Posts

Jalan Sulit dan Memutar

Oleh Josephina Manurung

Beberapa hari lalu foto hitam putih dengan judul “adversity” muncul di linimasa Instagramku. Foto tersebut diunggah oleh seorang influencer yang menceritakan kondisi sulit sebagai minoritas yang pernah ia alami selama duduk di bangku sekolah. Ia bersyukur karena melalui masa sulit tersebut ia bertumbuh menjadi pribadi yang kuat. Saat ini, sebagai seorang bapak ia memiliki kekhawatiran jika anak-anaknya tumbuh terlalu nyaman tanpa adanya kesulitan sehingga kelak menjadi pribadi yang tidak tahan uji. Oleh karena itu di akhir captionnya ia berkata “Atas nama cinta seorang bapak, kelak saya akan mencari cara untuk mempersulit hidup kalian. “And then you can thank me later, if I’m still around.”

Setelah selesai membaca, pikiranku langsung melayang pada pengalaman pribadiku ketika papa secara sengaja “mempersulit” hidupku di bangku SMP-SMA. Saat menginjak bangku SMP, aku pindah rumah ke dekat sekolah. Jarak tempuh dari rumah baruku ke sekolah jika naik mobil hanya 5 menit. Saat itu aku sangat senang mengingat sebelumnya dari rumah lamaku ke sekolah memerlukan waktu 1 jam perjalanan menggunakan mobil. Aku berpikir enak banget nih mulai sekarang bisa bangun lebih siang, tidak perlu khawatir terjebak macet di jalan, tinggal naik mobil duduk manis lalu sampai deh di sekolah. Akan tetapi semua pikiran dan harapanku dalam sekejap dipatahkan ketika sehari sebelum sekolah dimulai, papa mengajakku berjalan kaki ke area perkampungan di belakang rumahku. Ia berjalan di depanku, memanduku menyeberangi jembatan gantung, menyusuri gang, menapaki 100 anak tangga yang membuatku super ngos-ngosan hingga akhirnya tiba di jalan raya seberang sekolahku.

“Oh ternyata ada jalan kecil yang bisa tembus kesini”, gumamku yang masih ngos-ngosan.
Papa yang melihat ku sangat capek kemudian berkomentar

“Tenang aja, lama-lama juga biasa kok”.

“Maksudnya?” Aku menyahut.

“Mulai besok kamu kalau ke sekolah dan gereja jalan kaki lewat jalan ini. Enggak akan dianter naik mobil”

Saat itu aku rasanya kesal banget dan ingin melawan, pikirku kenapa sih papaku jahat, kenapa harus susah-susah melalui jalan memutar yang memakan waktu lebih lama, kenapa harus jalan kaki kalau di rumah ada mobil dan ada mama papa yang bisa mengantarku? Apakah papaku tidak tahu kalau tas sekolahku yang berisi buku-buku cetak tebal itu amat berat dan tentunya akan sangat membuatku capek jika harus berjalan dan menanjak 100 anak tangga ini? Pertanyaan kenapa dan rasa kesal menyelimuti pikiranku, tapi aku tahu percuma melawan karena papa karena pasti tidak akan mengubah keputusannya.

Hari, minggu, bulan pertama perjalanan jalan kaki selama 15 menit ke sekolah terasa berat dan melelahkan. Tiap kali menaiki anak tangga aku selalu berhenti sejenak, mengatur napas, menurunkan tasku, lalu berjalan kembali. Tak jarang aku berkeringat ketika sampai di kelas. Setelah melewati bulan demi bulan hingga tahun demi tahun akhirnya aku pun terbiasa. Bahkan kini aku dapat menempuh perjalanan dengan setengah waktu yang lebih singkat tanpa harus merasa ngos-ngosan ketika berjalan dan menanjak anak tangga yang dahulu terasa amat berat.

Seiring beranjak dewasa, aku baru dapat memahami bahwa kesulitan yang papa “sengaja” ciptakan merupakan bentuk disiplin dalam mendidik aku sebagai anak remaja agar tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Tanpa aku sadari ketika aku harus melalui jalan yang lebih jauh, jalan yang memutar untuk sampai ke destinasi, jalan yang ada di luar zona nyaman tersebut, namun melaluinya dengan sikap hati yang taat maka perlahan demi perlahan ada banyak hal positif yang terbentuk dalam diriku dan bertahan sampai sekarang. Hal positif tersebut diantaranya ialah aku menjadi terbiasa hidup hemat, lebih mandiri, tidak manja, mau berjuang, dan belajar bersyukur.

Ketika aku merenungkan proses pendisiplinan yang secara sengaja papaku ciptakan untuk kebaikanku di masa depan, aku berpikir bahwa hal yang sama sebenarnya juga dilakukan oleh Bapa di Surga. Saking sayangnya Bapa kepada anak-anak-Nya, Dia tidak mau anak-Nya jadi anak dengan mental yang gampangan. Dia secara aktif mendisiplin dan mendidik anak-Nya dengan cara mengizinkan anak-anak-Nya melalui jalan yang memutar, jalan yang lebih jauh, jalan yang berada di luar zona nyaman, melalui jalan yang penuh kerikil dan kadang terjal, supaya dalam perjalanan tersebut pada akhirnya anak-anak-Nya sampai di destinasi yang hendak dicapai dengan sikap hati yang bergantung sepenuhnya pada Bapa, punya karakter-karakter positif baru, punya pengenalan yang makin dalam terhadap Bapa, dan memiliki iman yang semakin bertumbuh dewasa.

Aku percaya karakter Bapa adalah baik. Dalam tiap musim kehidupan yang Dia izinkan dalam hidupku, Dia tetap Allah Bapa yang baik. Dia mengizinkan semua hal terjadi untuk kebaikan anak-Nya. Dia tidak akan memberikan jalan terlalu sulit yang melampaui kekuatanku, pun ketika dalam perjalanan aku jatuh aku tidak akan sampai jatuh tergeletak, sebab tangan-Nya siap sedia menopangku. Aku juga sangat percaya semua rencananya, serumit dan semelelahkan apa pun, pada akhirnya akan membawa pada satu rancangan kebaikan selama aku berjalan dalam kehendak dan terang pimpinan-Nya.

Saat ini, di musim Covid-19 yang Tuhan izinkan terjadi di dunia, banyak dari kita yang mungkin bergumul dengan jalan yang terasa sulit, terjal, dan penuh ketidakpastian. Jalan sulit dan memutar apa yang saat ini sedang Tuhan izinkan untuk kamu lalui? Apapun itu, mari belajar taat melakukan kehendak-Nya, percaya bahwa rancangan-Nya mendatangkan kebaikan, dan berserah izinkan dirimu diproses oleh Bapa.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lebih Berharga Daripada Emas dan Permata

Apakah yang membuat manusia bernilai? Mungkin jawaban kita adalah karena “manusia diberikan pikiran atau akal budi”. Tetapi, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kendala kemampuan berpikir, atau masalah mental?

5 Bulan Jadi Ibu, Aku Semakin Mengenal 3 Sifat Bapa di Sorga Ini

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

14 Juni 2017. Tepat hari itu perjalananku menjadi seorang ibu dimulai. Aku tak pernah tahu apa rasanya menjadi seorang ibu sebelumnya. Ada perasaan berdebar yang kurasakan. “Apakah aku siap untuk menjadi seorang mama?” tanyaku pada diriku sendiri. Namun, di sisi lain aku juga bersemangat ketika melihat bayi perempuanku yang akan memanggilku “mama” ini.

Aku pun memulai babak baru dalam hidupku. Setelah 5 bulan berlalu, ada banyak hal yang berubah dalam hidupku. Salah satunya, pengalamanku sebagai seorang ibu membuatku lebih mengenal hati Bapa di sorga. Setidaknya ada 3 hal berikut yang aku pelajari.

1. Bapa di sorga akan menyediakan kebutuhan anak-anak-Nya

Sebagai seorang ibu, aku ingin sekali memberikan yang terbaik untuk putri kecilku. Sejak dalam kandungan, aku dan suamiku sudah mempersiapkan segala hal yang ia perlukan: mulai dari nama yang menjadi doa kami untuknya, perlengkapan yang kira-kira ia perlukan, sampai dengan tabungan untuk sekolahnya kelak. Semua telah kami persiapkan dengan saksama, dan kami ingin memberikan yang terbaik untuknya.

Suatu hari, aku memperhatikan putri kecilku ketika sedang tertidur lelap. Wajahnya begitu damai. Ia sama sekali tidak perlu khawatir akan hari esok. Ketika ia lapar, aku sudah mempersiapkan makanan untuknya. Ketika ia mulai kedinginan, aku langsung memakaikan pakaian yang lebih hangat untuknya. Ketika kelak ia harus masuk sekolah, aku sudah mempersiapkan dana yang ia perlukan. Tiba-tiba aku terhenyak. Jika aku yang adalah seorang manusia yang penuh kelemahan ini bisa memikirkan sampai sebegitunya untuk putri kecilku, apalagi Bapa di sorga yang begitu setia, sempurna, dan penuh kasih. Tentu Ia telah memikirkan, merencanakan, dan menyediakan semua yang terbaik yang dibutuhkan anak-anak yang dikasihi-Nya. Sama seperti putri kecilku yang tidak perlu khawatir akan hari esok, aku juga tidak perlu khawatir, karena ada Bapa di sorga yang menyediakan kebutuhanku.

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberi yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Matius 7:11).

2. Bapa di sorga kadang mengizinkan kita melewati masa-masa yang tidak nyaman, agar kita bisa belajar dan bertumbuh maksimal

Sebagai seorang ibu, aku tentu ingin putriku mencapai kemampuan maksimalnya. Ketika ia berumur 2 bulan, aku pun memulai latihan otot “tummy time” atau latihan tengkurap. Tummy time ini berfungsi untuk melatih ototnya agar kelak dapat menjadi kuat dan ia mampu merangkak serta berjalan.

Namun, latihan yang sebenarnya baik ini ternyata tidak disukai oleh putriku. Setiap kali aku melatihnya, ia pasti menangis. Mungkin latihan ini tidak nyaman baginya. Ketika melihatnya menangis, aku harus menahan diri untuk tidak mengangkatnya. Aku harus membuat diriku “tega”. Tujuannya tentu agar ia dapat belajar. Jika aku menurutinya dan menghentikan latihan, ia takkan pernah belajar dan proses pertumbuhannya pun akan berjalan lambat dan tidak maksimal.

Pengalaman itu kembali membuatku merenung. Mungkin ada kalanya, Tuhan juga ingin melatih kita dengan mengizinkan hal-hal yang kurang nyaman terjadi dalam hidup kita. Ia ingin kita bisa mencapai pertumbuhan yang maksimal.

Seperti putriku yang menangis ketika latihan, mungkin kita juga mengeluh ketika Tuhan sedang melatih kita. Tetapi Tuhan tetap melanjutkan latihan itu, karena Ia tahu kita sanggup melewatinya (1 Korintus 10:13), dan tanpa latihan itu kita tak dapat belajar dan bertumbuh.

Sekarang, setelah rajin berlatih, putriku tidak menangis lagi ketika tummy time. Sebaliknya, ia malah sudah menguasai kemampuan baru hasil dari latihan tummy time itu, yaitu berguling. Otot kepalanya pun sudah sangat kuat. Pada akhirnya, latihan yang awalnya tidak nyaman itu, menghasilkan buah yang baik ketika kita dengan tekun menjalaninya.

“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” (Yakobus 1:2-4)

3. Bapa di sorga akan tetap mengasihi kita, karena kita adalah anak-anak-Nya

Putriku seringkali rewel. Kadang aku tidak tahu mengapa ia menangis. Kadang ia bisa begitu sulit untuk dimengerti. Namun, seberapa pun rewelnya putriku, aku tidak bisa tidak mengasihinya. Aku percaya, begitu pula kasih Bapa kita yang di sorga kepada kita. Tak peduli seberapa nakalnya kita di masa lalu, Ia tetap mengasihi kita, karena kita adalah anak-anak-Nya. Ketika kita datang kepada-Nya dan mengakui dosa kita, Ia akan mengampuni segala dosa kita (1 Yohanes 1:9).

“Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” (Yesaya 49:15)

* * *

Aku percaya, segala kesempatan yang Allah berikan, termasuk juga pengalaman menjadi orangtua, dapat membuat kita semakin mengenal-Nya. Dengan menjadi seorang ibu, aku jadi semakin mengenal sifat Allah dan semakin mengerti kasih-Nya. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan akan kesempatan yang Ia berikan untukku menjadi seorang ibu bagi putri kecilku: Joanna.

Baca Juga:

3 Hal Tentang Bersyukur yang Harus Kamu Ketahui

Bersyukur adalah hal sederhana yang untuk mempraktikkannya tak semudah mengucapkannya. Namun, di bulan ini maukah kamu bergabung denganku untuk mengucap syukur kepada Allah atas hal-hal yang berbeda setiap harinya?

Papa yang Jahat (?)

Oleh: Sandra Cory Clarisa Tarigan

papa-yang-jahat

Entah kenapa perasaan gue takut banget sama papa. Setiap kali ketemu, hati gue ciut. Waktu pertemuan keluarga, papa memarahi gue di depan semua orang. Malu, sebel, rasanya mau ditelan bumi aja. Aaaaaa.

Gue inget ekspresi papa yang serem ketika menolak proposal gue tentang rencana setelah lulus. Kenapa papa jadi kejam dan menakutkan. Gak ada sedikitpun damai ketika papa ada di deket gue.

Kok jadi gini sih.

🙁 Takut. Banget.

Gue terbangun.

Inget tindakan papa di mimpi, hati gue menyela:

Papa gak mungkin kayak gitu, kan kamu kenal Papa.

Seketika, damai membanjiri jiwa. Lega, gue move on dari ketakutan palsu dan beranjak minum susu.

Iya, gue kenal Papa. Tiap hari gue berbicara dengannya.

Dan papa yang gue kenal adalah papa yang sangat baik. Papa selalu sedia telinga sekaligus sedia nasehat tiap kali gue bingung sama sesuatu. Di satu sisi, dia selalu mendengar pendapat gue, se-kontras apapun dengan apa yang beliau bilang. Tapi di sisi lain, dia juga mengusahakan segalanya yang mungkin dilakukan agar gue mengambil jalan yang benar, walau tetap menyerahkan pengambilan keputusan di gue. Real gentleman.

Seketika, ada suara dalam hati.
Tuh, kalau kamu kenal Bapamu di surga, kamu juga gak mungkin berprasangka buruk sama Dia.

Waw tepat banget menjawab kebandelan gue akhir-akhir ini.

Belakangan ini gue memang selalu mempertanyakan dan meragukan intervensi Tuhan dalam hidup gue. Intervensi yang membuat gue kehilangan zona nyaman gue. Sempat beberapa kali, gue mempertanyakan, “TUHAN maunya apa sih di hidupku? Arghk” (pertanyaan yang sok-sokan, syukurlah Tuhan gak langsung ngirim api nyembur dari langit untuk negur gue)

Gue sadar gue sudah berprasangka buruk ke Tuhan. Gue takut Tuhan lagi error atau salah ketika memutuskan sesuatu yang sangat berdampak pada masa depan gue. Gue takut Dia gak mikir matang waktu mutusin untuk nge-cut jalan yang sedang gue ambil.

Pagi ini, momen ketika gue bangun, minum susu, dan “mendengar jawaban” di hati adalah momen yang me-merdeka-kan.

Iya, gue kan kenal Tuhan, meski pengenalan itu gue sadari masih jauh dari sempurna.
Roma 8:28-29 mencatat, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya …”

Jelas bahwa Bapa di surga tahu apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya. Dia akan melakukan segala hal yang perlu untuk kebaikan gue, yaitu untuk membuat hidup gue makin serupa dengan Dia. Namun, prasangka buruk dan ketakutan bisa mengaburkan fakta yang Tuhan nyatakan dalam Firman-Nya. Bahwa Dia baik, murah hati, dan berkuasa, tiba-tiba jadi sulit diyakini sepenuh hati ketika ketakutan dan kekhawatiran mendominasi.

Gue tersadar bahwa se-nyata apapun perasaan gue saat bangun dari tidur (takut, serem, dll), tetap bisa dikalahkan oleh logika dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman hidup bersama papa. Papa jahat dalam mimpi gue itu bukan kebenaran! Fakta tentang siapa papa yang gue tahu selama inilah yang benar.

Begitu juga, walaupun gue punya semua alasan untuk meragukan kebaikan Tuhan,
perasaan itu bisa diatasi oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman hidup gue bersama Dia. Tuhan yang bisa salah dalam bayangan gue itu bukan kebenaran! Fakta tentang siapa Bapa di surga sebagaimana yang dinyatakan dalam Firman-Nya, itulah yang benar.

Tuhan tidak sedang bermain-main dengan hidup dan masa depan gue.

Semakin gue mengenal Tuhan, semakin gue bisa bebas dari ketakutan-ketakutan yang tidak perlu. Dan pengenalan gue itu sendiri tumbuh ketika gue makin sering bersama Dia, memperhatikan firman-Nya, berbicara dengan-Nya dalam doa.

Gimana dengan kamu? Seberapa banyak pengenalanmu akan Bapa di surga memengaruhi cara kamu menjalani hidup?

Terima kasih Tuhan,
Engkau punya banyak cara untuk membawaku kembali pada cara pikir yang benar,
sehingga aku juga bisa mengambil tindakan dan keputusan yang benar.

Adopsi

Minggu, 5 Januari 2014

Adopsi

Baca: Efesus 1:3-12

1:3 Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.

1:4 Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.

1:5 Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,

1:6 supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.

1:7 Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya,

1:8 yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian.

1:9 Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus

1:10 sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.

1:11 Aku katakan “di dalam Kristus”, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan–kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya–

1:12 supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.

Di dalam Dia Allah telah memilih kita . . . Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya. —Efesus 1:4-5

Adopsi

Saya dan Marlene sudah menikah selama lebih dari 35 tahun. Dahulu, ketika masih berpacaran, kami pernah membicarakan suatu hal yang tidak pernah saya lupakan. Marlene mengatakan kepada saya bahwa ia diadopsi ketika masih berumur 6 bulan. Ketika saya bertanya apakah ia pernah mempunyai keinginan untuk mengetahui siapa orangtuanya yang sebenarnya, ia menjawab, “Ibu dan ayahku bisa saja memilih bayi mana pun pada hari itu, tetapi mereka memilihku. Mereka telah mengangkatku menjadi anak. Mereka berdualah orangtuaku yang sebenarnya.”

Teguhnya penerimaan dan rasa syukur yang dimiliki Marlene terhadap orangtua angkatnya tersebut sepatutnya juga menandai hubungan kita dengan Allah. Sebagai pengikut-pengikut Kristus, kita telah dilahirkan kembali oleh Allah melalui iman kepada-Nya dan sudah diadopsi ke dalam keluarga Allah. Paulus menulis, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef. 1:4-5).

Perhatikan sifat dari pertukaran ini. Kita telah dipilih oleh Allah dan diadopsi sebagai anak-anak-Nya, baik pria maupun wanita. Melalui adopsi, kini kita memiliki hubungan yang sama sekali baru dengan Allah. Dialah Bapa kita yang terkasih!

Kiranya hubungan ini menggelorakan hati kita untuk menyembah Dia—Bapa kita—dengan penuh ucapan syukur. —WEC

Bapa terkasih, terima kasih telah mengangkatku
menjadi Anak-Mu dan menjadikanku anggota
di dalam keluarga-Mu. Dengan hati yang bersyukur,
aku berterima kasih karena Engkau menjadikanku milik-Mu.

Allah mengasihi setiap dari kita begitu rupa seolah-olah kitalah satu-satunya insan di dunia. —Augustine