Posts

Siapakah Yesus bagi Kita? Sebuah Perenungan Menyambut Natal

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Pernahkah kamu mendengar nama Joe Biden, Xi Jinping, Camilla Rothe, Jennifer Hudson, dan Sundar Pichai? Mereka ialah segelintir dari 100 orang terpopuler di tahun 2020 versi majalah Time. Figur-figur ini dianggap memberi pengaruh besar pada masyarakat di generasi mereka. Contohnya, Camila Rothe. Pada Januari 2020 lalu spesialis penyakit menular di Munich itu menjadi salah satu orang pertama yang mendokumentasikan infeksi Covid-19 tanpa gejala. Laporannya itu pertama kali disambut dengan ketidakpercayaan, bahkan diremehkan. Tetapi, setelah banyak pasien mengalami kondisi tanpa gejala, laporan Camelia pun diterima secara luas. Kini, adanya Orang Tanpa Gejala (OTG) menjadi salah satu tantangan terbesar dalam perang melawan pandemi corona. Temuan Camilia itu telah menyelamatkan banyak jiwa. Menurut TIME, jika saja banyak orang mau mendengarkan dia sebelumnya, penyebaran lebih besar mungkin akan bisa dicegah.

Daftar 100 nama orang terpopuler berubah tiap tahun. Ada yang bertahan, ada pula yang terlempar ke luar. Namun, dari sekian banyak nama populer di setiap zaman di dunia ini, ada satu figur yang namanya selalu menempati posisi tertinggi dalam daftar orang terpopuler di lebih dari 2000 tahun terakhir. Namanya Yesus Kristus. Dailymail pada 15 Desember 2013 lalu melaporkan, Yesus adalah orang paling populer dan terpenting dalam sejarah menurut program pencarian internet baru. Nama Yesus disusul Napoleon, ada Aristoteles di peringkat 8, dan seterusnya. Software program yang dikembangkan di Amerika Serikat itu bekerja dengan cara menjelajahi internet untuk mencari pendapat warganet di seluruh dunia tentang orang-orang terkenal, dengan menggunakan algoritma khusus untuk melihat seberapa pentingnya pengaruh figur-figur populer itu hingga 200 tahun setelah kematian mereka

Yesus, Dia bukan hanya populer hingga 200 tahun setelah wafat-Nya, tetapi hingga kini pun nama-Nya masih dibicarakan orang. Putra Maria itu selama ribuan tahun telah menjadi titik tengkar sekaligus titik perdamaian. Selain karena popularitas-Nya, yang menjadi salah satu alasanku menulis tentang Dia adalah keinginan menjawab pertanyaan para sahabat kepadaku, “Mengapa kamu beragama Kristiani?” Memang, dalam pergaulan di antara kawan yang multi agama dan ras, aku jarang membicarakan tentang imanku, kecuali kepada mereka yang bertanya. Pertanyaan-pertanyaan itu pun tak jarang muncul dalam kesempatan atau waktu yang sangat singkat, sehingga untuk menjawabnya pun tidak bisa berlama-lama.

Tulisan ini kubuat bagi para sahabat yang pernah bertanya tentang alasan mengapa aku percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, juga bagi kita yang ingin sedikit “me-refresh” ingatannya tentang sosok Yesus. Isi dari tulisan ini tidak ada yang baru. Aku hanya mengulangnya saja. Ada banyak buku dan artikel yang mengulas tentang Yesus dari berbagai tradisi, baik Katolik, Ortodoks, Protestan maupun Pentakosta/Karismatik. Semoga setelah tulisan ini dimuat, akan ada diskusi-diskusi lanjutan yang menarik dengan sahabat-sahabatku itu, seperti yang sudah-sudah.

Siapakah Yesus?

Pertanyaan tentang figur Yesus sudah muncul sejak 2000 tahun lalu. Banyak orang yang keliru menafsirkan identitas Yesus sesungguhnya. Ada yang mengira Dia Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Dia nabi Elia, nabi Yeremia atau salah seorang dari para nabi (Matius 16:14). Di tengah simpang-siurnya anggapan orang tentang siapa Yesus sesungguhnya, Dia bertanya kepada para murid-Nya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Lukas 9:20; Matius 16:15). Yesus bertanya kepada pengikut-pengikut-Nya yang sudah sekian lama melihat karya dan mendengar pengajaran-Nya secara langsung.

Pada waktu Dia mengajukan pertanyaan itu, seolah-olah semua murid-Nya tidak mempunyai jawaban. Tetapi ada satu murid, yaitu Petrus, yang menjawab dengan tegas, “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Matius 16:16). Petrus tahu bahwa Yesus bukanlah Yohanes Pembaptis atau Elia atau seorang nabi di masa lalu. Dia lebih dari sekadar seorang reformator spiritual, lebih dari seorang pembuat mukjizat, lebih dari seorang nabi. Yesus adalah Kristus, Mesias. Anak Allah yang hidup.

Mesias

Kata “Mesias” berasal dari bahasa Ibrani, “Mashiach,” artinya “yang diurapi” atau “yang terpilih.” Pada zaman Perjanjian Lama, nabi, imam, dan raja diurapi dengan minyak ketika mereka ditetapkan untuk posisi dengan tanggung jawab ini. Urapan adalah tanda bahwa Tuhan telah memilih mereka dan menguduskan mereka untuk pekerjaan yang Dia berikan kepada mereka. Christos (Kristus) adalah padanan Yunani dari istilah Ibrani, Mesias (Yohanes 1:41). Ketika Andreas berkenalan dengan Yesus, hal pertama yang ia lakukan adalah menemui saudaranya, Simon (Petrus) dan memberi tahu dia tentang pertemuannya dengan Yesus. Andreas memberi tahu saudaranya bahwa ia telah bertemu Mesias (Kristus), dan Andreas membawa Simon kepada Yesus (Yohanes 1:41).

Ketika dalam Yohanes 1:41 Andreas mengatakan, “Kami telah menemukan Mesias,” ia ingin mengatakan bahwa pengharapan orang-orang Yahudi agar Tuhan mengirim seorang Mesias kini sudah terjawab. Mesias itu adalah Yesus. Komunitas Yahudi telah membaca nubuatan Perjanjian Lama (Yesaya 42:1; 61: 1-3; Mazmur 16, 22; Daniel 9, Dsb) yang berjanji bahwa Tuhan akan mengirimkan seorang penyelamat bagi umat-Nya, dan Andreas ingin mengatakan kepada Simon bahwa Sang Mesias yang dijanjikan itu telah datang.

Namun sayangnya, orang-orang Yahudi salah paham tentang apa yang akan dilakukan Mesias ini. Mereka membaca nubuatan tentang bagaimana Mesias akan mengalahkan musuh-musuh Tuhan dan menganggap bahwa Yesus akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Mereka mengharapkan Mesias untuk mendirikan kerajaan di bumi, di mana mereka akan menjadi penguasanya, bukan yang dikuasai. Anggapan Mesianis politis dan militeristis ini menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi mengabaikan peran spiritual Mesias sebagai pembebasan dari dosa dan Setan. Mereka tidak memahami bahwa kerajaan Sang Mesias bersifat spiritual, bukan politik. Hasilnya, hanya sedikit orang Yahudi yang bersedia menerima Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, sebab Dia tidak sesuai dengan pemikiran dan harapan mereka tentang apa yang akan dilakukan Mesias.

Injil berulang kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias—Yang dipilih oleh Tuhan dan diurapi oleh-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa (Matius 16:16; Lukas 4: 17-21; Yohanes 1: 40-49; 4:25, 26). Setelah kebangkitan Yesus, Petrus mengingatkan orang-orang yang mendengarkan khotbahnya tentang “Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia berkeliling sambil berkeliling baik-baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, karena Allah menyertai Dia” (Kisah Para Rasul 10:38, 39). Yesus sendiri mengaku sebagai Mesias yang dijanjikan. Ketika seorang wanita di sebuah sumur di Samaria berkata kepada Yesus, “Aku tahu bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami. Kata Yesus kepadanya: Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (Yohanes 4:25, 26).

Dari apa yang Injil laporkan tampak jelas, warta kepada para pembaca bahwa Yesus sebagai Mesias begitu kuat. Seperti kata Yohanes, “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yohanes 20:31). Yesus sebagai Mesias berarti Dia adalah yang dipilih Tuhan, yang diurapi untuk datang membebaskan manusia dari dosa dan Setan. Sebagai Mesias, Dia menawarkan pengampunan atas dosa-dosa manusia. Dia menjanjikan keselamatan dan tempat di kerajaan-Nya yang akan datang. “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu,… dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:28, 29).

Anak Allah

Istilah ini sering menimbulkan kesalahpahaman. “Anak Allah” merupakan istilah yang tidak bisa ditafsirkan tanpa kacamata teologi Kristiani. Yesus bukan Anak Allah dalam konteks hubungan antara ayah dan anak. Tentu, Allah tidak menikah kemudian memiliki seorang anak. Yesus sebagai Anak Allah perlu dipahami dalam konteks Dia sebagai Allah yang mengambil rupa manusia (Yohanes 1:1, 14). Yesus sebagai Anak Allah artinya, Ia dikandung oleh Roh Kudus, bukan hasil hubungan laki-laki dengan perempuan. Lukas 1:35 mengatakan, “Jawab malaikat itu kepadanya: ‘Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.’”

Dalam konteks zaman itu, frasa ”anak manusia” digunakan untuk merujuk seorang manusia. Jadi, “anak manusia” berarti manusia, dan “Anak Allah” berarti Allah itu sendiri. Pada waktu Yesus dihakimi para pemimpin Yahudi, Imam Agung memerintahkan Yesus, “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak” (Matius 26:63). “Engkau telah mengatakannya,” Yesus menjawabnya. “Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit” (Matius 26:64). Para pemimpin Yahudi merespons dengan menuduh bahwa Yesus telah menghujat Allah (Matius 26:65-66). Kemudian, di hadapan Pontius Pilatus, “Jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya: ‘Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah'” (Yohanes 19:7).

Mengapa mengklaim sebagai Anak Allah dianggap penghujatan dan layak dihukum mati? Para pemimpin Yahudi tentu mengerti apa yang dimaksud Yesus dengan ungkapan “Anak Allah.” Menjadi Anak Allah adalah sama dengan Allah. Klaim yang menyamai natur Allah adalah sama dengan menjadi Allah, dan itu dianggap penghujatan bagi para pemimpin Yahudi, sehingga mereka menuntut kematian Yesus sesuai dengan Imamat 24:15. Ibrani 1:3 mengungkapkan hal ini secara jelas, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”

Mengapa Allah-Manusia?

Dari uraian di atas dapat kita pahami dwinatur Yesus, yaitu sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia. Di dalam Yohanes 1:14, kita mengetahui bahwa melalui sabda, Allah menyingkapkan diri-Nya dengan berbagai-bagai cara sampai dengan puncaknya, yaitu inkarnasi-Nya menjadi manusia Yesus. Namun pertanyaannya, “Mengapa Allah-manusia?” Atau, “Mengapa Person ilahi dengan hakikat Allah (Sang Putra) harus menambahkan hakikat kemanusiaan menjadi hakikat-Nya juga?” Jika Dia Allah yang Mahakuasa, mengapa inkarnasi menjadi satu-satunya pilihan-Nya untuk menyatakan karya penyelamatan?

“Mengapa Allah-manusia?” Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan umum. Tidak juga dialamatkan kepada pikiran umum. Mengapa Allah (mengambil rupa) manusia (Cur Deus Homo) adalah pergumulan khas komunitas Kristen, yaitu orang-orang yang mendapat sapaan intim dari Sang Pencipta. Ini pertanyaan untuk kita. Di dalam konteks inilah, Cur Deus Homo sejak awal memang tidak diarahkan kepada mereka yang tidak percaya, apa lagi sekadar untuk memuaskan dahaga intelektual mereka.

Secara doktrinal, banyak usaha telah dilakukan dalam konteks teologis dan filosofis untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Solusi yang ditawarkan Anselmus (bahwa iman akan menuntun kepada pengertian) sudah lama berlalu dan tidak membuahkan hasil yang manis, bahkan masih menyisakan pertanyaan. Cur Deus Homo adalah suatu pertanyaan yang menuntut respons, ketimbang jawaban. “Mengapa Allah mengambil rupa manusia” bukanlah pertanyaan yang mengetuk pintu kognitif, melainkan menggedor-gedor gerbang hati yang berkarat.

Secara teologis, Cur Deus Homo dipahami sebagai pertanyaan batiniah manusia, yang merupakan respons terhadap panggilan dan tindakan Allah yang menantang, karena Ia telah mengutus Putra-Nya ke dalam dunia. Tindakan Allah ini menuntut suatu respons yang penting, sehingga inti dari permasalahannya bukan terletak pada pertanyaan “Bagaimana?” melainkan “Mengapa?” dalam keperluan ontologis dan apriori. Aku percaya, filsafat analitis menyediakan beberapa titik terang bagi kita untuk memahami kata “Mengapa” dalam pertanyaan ini.

Kata “Mengapa” biasanya mengandung dua aspek umum, yaitu kepedulian pragmatis dan keperluan ontologis (mencari hakikat). Menerapkan orientasi pemikiran yang terarah pada pertanyaan teologis tentang Cur Deus Homo, sadar atau tidak sadar, kita selalu memusatkan perhatian kepada orang yang bertanya. Dalam hal ini, pertanyaan teologis menjadi pertanyaan antropologis, sehingga doktrin Kristen hanya akan melayani minat para pemercaya dan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sang Putra menjadi manusia dan berdiam di antara manusia karena kemauan Bapa-Nya (Yohanes 20:21). Tuntutan Allah adalah menghukum manusia berdosa, karena upah dosa adalah maut (Roma. 6:23), tetapi Dia rela mengutus Putra-Nya menggantikan manusia untuk menerima hukuman. Singkatnya, dalam drama ini Yesus Kristus harus memenuhi dua persyaratan sebagai Pengganti (penebus manusia berdosa): Pertama, Ia adalah manusia; Kedua, Ia tidak berdosa. Dan Ia memenuhinya.

Penjelasan di atas cukup memadai, namun pertanyaan “Mengapa Allah-manusia?” tahun demi tahun akan terus mewarnai hati orang percaya. Orang Kristiani yang rata-rata tidak akan menanyakannya, hanya yang bergumul serius dengan imannya yang melakukannya. Orang Kristiani sejati berkomitmen penuh menerima kedatangan-Nya sebagai Mesias dan Anak Allah, Raja di atas segala raja, dan selalu mengingat “Kita hidup oleh iman kepada Putra Allah yang mengasihi kita dan memberikan diri-Nya bagi kita.” (Galatia 2:20).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman.

Mengapa Natal Tidak Masuk Akal

Penulis: Leslie Koh
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Christmas Doesn’t Make Sense

Why-Christmas-Does-Not-Make-Sense

Sebenarnya, tidak banyak unsur Natal yang masuk akal. Serius! Coba pikirkan baik-baik beberapa hal berikut ini:

1. Allah menjadi … manusia.

Mengapa Allah sampai mau menjadi manusia? Mengapa Pribadi yang memiliki kuasa mutlak atas semesta mau hidup sebagai makhluk fana yang lemah dan serba terbatas? Mengapa Dia sampai rela merendahkan diri untuk menjadi sama seperti kita?

Namun, tepat seperti itulah yang dilakukan Yesus Kristus ketika Dia turun ke bumi. Sekalipun Dia adalah Allah, Dia memilih untuk dilahirkan sebagai bayi yang tidak berdaya, menjalani masa-masa remaja yang tidak mudah, mempelajari usaha ayahnya sebagai seorang tukang kayu (ini setelah Dia sendiri menciptakan alam semesta), dan berusaha meyakinkan orang-orang sebangsanya bahwa Dia adalah Juruselamat mereka, dan Juruselamat seluruh dunia. Mengapa Dia harus melakukan tindakan yang tidak masuk akal semacam itu? Mengapa tidak membereskan semuanya dari sorga saja?, tidak perlu turun ke bumi sebagai manusia?

Jawabannya kupikir ada dalam satu kata: Kasih. Untuk menyelamatkan dan menebus manusia dari hukuman yang layak kita terima, Yesus harus menjadi seorang manusia. Hanya dengan hidup sebagai manusia dan mati sebagai manusia, pengurbanan Yesus dapat mewakili manusia, sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan dari kematian kekal. Ini berarti bahwa Yesus harus rela merendahkan diri-Nya untuk sementara waktu, terlahir dan menjalani hidup sebagai manusia yang fana. Dan, Dia benar-benar melakukannya, karena Dia mengasihi kita. Itulah cerita Natal. Tidak masuk akal—namun, cinta sejati memang tidak pernah masuk akal.

2. Anak Allah dilahirkan … di dalam sebuah palungan

Jika seorang pangeran akan dilahirkan pada hari ini (sama halnya pada abad pertama), di mana menurutmu ia akan dilahirkan? Sambutan seperti apa yang akan ia dapatkan? Sudah pasti di rumah sakit terbaik, diliput media, disambut segenap warga kerajaan yang dipimpin ayahnya. Ingatkah kamu dengan kelahiran Pangeran George di Kerajaan Inggris? Putra dari Pangeran William dan Putri Kate itu mendapatkan perhatian publik yang luar biasa! Kerumunan massa berdiri di luar rumah sakit, berharap dapat melihat sekilas bayi kerajaan itu.

Namun, Yesus dilahirkan di dalam palungan kotor dan disambut oleh kawanan ternak. Tidak ada kerumunan massa yang mengagumi-Nya, tidak ada sambutan yang meriah bagi-Nya. Yang pertama-tama berkunjung adalah para gembala sederhana. Situasinya mungkin bisa disamakan dengan seorang pangeran yang dilahirkan di garasi kotor, penuh dengan mobil-mobil yang sedang dalam proses perbaikan, dan beberapa tukang reparasi menjenguknya sebentar setelah jam kerja mereka usai. Yang kita bicarakan di sini adalah kelahiran Anak Allah. Sungguh mengherankan bahwa Allah sendiri merelakan Putra-Nya yang tunggal dilahirkan di dalam kondisi yang sangat sederhana.

Mengapa? Karena, sebagaimana catatan Alkitab, Yesus adalah Raja yang lemah lembut dan rendah hati, yang memasuki Yerusalem bukan dengan kereta kencana, tetapi mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban muda (Matius 21:5). Yesus tidak menghabiskan hidup-Nya untuk melobi para tokoh masyarakat dan memamerkan wibawa-Nya di depan warga sebagaimana layaknya sikap yang biasa ditunjukkan para penguasa. Dia bergaul dengan orang-orang yang miskin, yang status sosialnya rendah, dan yang terburuk di antara manusia berdosa. Dia adalah Juruselamat yang rela memberi diri dan Raja yang melayani, Pribadi yang datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45).

Jelas ini bukan gambaran sosok Anak Allah yang akan dibayangkan kebanyakan orang. Seorang raja besar yang mau merendahkan diri untuk datang dalam situasi yang serba kurang, dan lebih tertarik berinteraksi dengan orang-orang biasa daripada orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat? Sungguh tidak masuk akal.

3. Yesus lahir ke dalam dunia … untuk mati.

Perhatikanlah wajah para orangtua ketika memandangi bayi mereka yang baru lahir. Umumnya kita akan melihat wajah-wajah yang penuh dengan rasa bangga, sukacita, dan harapan agar si kecil panjang umur dan hidup makmur. Satu hal yang jelas tidak diinginkan oleh orangtua mana pun adalah melihat anaknya meninggal. Namun, ketika Allah melihat Putra-Nya dilahirkan di dalam palungan pada saat Natal, Dia tahu bahwa bayi ini dilahirkan dengan tujuan untuk mati pada suatu hari nanti, dengan cara yang sangat mengerikan.

Bayangkanlah bagaimana Yesus menjalani hari-hari-Nya sebagai seorang anak yang tumbuh besar, mempelajari keahlian pertukangan ayahnya, kemudian mulai memilih dan melatih para murid. Bila kebanyakan orang memiliki harapan untuk masa depan yang cerah dan bahagia, masa depan yang menanti-Nya adalah kematian di usia muda, penghinaan dan penderitaan di kayu salib. Namun, Yesus sendiri tidak pernah ragu dengan tujuan hidup-Nya (Markus 8:31); Dia bahkan mengingatkan para murid-Nya tentang apa yang sudah pasti akan menimpa-Nya.

Hari ini kita merayakan Natal dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Namun, sesungguhnya peristiwa Natal yang terjadi di sudut kota Betlehem hari itu adalah peristiwa yang manis sekaligus pahit! Sesuatu yang ironis, bukan? Membuat kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya kita rayakan pada hari Natal. Peristiwa kelahiran yang menakjubkan 2000 tahun silam itu akan membawa kita melihat sebuah peristiwa kematian yang tidak kalah menakjubkannya 30 tahun kemudian. Meski demikian, ada alasan yang baik bagi kita untuk bersukacita di hari Natal …. (Teruslah membaca.)

4. Untuk kesalahan yang kita perbuat, kita mendapat … keselamatan.

Mudah saja mengingat apa sebenarnya Natal itu: Yesus, Sang Anak Allah telah lahir, supaya kita dapat diselamatkan. Namun, kita mungkin sering melupakan satu hal yang penting: kita sebenarnya tidak layak diselamatkan. Kita bukanlah korban kejahatan yang tidak bersalah, menanti kematian tanpa daya, dan menantikan datangnya seorang penyelamat. Kita adalah orang-orang yang bersalah, layak menerima dan telah divonis hukuman mati. Tidak ada alasan yang cukup baik untuk meluputkan kita dari hukuman itu.

Namun, Allah mengaruniakan Anak-Nya ke dalam dunia untuk menyelamatkan kita. Dalam skenario film, mungkin ini seperti mengirimkan seorang pahlawan hebat, yang mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan sekelompok pembunuh yang telah divonis mati padahal para pembunuh itu masih saja merasa tidak melakukan kesalahan. Sekarang bayangkanlah, ayah dari sang pahlawan, setelah mengorbankan putranya bagi para penjahat itu, memberi mereka tawaran untuk menjadi anaknya, supaya mereka juga dapat menikmati segala harta yang dimilikinya.

Sebuah skenario yang tidak masuk akal. Namun, itulah yang terjadi. Allah memilih untuk memberikan keselamatan bagi kita yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Dan, bukan hanya itu, Dia kemudian memberikan kita kesempatan luar biasa untuk menjadi anak-anak-Nya (Efesus 2:4-6). Jelas sekali betapa tidak masuk akalnya Natal itu.

5. Natal merayakan kelahiran Yesus … dan kitalah yang mendapat hadiah.

Setiap bulan Desember, kita mengadakan berbagai acara istimewa untuk merayakan kelahiran Yesus—lalu kita saling bertukar hadiah. Kalau dipikir-pikir, itu agak aneh, bukan? Kelahiran siapa yang sebenarnya sedang kita rayakan?

Ironisnya, hadiah terbesar yang diberikan bukanlah hadiah untuk Yesus yang kelahiran-Nya kita rayakan, tetapi justru hadiah dari Dia untuk kita. Hadiah apakah itu? Hadiah keselamatan yang sungguh menakjubkan: Kita dibebaskan dari hukuman kematian kekal yang selayaknya kita terima, diampuni dari segala kesalahan kita, dan dikaruniakan kehidupan kekal bersama Yesus. Itulah yang dihadiahkan kepada kita pada hari kelahiran-Nya. Hadiah yang diberikan-Nya dengan penuh sukacita.

Ya, Natal memang tidak masuk akal … dan kita bersyukur untuk itu!