Posts

Teruntuk Kamu yang Merayakan Ulang Tahun Sendirian

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar kata ulang tahun?

Bagiku, ulang tahun adalah hari istimewa, identik dengan sukacita dan kebahagiaan. Hari yang patut dirayakan dengan ucapan syukur bersama keluarga dan teman-teman atas perjalanan hidup selama setahun yang telah dilalui.

Namun, tahun ini semua terasa berbeda. Di hari ulang tahunku yang ke-18, tak ada perayaan bersama teman-teman. Aku larut dalam kekecewaan dan kesedihan. Situasi pandemi tak memungkinkanku untuk menggelar acara yang melibatkan banyak orang. Alhasil, hari ulang tahunku pun dilalui dengan rutinitas biasa.

Teman-teman dan keluarga dekat mengirimiku ucapan selamat, tapi itu tidak membuatku tergugah dan bahagia. Hingga ada satu pesan dari salah satu temanku, dia menulis begini: “Hai Tasya, selamat berbahagia akan kesetiaan Allah. Selamat kembali mengingat dan merayakan penyertaan Tuhan dalam kehidupanmu. Selamat untuk terus membentuk diri dalam otoritas kedaulatan dan kebaikan Allah. Sehat selalu.” Kalimat ini entah mengapa terasa bermakna buatku.

Kubaca kalimat ucapan itu berulang-ulang, lalu kuambil waktu hening sejenak. Kurenungkan maknanya, kucoba koreksi diriku atas usia yang kini Tuhan telah tambahkan. Sebelumnya, aku jarang memikirkan makna atas hari ulang tahunku. Yang kulakukan adalah aku bergembira bersama teman-temanku, bersukacita karena kado-kado yang diberikan, tersanjung karena kejutan-kejutan dan kue ulang tahun yang diberikan padaku. Aku suka dengan hari ulang tahun karena di hari ini jugalah aku merasa diperlakukan secara istimewa selama seharian oleh teman-teman dan keluargaku. Tapi, pandemi ini menyadarkanku bahwa semua yang kuharapkan dan kusukai itu bukanlah makna sesungguhnya dari pertambahan usia yang Tuhan berikan.

Alih-alih sebuah pesta, momen ulang tahun adalah momen untuk melihat kembali kasih Allah yang tak berkesudahan dan penyertaan-Nya yang sempurna. Seharusnya karena inilah aku bersukacita, bukan karena pesta atau pun kado-kado yang kuterima.

Mazmur 71 berisikan doa-doa memohon perlindungan Tuhan pada masa tua. Meskipun usiaku masih belia, tapi Mazmur ini memberi pesan yang baik.

“Sebab Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah.
kepada-Mulah aku bertopang mulai dari kandungan, Engkau telah mengeluarkan aku dari perut ibuku; Engkau yang selalu kupuji-puji.” (Mazmur 71:5-6).

Sang Pemazmur berbicara tentang kehadiran Allah sepanjang hidupnya. Pemazmur teringat bahwa Allahlah yang mengeluarkannya dari kandungan ibunya, sehingga dia pun memuji Allah dengan berkata, “Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib” (ayat 17).

Sekarang, hari ulang tahun mengingatkanku akan kesetiaan Allah. Dia senantiasa hadir dalam tiap langkah perjalanan hidup kita.

Jika hari ulang tahunmu jatuh pada hari-hari ini dan orang-orang terdekatmu tak dapat hadir secara fisik, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun buatmu. Kiranya damai sejahtera Tuhan hadir atasmu dan hari ulang tahunmu dapat dipakai-Nya untuk menjadi hari yang mengingatkanmu akan betapa besar, luas, lebar, dan dalamnya kasih Tuhan.

Happy Birthday to you!

Baca Juga:

Mendoakan Rencanaku Bukan Berarti Tuhan Pasti Memuluskan Jalanku

Kita terbiasa mendoakan perencanaan kita. Dalam doa, kita berharap pertolongan Tuhan atas rencana itu. Lalu, mungkin kita berpikir, jika rencana itu sudah kita doakan, tentunya Tuhan akan membuat semuanya lancar dan sukses.

Catatan Hidupku Sebagai Seorang Albino

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Halo kawan, perkenalkan namaku Anatasya, atau kerap disapa Ana. Aku ingin membagikan cerita pengalamanku kepadamu lewat tulisan ini.

Aku adalah seorang yang mengalami albinisme. Sewaktu aku kecil, aku merasa diriku tidak ada bedanya dengan teman-temanku lainnya. Ketika aku beranjak dewasa, barulah aku menyadari bahwa ada yang berbeda dari fisikku dengan teman-temanku lainnya. Awalnya aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku, hingga saat aku duduk di bangku SMP, aku mulai mencari tahu. Aku pun mendapati bahwa diriku mengalami albinisme.

Albinisme adalah suatu kelainan pada produksi melanin yang mengakibatkan penderitanya kekurangan melanin, atau sama sekali tidak memiliki pigmen tersebut. Akibatnya, rambutku, kulitku, dan mataku terlihat sangat pucat atau putih. Penderita albinisme biasa disebut sebagai orang albino. Aku kurang tahu pasti apa yang mengakibatkanku mengalami ini, namun setahuku kelainan ini bisa juga disebabkan karena faktor keturunan. Nenek buyutku juga adalah seorang albino.

Keadaan fisikku ini lumayan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hariku. Aku tidak bisa terlalu banyak terkena sinar matahari karena kulitku begitu sensitif. Lalu, ada juga dampak sosial yang kualami. Orang-orang sering memandangiku, mungkin karena mereka baru pertama kali melihat seorang albino. Saat aku sedang jalan di tempat yang ramai misalnya, banyak orang akan melihat kepadaku dengan penasaran. Aku seolah menjadi pusat perhatian dan bahkan ada di antara mereka yang bertanya-tanya hal aneh seperti apa yang ibuku makan waktu ia hamil sehingga aku bisa menjadi albino. Bahkan, ada beberapa juga yang mengajakku berfoto.

Lalu, di sekolah pun ada beberapa temanku yang merasa risih dengan perbedaan fisikku. Mereka mengolok-olokku: “Pucat seluruh badan”, turis masuk kampung!”, “mayat hidup berjalan!”. Meski begitu, aku mengucap syukur karena tidak semua temanku bersikap demikian. Ada juga yang tetap memandang dan memperlakukanku dengan baik.

Saat ada orang yang menghinaku seperti itu, awalnya aku selalu menangis dan merasa tidak terima dengan keadaanku yang seperti itu. Meski aku tahu perbedaanku hanyalah pada pigmen di kulit, tapi astaga, mengapa respons yang diberikan sampai seperti itu.

Aku pun mencoba menceritakan pergumulan ini kepada orangtuaku. Aku bersyukur karena mereka selalu mengajarkanku bahwa aku sesungguhnya tidak berbeda dari teman-temanku yang lain; aku tetap bisa beraktivitas, bermain, dan belajar sama seperti anak-anak lainnya. Lalu, orang tuaku juga meyakinkanku bahwa aku tidak perlu marah ketika teman-temanku mengolokku. Katanya, olokan mereka adalah suatu bentuk perhatian mereka kepadaku, hanya mungkin caranya yang salah. Aku pun diajar mereka untuk selalu berdoa meminta kekuatan pada Tuhan. Berkat dukungan inilah aku memiliki tekad untuk tidak kecewa, sedih, dan marah terus-terusan. Kehidupan ini terus berlanjut, entah itu kalau aku menerima keadaan fisikku ataupun tidak. Jadi, kupikir hanya buang-buang waktu saja kalau aku larut dalam rasa kecewa.

Orang tuaku pun mendukungku dengan memberiku nasihat-nasihat berdasarkan firman Tuhan. Di mata Tuhan, kita semua adalah sama. Untuk setiap kekurangan yang ada dalam hidup kita, Tuhan pun sesungguhnya memberikan kelebihan. Namun, segala dukungan itu masih belum membuatku benar-benar mengerti mengapa Tuhan membuatku keadaanku seperti ini. Hingga suatu ketika, dalam sebuah ibadah keluarga, renungan yang disampaikan itu menegurku. Tuhan memiliki rencana atas kehidupan kita masing-masing, dan aku ingat betul inti dari renungan itu terdapat dalam Yeremia 29:11.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Seusai ibadah itu, aku pun merenungkan ayat yang baru saja kudengar itu. Di rumah, aku berdoa memohon bimbingan Tuhan supaya aku dapat mengerti apa yang jadi kehendak Tuhan lewat renungan tersebut. Dan pada akhirnya, aku pun mengerti bahwa Tuhan memiliki rencana yang terbaik untuk kehidupanku melalui perbedaan fisik yang aku miliki. Tuhan tidak menciptakanku dengan kesalahan. Pun Dia tidak meninggalkanku sendirian. Tuhan menunjukkan kasih-Nya juga melalui orang tuaku dan sahabatku yang selalu mendampingiku.

Sekarang, aku tidak lagi memandang albinismeku sebagai kekurangan, melainkan sebagai sebuah keunikan dari Tuhan yang tidak semua orang miliki, dan aku bersyukur untuk hal itu. Meski terkadang ada masa di mana rasa minder itu muncul, tetapi ketika itu terjadi, aku berdoa dalam hati meminta kekuatan dari Tuhan, supaya aku tidak larut dalam perasaan tersebut.

Kepada teman-temanku yang mau berteman denganku, aku mau menjalin relasi sebaik mungkin dengan mereka. Aku sangat menghargai kesediaan hati mereka. Kepada teman-temanku yang masih mengolokku, aku pun belajar untuk menghormati mereka. Aku tidak akan marah dan tidak akan memasukkan olokan-olokan tersebut ke dalam hatiku.

Kelak, aku ingin terus memuliakan Tuhan lewat kehidupanku. Aku ingin menjadi seorang guru Bahasa Inggris supaya aku bisa mendidik generasi yang akan datang dengan terang firman Tuhan.

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Bergosip?

Gosip tidak melulu berita-berita tentang public figure, bisa juga tentang orang-orang di sekitar kita: teman kampus, kolega di kantor, atau juga sesama jemaat di gereja kita. Bahkan di Instagram, ada sebuah akun gosip yang followersnya mencapai 5,3 juta!

Aku Gagal Masuk SMA Favorit, Tapi Aku Belajar untuk Tidak Larut dalam Kekecewaan

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Saat aku naik ke kelas 9 SMP, aku mulai menyiapkan banyak hal yang bisa mendukung pembelajaranku supaya nanti aku mendapat nilai yang memuaskan di Ujian Nasional dan bisa diterima di SMA favorit yang kudambakan. Aku belajar mati-matian. Aku ikut bimbingan belajar di sekolah, dan juga les privat di rumah. Pun, aku selalu berdoa supaya Tuhan mengabulkan permintaanku.

Setelah Ujian Nasional usai, aku menunggu pengumuman hasilnya. Aku memikirkan kembali perjuangan-perjuangan yang sudah kulakukan sampai maksimal dan juga doa-doa yang kumohon pada Tuhan. Meski aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan, dalam hatiku aku berpikir: “Tidak perlu dapat nilai sempurna. Yang penting nilainya cukup untuk masuk ke sekolah yang aku inginkan. Itu sudah cukup memuaskan buatku.”

Tapi, hasil ujian yang kuterima menyentakku. Nilai yang kuperoleh ternyata lebih kecil dari yang kuharapkan. Dari total empat mata pelajaran diujikan, aku hanya mendapat nilai 20,15 dari nilai sempurna 40,0 sedangkan untuk bisa diterima di sekolah itu nilai yang kudapat seharusnya lebih dari 24,00. Aku tidak dapat diterima di SMA favorit itu.

Aku kecewa.

Untuk sesaat pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku untuk aku mendapatkan nilai Ujian Nasional yang baik? Mengapa Tuhan memberikan temanku nilai yang bagus hingga bisa diterima di sekolah itu tetapi aku tidak? Aku sedih. Tak terbayangkan olehku ketika segala perjuanganku untuk menggapai nilai maksimal berbuah dengan hasil yang tak kuharapkan. Aku pun sempat marah kepada Tuhan karena terus memikirkan mengapa Dia tidak sepemikiran denganku.

Tapi, dalam keadaan itu aku coba untuk menenangkan diriku. Aku tidak ingin kecewa ini berlarut-larut. Aku berdoa dan menyerahkan kembali diriku pada Tuhan dengan cara membaca Alkitab dan artikel-artikel rohani.

Hingga tibalah waktunya untukku mendaftar ke SMA. Dengan berat hati aku pun masuk ke SMA yang menurutku biasa-biasa saja. Aku merasa terpaksa masuk di SMA itu. Tapi, aku harus berbesar hati karena kalau aku tidak mau sekolah di sini, orang tuaku akan memindahkanku ke kota lain. Jadi, aku berusaha menyesuaikan diriku dengan sekolah ini.

Saat awal-awal masuk, beberapa guru ternyata adalah alumni dari SMA itu. Mereka bercerita kepadaku kalau mereka juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Mereka ingin masuk ke sekolah impian mereka, tapi mereka gagal. Akhirnya mereka pun bersekolah di sekolah yang bukan prioritas mereka waktu itu. Namun, mereka tidak mau dicap sebagai murid yang buruk hanya karena tidak masuk di sekolah favorit. Kualitas murid tidak diukur hanya berdasarkan dia sekolah di mana, juga keberhasilan tidak selalu bisa diukur berdasarkan lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka belajar dengan giat dan mengandalkan Tuhan hingga mereka menjadi siswa yang bisa dibilang berprestasi sangat baik dan tidak kalah dengan lulusan dari sekolah-sekolah favorit lainnya. Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, mereka pun memutuskan kembali mengajar di SMA yang dulu mereka pernah belajar di dalamnya.

Sejujurnya, kisah yang dituturkan guruku itu tidak begitu membuatku bersemangat buat rajin belajar. Namun, seiring waktu aku merasa tidak mau diperbudak terus-terusan oleh rasa pesimis, kecil hati, dan malas. Saat aku merenung, aku pun teringat firman Tuhan dari Amsal 1:7 yang berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Firman itu menegurku. Aku belajar untuk mempraktikkan firman itu dalam kehidupanku. Hingga akhirnya, aku bisa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah itu. Aku merasa nyaman dengan lingkungan sekolahku yang bersahabat, bersama guru-guruku yang tak hentinya menasihati kami para murid untuk mengerti dan mempraktikkan firman Tuhan.

Sekarang aku sudah duduk di kelas XI SMA dan aku bisa mengatakan bahwa aku betah dengan sekolahku. Teman-temanku di sini sangat baik, juga guru-gurunya. Mereka menyenangkan dan tulus berteman denganku. Kupikir kelas seperti ini hanya aku dapatkan jika aku sekolah di sini.

Puji Tuhan, saat hasil ujian dibagikan, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku bersyukur dan tak lagi merasa kecewa. Aku sadar bahwa apa yang kuinginkan belum tentu menjadi kehendak Tuhan. Tapi, semua hal yang Tuhan kehendaki adalah yang terbaik buat hidupku.

Aku percaya bahwa hal ini terjadi bukan secara kebetulan, tapi Tuhan sudah rencanakan supaya aku belajar bagaimana percaya kepada-Nya dalam setiap kejadian yang Dia izinkan terjadi dan juga tentang bagaimana aku bisa bersyukur meskipun aku mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Dan, yang terpenting adalah aku belajar bahwa di balik setiap peristiwa yang terjadi atas diriku, Tuhan punya rencana besar.

Sobatku, setiap kita pasti punya keinginan untuk masa depan kita. Tapi, ingatlah satu hal bahwa keinginan kita belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan tetapi kehendak-Nya sudah pasti yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan memberi apa yang kita benar-benar butuhkan, bukan apa yang kita inginkan semata.

Tuhan memiliki rencana untuk setiap pribadi kita di masa yang akan datang. Oleh karena itu, janganlah kita khawatir akan hari esok karena Tuhan yang menyiapkan semuanya, seperti yang tertulis dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Allah berdaulat penuh atas kehidupan kita, jadi percayalah pada-Nya dengan segenap hati.

Baca Juga:

Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Dia Memelihara Keluargaku

Delapan tahun lalu keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Masalah demi masalah datang menghampiri kami, dan kami merasa berada di titik terendah dalam hidup, tapi Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kami.