Posts

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Tawar Hati

Oleh Alvin Nursalim

Menjalani kehidupan pasti akan menghadapi penderitaan. Dalam profesiku sebagai dokter, rasa sakit, tangis, dan kesedihan adalah kawan yang menjadi keseharianku.

Pastinya teman-teman setuju bahwa rumah sakit bukanlah tempat berlibur. Di sini setiap pasien datang berobat dan berharap sembuh. Aku ingat ketika aku masih menempuh studi kedokteran dulu, biasanya aku akan sampai di rumah sakit sekitar jam 05:30 pagi. Aku dan rekan-rekan tim medis lainnya datang lebih pagi karena jumlah pasien yang menjadi tanggung jawab residen (dokter yang sedang mengambil program pendidikan spesialis) memang cukup banyak jumlahnya.

Para pasien bahkan datang lebih subuh dari kami. Mereka datang lebih awal untuk mengambil nomor pendaftaran. Rumah sakit tempat kami melayani adalah rumah sakit rujukan. Alhasil, pasien datang dari berbagai daerah dan pelosok negeri. Ada pasien-pasien yang masih anak kecil, masih tertidur di kursi roda mereka dan turut mengantre sedari subuh. Pecah tangis seringkali memenuhi ruangan karena kesakitan yang dialami oleh mereka.

Keadaan tersebut tidak berubah. Rumah sakit tetap penuh, malah mungkin lebih penuh karena pandemi Covid-19. Aku terpanggil untuk melayani pasien-pasien yang terinfeksi virus ini. Dewasa, anak kecil, wanita hamil, semua tidak luput dari virus. Rasa khawatir dan tangis dari pihak keluarga tidak asing bagi telingaku.

Menyaksikan penderitaan yang begitu nyata setiap hari seringkali membuatku termenung. Aku bertanya, “Bapa, mengapa ada penderitaan di dunia ini? Mengapa ada kemiskinan yang membuat banyak orang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan hariannya? Mengapa ada penyakit yang memberikan rasa sakit pada banyak orang?”

Pernahkah teman-teman juga bertanya-tanya seperti itu? Mencari tahu mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia di mana semua orang seang, berkecukupan, dan tiada penderitaan?

Apakah Tuhan memahami penderitaan manusia?

Pertanyaan itu membawaku untuk menggali lebih dalam tentang penderitaan manusia. Ketika mengalami penderitaan, kita sebagai manusia sering bertanya apakah Tuhan memahami penderitaan kita. Tetapi, kita lupa bahwa diri-Nyalah sejatinya yang paling memahami penderitaan.

Yesus mengakhiri pelayanan-Nya di bumi dengan dihina, dihukum, dan dipaku di kayu salib. Dia mengalami tak cuma penderitaan fisik, juga penderitaan mental di tangan tentara Romawi dan orang-orang yang mencaci-Nya. Dia ditinggalkan oleh teman-teman terdekat-Nya di saat Dia paling membutuhkannya. Penderitaan Yesus telah ternubuatkan dalam tulisan Yesaya, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan” (Yesaya 53:3).

Jika kita bergumul dan berdoa pada-Nya, kita sejatinya sedang menyampaikan pergumulan manusia kepada Tuhan yang sangat dekat dan memahami penderitaan. Dia bukan Tuhan yang jauh dan tidak dapat berempati atas penderitaan manusia. Kita datang kepada Tuhan yang benar-benar tahu dan peduli, Dia adalah Tuhan yang juga merasakan bagaimana berada di titik nadir.

Selanjutnya, Yesaya 53:4 menulis, “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.”

Penderitaan Yesus melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Di kayu salib, semua kejahatan dunia diarahkan pada satu Sosok yang bersih dan murni, yaitu Sang Anak Allah. Yesus melakukannya agar kita beroleh kehidupan, sehingga kejahatan tidak membinasakan manusia.

Mengapa Tuhan dengan segala kuasa-Nya tidak menghilangkan saja penderitaan?

Pertanyaan tersebut memiliki jawaban: suatu hari kejahatan akan disingkirkan selama-lamanya. Suatu hari tidak akan ada lagi dukacita atau rasa sakit. Tuhan akan menghapus setiap air mata (Wahyu 21:4). Tetapi, hari tersebut belumlah tiba.

Jika kita merenungkan posisi kita: siapakah kita manusia berdosa sehingga kita bertanya dan menghakimi Tuhan? Kita adalah ciptaan-Nya dan diciptakan untuk memuliakan-Nya. Justru, seharusnya kita bertanya, apakah hak kita sebagai manusia berdosa untuk menuntut kepada Tuhan yang sudah menebus dosa kita? Namun, terlepas dari segala dosa kita, Tuhan selalu menawarkan diri-Nya sendiri. Dia tidak cuma memberi kita berkat atau janji, tetapi Dia memberi diri-Nya sendiri. Dia merindukan kita datang kepada-Nya, berbicara dengan-Nya, dan membawa penderitaan kita kepada-Nya. Dalam penderitaan kita, Dia tidak meninggalkan kita sendirian. Jika kita berpaling kepada-Nya, ada kekuatan yang tidak pernah kita duga; ada kenyamanan dan pengharapan untuk hari ini dan esok.

Aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah doa yang kuterjemahkan dari kumpulan doa puritan, The Valley of Vision. Doa ini begitu indah dan berisikan permohonan manusia agar bisa terus memuji keagungan Tuhan dan berserah kepada-Nya, terlepas dari keadaan yang tampaknya tidak sesuai harapan.

Tuhan, tinggi dan suci, lemah lembut dan rendah hati,

Engkau telah membawaku ke lembah penglihatan
Di mana aku tinggal di kedalaman tapi melihat-Mu di ketinggian,
dikelilingi gunung dosa aku melihat kemuliaan-Mu.

Biarkan aku belajar dengan paradoks
bahwa jalan turun adalah jalan ke atas,
bahwa menjadi rendah berarti tinggi,
bahwa patah hati adalah hati yang disembuhkan,
bahwa roh yang menyesal adalah roh yang bersukacita,
bahwa jiwa yang bertobat adalah jiwa yang menang,
bahwa tidak memiliki apa-apa berarti memiliki semua,
bahwa memikul salib adalah memakai mahkota,
bahwa memberi berarti menerima,
bahwa lembah adalah tempat penglihatan.

Tuhan, di siang hari bintang bisa dilihat dari sumur terdalam,
dan semakin dalam sumur, semakin terang bintang-bintang-Mu bersinar;

Biarkan aku menemukan cahaya-Mu dalam kegelapanku,
hidup-Mu dalam kematianku,
kegembiraan-Mu dalam kesedihanku,
anugerah-Mu dalam dosaku,
kekayaan-Mu dalam kemiskinanku,
kemuliaan-Mu di lembahku.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Di Tengah Keadaan yang Tak Mudah, Pilihlah untuk Taat

Taat, mudah diucapkan sulit dipraktikkan. Apalagi jika ketaatan itu seolah membuat hidup kita malah menjadi susah. Tetapi, Alkitab memberitahu kita bahwa selalu ada berkat dalam ketaatan kita kepada-Nya.

Pahamilah Arti Kasih yang Sejati

Oleh Alvin Nursalim, Jakarta

Sang bapak terlihat lelah, namun semangatnya tidak hilang. Dia mengambil nasi bungkus yang dibelinya di warung di depan rumah sakit dan mencuri waktu untuk makan di samping tempat tidur anaknya. Ketika anaknya mengerang kesakitan, dia dengan sabar mengucapkan kata-kata penyemangat sembari mengelus tangan sang anak.

Bapak itu bukan orang yang asing dengan rumah sakit. Sejak anaknya kecil, dia sudah rutin bolak-balik ke rumah sakit. Anaknya menderita hemofilia, gangguan darah yang mengakibatkan tubuh mudah mengalami pendarahan. Salah satu efek dari penyakit ini adalah gangguan pada sendi-sendi tubuh. Kala si anak beranjak dewasa, penyakit ini tidak sirna, malah serangan pendarahan yang nyeri semakin sering terjanji. Nyeri ini semakin sering jika obat khusus yang menolong pembekuan darah terlambat disuntikkan.

Walau demikian, kedua orangtua dari si anak setia mendampingi proses perawatannya. Sang bapak bukan dari kalangan berada. Proses perawatan dilakukan di bangsal kelas tiga, yang berisi enam pasien dalam satu kamar, bukanlah kondisi yang nyaman bagi pasien dan keluarga yang menjaga. Tetapi, sang ayah rela mengorbankan waktu dan kenyamanannya. Dia bersama istrinya terkadang meringkuk di karpet tipis di samping ranjang.

Begitu besar kasih sayang orangtua pada anaknya. Sakit yang diderita sang anak menjadi kesakitan yang nyata pula, yang turut menyakiti orangtuanya.

* * *

Tiga paragraf di atas adalah sepenggal dari banyak kisah yang kusaksikan dalam keseharianku di rumah sakit. Kala itu aku sedang belajar menjadi dokter dan pengalaman-pengalaman itu membuatku menyadari bahwa yang paling penting selama pendidikanku menjadi seorang dokter bukanlah teori-teori kedokteran, tetapi bagaimana aku bisa berbagi nilai kasih sayang dan kemanusiaan kepada sesamaku.

Kisah sang bapak yang menyayangi anaknya itu menggemakan kembali ingatanku akan kisah yang tertulis dalam Lukas 15, kisah tentang seorang anak yang mengambil harta warisannya, lalu pergi berfoya-foya. Ketika hartanya habis, ia pun mengalami kesusahan. Segala cara ditempuhnya untuk bertahan hidup, sampai akhirnya dia teringat betapa nyamannya kehidupannya dahulu di rumah ayahnya. Dia lantas memberanikan diri untuk pulang. Respons yang mengejutkan terjadi di sini: alih-alih mengusir sang anak karena merasa sakit hati, sang ayah malah menyambutnya dengan pelukan hangat.

Sosok ayah dalam perumpamaan tersebut hendak menunjukkan pada kita akan besarnya kasih Allah. Jika kita bicara tentang Allah, kita tentu akan bicara pula tentang kasih, sebab Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8). Kasih Allah begitu panjang, lebar, dalam, dan tak terselami oleh pemikiran kita. Dan, kasih Allah itu adalah kasih yang kekal dan tidak berubah. Kendati kita seringkali terhilang seperti si anak bungsu yang berfoya-foya, Allah tidak mencampakkan kita. Dia menyambut kita bilamana kita bersedia berpaling dari cara hidup kita yang sesat.

Namun, mungkin yang menjadi pertanyaan kita adalah: bagaimana mungkin kita bisa mempraktikkan kasih yang mulia, seperti yang diteladankan oleh Allah sendiri?

Alkitab dalam 1 Korintus 13:4-8 memberikan gambaran yang lebih spesifik dari kasih yang bisa kita wujud nyatakan:

“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”

Bagiku pribadi, ayat ini terasa begitu dalam. Aku sendiri merenungkan: apakah bisa manusia dengan segala kekurangannya mengasihi dengan standar tersebut? Secara manusiawi mungkin kita berkata mustahil, tetapi sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus, meneladani kasih tersebut bukanlah kemustahilan, sebab barangsiapa di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru (2 Korintus 5:17). Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk hidup kudus dan sesuai dengan kehendak-Nya.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih itu tidak cemburu, kita bisa menerapkannya dalam langkah yang sederhana, semisal tidak membiarkan diri kita jatuh pada iri hati dan tidak puas ketika melihat postingan seorang teman di media sosial.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak bermegah diri dan sombong, kita bisa menahan diri untuk memamerkan pencapaian-pencapaian kita.

Ketika ayat di atas berkata bahwa kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, kita bisa menawarkan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, kendati mungkin saat itu kita sendiri merasa lelah atau kekurangan.

Sedikit tindakan kasih yang kita lakukan tentulah tidak sebanding dengan apa yang Allah telah berikan pada kita, tetapi tindakan kasih itulah yang menunjukkan pada dunia bahwa kita telah dikasihi lebih dulu oleh Allah, dan Dia jugalah yang memampukan kita untuk meneruskan kasih itu kepada sesama kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Suatu pertanyaan membekas di hatiku: sungguhkah aku telah berubah? Hidupku tidak terasa wah dan aku jadi gelisah. Namun, lewat satu pertemuan dengan kakak rohaniku, Tuhan memberiku jawaban.