Posts

Ketika Tuhan Mengizinkan Hal-hal yang Kurang Baik Terjadi

ketika-tuhan-mengizinkan-hal-hal-yang-kurang-baik-terjadi

Oleh Gracella Sofiani Mingkid, Surabaya

Aku mengernyit tatkala mendengar seorang temanku berkata, “Aku tidak bisa menyebutkan momen yang menyedihkan dalam hidupku, rasanya tidak ada.” Waktu itu, kami sedang berada dalam sebuah kelompok kecil dan diminta untuk menyebutkan sedikitnya 3 kejadian yang membuat kami tidak bahagia. “Wow, luar biasa sekali jika hidupnya selalu bahagia,” pikirku. Tapi, dalam hati aku jadi bertanya, “Masa sih? Atau, mungkin memang ada orang yang hidupnya seperti itu ya, Tuhan?”

Aku tidak dapat memungkiri bahwa hidupku juga pernah dihiasi kejadian-kejadian yang tidak membahagiakan. Ketika aku duduk di kelas XI SMA dulu, untuk pertama kalinya aku mendapatkan juara 3 umum. Padahal, sebelumnya aku selalu mendapatkan juara 1 umum. Mungkin ini terdengar lebay, tapi secara psikologis saat itu aku merasa begitu down. Sedih bukan main. Aku terus menyalahkan diriku: kamu kurang belajar!

Saat itu aku memang sangat perfeksionis, terutama apabila menyangkut soal nilai. Harus menjadi yang terbaik, pikirku. Tapi, karena kejadian itu, aku bahkan sempat mengurung diri di kamar dan menangis tanpa diketahui orangtuaku. Ketika aku menceritakan kesedihan itu kepada beberapa teman, sontak mereka berkata, “Kamu lebay ah! Toh turunnya juga hanya dua tingkat, Ella. Kenapa mesti sedih begitu?” Tapi, bagiku dua tingkat itu sangatlah berarti. Mungkin karena aku tidak terbiasa berada di posisi bawah.

Ketika tahun ajaran baru dimulai, aku berusaha membangkitkan semangatku kembali. Namun, hal ini tidaklah mudah. Aku jadi tidak percaya diri dan merasa tidak lagi diandalkan oleh teman-temanku. Beberapa dari mereka mulai pindah ke kelompok belajar lain. Sepanjang semester, aku tidak menikmati proses belajar di sekolah. Ketika sekarang aku mengingat bagaimana peristiwa itu terjadi, ada tawa kecil dalam hatiku. Tapi, pengalaman itu membuatku mengerti akan satu hal. Kita tidak selalu berada di atas. Kadang-kadang, Tuhan memakai momen-momen saat kita berada di bawah untuk membentuk kita.

Saat kuliah, perlahan aku mulai mengerti. Tuhan kembali mengizinkan aku untuk mengalami momen-momen berada di bawah. Ada kalanya ketika aku membuka kartu hasil studi, nilai sempurna yang aku dapat. Tapi, ada kalanya juga meski aku sudah berusaha sekuat tenaga, hasil yang kudapat tetap tidak sesuai harapanku. Harus kuakui, ketika hal ini terjadi, aku tidak serta merta menerimanya dengan lapang dada. Sifat perfeksionisku sejak dari SD hingga SMA dulu sedikit banyak masih menempel di hidupku hingga masa kuliah.

Seiring berjalannya waktu, dari hal-hal yang kurang baik yang terjadi dalam hidupku, Tuhan mengajarku untuk memiliki sikap hati yang benar saat apa yang aku harapkan tidak terjadi, bahkan berbanding terbalik. Pengalaman-pengalaman inilah yang perlahan mengubah orientasiku dari yang semula berfokus pada hasil, menjadi seorang yang memahami bahwa proses itu sungguh berharga. Aku jadi lebih mudah menerima dan merespons hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan atau ekspektasiku, termasuk nilai-nilai yang tidak selalu sempurna.

Banyak hal yang bisa kita banggakan dari hidup ini. Entah itu kekayaan, ketenaran, prestasi, keluarga yang bahagia, ataupun relasi yang luas dan harmonis. Tapi, kadang kala semua itu bisa jadi memanjakan kita. Kita gagal untuk belajar bahwa hidup ini tidak selalu berjalan mulus. Saat kondisi menjadi tidak seperti yang kita harapkan, kita mulai mengeluh. Kenapa seperti ini? Biasanya kan tidak begini? Bahkan, mungkin dengan mudahnya kita juga berkata, “Ah, Tuhan tidak mengasihiku!”

Waktu itu, ketika prestasiku turun, aku tidak berani bersaksi. Padahal, biasanya aku selalu bersaksi di ibadah-ibadah rayon ketika Tuhan terasa begitu baik dengan menganugerahkan prestasi yang gemilang kepadaku. Ketika aku merenungkannya kembali, memang sebagian besar kesaksian anak Tuhan yang aku dengar, dan yang juga pernah aku ucapkan biasanya hanya berbunyi demikian, “Puji Tuhan aku selalu berkecukupan. Puji Tuhan aku diberikan kesehatan. Puji Tuhan aku lulus dengan nilai tertinggi”. Semua hal luar biasa ini kita ceritakan dengan memuji-muji Tuhan atas campur tangan-Nya yang ajaib. Hal ini memang benar dan seharusnya menjadi kesaksian kita. Tetapi, bagaimana jika seseorang yang baru saja di PHK datang dan bertanya: berarti Tuhan tidak baik padaku? Atau seorang yang menderita kanker stadium akhir datang dan bertanya: berarti Tuhan tidak mengasihi aku? Atau seorang mahasiswa yang tidak lulus sidang akhir dan bertanya: berarti Tuhan tidak mengasihiku? Buktinya, Dia tidak menolongku untuk lulus. Bagaimana kita akan menjawabnya?

Seorang hamba Tuhan dalam khotbahnya pernah memberi masukan supaya kita dapat menambahkan beberapa kata dalam kesaksian kita menjadi salah satu bukti kebaikan Tuhan adalah Dia memberikanku nilai-nilai yang bagus. Salah satu bukti dari kasih Tuhan adalah Dia memberikanku kesehatan. Salah satu bukti bahwa aku dikasihi Tuhan adalah aku mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal baik yang terjadi dalam kehidupan kita itu hanyalah salah satu dari sekian banyak karya Tuhan yang terjadi dalam kehidupan kita. Dengan berkata bahwa segala hal baik yang terjadi itu sebagai salah satu dari karya Tuhan, kita sedang membantu diri kita untuk belajar memahami bahwa Tuhan tidak selalu memberikan hal-hal yang menurut kita baik dan luar biasa. Bahkan, lewat hal-hal yang kurang baik seperti kekecewaan, sakit hati, kekalahan, dan kerugian, Tuhan hendak menunjukkan bahwa Dia tetap mengasihi kita. Ketika Ayub sedang terpuruk dan istrinya memintanya untuk menyangkal Allah, Ayub berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Kita tahu bahwa Allah bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikan bagi kita.

Cerita tentang anak SMA yang pernah terpuruk karena sifat perfeksionisnya ini mungkin terlihat kecil. Namun, karena itulah dia belajar tentang kesabaran, ketulusan, kerendahan hati, penguasaan diri, dan sikap hati yang benar. Dia belajar betapa Tuhan sangat mengasihinya, dan bahwa Tuhan berdaulat penuh mengatur dan membentuk hidupnya menjadi semakin murni. Dia belajar untuk mengandalkan hikmat dan kekuatan Tuhan. Apa jadinya jika dia tidak pernah berada di “bawah”? Mungkin saja dia akan semakin bermegah dengan kekuatannya sendiri.

Baca Juga:

Kita Harus Berhenti Memasarkan Kekristenan

Di Sabtu pagi yang tenang, seorang temanku mengajukan pertanyaan di grup Whatsapp yang kebanyakan anggotanya bukan orang Kristen. Dari pertanyaan itu, lahirlah diskusi panjang yang akhirnya berakhir dengan aman dan damai. Tapi, hasil diskusi itu mengagetkanku. Ada banyak kesalahpahaman antara persepsi teman-temanku mengenai Kekristenan.

Tidak Selamanya Gagal Itu Berakhir Buruk, Inilah Kisahku Ketika Aku Gagal Masuk ke Sekolah Impianku

Tidak-Selamanya-Gagal-itu-Berakhir-Buruk,-Inilah-Kisahku-Ketika-Aku-Gagal-Masuk-Sekolah-Impianku

Oleh Theodora Florencia, Sukoharjo

Mungkin kamu pernah mendengar sebuah kutipan yang mengatakan proses takkan mengkhianati akhir. Tapi, benarkah kenyataannya pasti begitu? Aku pernah berjuang keras untuk mewujudkan impian yang sangat aku dambakan, akan tetapi aku jatuh terpuruk ketika aku gagal mewujudkan impian itu. Namun, dari kegagalan itu Tuhan mengajariku untuk percaya bahwa Dia punya rencana yang lebih baik daripada impianku semula.

Sejak kelas 4 SD aku mendambakan bisa diterima di SMA negeri favorit yang berlokasi di kota Solo. Bagiku yang sejak kecil bersekolah di sekolah swasta Kristen, SMA negeri itu amat menarik minatku. Aku ingin bertemu dengan teman-teman yang lebih beragam, baik itu budayanya ataupun agamanya. Walaupun aku tidak secerdas teman-temanku, tapi aku berusaha belajar dengan tekun, memohon kepada Tuhan, juga melayani di gereja. Semua itu kulakukan dengan harapan kelak Tuhan akan mengabulkan mimpiku untuk bisa masuk sekolah negeri.

Setelah lulus dari SMP, aku mencoba untuk mendaftar di sekolah negeri itu. Tapi, aku juga menyadari bahwa ada kemungkinan kalau aku tidak diterima di sana. Jadi, sebagai cadangan, aku juga mendaftarkan diriku di sebuah SMA swasta yang masih satu lokasi dengan SMPku. Waktu itu, SMA negeri tujuanku yang berlokasi di kota Solo hanya memberikan kuota 5% untuk siswa dari luar kota, padahal tahun sebelumnya kuotanya adalah 30%. Ratusan pendaftar, termasuk aku yang berasal dari luar kota Solo harus memperebutkan kuota yang amat sedikit itu. Aku percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Namun, ketika hari pengumuman tiba, namaku tidak tercantum di sana. Hari itu aku merasa Tuhan seolah-olah menolak mimpiku. Aku merasa terpuruk, menangis, bahkan seperti tak memiliki tujuan hidup.

“Tuhan, yang benar saja. Aku sudah ingin masuk ke sana sejak kelas 4 SD! Aku juga nggak lupa berdoa waktu Ujian Nasional. Aku nggak lupa saat teduh. Aku nggak lupa tanya Tuhan, bahkan waktu UN aku memilih off dari semua media sosial supaya bisa fokus,” keluhku pada Tuhan. Jika seandainya saja kuota tahun itu tidak dipangkas, mungkin saja aku masih bisa diterima di sekolah itu. Kemudian, aku memberi kabar kepada beberapa temanku kalau aku tidak diterima. Mereka menghiburku, tapi tetap saja aku tidak merasa terhibur secara total.

Di malam harinya, dalam keadaan masih kecewa aku mencoba untuk bersaat teduh. Sebuah ayat yang diambil dari Ayub 42:2 itu menghibur sekaligus menegurku. “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” Ayat ini membuatku berpikir. Benar juga. Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada satu pun rencana Tuhan yang gagal. Dari ayat itu, aku mengambil kesimpulan bahwa Tuhan memang tidak ingin aku masuk ke SMA negeri itu. Kalaupun Tuhan mengizinkan aku diterima di sekolah negeri itu, mungkin saja Dia membuat keajaiban seperti NIM-ku menjadi lebih tinggi, kuota masuknya diperbanyak, atau hal ajaib lainnya. Tapi, nyatanya itu tidak terjadi. Berarti, memang ada misi khusus yang Tuhan ingin berikan padaku. Tuhan ingin aku masuk ke SMA swasta yang sudah kucadangkan.

Lalu, ketika aku membaca sebuah buku renungan, aku juga kembali diingatkan dengan sebuah kutipan yang mengatakan: Allah memilih apa yang harus kita lalui, kita memilih bagaimana kita melaluinya. Kutipan ini kembali menguatkanku bahwa memang sudah jalan Tuhan untuk menempatkanku di sekolah swasta. Sekarang, tugasku adalah menentukan bagaimana caranya aku melalui hari-hariku di SMA swasta ini, apakah aku akan melaluinya dengan perasaan kecewa atau melaluinya dengan semangat. Mulai hari itu aku memilih untuk tidak lagi menyesali kegagalan ini dan mengimani firman Tuhan di Yeremia 29:11 yang berkata bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan.

Di SMA swastaku, memang aku tidak mendapatkan lingkungan pergaulan yang begitu beragam. Kebanyakan teman-temanku adalah orang Kristen. Namun, di sinilah aku melihat tantangannya, yaitu bagaimana caraku untuk tetap menjadi teladan bagi teman-temanku yang sama-sama adalah pengikut Kristus. Aku percaya bahwa sebelum kelak Tuhan mengutusku entah ke mana, saat ini Dia ingin aku menjadi teladan terlebih dahulu di tengah-tengah saudara seiman. Sewaktu SMP dulu, aku bukanlah termasuk siswa yang rajin. Tapi, di SMA ini aku mau menjadi teladan dengan cara belajar lebih rajin. Di akhir semester kedua, Tuhan menganugerahiku juara 1 di kelas dan pihak sekolah memberikanku beasiswa bebas biaya studi untuk tahun selanjutnya.

Selain lebih rajin, aku juga belajar untuk bagaimana membina relasi yang baik antar sesama teman. Ketika awal masuk sekolah dulu, aku bukanlah orang yang terbuka dan aku sempat tidak cocok dengan beberapa temanku. Aku merasa enggan berada dekat mereka. Namun, ketika aku berdoa, Tuhan menyadarkanku demikian: jika aku merasa tidak cocok dengan teman-temanku, bukan berarti mereka harus berubah untuk menjadi seperti yang kuinginkan. Aku harus bisa menerima mereka apa adanya. Toh, mereka tidak pernah mengeluh apabila berada di dekatku. Lantas, mengapa aku harus enggan berteman dengan mereka? Di liburan semester kedua, aku melatih diriku untuk tidak berpikiran buruk tentang teman-temanku dan mencoba untuk mendekati mereka. Sejak saat itu, lambat laun kami menjadi teman baik. Aku yang tadinya kurang terbuka, sekarang memiliki beberapa sahabat yang kepadanya aku bisa bercerita kisah-kisah hidupku.

Tuhan tidak pernah berhenti berkarya. Sekalipun mimpiku untuk masuk ke SMA negeri pada awalnya terkesan gagal, tetapi sesungguhnya Tuhan menyiapkan rencana yang lebih baik untukku. Tuhan jauh lebih tahu apa yang sesungguhnya aku butuhkan. Dia tahu bahwa di sekolah manapun aku bersekolah, aku harus menjadi seorang siswa yang rajin, bertanggung jawab, dan menjadi teladan. Tuhan mau aku mempercayai-Nya dengan sepenuh hati. Karya Tuhan tidak ditentukan dari aku bersekolah di mana, tapi di manapun aku bersekolah, di situlah Tuhan berkarya. Terkadang, kegagalan memang diizinkan Tuhan terjadi supaya kita percaya bahwa di balik kegagalan itu, Tuhan tetaplah Tuhan yang berkuasa dan memegang kendali atas hidup kita.

Baca Juga:

Sampai Sejauh Mana Aku Bisa Mengasihi?

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Markus 12:31). Aku sering mendengar ayat ini, tetapi rasanya sulit sekali untuk melakukan apa yang Yesus perintahkan itu mengingat sekarang ini relasi kita kepada sesama mungkin lebih banyak dihitung berdasarkan untung dan rugi. Tapi, ada sebuah film yang mengajariku bahwa perintah untuk mengasihi itu bukanlah sekadar teori semata, tapi memang harus kita lakukan sebagai pengikut Yesus.