Posts

Mengapa Natal Tidak Masuk Akal

Penulis: Leslie Koh
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Christmas Doesn’t Make Sense

Why-Christmas-Does-Not-Make-Sense

Sebenarnya, tidak banyak unsur Natal yang masuk akal. Serius! Coba pikirkan baik-baik beberapa hal berikut ini:

1. Allah menjadi … manusia.

Mengapa Allah sampai mau menjadi manusia? Mengapa Pribadi yang memiliki kuasa mutlak atas semesta mau hidup sebagai makhluk fana yang lemah dan serba terbatas? Mengapa Dia sampai rela merendahkan diri untuk menjadi sama seperti kita?

Namun, tepat seperti itulah yang dilakukan Yesus Kristus ketika Dia turun ke bumi. Sekalipun Dia adalah Allah, Dia memilih untuk dilahirkan sebagai bayi yang tidak berdaya, menjalani masa-masa remaja yang tidak mudah, mempelajari usaha ayahnya sebagai seorang tukang kayu (ini setelah Dia sendiri menciptakan alam semesta), dan berusaha meyakinkan orang-orang sebangsanya bahwa Dia adalah Juruselamat mereka, dan Juruselamat seluruh dunia. Mengapa Dia harus melakukan tindakan yang tidak masuk akal semacam itu? Mengapa tidak membereskan semuanya dari sorga saja?, tidak perlu turun ke bumi sebagai manusia?

Jawabannya kupikir ada dalam satu kata: Kasih. Untuk menyelamatkan dan menebus manusia dari hukuman yang layak kita terima, Yesus harus menjadi seorang manusia. Hanya dengan hidup sebagai manusia dan mati sebagai manusia, pengurbanan Yesus dapat mewakili manusia, sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan dari kematian kekal. Ini berarti bahwa Yesus harus rela merendahkan diri-Nya untuk sementara waktu, terlahir dan menjalani hidup sebagai manusia yang fana. Dan, Dia benar-benar melakukannya, karena Dia mengasihi kita. Itulah cerita Natal. Tidak masuk akal—namun, cinta sejati memang tidak pernah masuk akal.

2. Anak Allah dilahirkan … di dalam sebuah palungan

Jika seorang pangeran akan dilahirkan pada hari ini (sama halnya pada abad pertama), di mana menurutmu ia akan dilahirkan? Sambutan seperti apa yang akan ia dapatkan? Sudah pasti di rumah sakit terbaik, diliput media, disambut segenap warga kerajaan yang dipimpin ayahnya. Ingatkah kamu dengan kelahiran Pangeran George di Kerajaan Inggris? Putra dari Pangeran William dan Putri Kate itu mendapatkan perhatian publik yang luar biasa! Kerumunan massa berdiri di luar rumah sakit, berharap dapat melihat sekilas bayi kerajaan itu.

Namun, Yesus dilahirkan di dalam palungan kotor dan disambut oleh kawanan ternak. Tidak ada kerumunan massa yang mengagumi-Nya, tidak ada sambutan yang meriah bagi-Nya. Yang pertama-tama berkunjung adalah para gembala sederhana. Situasinya mungkin bisa disamakan dengan seorang pangeran yang dilahirkan di garasi kotor, penuh dengan mobil-mobil yang sedang dalam proses perbaikan, dan beberapa tukang reparasi menjenguknya sebentar setelah jam kerja mereka usai. Yang kita bicarakan di sini adalah kelahiran Anak Allah. Sungguh mengherankan bahwa Allah sendiri merelakan Putra-Nya yang tunggal dilahirkan di dalam kondisi yang sangat sederhana.

Mengapa? Karena, sebagaimana catatan Alkitab, Yesus adalah Raja yang lemah lembut dan rendah hati, yang memasuki Yerusalem bukan dengan kereta kencana, tetapi mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban muda (Matius 21:5). Yesus tidak menghabiskan hidup-Nya untuk melobi para tokoh masyarakat dan memamerkan wibawa-Nya di depan warga sebagaimana layaknya sikap yang biasa ditunjukkan para penguasa. Dia bergaul dengan orang-orang yang miskin, yang status sosialnya rendah, dan yang terburuk di antara manusia berdosa. Dia adalah Juruselamat yang rela memberi diri dan Raja yang melayani, Pribadi yang datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45).

Jelas ini bukan gambaran sosok Anak Allah yang akan dibayangkan kebanyakan orang. Seorang raja besar yang mau merendahkan diri untuk datang dalam situasi yang serba kurang, dan lebih tertarik berinteraksi dengan orang-orang biasa daripada orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat? Sungguh tidak masuk akal.

3. Yesus lahir ke dalam dunia … untuk mati.

Perhatikanlah wajah para orangtua ketika memandangi bayi mereka yang baru lahir. Umumnya kita akan melihat wajah-wajah yang penuh dengan rasa bangga, sukacita, dan harapan agar si kecil panjang umur dan hidup makmur. Satu hal yang jelas tidak diinginkan oleh orangtua mana pun adalah melihat anaknya meninggal. Namun, ketika Allah melihat Putra-Nya dilahirkan di dalam palungan pada saat Natal, Dia tahu bahwa bayi ini dilahirkan dengan tujuan untuk mati pada suatu hari nanti, dengan cara yang sangat mengerikan.

Bayangkanlah bagaimana Yesus menjalani hari-hari-Nya sebagai seorang anak yang tumbuh besar, mempelajari keahlian pertukangan ayahnya, kemudian mulai memilih dan melatih para murid. Bila kebanyakan orang memiliki harapan untuk masa depan yang cerah dan bahagia, masa depan yang menanti-Nya adalah kematian di usia muda, penghinaan dan penderitaan di kayu salib. Namun, Yesus sendiri tidak pernah ragu dengan tujuan hidup-Nya (Markus 8:31); Dia bahkan mengingatkan para murid-Nya tentang apa yang sudah pasti akan menimpa-Nya.

Hari ini kita merayakan Natal dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Namun, sesungguhnya peristiwa Natal yang terjadi di sudut kota Betlehem hari itu adalah peristiwa yang manis sekaligus pahit! Sesuatu yang ironis, bukan? Membuat kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya kita rayakan pada hari Natal. Peristiwa kelahiran yang menakjubkan 2000 tahun silam itu akan membawa kita melihat sebuah peristiwa kematian yang tidak kalah menakjubkannya 30 tahun kemudian. Meski demikian, ada alasan yang baik bagi kita untuk bersukacita di hari Natal …. (Teruslah membaca.)

4. Untuk kesalahan yang kita perbuat, kita mendapat … keselamatan.

Mudah saja mengingat apa sebenarnya Natal itu: Yesus, Sang Anak Allah telah lahir, supaya kita dapat diselamatkan. Namun, kita mungkin sering melupakan satu hal yang penting: kita sebenarnya tidak layak diselamatkan. Kita bukanlah korban kejahatan yang tidak bersalah, menanti kematian tanpa daya, dan menantikan datangnya seorang penyelamat. Kita adalah orang-orang yang bersalah, layak menerima dan telah divonis hukuman mati. Tidak ada alasan yang cukup baik untuk meluputkan kita dari hukuman itu.

Namun, Allah mengaruniakan Anak-Nya ke dalam dunia untuk menyelamatkan kita. Dalam skenario film, mungkin ini seperti mengirimkan seorang pahlawan hebat, yang mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan sekelompok pembunuh yang telah divonis mati padahal para pembunuh itu masih saja merasa tidak melakukan kesalahan. Sekarang bayangkanlah, ayah dari sang pahlawan, setelah mengorbankan putranya bagi para penjahat itu, memberi mereka tawaran untuk menjadi anaknya, supaya mereka juga dapat menikmati segala harta yang dimilikinya.

Sebuah skenario yang tidak masuk akal. Namun, itulah yang terjadi. Allah memilih untuk memberikan keselamatan bagi kita yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Dan, bukan hanya itu, Dia kemudian memberikan kita kesempatan luar biasa untuk menjadi anak-anak-Nya (Efesus 2:4-6). Jelas sekali betapa tidak masuk akalnya Natal itu.

5. Natal merayakan kelahiran Yesus … dan kitalah yang mendapat hadiah.

Setiap bulan Desember, kita mengadakan berbagai acara istimewa untuk merayakan kelahiran Yesus—lalu kita saling bertukar hadiah. Kalau dipikir-pikir, itu agak aneh, bukan? Kelahiran siapa yang sebenarnya sedang kita rayakan?

Ironisnya, hadiah terbesar yang diberikan bukanlah hadiah untuk Yesus yang kelahiran-Nya kita rayakan, tetapi justru hadiah dari Dia untuk kita. Hadiah apakah itu? Hadiah keselamatan yang sungguh menakjubkan: Kita dibebaskan dari hukuman kematian kekal yang selayaknya kita terima, diampuni dari segala kesalahan kita, dan dikaruniakan kehidupan kekal bersama Yesus. Itulah yang dihadiahkan kepada kita pada hari kelahiran-Nya. Hadiah yang diberikan-Nya dengan penuh sukacita.

Ya, Natal memang tidak masuk akal … dan kita bersyukur untuk itu!

Bagaimana Seandainya Kristus Tidak Pernah Dilahirkan?

Penulis: David Gibb
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What if there was no Christ in Christmas?

Alkisah ada seorang petani yang menganggap berita tentang Allah menjadi seorang bayi adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Namun, isterinya punya pendapat yang berbeda. Sang isteri adalah seorang Kristen dan beriman kepada Sang Bayi yang telah lahir di hari Natal. Namun, suaminya kerap mengejek apa yang ia imani. “Mengapa Allah mau merendahkan diri-Nya menjadi manusia seperti kita?” kata sang suami. “Itu cerita yang benar-benar konyol!”

Suatu kali, pada malam Natal, isteri sang petani pergi ke gereja, sementara suaminya tinggal di rumah. Tak lama kemudian, salju mulai turun. Awalnya, hanya beberapa butir, tetapi makin lama makin banyak, hingga akhirnya menjadi sebuah badai salju. Tiba-tiba, sang petani mendengar suara benturan keras di jendela, diikuti suara benturan lainnya.

Ia pergi keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata ada sekawanan angsa di sana. Angsa-angsa itu sedang dalam perjalanan bermigrasi, namun badai salju mengaburkan pandangan mereka, sehingga mereka tidak lagi bisa terbang atau bahkan mengenali arah ke mana mereka harus kembali.

Sang petani ingin menolong dan menyediakan tempat berteduh di lumbungnya bagi kawanan angsa malam itu. Jadi, ia membuka pintu lumbung dan berdiri di sana, berharap mereka akan masuk ke dalamnya. Namun, angsa-angsa itu tidak mengerti. Sang petani berusaha menghalau mereka masuk, tetapi mereka malah menjadi kacau, berlarian ke segala penjuru. Sang petani lalu mendapat ide. Ia punya sedikit roti, remah-remahnya ditaburkan sepanjang jalan menuju pintu lumbung—namun angsa-angsa itu tetap tidak menangkap maksud sang petani. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membawa mereka menikmati kehangatan dan perlindungan di dalam lumbungnya.

Petani itu merasa sangat frustrasi. “Mengapa mereka tidak mengikuti aku? Tidakkah mereka melihat bahwa inilah satu-satunya tempat yang dapat menolong mereka bertahan hidup? Bagaimana aku dapat membuat mereka mengikuti aku?” Tiba-tiba ia menyadari bahwa angsa-angsa itu tidak akan pernah mengikuti seorang manusia. Jika saja ia bisa menjadi sama seperti salah satu mereka, ia tentu dapat menjelaskan kepada mereka tentang lumbung itu, dan memimpin mereka ke tempat yang aman.

Merenungkan hal tersebut, sang petani mulai memahami mengapa Allah menjadi sama seperti manusia pada peristiwa Natal. Allah tidak menyatakan diri-Nya sebagai sosok yang lebih besar untuk membuat manusia terkesan—sudah jelas Dia adalah Pribadi yang terbesar dan terbaik. Namun, Allah yang Mahabesar ini menjadi kecil untuk menjadi sama seperti kita. Dia datang kepada kita di tengah kekacauan dalam dunia ini, di tengah badai dalam hidup kita, untuk menuntun kita ke tempat yang aman, untuk membawa kita kepada Diri-Nya sendiri.

Natal yang Membawa Pengharapan

Alasan mengapa Natal adalah peristiwa yang begitu luar biasa adalah karena Allah yang telah menciptakan kita, tidak meninggalkan kita di dalam keputusasaan kita. Dia mengasihi kita dan Dia datang untuk memberikan kita pengharapan. Alkitab berkata bahwa “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Yohanes menggunakan sebutan “Firman” untuk bayi kecil yang menjadi pengharapan bagi seisi dunia, dan sebutan itu adalah sebutan yang sarat makna!

Bayi ini dengan sempurna menggambarkan Pribadi Allah kepada kita, karena Dia adalah Allah. Pada saat yang sama, Dia juga adalah manusia seutuhnya. Dia dikandung manusia, tumbuh sebagai janin, dan kemudian dilahirkan. Pribadi yang jauh lebih besar dari bentangan angkasa kini dibaringkan di dalam sebuah tempat makanan ternak. Dia tumbuh sebagai seorang anak, lalu menjadi seorang remaja, dan akhirnya menjadi seorang manusia dewasa. Dia sama seperti kamu dan saya.

Renungkanlah sejenak tentang peristiwa ini. Karena, bila peristiwa ini benar terjadi, Natal bukanlah sekadar “sebuah cerita indah”—melainkan keajaiban terbesar sepanjang masa.

Pada 29 Juli 1969, astronot Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang sampai ke bulan. Saat itu Presiden Amerika, Richard Nixon berkata, “Peristiwa terbesar dalam sejarah manusia terjadi saat seorang manusia pertama kali menginjak bulan.” Kolonel James Irwin tidak sependapat. Ia berkata, “Peristiwa paling besar dalam sejarah kita bukanlah seorang manusia yang bisa menjejakkan kaki ke bulan, tetapi Allah yang datang menjejakkan kaki ke bumi.”

Seorang penyair dan penulis John Betjeman melukiskan kebenaran ini dengan indahnya dalam puisi berjudul “Christmas” [Natal]:

Benarkah ini? Benarkah ini?
Cerita paling menakjubkan yang pernah terjadi
Terlukis dalam warna-warni kaca patri
Seorang Bayi … dalam tempat makan sapi?
Sang Pencipta bintang dan samudra relakan diri
Menjadi seorang Anak di bumi, bagi diri ini?

Natal yang Mengubah Sejarah

Ya, benar. Sang Firman telah menjadi manusia pada hari Natal, dan peristiwa itu membuat kehidupan ini berbeda. Natal adalah peristiwa yang mengubah sejarah.

Tanpa Allah, kita tersesat, kita berjalan sendirian. Kita tahu apa saja yang pernah kita lakukan, siapa saja yang pernah kita sakiti, kata-kata apa saja yang seharusnya tidak pernah kita ucapkan. Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu dan menghapus semua kesalahan kita—sayangnya kita tidak bisa.

Tetapi, Kristus datang pada hari Natal untuk melakukan sesuatu. Dia lahir sebagai seorang bayi, tumbuh besar, dan sebagai seorang pemuda, Dia dihukum mati di atas salib. Ketika Dia tergantung di salib, Dia tidak menjalani hukuman itu karena kesalahan yang Dia lakukan (Dia tidak berdosa). Dia sedang menderita bagi kita, menanggung semua kesalahan kita, supaya Allah dapat mengampuni kita, dan kita dapat dihubungkan kembali dengan Pribadi yang mengasihi kita. Pada peristiwa Natal, Allah—di dalam Yesus—telah datang untuk menuntun kita ke tempat yang aman, membawa kita tinggal bersama-sama dengan Dia.

Jika tidak ada Kristus dalam Natal, tidak ada pula pengharapan bagi kita. Artinya, kita harus menanggung segalanya sendirian di dunia ini—sendirian dalam kesepian kita, kesalahan-kesalahan kita, dalam kecanduan-kecanduan kita, dan dalam keputusasaan kita.

Tetapi, Kristus sudah datang pada hari Natal, dan kedatangan-Nya membawa perbedaan dalam dunia ini. Ketika kita mengenal Kristus, melihat hidup-Nya, dan membaca tentang Dia dalam Kitab-Kitab Injil, segala sesuatu mulai terlihat berbeda—karena Dia sudah datang.

Tentang Penulis
David Gibb adalah seorang pendeta yang saat ini menjabat sebagai Vikaris di Gereja St.Andrew, Leyland, Lancashire, Inggris. Beliau adalah salah satu kontributor artikel dalam NIV Study Bible yang baru, penulis sebuah buku renungan dari Kitab Hosea, dan saat ini sedang menulis sebuah buku dari Kitab Wahyu. Istrinya bernama Claire, dan mereka memiliki tiga putri.