Posts

Jadi Orang Kristen, Tapi Ambisius… Memangnya Boleh?

Oleh Andrew Laird
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Okay For A Christian To Be Ambitious?

Ambisi.

Inilah kata yang menimbulkan diskusi di kalangan orang Kristen. Kita sering mengartikan ‘ambisi’ sebagai sifat yang ‘menghalalkan segala cara’, ‘tusuk lawanmu dari belakang’, terkhusus kalau kita bicara soal pekerjaan. Kita pasti tidak asing dengan sosok teman atau kenalan yang berwatak keras dan mati-matian demi mewujudkan apa yang mereka mau. Atau mungkin, kita pernah jadi orang seperti itu!

Tapi.. kalau kebalikan dari ambisius, bukannya itu juga tidak baik? Bayangkan kamu tidak punya gairah, semangat, tujuan. Hidup cuma sekadar hidup. Cara seperti ini juga rasanya bukan pilihan yang baik.

Jadi… apakah ada tempat bagi ambisi dalam hidup Kristen? Jika ada, seperti apa bentuknya? Dan kalau kita tidak punya ambisi, apakah itu sama buruknya seperti prinsip ambisius yang ‘menghalalkan segala cara’?

Syukurlah, Alkitab tidak meninggalkan kita sendirian dalam menggumuli pertanyaan ini.

Ada dua tipe ambisi

Pada tingkatan yang paling dasar, ambisi berarti berjuang keras untuk meraih sesuatu. Masalah muncul ketika pengejaran itu semata-mata hanya untuk tujuan dan kepuasan kita. Jenis ambisi ini seringkali mewujud ke dalam bentuk manipulasi dan menyerang siapa pun yang menghalangi keinginan kita (Yakobus 3:16).

Inilah tipe ambisi yang disebut Alkitab sebagai “ambisi egois”, dan ini sudah jelas salah bagi orang Kristen. Contohnya, dalam surat Rasul Paulus untuk jemaat Filipi, dia berbicara tentang beberapa orang yang mengotbahkan Kristus karena “ambisi yang mementingkan diri sendiri” (Filipi 1:17). Paulus tidak terkesan dengan motivasi mereka. Betul, mungkin mereka mengabarkan Kristus, tetapi mereka mengutamakan kepentingan pribadi, “…dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara” (ayat 17). Mereka ingin pujian manusia (mereka iri karena Paulus mendapatkannya), jadi rasa egoislah yang menggerakkan mereka.

Kemudian, di surat yang sama, Paulus mendorong pembacanya agar tidak membiarkan diri digerakkan oleh ‘ambisi egois’, tetapi mengejar kerendahan hati (Filipi 2:3).

Tetapi…semua ini tidak berarti ambisi itu salah. Jika ada satu orang dalam Alkitab yang sungguh ambisius, dialah Rasul Paulus! Ambisinya terlihat jelas ketika dia bicara tentang mengejar relasi yang lebih dalam dengan Kristus, menekankan dan berusaha keras untuk mengejar apa yang di depan (Filipi 3:12,13) untuk memperoleh ‘hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:14). Ini bukanlah bahasa yang dituturkan oleh seorang dengan ambisi yang rendah! Kita bisa melihat semangat yang sama dalam surat-surat Paulus lainnya di mana dia mengupayakan segala cara memberitakan Injil, berapa pun harga yang harus dia bayar.

Mengejar ambisi yang benar

Jenis ambisi yang kita lihat dalam Paulus mungkin paling tepat kita sebut sebagai ‘ambisi yang saleh’. Tidak seperti ambisi egois, inilah jenis ambisi yang digerakkan atas kepentingan orang lain, dan juga Tuhan. Inilah ambisi yang rendah hati; dengan semangat bekerja keras untuk meraih sesuatu, tapi demi kepentingan orang lain, bukan diri sendiri. Mungkin inilah Paulus mengontraskan ambisi yang egois dalam Filipi 2:3 dengan kerendahan hati. Amy Dimarcangelo, seorang penulis menulis begini di artikelnya:

“Bagaimana aku bisa tahu kalau ambisiku itu ambisi yang benar dan saleh?” Tidak ada yang salah dengan berambisi, “selama keinginan dan tekad itu dibungkus dalam kemuliaan Tuhan, bukan kita sendiri.”

Apa artinya ini semua bagi orang Kristen di ladang pelayanannya masing-masing? Kita boleh berambisi…demi orang lain! Bekerja keras, belajar hal baru, mendengar podcast, membaca buku–lakukan semua itu bukan cuma untuk diri sendiri, tapi agar kita dapat meningkatkan kualitas diri untuk melayani Tuhan lewat pekerjaan kita, agar orang lain turut diberkati.

Cara pikir ini mungkin terkesan radikal, terkhusus apabila sebelumnya kita hanya berpikir melakukan semuanya hanya demi kepentingan kita sendiri.

Namun, Allah dalam hikmat-Nya yang besar memberi kita hasrat (juga kemampuan, talenta, dan pengetahuan) yang menjadi sukacita kita untuk menggunakannya demi kepentingan orang lain. Allah bukan pembunuh sukacita; Dia rindu kita bersukacita tetapi sukacita terbesar hanya kita temukan ketika kita menggunakan apa yang kita punya bagi orang lain, bukan diri sendiri. Mengapa Yesus mati di kayu salib (tindakan kasih terbesar dari ambisi yang tidak egois)? “Yang tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia” (Ibrani 12:2). Inilah yang terdengar aneh, tetapi paradoks yang paling indah dalam iman Kristen—dalam memberi kita menemukan kepuasan dan sukacita.

Penting untuk kita ingat bahwa motivasi kita selalu campur aduk. Memang, tugas yang sama yang dapat dilakukan untuk kebaikan orang lain mungkin juga dilakukan karena mementingkan diri sendiri (perhatikan contoh yang diberikan Paulus tentang mereka yang mengkhotbahkan Kristus, “karena ambisi yang mementingkan diri”!).

Adalah baik jika kita waspada dan bertanya pada diri sendiri dari waktu ke waktu. “Apa yang menggerakkanku? Egoisme atau bukan? Tapi, hanya karena motivasi kita seringkali bercampur aduk dan tidak murni, ini tidak berarti kita tidak boleh memiliki ambisi.. melainkan berdoalah dengan tekun agar Tuhan menolongmu mengembangkan ambisimu menjadi sesuatu yang berfokus pada orang lain, bukan cuma diri sendiri.

Hindari hidup yang tidak berambisi

Tapi… bagaimana dengan pertanyaan final ini: Kalau aku gak punya ambisi, apakah itu seburuk orang yang punya prinsip ambisi ‘menghalalkan segala cara’?

Seringnya sih iya. Tapi kita butuh klarifikasi yang lebih penting. Apa yang orang lain lihat sebagai ‘kurang berambisi’ bisa jadi juga bentuk kepuasan atas apa yang Tuhan telah berikan dan tempatkan kita selama ini. Jika kita punya kepuasan seperti itu, puji Tuhan! Tapi, itu tidak berarti kita harus kekurangan ambisi. Kepuasan dan ambisi bisa (dan harus) berjalan bersandingan. Dalam kepuasanmu kamu bisa tetap berambisi untuk orang-orang di sekitarmu. Lihat apa yang jadi kebutuhan mereka dan lakukan sesuatu untuk mendukung mereka.

Namun, kekurangan ambisi dalam konteks Alkitab dapat juga dideskripsikan sebagai kemalasan. Si pemalas dalam Amsal sering dijadikan contoh cara hidup yang tidak patut kita tiru (Amsal 6:9; 13:4, 15:19, 26:15). Tak ada hal yang memuliakan Tuhan dari menyia-nyiakan kemampuan yang telah Dia berikan kepada kita, yang seharusnya bisa kita gunakan buat orang lain.

Di artikel yang sama, Amy Dimarcangelo juga menulis: “Orang yang pasif, yang menghindari berusaha sendiri karena mereka ‘percaya Tuhan’ mungkin terdengar rohani, tapi bisa jadi itu hanya dalih dari kemalasan dan kurang tanggung jawab. Mempercayai Tuhan untuk hasil panen yang baik tidak akan berarti apa pun kalau kamu tidak mau menyirami dan merawat benihmu.”

Maka jadilah ambisius bagi Allah! Pakai karunia, kemampuan, talenta, dan kesempatan yang Dia berikan padamu. Lalu, dengan cara kreatif dan bersemangat, gunakan itu semua untuk kebaikan orang lain dan kemuliaan-Nya.

Ketika Aku Menemukan Berhala dalam Diriku

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat mengapresiasi prestasi, terutama dalam bidang akademis. Sejak kecil, aku didorong untuk rajin belajar, mengikuti kompetisi-kompetisi, dan tampil percaya diri di depan publik.

Satu per satu piala dan sertifikat kukumpulkan. Inilah yang menjadi bahan bakarku untuk mengejar prestasi-prestasi lainnya. Setelah aku lulus SMA dan berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri impianku, keinginan untuk menjadi yang terbaik dan berprestasi terus melekat dalam pikiranku. Aku memutuskan bergabung dengan organisasi debat hukum di kampusku dan mengikuti kompetisi debat pertamaku pada semester dua. Puji Tuhan aku memenangkan debat tersebut. Kemenangan itu melahirkan ambisi dalam diriku untuk memenangkan lebih banyak lagi kompetisi dan menjadi mahasiswa berprestasi. Kupikir tidak ada salahnya mengejar ambisi-ambisi pribadi. Toh, Tuhan juga dimuliakan di dalamnya. Tuhan pasti bangga jika anak-Nya menjadi yang terbaik.

Aku mengikuti kompetisi debat berikutnya ketika aku berada di semester tiga. Awalnya aku yakin proses persiapan menghadapi kompetisi ini akan lebih mudah karena aku sudah berpengalaman sebelumnya. Namun, dugaanku salah. Suatu ketika, saat aku tengah berlatih debat, aku merasa tidak bisa berpikir, seperti seorang penulis yang kehilangan ide untuk tulisannya. Pikiranku buntu.

Selama satu bulan persiapan, aku tidak punya waktu istirahat yang cukup, apalagi saat teduh. Aku merasa sangat kesepian dan kelelahan. Di tengah kebuntuan pikiran ini, secara spontan aku berkata dalam hati, “Ya Tuhan, aku benar-benar tidak bisa berpikir.” Aku tersentak. Setelah beberapa waktu, rasanya inilah kali pertama aku benar-benar memanggil Tuhan. Selama ini aku hanya menyibukkan diri dengan persiapan kompetisi dan aku merasa jauh dari Tuhan. Meski aku sempat berdoa, kupikir doa-doa itu hanya formalitas belaka tanpa adanya kerinduan untuk sungguh-sungguh berbicara dengan Tuhan dan melibatkan-Nya dalam proses hidupku.

Di titik ini, aku sadar bahwa aku telah mengandalkan kekuatanku sendiri. “Untuk siapa aku mengerjakan semua ini? Kalau aku mengerjakannya untuk Tuhan, kalau memang Tuhan berkehendak bagiku, mengapa aku melupakan-Nya di sepanjang proses ini?” pikiranku kembali bertanya.

Hari itu Tuhan telah menegurku dan aku merespons-Nya dengan berdoa memohon belas kasihan-Nya supaya aku dapat melewati kompetisi yang akan kuhadapi. Hari H kompetisi pun tiba. Tim universitas kami berhasil melewati babak penyisihan dan tiba di babak semifinal. Peluang memenangkan kompetisi semakin besar. Aku berdoa memohon Tuhan untuk sekali lagi memberiku kemenangan. Namun, ketika pengumuman semifinal, tim universitas kami mendapat selisih poin tipis. Tim kami kalah dan pikiranku mendadak kosong. Sayup-sayup dalam kepalaku seperti diputar lagu Jesus at the center (Israel Houghton) pada bagian:

From my heart to the Heavens,
Jesus be the center
It’s all about You
Yes it’s all about You

Refrain lagu ini mengatakan bahwa pusat dari segalanya adalah Yesus. Segala yang kita lakukan seharusnya adalah tentang Yesus. Lantas, aku sadar bahwa sejak awal aku ikut kompetisi ini—bahkan sejak aku punya ambisi untuk jadi mahasiswa berprestasi—semuanya adalah tentang diriku sendiri. Aku ingin orang-orang mengakuiku sebagai orang yang berprestasi dan hebat. Tuhan memang bisa dimuliakan ketika anak-Nya jadi yang terbaik, tapi jauh dalam diriku, aku tahu bahwa aku tidak mempersembahkan diriku dan pencapaianku bagi kemuliaan Allah, melainkan kebanggaan diriku semata. Hatiku hancur. Aku merasa hina dan sombong. Kekalahan ini menjadi titik balik dalam hidupku di mana akhirnya aku membuang semua ambisi-ambisi kosong yang kukejar dan pertahankan selama ini dan memutuskan hidup menaati kehendak-Nya.

“Apa yang mengendalikan hidup kita disebut tuan kita. Orang yang mencari kekuasaan dikendalikan oleh kekuasaan. Orang yang mencari penerimaan dikendalikan oleh orang-orang yang ingin dia senangkan. Kita tidak bisa mengendalikan hidup kita sendiri. Kita dikendalikan oleh tuan atas hidup kita” (Rebecca Mainly Pippert, Out of the Saltshaker and Into The World).

Yesus Kristus adalah Pencipta (Kolose 1:16) dan Penebus (1 Petrus 1:18-19). Dialah Tuhan atas hidup kita, satu-satunya Pribadi yang layak untuk mengendalikan hidup kita. Jika ada hal lain yang lebih kita cintai, kejar, dan bahkan mendapatkan makna daripadanya, maka hal itu telah menjadi berhala bagi hidup kita. Berhala manusia tidak lagi berbentuk batu atau patung, namun dapat berupa hal-hal lazim yang ada di sekitar kita: uang, relasi, ambisi, harga diri, dan sebagainya. Inilah bentuk berhala modern yang dapat dengan mudah kita temukan saat ini.

Ketika aku mengejar prestasi demi prestasi dan mengabaikan Tuhan, aku dikendalikan oleh ambisiku. Kebanggaan dan harga diri telah menjadi tuan atas hidupku, menggantikan Yesus Kristus yang seharusnya bertakhta di tempat tertinggi dalam hidupku. Ketika aku mengarahkan hidupku hanya untuk menyenangkan dan memuaskan hasrat hatiku, di sinilah aku sedang menjadikan diriku sendiri sebagai berhala.

Melalui pengalamanku, aku belajar mengenal berhala dalam diriku yang mungkin bahkan tersembunyi dalam diriku sendiri. Pertolongan Roh Kudus di dalam kasih karunia Allah sajalah yang tentunya membuatku mampu mengenal dan menghancurkan berhala tersebut.

Kehadiran berhala dalam hidup kita akan merusak relasi kita dengan Allah, karena Allah tidak akan membiarkan ada ilah lain dalam hidup kita (hukum Taurat yang pertama).

“We were made for God, and until He is or greatest pleasure, all the other pleasure of this life will lead to emptiness” tulis Kyle Idleman dalam bukunya yang berjudul Gods at War. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, sederhananya adalah demikian: “Kita diciptakan untuk Allah. Selain Dia, segala kenikmatan lainnya hanya akan membawa kita kepada kekosongan.”

Hidup dalam berhala hanya akan membawa kita kepada kekosongan, karena tiada Pribadi yang mampu memuaskan kita selain daripada Sang Pencipta, yaitu Allah sendiri. Hanya Dialah Pribadi yang layak menerima semua hormat, cinta, dan ketaatan kita.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Harapan di Tengah Dunia yang Penuh Teror

Serangan bom yang terjadi di kota Surabaya menambah panjang daftar kekerasan, teror, dan duka di negeri kita. Masihkah ada harapan di tengah dunia yang penuh teror ini?

Aku, Ambisiku, dan Rencana Tuhan

Oleh Nana Sagala, Kuala Lumpur

Aku adalah seseorang dengan ambisi selangit. Sejak SMA, aku sudah menyusun timeline yang isinya rencana kehidupanku di masa depan. Aku ingin lulus kuliah tepat empat tahun, memulai karier sebagai konsultan humas selama setahun, setelah itu bekerja di lembaga pemerintahan, atau mengejar beasiswa kuliah di luar negeri. Semua rencana itu kususun dengan rapi berdasarkan urutan tahun.

Ambisiku untuk mewujudkan semua impian itu membuatku jadi seorang yang tidak pernah puas dengan prestasi akademik. Aku mengikuti banyak kompetisi dan juga kegiatan organisasi yang membuat jadwalku begitu padat. Namun, keseharianku yang sibuk itu tidak menjauhkanku dari persekutuan di kampus. Aku mengikuti Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) dan melayani Tuhan selama empat tahun di sana.

Ketika ekspektasiku berbenturan dengan realita

Singkat cerita, impianku untuk lulus tepat waktu dan memulai karier sebagai seorang konsultan humas pun terwujud. Sebagai lulusan pertama di angkatanku yang diterima kerja dengan cepat, tentunya aku pun merasa senang dan jadi semangat bekerja. Namun, pola kerjaku yang begitu menyita waktu, pulang malam dan bekerja saat akhir pekan, membuat orangtuaku kurang setuju. Mereka membujukku untuk mengundurkan diri saja.

Aku menuruti keinginan orangtuaku dengan asumsi targetku untuk bekerja selama setahun pertama menjadi konsultan humas sudah tercapai. Saat itu aku sama sekali tidak merasa khawatir dengan keputusanku untuk keluar dari pekerjaan itu walaupun belum ada perusahaan baru untukku bekerja. Aku begitu percaya diri bahwa bekal pengalaman kerjaku bisa membawaku ke perusahaan yang bagus. Sambil mengisi waktu menganggurku, aku pun mengikuti kursus bahasa Inggris.

Dua bulan pertama mengikuti kursus, aku merasa bahagia karena teman-teman di sana sangat baik. Tapi, setelah kursus berakhir, rasa percaya diriku untuk bisa segera mendapatkan pekerjaan mulai hilang. Sebagai seorang yang sangat aktif saat kuliah dan bekerja dulu, aku pun merasa stres karena tidak melakukan apapun di rumah. Setiap hari aku mengirimkan lamaran kerja ke berbagai perusahaan, dan hampir setiap minggu aku mengikuti proses wawancara. Berbagai tahap rekrutmen sudah kuikuti dan rata-rata sudah mencapai tahapan akhir. Tapi, tak ada satupun yang membawaku sampai pada tanda tangan kontrak.

Situasi semakin pelik karena saat itu adalah masa menjelang Natal dan tahun baru di mana aku akan bertemu dengan keluarga besarku. Saat itu, kakakku mendapatkan beasiswa dan melanjutkan pendidikannya di Amerika. Karena prestasinya itulah kakakku menjadi topik hangat yang sering dibicarakan di keluarga. Ayah dan ibuku mengungkapkan rasa bangga memiliki putri yang menerima beasiswa, tetapi namaku tidak pernah disebutkan dalam cerita mereka.

“Ya Tuhan, kenapa berat sekali? Kenapa aku selalu ditolak? Kenapa momennya bertepatan sekali dengan Natal? Tidak ada sukacita Natal di hatiku karena aku hanya bisa menangis,” keluhku pada Tuhan. Aku pun mencari-cari alasan supaya tidak mengikuti acara kumpul keluarga.

Namun, tak lama berselang, angin segar berhembus. Aku dipanggil wawancara oleh sebuah perusahaan negara (BUMN) yang kudambakan sejak dulu. Proses seleksi dari tahap pertama sampai keempat berlangsung cepat dan aku pun sangat menikmati masa-masa ini. Setiap hari aku bersaat teduh dan merasa makin dikuatkan.

Tepat tiga minggu sebelum pengumuman hasil seleksi di BUMN tersebut, bacaan saat teduhku diambil dari Daniel 10—kisah pergumulan Daniel di sungai Tigris yang menanti jawaban Tuhan selama tiga minggu sebelum Tuhan jawab ‘iya’. Selama tiga minggu, Daniel berkabung dan berpuasa di tepi sungai Tigris. Masa-masa tersebut membuat Daniel menjadi lemah, namun Tuhan memberinya kekuatan supaya bisa melaksanakan perintah-Nya. Tapi, tanpa kusadari, karena aku sangat berharap bisa diterima di BUMN itu, maka dalam benakku aku selalu mengaitkan pesan Tuhan yang kudapat dari saat teduh itu dengan ambisiku sendiri. Aku merasa setiap renungan yang kubaca, termasuk renungan dari Daniel 10 ini mengarahkanku pada jawaban “iya” dari Tuhan, bahwa aku pasti diterima di BUMN itu.

Ketika aku disadarkan bahwa caraku mengejar ambisi itu salah

Menjelang pengumuman tahap akhir, aku merasa was-was, apalagi saat itu ibuku menawarkanku untuk menghadiri wisuda kakakku di Amerika. Kata ibuku, waktunya sudah sangat dekat sehingga beliau harus segera memesan tiket. Tapi, di sisi lain aku harus menunggu hasil seleksi BUMN ini dan keadaanku menjadi dilematis. Jika aku diterima bekerja di BUMN itu, maka aku tidak bisa pergi menghadiri wisuda kakakku. Tapi, jika aku gagal, maka artinya aku akan menganggur lebih lama.

Tepat di minggu itu pengumuman rekrutmen tahap akhir pun diumumkan, namun aku tidak menemukan namaku tercantum di sana. Aku kembali gagal. Dadaku rasanya begitu sesak. Seluruh tahapan seleksi telah kulalui dengan baik, namun aku gagal pada tahap cek kesehatan padahal sudah berolahraga tiap hari. Bahkan, saat tes lari di treadmill pun susternya terkejut karena katanya stamina berlariku setara seorang Polwan.

Aku begitu kecewa. Tapi, ada hal lain yang membuatku lebih kecewa, yaitu melihat ayahku menangis. Dia sangat ingin aku bekerja di BUMN itu. Tangisan ayahku membuatku merasa semakin gagal. Namun, respons ibuku ternyata di luar dugaanku. “Mama tidak apa-apa. Gagal itu hal biasa. Masa depanmu masih panjang.” Kalimat ini begitu menenangkan hatiku sampai hari ini. Masa depan Tuhan yang pegang, bukan aku sendiri, dan perjalanan hidupku pun masih panjang.

Sejak pengumuman itu, aku kehilangan semangat. Lalu, sekujur telinga dan pipiku pun terkena alergi, dan sesuai anjuran dokter, aku tidak boleh banyak beraktivitas di luar rumah. Selama beristirahat di rumah, aku melakukan bisnis online dengan menjual aksesoris wanita yang kurakit sendiri. Puji Tuhan, penghasilan dari usaha sederhana ini bisa menambah pemasukanku. Tapi, bekerja di dalam rumah membuatku depresi karena pada dasarnya aku adalah seorang yang aktif dan suka beraktivitas di luar rumah.

Sampai di titik ini, aku mencoba merenung untuk mencari tahu apa maksud dari kegagalan ini. Melihat kondisiku yang dipenuhi rasa kecewa, seorang sahabatku sempat menegurku bahwa aku seperti menjadi orang yang berbeda. Jika dulu aku orang yang ceria dan bersemangat, sekarang menjadi orang yang lesu. Teguran sahabatku itu membuatku sadar dan bertanya: Apakah karena kegagalan ini imanku pada Tuhan jadi berubah? Tak hanya sahabatku, kakakku pun menegurku. “Dulu kakak pernah menganggur cukup lama bahkan sampai tak ada lagi tabungan sedikit pun. Tapi, kakak tidak malu, ternyata Tuhan punya rencana yang lebih baik,” kata kakakku sembari meyakinkanku untuk bersabar.

Kegagalan dan teguran dari sahabat dan kakakku menyadarkanku bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan memiliki ambisi. Akan tetapi, upayaku mengejar ambisi tanpa disertai memohon hikmat dari Tuhan itulah yang membuatku lupa bahwa ada Tuhan yang memegang kendali atas segala sesuatu. Alih-alih berserah, pengejaranku akan ambisi tersebut membuat telingaku tertutup dari suara Tuhan dan hatiku tak mampu lagi menyerap firman Tuhan dengan benar karena aku tak lagi mengundang Roh Kudus hadir dalam hidupku. Firman Tuhan yang seharusnya menegurku (Ibrani 4:12) tak lagi berfungsi demikian karena aku menafsirkannya sendiri supaya selaras dengan ambisiku.

“Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia” (1 Yohanes 2:16). Ketika aku begitu terobsesi akan ambisi dan tak lagi membuka hatiku untuk mendengar suara Tuhan, maka Tuhan tidak lagi dimuliakan dalam hidupku. Segala pencapaian yang kuraih tersebut menjadi sebuah pengakuan akan betapa hebatnya aku, bukan lagi akan betapa luar biasanya cara Tuhan bekerja dalam hidupku.

Ketika aku menerima rencana Tuhan dalam hidupku

Satu minggu setelah hari pengumuman penolakanku, aku diterima oleh salah satu perusahaan di Malaysia untuk posisi Humas. Ada rasa bahagia, tapi ada keraguan karena aku merasa mengkhianati negeriku sendiri, dan aku juga takut tinggal jauh dari keluarga.

Selama satu minggu, sebelum waktu tanda tangan kontrak, aku berdoa dengan sungguh-sungguh. Setiap harinya, Tuhan menegurku melalui bacaan saat teduh yang bercerita tentang bangsa Israel yang keluar dari Mesir. Selama masa-masa di padang gurun, walaupun bangsa Israel sering menggerutu, Tuhan tidak meninggalkan mereka. Ketika mereka lapar, Tuhan mengirimkan roti mana dan burung puyuh. Ketika mereka kepanasan dan kedinginan, Tuhan memberikan tiang api dan tiang awan. Jika kepada bangsa Israel yang menggerutu pun Allah tetap menyertai, aku pun percaya bahwa Dia akan menyertaiku juga.

Setelah menggumuli dengan sungguh-sungguh, di hari terakhir aku memutuskan untuk menandatangani kontrak kerja dan menerima kesempatan untuk bekerja di luar negeri.

Melalui peristiwa panjang mencari pekerjaan inilah aku diajar Tuhan untuk berserah pada rencana-Nya, bahwa Dia tahu yang terbaik untuk anak-anak-Nya. Tidaklah salah untuk memiliki dan mengejar ambisi. Akan tetapi, mengejar ambisi tanpa disertai hikmat dari Tuhan bisa membuatku lupa bahwa Tuhan memegang kendali atas segala sesuatunya.

Aku percaya bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik. Mungkin, saat ini belum saatnya aku berkarya di negeriku sendiri. Namun, aku yakin bahwa aku akan belajar banyak hal di negeri jiran dan membawanya pulang sebagai bekal kelak untuk membangun negeriku.

Melalui perjalanan hidupku inilah aku semakin sadar bahwa rencanaku seringkali bukanlah rencana Tuhan. Oleh karena itu, biarlah kehendak Tuhan saja yang terjadi.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Baca Juga:

Natalku yang Berpohon

Si pohon cemara beserta ornamen bandul-bandulnya tegak berdiri. Kapas-kapas putih pun memberi kesan salju di sekujur tubuh pohon itu. Tunggu…kapas? Kesan? Ya, itu bukan pohon sungguhan. Itu hanyalah pohon buatan yang menyerupai aslinya. Hadirnya pohon itu menandakan dimulainya sebuah masa yang disebut Natal.

Apakah Ambisi Itu Salah?

Selasa, 9 April 2013

Apakah Ambisi Itu Salah?

Baca: Kolose 3:22-24

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. —Kolose 3:23

Apakah ambisi itu salah? Apakah salah jika kita termotivasi dan berusaha keras untuk menjadi yang terbaik? Bisa saja salah. Perbedaan antara ambisi yang benar dan yang salah terletak pada tujuan dan motivasi kita —apakah itu untuk kemuliaan Allah atau untuk kemuliaan diri sendiri.

Dalam 1 Tesalonika 4:1, Paulus menyatakan bahwa orang Kristen harus menjalani hidup yang “berkenan kepada Allah.” Bagi sejumlah orang, dorongan untuk menyenangkan-Nya merupakan transformasi yang terjadi seketika pada saat keselamatan; bagi orang lain, transformasi itu berlangsung tersendat-sendat dan sering salah jalan. Baik perubahan itu terjadi seketika atau secara bertahap, seorang Kristen harus berjuang menggenapi tujuan Allah, bukan mengejar keinginan diri sendiri.

Jika demikian, kita harus bertanya tentang pekerjaan kita: “Apakah pindah kerja bisa memampukan saya untuk melayani orang lain dan memuliakan Allah?” Ambisi yang berorientasi kepada Allah difokuskan kepada-Nya dan sesama, dengan selalu mengingat anugerah yang telah diberikan-Nya dan bagaimana kita dapat dipakai oleh-Nya.

Paulus menasihati kita untuk bekerja dengan “tulus hati karena takut akan Tuhan” (Kol. 3:22). Apa pun yang kita lakukan—di ruangan rapat, di pelabuhan, di mana pun kita bekerja—kita harus melayani seperti kita melakukannya untuk Allah (ay.23-24).

Kita sungguh memuliakan Allah dan menikmati kehadiran-Nya ketika bekerja dengan penuh semangat dan memberi yang terbaik demi menyenangkan Dia, dan bukan diri sendiri. Kita melakukan pelayanan demi nama-Nya dan demi orang lain, bukan melayani diri dan kepentingan sendiri—karena Dia layak menerima yang terbaik. —RKK

Tuhan, tolong aku untuk bekerja dengan penuh semangat sehingga
bisa menyenangkan hati-Mu. Kuserahkan tindakan dan perkataanku
hari ini sebagai kesaksian untuk membawa kemuliaan bagi-Mu. Pakai
aku hari ini untuk membawa sesamaku kepada-Mu. Amin.

“Dalam niat mengejar kebesaran, kita justru menjadi kerdil.” —Eli Stanley Jones, Misionaris