Posts

Bagaimana Mendengar Suara Tuhan di Zaman Sekarang?

Oleh Andrew Koay
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How I Discovered The Key To Hearing God’s Voice

“Tuhan bilang sama aku…”

Selama aku hidup sebagai orang Kristen, aku sering mendengar orang-orang di sekitarku mengucapkan kata-kata di atas. Mereka akan bersaksi tentang bagaimana Tuhan secara dramatis telah mengubah jalan hidup mereka melalui suara yang dapat didengar. Teman-teman sebayaku pun suka berdiskusi tentang bagaimana mereka sering mendengar Tuhan berbicara dan mengarahkan mereka pada keputusan sehari-hari.

Secara pribadi, aku tidak pernah mengalami pengalaman rohani yang sedekat itu dengan-Nya. Jujur, aku cemburu. Jika Pencipta alam semesta berbicara dengan teman-temanku, aku juga ingin ikut serta dalam percakapan itu.

Kebingungan soal mendengar suara Tuhan sebenarnya bukanlah hal baru, malah dalam pendapatku sendiri kita memang perlu bisa mendengar suara-Nya. Seperti teman-temanku yang tampaknya membuat banyak keputusan—entah yang penting atau remeh—berdasar suara Tuhan, bagaimana kita bisa tahu keputusan kita tepat atau tidak kalau kita tidak dengar suara-Nya?

Apa aku salah pilih jurusan kuliah sehingga pilihan karierku pun salah?
Apakah cara berpakaianku salah?
Apakah aku melewatkan penunjuk Ilahi?

Aku sangat ingin punya pengalaman seperti teman-temanku. Untuk meraihnya, aku membaca buku-buku, menghabiskan waktu sendiri di ruangan yang gelap, juga menerima tantangan dari seorang pendeta untuk percaya Yesus dengan harapan supaya aku bisa mendengar suara Tuhan secara langsung.

Sampai tibalah aku pada suatu momen. Waktu itu aku baru mulai kuliah dan ikut persekutuan Kristen di kampus. Setelah beberapa waktu, salah satu staf yang bernama Joel mengajakku bertemu dan membaca Alkitab di saat jam makan.

Siapa sangka. Di situlah aku akhirnya mendengar Tuhan berbicara kepadaku dengan jelas dan pasti. Tidak ada keraguan bahwa itu bukanlah Dia.

Selama ini aku tidak menyadarinya… bahwa kunci untuk mendengar suara-Nya telah ada di depanku sepanjang waktuku hidup. Hari itu, saat Joel dan aku membuka Alkitab, kami membaca surat Paulus untuk jemaat Kolose. Kata-kata yang ada di sana bukan sekadar tulisan… tetapi melaluinya Allah yang hidup berbicara kepada kita.

Kami mempelajari Alkitab secara mendalam, berpikir keras tentang apa yang Paulus coba sampaikan kepada jemaat Kolose, dan bagaimana tiap ayat dalam surat itu mendukung tujuan ini—untuk mengingatkan mereka akan kuasa Kristus dan kecukupan kita ada dalam Dia, dan meyakinkan mereka bahwa tidak ada hal lain yang dibutuhkan seorang Kristen untuk menjadi benar di hadapan-Nya. Dua ribu tahun yang lalu, Tuhan berbicara melalui Paulus kepada jemaat Kolose, dan ketika kami berusaha untuk memahami apa yang Dia katakan saat itu, Dia juga sedang berbicara tentang pesan yang sama kepada kami.

Aku menyadari bahwa mendengar Tuhan berbicara berarti membuka firman-Nya dan melihat apa yang ditulis-Nya untuk kita.

Dulu ketika aku berusaha keras untuk mendengar Tuhan berbicara, secara tidak sadar aku menurunkan Alkitab ke tingkat yang lebih rendah. Aku menganggap sabda firman-Nya seperti suara-suara lahiriah lain yang mudah ditangkap telinga. Aku bingung dengan kata-kata temanku dulu yang bilang ‘mendengar suara Tuhan’ sehingga aku lupa bahwa suara-Nya dapat didengar melalui Alkitab.

Alkitab berisikan kata-kata yang diilhamii oleh Allah. Meskipun Alkitab ditulis oleh manusia, Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu dan berbicara melalui penulisnya. Artinya, ketika Paulus menulis kepada jemaat Kolose untuk mengingatkan mereka akan suatu kebenaran, Allahlah yang berbicara melalui Paulus kepada mereka, dan Tuhan yang sama juga sedang berbicara melalui firman kepada kita hari ini.

Kebenaran inilah yang memberiku kepastian tentang imanku. Sepanjang upayaku untuk mencari tahu bagaimana mendengar suara-Nya, ada banyak waktu ketika aku berpikir bahwa akhirnya aku mungkin mendengar Dia berbicara. Aku sering membayangkan kalau nanti aku pasti bisa mendengar suara Tuhan secara audibel dan aku menjawab, “Apa, Tuhan? Apakah Engkau mau aku pergi ke restoran itu hari ini?”

Meski suara seperti itu sering dianggap sebagai suara Tuhan, aku tak bisa sungguh yakin jika itu adalah Tuhan yang berbicara. Namun, saat aku membaca dan mempelajari Alkitab, aku bisa yakin 100 persen bahwa itulah sabda Sang Pencipta alam semesta buatku. Keyakinan inilah yang menjadi dasar iman kita. Dengan firman-Nya kita bisa punya keteguhan hati untuk membuat keputusan sulit sembari yakin bahwa tindakan kita berkenan pada-Nya.

Alkitab itu kaya, tetapi kita hanya akan menemukan kekayaan yang akan membuat iman kita bertumbuh jika kita bersedia menggalinya. Aku tidak pernah bisa menanyakan apakah Tuhan ingin saya melakukan sesuatu karena saya dapat membacanya dengan jelas di dalam Alkitab. Kita yang hidup pada zaman kini mungkin tak akan mendengar suara Tuhan menjawab kita dengan menggelegar ketika kita bertanya boleh tidak melakukan ini dan itu… tetapi kita selalu menemukan jawabannya dari apa yang kita baca di Alkitab. Hubunganku dengan Tuhan pun tak cuma bergantung pada pengalaman pribadi, tetapi berakar pada keyakinan bahwa Roh Kudus yang bekerja dalam hatiku melalui firman yang kubaca.

Aku yakin meskipun komunikasi dengan Tuhan di luar Alkitab mungkin ada, itu tidak dapat menggantikan—atau bahkan sama pentingnya dengan—cara Tuhan berbicara pada kita melalui Alkitab. Seperti yang dikatakan John Piper, seorang teolog Kristen, “Ada sesuatu yang sangat salah ketika kata-kata yang kita dengar di luar Kitab Suci lebih kuat dan lebih berpengaruh pada kita daripada firman Allah yang diilhami-Nya.” Lagipula, jika kita bertanya-tanya apa yang ingin Tuhan katakan pada kita, bukankah seharusnya kita mulai dengan apa yang telah dengan sengaja Dia berikan untuk jadi petunjuk kita?

Aku mungkin tidak punya petunjuk khusus tentang kehidupan sehari-hariku seperti yang mungkin dimiliki teman-temanku. Tetapi dengan mendengar apa yang Tuhan katakan melalui Alkitab, aku jadi lebih akrab dengan karakter-Nya, dan ini melengkapiku untuk membuat keputusan sehari-hari yang aku tahu akan sejalan dengan apa yang Dia perintahkan untuk kita lakukan.

Misalnya, ketika memutuskan kalau aku harus mengambil pekerjaan part-time sementara masih kuliah, aku mempertimbangkan apa yang Dia katakan kepada orang-orang Tesalonika dalam 1 Tesalonika 4:11-12, untuk bertanggung jawab dan tidak menjadi beban bagi orang lain dalam Gereja. Namun, aku juga mempertimbangkan apa misi para murid—untuk menyebarkan Injil dan mendorong sesama dalam Kristus. Apakah dengan memiliki pekerjaan paruh waktu masih memungkinkanku untuk mencapai hal-hal tersebut?

Jadi, hari ini aku tidak lagi iri atau menginginkan pengalaman yang teman-temanku miliki, karena aku tahu bahwa tiap hari ketika aku membuka Alkitab, Tuhan berbicara padaku. Tidak dapat disangkal, jelas, dan menakjubkan. Aku tahu pasti bahwa ini adalah firman Tuhan yang hidup, yang memegang alam semesta di telapak tangan-Nya.

Apakah Kamu Takut Membagikan Injil?

Hari ke-3 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:12-18

1:12 Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil,

1:13 sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.

1:14 Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut.

1:15 Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.

1:16 Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil,

1:17 tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.

1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.

Seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Aku mengingat kesempatan yang kudapat baru-baru ini untuk memberitahu seorang temanku tentang Yesus Kristus. John telah membagikan pergumulannya padaku tentang keluarganya dan perjuangannya melawan depresi.

Pada saat itu, aku tahu persis apa yang perlu kukatakan, namun entah mengapa kata-kata tersebut tersangkut di tenggorokanku, seperti sebuah gumpalan yang besar dan membuat tidak nyaman. Pada akhirnya, dalam pembicaraan tersebut untuk sebagian besarnya aku hanya mendengar dan menawarkan beberapa nasihat, sementara aku sadar bahwa yang seharusnya kulakukan adalah membagikan pengharapan Kristus padanya.

Mengapa aku tidak melakukannya? Dalam perenunganku, aku takut. Sejak kami berkenalan, John selalu berkata terus terang mengenai kepercayaan ateisnya dan kritikannya terhadap agama. Dan meskipun kami pernah membahas topik seputar Tuhan, aku selalu gagal membagikan Injil secara lengkap karena rasa takut akan bagaimana John merespons.

Bagaimana jika ia tersinggung akibat aku membagikan Injil? Tidakkah itu akan membuat pertemanan akrabku menjadi retak dan canggung? Lebih lagi, bagaimana jika ia kesal hingga ia memberitahu teman-teman kami yang lainnya mengenai usahaku yang dianggapnya ingin mendorongnya berubah kepercayaan? Tidakkah itu akan menghancurkan reputasiku, dan dengan efektif membuatku dikucilkan?

Teladan Paulus dalam Filipi 1:12-18 merupakan teguran yang keras buatku. Dalam ayat-ayat ini Paulus mencontohkan bagaimana seharusnya kita memiliki pola pikir. Ketika kita fokus menyebarkan Injil, maka mencari kenyamanan diri sendiri tidaklah menjadi suatu hal yang penting.

Dalam ayat-ayat ini, kita mendapati Paulus sedang berada di situasi yang tidak mudah. Tidak hanya menulis surat untuk jemaat Filipi di dalam penjara, namun sebagaimana ditulis di ayat 17, Paulus memiliki alasan untuk khawatir yang berasal dari ketidakhadirannya akibat pemenjaraannya. Nampaknya beberapa orang yang menggantikan Paulus untuk menyebarkan Injil memiliki motivasi yang buruk; sebagaimana Paulus menuliskan “sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.”

Namun, respon Pauluslah yang paling menguatkan kita. Alih-alih bersedih atas situasinya, ia justru bersukacita (ayat 18)! Yang terpenting bagi Paulus adalah pemenjaraannya telah terbukti menghasilkan buah bagi Injil. Pemenjaraannya memberikan kesempatan bagi Paulus untuk membagikan Injil pada penjaga penjara, dan telah membuat orang-orang Kristen lainnya memiliki keberanian untuk memberitakan Injil (ayat 13-14). Di tengah situasinya yang buruk dan motivasi jahat yang dimiliki orang-orang lain (ayat 17-18), yang paling Paulus pedulikan adalah tersebarnya Injil itu.

Jadi seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Kegagalanku untuk membagikan Injil pada John membuktikan bahwa aku lebih memperhatikan kenyamanan dan reputasiku; aku tidak bersedia menanggung kemungkinan yang membuat tidak nyaman dan canggung. Aku perlu memiliki pola pikir yang Paulus tunjukkan di surat Filipi—pola pikir untuk mengasihi John, untukku memiliki keberanian membagikan kabar terbaik yang pernah kudengar apapun resikonya.

Hal itu tidak berarti aku harus menjadi orang yang kurang ajar dan menghancurkan setiap percakapan, namun contoh Paulus mendorongku untuk berpikir lebih jauh tentang bagaimana aku bisa membagikan Injil dengan teman-temanku. Kiranya kita menjadi seperti Paulus, tidak membiarkan ketakutan kita menghalangi tersebarnya Injil. Melihat lebih banyak orang menemukan pengetahuan tentang Kristus yang menyelamatkan merupakan hal yang jauh lebih penting.—Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Ketakutan apa yang menghalangimu dari memberitakan Yesus Kristus pada orang-orang di sekitarmu?

2. Kesulitan apa yang sedang kamu jalani saat ini? Bagaimana caranya kamu dapat mendoakan supaya kesulitan tersebut menjadi kesempatan untuk menyebarkan Injil?

3. Apa yang kamu rasakan ketika kamu melihat Injil dibagikan dengan motivasi yang tidak murni? Bagaimana sikap Paulus dapat menantangmu untuk memberikan respon yang berbeda?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan waktunya untuk menonton film dokumenter. Andrew juga suka mendengarkan suara Tuhan lewat firman-Nya dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Pelajaran Berharga di Balik Perceraian Kedua Orang Tuaku

Oleh Andrew Koay
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Glory Of My Parents’ Divorce

Ada dua memori dari masa kecilku yang menentukan apa makna sebuah keluarga buatku. Memori pertama adalah aku sebagai balita tengah berlari ke bangsal rumah sakit bersama dengan ayahku. Ibuku baru saja melahirkan adik lelakiku, dan aku berteriak penuh semangat, “Di mana adikku?” Lalu aku melihatnya terbuai dalam pelukan ibuku.

Memori kedua adalah aku sebagai anak berusia 9 tahun sedang berjalan ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidur kedua orang tuaku. Sebelum berangkat sekolah aku memang terbiasa mandi di sana. Tapi, saat itu aku mendengar ibuku mengatakan pada ayahku kalau dia ingin pindah dan bercerai.

Kedua memori itu saling berlawanan dalam hidupku. Memori pertama menggambarkan suatu waktu di mana keluargaku sedang bersama, ketika kedua orang tuaku berbahagia, ketika adikku sedang lucu-lucunya dan belum menyebalkan. Tapi, paling utama, semua itu menggambarkan suatu waktu ketika segalanya tampak sempurna. Memori kedua menggambarkan suatu waktu ketika kehidupanku seolah dibalik, ketika waktu-waktu kebersamaan kami ditandai dengan teriakan, dan ketika aku merasa semakin terisolasi dari keluargaku.

Perceraian di hari-hari ini seringkali dianggap biasa; kita sering melihat bagaimana para selebriti bergonta-ganti pasangan seperti layaknya tren pakaian. Statistik menunjukkan bahwa satu dari tiga pernikahan di Australia berakhir dengan perceraian. Kita sepertinya semakin terbiasa melihat pernikahan yang gagal.

Namun, pada kenyataannya, bagi keluarga yang terlibat di dalamnya, perceraian adalah proses yang panjang dan penuh penderitaan.

Sebagai seorang anak, salah satu hal terberat yang harus kuhadapi dengan perceraian kedua orang tuaku adalah bagaimana aku harus bersikap dalam keluarga. Aku jadi orang yang suka melihat ke bawah dan berjalan lunglai di momen-momen canggung saat kedua orang tuaku berada di tempat yang sama. Aku belajar untuk menghilangkan komentar-komentar negatif yang mereka buat tentang satu sama lain. Dan ketika masing-masing mereka menikah kembali, aku belajar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tentang ibu tiri atau ayah tiri baruku. Singkatnya, aku benci hal ini.

Selama periode waktu yang panjang dalam hidupku, aku benci berada dekat dengan keluargaku, karena itu selalu mengingatkanku akan segala sesuatu yang tidak berjalan semestinya. Aku akhirnya meninggalkan rumah dan tinggal bersama kakek dan nenekku, sementara adikku tinggal bersama ibuku. Kami jarang saling bertemu kecuali di masa-masa liburan. Dan, kalaupun bertemu, yang paling teringat dalam memoriku hanyalah perkelahian dan adu pendapat. Di luar rumah, perilakuku memburuk ketika aku mulai bolos sekolah dan membuat frustrasi orang-orang di sekelilingku.

Perceraian kedua orang tuaku adalah salah satu hal tersulit yang harus kulalui. Perceraian itu jadi masa-masa yang menentukan dalam hidupku dan juga memberiku banyak kenangan pahit. Lima belas tahun setelahnya, peristiwa itu masih dapat kurasakan, seakan itu semua baru saja terjadi.

Namun, belakangan ini sebuah studi Alkitab tentang Kitab Roma yang aku lakukan di kampusku membuka pikiranku kepada fakta yang mengejutkan. Ada suatu kebenaran: bahwa tidak ada apa pun dalam kehidupan ini yang berjalan sebagaimana mestinya. Rasul Paulus dalam Roma 1:18 menjelaskan bahwa kita hidup dalam dunia di mana setiap kita bersalah karena kita menindas kebenaran dengan kelaliman. Hasilnya adalah dunia yang rusak, putus asa, dan berdosa. Terlepas dari gambaran ideal kita akan keluarga, sesungguhnya keluarga kita pun adalah bagian dari dunia ini. Setiap keluarga, entah itu bercerai atau tidak, dibentuk dari orang-orang yang rusak dan berdosa. Kerusakan inilah yang berlanjut ke segala hal lainnya yang kita alami di dunia. Kehidupan di luar kekekalan itu penuh dengan kekecewaan dan kepedihan.

Jadi, bagaimana selanjutnya? Untuk satu hal, cara pandangku tentang suatu relasi telah berubah. Aku memandang relasi dengan lebih realistis tapi juga lebih memaafkan kegagalan orang lain. Ini juga mendorongku untuk lebih berfokus kepada Injil dalam setiap interaksiku dengan orang lain karena aku tahu bahwa satu-satunya solusi dari kehidupan kita yang berdosa hanya ditemukan dalam Yesus. Semua hal ini menolongku untuk menumbuhkan kasihku kepada keluargaku. Terlepas dari segala kekurangan keluargaku, sekarang aku bisa menghargai waktu-waktu bersama yang kami miliki. Keluargaku masihlah jauh dari sempurna, tapi interaksi-interaksi yang dulu membuatku tertekan sekarang jadi satu dorongan buatku berdoa untuk keselamatan keluargaku.

Pada akhirnya, kebenaran ini membuatku merindukan akan bumi yang baru, janji yang Allah telah beri di mana tidak ada rasa sakit atau pun kesedihan di sana. Janji inilah yang mengingatkan kita akan pengajaran Paulus dalam Roma 5:3-5 untuk bermegah dalam penderitaan kita, karena itulah yang menuntun kita kepada harapan; kepedihan hidup ini mengingatkan kita untuk tidak terlalu terikat pada dunia ini, melainkan untuk membuat kita bersiap akan hari di mana Tuhan akan membawa kita kepada bumi yang baru.

Kita dapat yakin bahwa Allah akan melakukan ini, seperti yang dikatakan dalam Roma 5:6-10, karena Kristus. Kematian-Nya bagi kita di kayu salib telah membenarkan kita dan memberi kita kepastian akan keselamatan.

Jadi, jika dulu aku selalu menghindari kenyataan bahwa sesungguhnya segala sesuatu tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya, hari ini aku belajar untuk menerima kenyataan itu. Sesulit apapun, pengalaman karena perceraian kedua orang tuaku adalah satu hal di mana aku bermegah sembari aku menanti bumi yang baru. Inilah yang memberiku kesempatan untuk berbicara tentang Injil dan janji kehidupan kekal. Sekarang, aku berusaha hidup untuk menyiapkan kehidupan selanjutnya dan mengingatkan yang lain untuk melakukan yang sama, karena kehidupan di kekekalan itulah yang penting. Aku belajar lebih menghargai salib Kristus, sebab itulah yang memberiku kepastian bahwa kelak aku akan berada di bumi yang baru. Lima belas tahun telah berlalu, firman-Nya dari Wahyu 21:1-4 terus tumbuh dalam hatiku:

Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.

Baca Juga:

Saat Aku Tak Merasa Puas dengan Kehidupanku

Sejujurnya aku malu untuk mengakui kalau aku masih bergumul dengan ketidakpuasan. Terlepas dari segala hal baik yang mengisi hidupku, ada masa-masa ketika semuanya itu terasa tidak cukup dan pikiran-pikiran penuh kekhawatiran memenuhi benakku.