pasangan yang berbeda keyakinan, maka kita akan kehilangan beberapa kenikmatan di bawah ini yang telah Tuhan sediakan di dalam sebuah pernikahan Kristen.

1. Kehilangan nikmatnya hidup sesuai rancangan Tuhan

Bayangkan jika ada sebuah kuasa yang mewajibkan semua manusia berjalan menggunakan tangan ganti dari kaki. Meskipun bisa tapi, dalam jangka waktu panjang tangan manusia akan mengalami keram. Sebab tangan manusia bukan dirancang untuk berjalan. Begitupun dengan pernikahan. Pernikahan Kristen bukan sekedar kontrak sosial bukan juga sekedar berpadunya cinta ekslusif antara seorang laki-laki dan perempuan. Sehingga mereka memutuskan untuk menikmati cinta tersebut dalam sebuah komitmen pernikahan. Pernikahan Kristen dirancang Tuhan lebih dari itu, yaitu untuk mencerminkan relasi Kristus dengan gereja-Nya. Jadi pernikahan Kristen bukan sekedar bicara tentang ‘aku cinta kamu, aku sefrekuensi, dan nyambung dengan kamu maka dari itu mari kita habiskan waktu bersama.’ Melainkan pernikahan Kristen seharusnya mencerminkan bagaimana Kristus berkorban, melindungi, memaafkan, dan memimpin gereja yang Ia kasihi. Cerminan kasih Kristus inilah yang dapat terhilang saat menikah dengan mereka yang berbeda keyakinan.

2. Kehilangan nikmatnya persahabatan kudus dalam perjalan mengikut Kristus

Pernikahan Kristen dirancang untuk saling menajamkan pribadi satu dengan yang lainnya. Dalam pernikahan Kristen setiap pasangan perlu saling merawat kehidupan batin pasanganya. Mereka harus saling memperhatikan apakah ada hal-hal yang menghalangi setiap pasangan untuk semakin serupa dengan Yesus Kristus, yang adalah tujuan manusia diciptakan. Menikah dengan pasangan yang berbeda keyakinan tidak dapat memenuhi tujuan ini. Sebab salah satu pasangan tidak mengenal pribadi Yesus Kristus. Mereka akan kesulitan mengerti perjalanan rohani dan pergumulan batin seorang percaya seperti: dibenci karena menjadi seorang pengikut Kristus, menghayati Tuhan beserta kita, dan menikmati relasi intim dengan Tuhan. Semua ini adalah pengalaman unik yang hanya dapat dirasakan oleh orang percaya. Mereka yang tidak percaya tidak akan mengalaminya sebab mereka berjalan di dalam perjalanan rohani yang berbeda dengan tujuan akhir yang berbeda juga. Akan sangat sulit untuk saling menopang dan mendukung pasangan yang sedang berjalan dalam perjalanan dan tujuan yang saling terasing.

3. Kehilangan nikmatnya menjadi rekan sekerja Allah

Manusia adalah wakil Tuhan untuk memerintah di bumi. Tuhan menyatukan Adam dan Hawa dalam sebuah pernikahan dengan maksud untuk memenuhi amanat tersebut. Lewat keluargalah nilai-nilai kerajaan Allah mulai ditegakkan. Oleh sebab, itu setiap pasangan harus telah menikmati dan mengerti nilai-nilai kerajaan Allah. Agama yang dipeluk seseorang akan menentukan nilai-nilai hidup mereka dan ini akan mempengaruhi cara mereka mengambil keputusan. Bagaimana mereka menghabiskan uang, mengatur rumah tangga, menghabiskan waktu, membesarkan anak, dan masih banyak hal lain yang akan dipengaruhi oleh keyakinan agama seseorang. Perbedaan dalam isu-isu kecil seperti ini dapat memimpin kepada pertengkaran dan perceraian. Bukannya membangun kerajaan Allah justru malah membangun sebuah ring pertandingan.

Gelora asmara memang kuat, tapi bukan berarti tidak bisa dikuasai. Jika sudah terlanjur berpacaran dengan yang berbeda keyakinan maka lebih baik relasi tersebut dibatasi. Menarik diri dari mengekspresikan kasih romantis dan segera mengakhirinya. Sehingga cerita tidak berlanjut dan mengikat terlalu kuat. Sebab, semakin banyak cerita akan semakin pilu menghapusnya, semakin enggan menggantinya dengan cerita yang baru.

Namun, ada satu cerita kasih yang dimulai jauh sebelum kita dilahirkan, bahkan jauh sebelum dunia ini dijadikan. Cerita yang menghangatkan hati setiap orang yang menerimanya. Cinta itu berasal dari Yesus Kristus. Lewat hidup-Nya sengatan kasih itu selalu dirasakan mereka yang mau rendah hati menerima-Nya. Sedangkan di atas kayu salib Dia membuktikan cinta-Nya pada dunia. Kasih-Nya begitu meluap dan Dia mau agar kita menikmati limpahan kasih-Nya, termasuk kasih-Nya yang telah disediakan-Nya dalam sebuah pernikahan Kristen.

Baca Juga:

Jangan Pernah Berakhir Cerita Cinta Kita

Cerita cinta yang romantis, inilah yang sering kita dambakan dalam relasi antara sesama manusia, walaupun tak jarang dambaan ini berakhir pada kekecewaan. Namun, aku ingin mengajakmu untuk melihat kisah cinta yang lain.

Satu Penyebab Kekalahan dalam Bertanding

Oleh Antonius Martono

“Hampir master nasional,” begitu komentar GM Susanto terhadap permainan catur Pak Dadang Subur.

Pak Dadang Subur dikalahkan secara telak dalam duel persahabatan dengan WGM Irene Sukandar. Duel ini disiarkan langsung dari kanal Youtube miliki Deddy Corbuzier dan ditonton oleh jutaan orang. Menariknya, dari polling yang dibuat oleh Deddy Corbuzier, banyak netizen yang menunggu kemenangan Pak Dadang ketimbang Irene. Padahal, Pak Dadang tidak mendedikasikan hidup dan pengalamannya untuk dunia catur seperti Irene. Sepertinya netizen ingin melihat kisah Pak Dadang mengulang keberhasilan Daud muda mengalahkan Goliat, prajurit yang memiliki segudang pengalaman perang. Terlepas dari keperkasaan Goliat, sebenarnya dia kehilangan satu pengalaman penting di hidupnya yang menjadi penyebab kekalahannya kelak.

Dalam kisah Daud melawan Goliat, kita cenderung melihat Daud dari sudut pandang Saul, yang menganggap remeh. Ketika Goliat menantang pasukan Israel untuk bertarung, Daud berinisiatif untuk menghadapinya. Daud lalu menemui Raja Saul dan meminta izin untuk bertarung dengan Goliat. Saul ragu, dia memandang Daud dan Goliat bukanlah lawan yang sepadan. Goliat telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berperang dan bertarung, sedangkan Daud masih sangat muda dan tidak memiliki pengalaman bertarung yang memadai. Namun, Daud tidak sependapat dengan Saul. Alkitab mencatatnya demikian:

Tetapi Daud berkata kepada Saul: “Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup.” Pula kata Daud: “TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” Kata Saul kepada Daud: “Pergilah! TUHAN menyertai engkau.” (1 Samuel 17:34-37)

Jika kita cermati sosok Daud, dia bukanlah pemuda polos tanpa persiapan dan pengalaman. Dia tidak mengandalkan keberuntungan. Sebagai gembala, padang rumput adalah tempat pelatihannya, sehingga bisa dibilang kalau Daud sama berpengalamannya dengan Goliat untuk bertarung. Namun, Daud cukup bijak untuk tidak hanya mengandalkan pengalamannya bertarung sebagai satu-satunya modal kemenangan. Justru dalam pengalamannya, Daud sadar bahwa sumber kemenangannya berasal dari Tuhan. Pengalaman inilah yang menjadi titik buta bagi Goliat yang tidak pernah merasakannya.

Berkali-kali sudah Daud merasakan bagaimana Tuhan menyelamatkannya dari mulut singa dan beruang. Telah berulang kali Tuhan membuktikan diri-Nya sebagai pribadi yang sanggup dan mau melindungi Daud. Pengalaman ini memupuk iman percaya Daud kepada Tuhan. Bayangkan pengalaman pertama Daud dalam menghadapi seekor singa lapar. Jika dia bisa selamat dari cakar dan mulut singa tersebut tentu itu adalah pengalaman luar biasa yang dimilikinya. Bagaimana mungkin seorang anak muda dapat selamat melawan seekor singa lapar? Daud melihat keselamatan dirinya bukan berasal dari keahliannya melawan binatang buas, melainkan terletak pada Tangan yang sama yang membentuk gigi-gigi tajam seekor singa. Tangan yang sama juga yang akan melepaskan Daud dari tangan Goliat yang kecil.

Sedangkan Goliat sendiri tidak pernah mengalami pengalaman ini. Selama hidupnya Goliat hanya mengandalkan kekuatan, ketangkasan, dan kemahirannya untuk bertarung. Dia sudah terbiasa bergantung pada semua hal itu untuk menyelamatkan hidupnya. Dia tidak tahu tempat lain selain dirinya untuk diandalkan. Goliat tidak mengerti betapa amannya hidup ketika bersandar kepada Tuhan yang hidup.

Lantas, bagaimana dengan kita? Apa yang selama ini menjadi sumber kekuatan kita? Sangat mungkin bagi kita untuk mengandalkan Tuhan di setiap pengalaman pertama kita mencoba sesuatu. Namun, seiring berjalannya waktu, kita semakin terbiasa. Kita merasa semakin mahir dan semakin tahu apa yang harus kita lakukan. Pelan-pelan kita akhirnya tidak lagi memiliki tingkat kebergantungan yang sama kepada Tuhan seperti saat awal kita mencoba hal tersebut. Kita mulai mempercayai pengalaman-pengalaman dan hikmat yang pernah kita pelajari di dalamnya.

Budaya di sekitar kita terus mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang dapat menolong kita selain diri sendiri. Secara tidak sadar hal ini membuat diri kita frustasi. Kita sibuk terus meng-upgrade diri tapi, tetap merasa tidak cukup. Kita merasa hidup masa depan bergantung pada besarnya kapasitas diri. Di lain pihak, lubuk hati kita sadar bahwa diri ini tidak sanggup diandalkan.

Tuhan sendiri tahu betapa rapuhnya manusia yang tidak mampu menebak masa depan. Dia selalu membuka lebar tangan-Nya agar setiap orang yang mau berpegang pada-Nya dapat menikmati penyertaan-Nya. Sehingga setiap kali kita mengalami kesulitan atau kemustahilan tidak lagi menjadi penghalang untuk mencapai tujuan kita. Melainkan kesulitan diubah menjadi sebuah kesempatan untuk memperdalam iman percaya kita kepada Tuhan, seperti Daud.

Pada akhirnya kita memang harus melatih diri dan memiliki jam terbang yang tinggi. Tuhan tidak meminta kita hanya berpangku tangan menunggu hujan keajaiban dari langit. Namun, adalah hal naif jika kita pikir kemampuan diri kita saja sanggup diandalkan. Selalu banyak faktor di luar diri yang sanggup merobohkan kita. Jangan sampai kita terlalu berfokus kepada diri dan kehilangan pengalaman yang utama dalam hidup kita, yaitu pengalaman kekal bersandar pada Tuhan yang perkasa.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

“Dengan Segenap Keberadaan”: Mengenal Tuhan Lewat Disiplin Rohani Belajar

Disiplin rohani pada dasarnya adalah sebuah ‘disiplin’. Kita perlu komitmen, juga perjuangan untuk melakukannya dengan sungguh.

Yuk baca artikel terakhir dari #SeriDisiplinRohani ini.

Kecenderungan Buruk yang Hadir Saat Berbuat Baik

Oleh Antonius Martono

Ada dua kecenderungan buruk yang mungkin muncul saat manusia berbuat baik. Kecenderungan yang pertama adalah menyangka bahwa mereka adalah orang baik. Sedangkan kecenderungan kedua adalah menyangka bahwa mereka bukanlah orang jahat. Manusia sering terjebak di antara dua kecenderungan ini. Mereka bisa saja menolak disebutkan sebagai orang baik, tapi mereka juga tidak mau disebut sebagai orang jahat. Kondisi ini dapat menjebak manusia untuk puas dengan kebenaran moralnya sendiri.

Pada suatu hari terjadi konflik antara aku dan adikku. Dalam konflik itu dia berkata bahwa kakak yang baik adalah kakak yang mau mengalah pada adiknya. Mendengar hal itu, aku tersinggung dan merasa direndahkan, sebab selama ini rasanya aku telah menjadi kakak yang baik. Aku telah banyak bersikap sabar terhadap karakternya yang keras. Aku juga telah banyak mengalah, berkorban, dan berbuat baik untuknya. Memang ada kekurangan sedikit, tetapi timbangan moralku mengatakan bahwa lebih banyak hal baik yang telah dinikmatinya dariku. Aku mau membuktikan bahwa aku telah berhasil menjadi seorang kakak yang baik, oleh sebab itu aku mulai mengingatkan padanya sekumpulan jasa yang telah kuberikan padanya. Konflik kami memang tak berlangsung lama. Kami segera berdamai dan memperbaiki relasi kami. Namun, kejadian itu mengejutkanku dan mendorongku untuk merenung.

Mengapa aku perlu memberikan bukti bahwa aku adalah seorang kakak yang baik? Mengapa aku perlu membela diri dengan menyebutkan sederetan jasa yang telah kulakukan? Mengapa aku merasa tersinggung dan direndahkan dengan pernyataan tersebut? Apakah selama ini aku tidak tulus berkorban bagi adikku?

Akhirnya aku menemukan bahwa aku telah merasa menjadi orang yang lebih baik dibandingkan dengan adikku yang keras itu. Sehingga harga diriku seperti dicoreng ketika adikku tidak mengakui kebaikan yang telah aku lakukan. Aku baru menyadari bahwa selama ini aku telah menjadikan perbuatan baik sebagai mata uang untuk “membeli” citra sebagai kakak yang baik.

Dalam perenunganku, aku teringat akan orang Farisi dalam perumpamaan Yesus di Lukas 18: 10 – 14.

“Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Orang Farisi itu begitu bangga dengan dirinya. Dia merasa telah menjadi orang baik karena keberhasilannya melakukan perbuatan baik. Bahkan dia berani menyebutkan prestasi perbuatan-perbuatan baiknya kepada Allah. Dia merasa lebih bermoral ketika membandingkan dirinya dengan sang pemungut cukai. Di hadapan Allah, orang Farisi ini mengira dirinya memiliki kualitas yang berbeda dari pemungut cukai. Dia tidak mau menyamakan dirinya dengan pemugut cukai yang penuh dosa itu. Sedangkan sang pemungut cukai sadar bahwa dirinya adalah orang berdosa. Dia meminta belas kasihan Allah untuk dirinya dan Allah membenarkannya.

Dalam bukunya The Righteous Mind, Jonathan Haidt yang adalah seorang psikolog sosial mengatakan bahwa: self-righteousness is the normal human condition. Manusia cenderung merasa dirinya lebih bermoral atau tidak lebih jahat dibandingkan dengan sesamanya. Akhirnya manusia cenderung membagi sesamanya dengan kategori orang jahat dan orang baik, sehingga sangat sulit bagi mereka yang merasa bermoral untuk bergabung dengan mereka yang dianggap kurang bermoral. Padahal sejak manusia jatuh dalam dosa, mereka semua telah menjadi musuh Allah. Semua manusia adalah orang berdosa, itu faktanya. Hanya saja ada orang berdosa yang telah dibenarkan dan ada yang belum. Namun, perbedaan ini bukanlah kriteria untuk memilih teman melainkan menjadi sebuah bukti bahwa Allah mau membenarkan mereka.

Kecenderungan manusia untuk merasa lebih benar dapat melemahkan pertahanan mereka terhadap dosa. Dengan berpikir bahwa mereka adalah orang baik, mereka cenderung melegalkan dosa kecil yang akan diperbuat. “Ah, ini hanya dosa kecil. Toh, saya orang baik, tidak sejahat itu.” Padahal Tuhan tidak suka dengan dosa sekecil apapun. Bahkan lebih buruk lagi, kecenderungan ini dapat membuat mereka merasa lebih kebal dosa daripada orang lain, merasa mampu mengalahkan godaan dosa dengan kekuatan sendiri, dan cenderung beranggapan tidak akan jatuh ke dalam dosa yang sama seperti orang lain.

Oleh sebab itu kita perlu terus waspada untuk tidak menilai diri berdasarkan perbuatan baik. Kita perlu berfokus kepada perbuatan yang telah Yesus lakukan beserta anugerah-Nya. Pada akhirnya manusia sanggup berbuat baik karena anugerah Allah yang memampukannya. Sedangkan bagi mereka yang merasa lebih bermoral, perbuatan baik itu bergantung pada usaha keras diri sendiri, bukan bersandar pada anugerah Allah.

Pernahkah kita merenung, berapa banyak perbuatan jahat yang dapat kita lakukan hari ini jika Allah tidak memberikan anugerah-Nya? Sejahat apakah perbuatan yang mungkin dapat kita lakukan, jika Allah tidak menjaga kita? Pertanyaan ini dapat mengevaluasi diri kita, sehingga kita dapat waspada untuk tidak terlalu bangga dengan pencapaian moral kita.

Tidak ada manusia yang kebal dan mampu menang dari dosa dengan kekuatan sendiri. Merasa telah menjadi orang baik dapat menjebak kita besar kepala dan merasa tidak memerlukan pertolongan Allah. Ketika seseorang jatuh dalam dosa, kita sama rentannya dengan mereka. Kita sangatlah mungkin melakukan dosa yang sama seperti mereka. Mengingat hal ini dapat membuat kita semakin rendah hati dan mendorong kita terus bergantung pada Allah. Kita perlu bergantung dalam doa, meminta Tuhan agar menjaga hati kita yang lemah. Pada akhirnya kita butuh kesetiaan Allah yang memampukan kita untuk setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Cerpen: Memaafkan Papa Mengikuti Teladan Bapa

Aku menghela napas panjang mendengar keputusan mama. Permintaannya kali ini sungguh di luar dugaanku.

“Kak, kamu harus menemui papamu dulu, baru kamu bisa pergi sama Daniel!” tegas mama.

“Mama, please! I just need you and I am happy,” pintaku sedikit memelas.

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Oleh Antonius Martono

Aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat sejak SMA. Sekarang sudah 10 tahun berlalu sejak kejadian itu. Aku merasa dalam waktu 10 tahun itu pribadiku telah diubahkan oleh Tuhan. Aku yakin akan hal itu. Sampai suatu hari, aku datang ke sebuah pertemuan dengan teman-teman SMA-ku dan mulai meragukannya.

Sebenarnya aku datang dengan sebuah antusiasme, berharap pribadiku yang telah diubahkan akan memberkati teman-temanku. Aku datang ke dalam pertemuan itu dan mulai berinteraksi dengan mereka. Aku senang, dan ternyata mereka masih teman-temanku yang lama. Gaya mereka berbicara, cara mereka bercanda, sikap serta karakter mereka, semua persis seperti yang terakhir kali kukenal.

Namun, melihat semua hal ini membuatku merenung. Jika teman-temanku sama seperti yang terakhir kali kukenal, apakah aku sendiri juga adalah orang yang sama dengan yang terakhir mereka kenal? Mungkin pengetahuan, pengalaman, kemampuan, pemikiranku telah berubah tapi, apakah aku adalah pribadi yang baru? Jangan-jangan aku hanya merasa telah berubah tapi, sebenarnya masih memiliki hati yang sama seperti yang terakhir kali aku SMA? Aku pulang dan pertanyaan ini membekas di dalam hatiku.

Selama beberapa hari aku menggumulkannya. Aku semakin meragukan perubahan hatiku ketika aku melihat kondisi hidupku. Ternyata banyak sekali yang belum berubah dalam diriku. Aku masih berjuang lepas dari beberapa dosa pribadi. Masih kesulitan membangun relasi dengan keluarga besar. Masih memiliki kebiasaan-kebiasaan lama yang merusak. Masih dalam status kehidupan yang sama juga. Meskipun telah berjuang masih jatuh lagi dan rasa sulitnya masih sama. Jadi apakah aku sebenarnya memiliki pribadi yang baru atau selama ini aku hanya memodifikasi kebiasaan saja? Jangan-jangan hatiku masih hati yang lama. Hanya saja bentuk dosa atau kebiasaan lamanya saja yang berubah.

Hal ini menggelisahkanku. Terlebih jika aku mengingat pesan Injil bahwa Tuhan telah memberikan hidup yang baru, hati yang baru, pribadi yang baru kepada anak-anak-Nya. Apakah pesan itu benar? Bagaimana aku bisa yakin bahwa aku telah lahir baru?

Akhirnya aku bercerita tentang kegelisahanku ini kepada seorang abang rohani. Dia mengatakan bahwa pertanyaan mengenai: apakah aku diselamatkan, apakah aku memiliki hati yang baru, bagaimana aku bisa hidup dengan benar sesuai yang Alkitab ajarkan adalah salah satu pertanyaan orang benar. Sebelum lahir baru, hati seseorang tidak gelisah saat melakukan dosa. Namun, berbeda ketika dia sudah lahir baru. Sedikit saja ketidaksesuaian antara realita hidup dengan kehidupan yang diajarkan Injil, maka hatinya akan gelisah. Peka akan dosa, gelisah karenanya, berkeinginan membuangnya adalah ciri hati yang baru.

Abang tersebut juga menambahkan, “Dalam sebuah peperangan pasti ada pertempuran-pertempuran kecil di dalamnya. Mungkin kamu tidak akan mampu memenangkan semua pertempuran melawan dosa dan kebiasaan lama. Namun, Kristus telah memenangkan peperangan dan memberikan kemenangan kepada kita. Kalah dalam satu pertempuran bukan berarti kalah perang. Bangkit lagi, tempur kembali, tidak menyerah, kita sudah menang perang!” Perkataan ini kemudian meredakan badai konflik batinku.

Dalam waktu-waktu diamku, aku juga diingatkan bagian khotbah dari seorang apologet. Dia berkata bahwa waktu adalah kuas bagi Allah, melukiskan mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia. Tuhan tidak bekerja seperti slot machine yang segera mengeluarkan solusi sesaat setelah koin dimasukan. Tuhan bekerja dalam waktu seperti seorang seniman yang melukis mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia.

Memang betul saat ini masih banyak pergumulan-pergumulanku yang sepertinya tidak memiliki kemajuan. Namun, jika aku mengingat ulang hidupku 10 tahun ke belakang dengan saksama, ternyata ada banyak sekali hal yang Tuhan ubahkan. Cara pandangku melihat beberapa hal dalam dunia ini sudah berubah. Aku yakin ini adalah pekerjaan Sang Seniman Agung. Melukis lewat kegiatan rutinku sehari-hari, bekerja diam-diam dalam waktu sekalipun aku tidak merasakannya.

Aku bersyukur dapat merenungkan perubahan hidupku di akhir tahun seperti ini. Mempersiapkanku untuk semakin mantap melangkahkan kaki memasuki tahun baru. Meyakinkanku bahwa Tuhan tetap bekerja dan peduli terhadapku. Sekalipun aku gagal bukan berarti aku kalah. Kegagalanku hari ini bukanlah akhir dari peperangan sebab kemenangan sudah diperoleh dalam nama Yesus Kristus.

Benarlah firman yang disampaikan nabi Yehezkiel, yang juga menjadi doaku selama ini:

“Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (Yehezkiel36:26-27)

Daripada aku, Tuhan jauh lebih merindukan perubahan terjadi di dalam hatiku.



Baca Juga:

Menemukan Kepuasan di Tengah Rutinitas Sehari-hari

Kita mendamba hidup yang menyenangkan, tapi kebanyakan dari kita malah hidup terjebak dalam rutinitas yang mungkin menjemukan. Bagaimana caranya agar kita bisa puas?