Posts

Setiap Kisah

Kamis, 4 Juli 2019

Setiap Kisah

Baca: Lukas 24:17-27

24:17 Yesus berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka berhentilah mereka dengan muka muram.

24:18 Seorang dari mereka, namanya Kleopas, menjawab-Nya: “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?”

24:19 Kata-Nya kepada mereka: “Apakah itu?” Jawab mereka: “Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami.

24:20 Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya.

24:21 Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi.

24:22 Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur,

24:23 dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup.

24:24 Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati, bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat.”

24:25 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!

24:26 Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”

24:27 Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.

Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. —Lukas 24:27

Setiap Kisah

Saya membuka Alkitab untuk anak yang memuat ilustrasi yang sangat menarik dan mulai membacakan isinya kepada cucu saya. Kami langsung dibuat terpesona oleh kisah-kisah tentang kasih Allah yang diuraikan di dalamnya. Saya membaca judulnya sekali lagi: The Jesus Storybook Bible: Every Story Whispers His Name (Yesus dalam Alkitab Bergambar: Setiap Kisah Membisikkan Nama-Nya).

Setiap kisah membisikkan nama-Nya.

Jujur saja, adakalanya Alkitab, terutama Perjanjian Lama, sulit untuk dimengerti. Mengapa bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah menindas umat-Nya? Bagaimana mungkin Allah membiarkan kekejaman seperti itu padahal kita tahu Dia baik dan kehendak-Nya selalu dimaksudkan untuk kebaikan kita?

Setelah kebangkitan-Nya, Yesus bertemu dengan dua murid yang tidak mengenali-Nya di jalan menuju Emaus. Mereka sedang kecewa karena Mesias yang mereka harap-harapkan telah mati (luk. 24:19-24), padahal mereka berharap “Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel” (ay.21). Kemudian Lukas mencatat bagaimana Yesus meyakinkan mereka: “Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi” (ay.27).

Setiap kisah membisikkan nama-Nya, bahkan dalam kisah-kisah yang sulit dimengerti, karena semua itu menyingkapkan kebobrokan total dari dunia ini dan kebutuhan kita akan Sang Juruselamat. Setiap tindakan, setiap peristiwa, setiap campur tangan Allah merujuk kepada rancangan penebusan-Nya atas kita, anak-anak-Nya yang berdosa, dengan maksud agar kita kembali kepada-Nya. —Elisa Morgan

WAWASAN
Pengajaran Kristus dalam Lukas 24 memberi kita suatu wawasan tentang cara membaca Perjanjian Lama, yakni dengan melihat Yesus sebagai intinya. Pada ayat 27, Yesus menyebut Perjanjian Lama dengan istilah “kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.” Dalam ayat 44, Yesus mengelompokkan kitab-kitab suci menjadi tiga bagian, yaitu “kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” dan mengatakan bahwa tulisan-tulisan itu berbicara tentang Diri-Nya. Yohanes 5:39 menyampaikan hal serupa, “Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku.” —Arthur Jackson

Bagaimana karya keselamatan Allah terjadi dalam kehidupan kamu? Apa yang sedang mengusikmu hari-hari ini? Bagaimana kamu melihat tangan Allah bekerja dalam kisah-kisah kehidupanmu yang sulit dimengerti?

Ya Allah, tolonglah aku menyimak saat Engkau membisikkan nama-Mu melalui setiap kisah yang kami temukan di dalam Alkitab.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 28-29; Kisah Para Rasul 13:1-25

Handlettering oleh Novia Jonatan

Pencarian Harta Karun

Sabtu, 2 Maret 2019

Pencarian Harta Karun

Baca: Amsal 4:5-19

4:5 Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian, jangan lupa, dan jangan menyimpang dari perkataan mulutku.

4:6 Janganlah meninggalkan hikmat itu, maka engkau akan dipeliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaganya.

4:7 Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kauperoleh perolehlah pengertian.

4:8 Junjunglah dia, maka engkau akan ditinggikannya; engkau akan dijadikan terhormat, apabila engkau memeluknya.

4:9 Ia akan mengenakan karangan bunga yang indah di kepalamu, mahkota yang indah akan dikaruniakannya kepadamu.”

4:10 Hai anakku, dengarkanlah dan terimalah perkataanku, supaya tahun hidupmu menjadi banyak.

4:11 Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, aku memimpin engkau di jalan yang lurus.

4:12 Bila engkau berjalan langkahmu tidak akan terhambat, bila engkau berlari engkau tidak akan tersandung.

4:13 Berpeganglah pada didikan, janganlah melepaskannya, peliharalah dia, karena dialah hidupmu.

4:14 Janganlah menempuh jalan orang fasik, dan janganlah mengikuti jalan orang jahat.

4:15 Jauhilah jalan itu, janganlah melaluinya, menyimpanglah dari padanya dan jalanlah terus.

4:16 Karena mereka tidak dapat tidur, bila tidak berbuat jahat; kantuk mereka lenyap, bila mereka tidak membuat orang tersandung;

4:17 karena mereka makan roti kefasikan, dan minum anggur kelaliman.

4:18 Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari.

4:19 Jalan orang fasik itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung.

Keuntungan [hikmat] melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas. —Amsal 3:14

Daily Quotes ODB

Harta karun yang terpendam. Kedengarannya seperti dongeng anak-anak. Namun, seorang jutawan eksentrik bernama Forrest Fenn mengaku menyembunyikan peti berisi emas permata senilai 2 juta dollar di suatu tempat di Pegunungan Rocky. Banyak orang pun pergi mencarinya. Bahkan, 4 orang kehilangan nyawa saat berusaha memburu harta karun yang tersembunyi itu.

Penulis kitab Amsal memberikan alasan yang patut kita pikirkan sungguh-sungguh: Adakah harta yang begitu berharganya hingga layak ditukar dengan nyawa? Dalam Amsal 4, seorang ayah yang menuliskan nasihat tentang menjalani hidup yang baik kepada anak-anaknya menunjukkan bahwa hikmat adalah satu-satunya harta berharga yang layak dikejar dengan sekuat tenaga (ay.7). Hikmat, katanya, akan menuntun kita dalam menjalani kehidupan, menjaga langkah kita agar tidak tersandung, dan memahkotai kita dengan kehormatan (ay.8-12). Beratus-ratus tahun kemudian, Yakobus, salah seorang murid Yesus, juga menuliskan tentang pentingnya hikmat. “Hikmat yang dari atas,” tulisnya, “adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik” (Yak. 3:17). Saat kita mencari hikmat, kita akan mendapati segala sesuatu yang baik berkembang dalam hidup kita.

Mencari hikmat pada dasarnya adalah mencari Allah, sumber segala hikmat dan pengertian. Hikmat yang datang dari atas sungguh jauh lebih berharga daripada segala harta terpendam yang pernah kita bayangkan. —Amy Peterson

Apakah kamu selalu mencari hikmat Allah secara aktif? Apa yang bisa kamu lakukan untuk mencari hikmat itu hari ini?

Tuhan, latihlah hatiku untuk mengingini hikmat dan latihlah kakiku untuk berjalan sesuai kehendak-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 26–27; Markus 8:1-21

Mengatasi Informasi Buruk

Selasa, 26 Februari 2019

Mengatasi Informasi Buruk

Baca: Amsal 23:9-12

23:9 Jangan berbicara di telinga orang bebal, sebab ia akan meremehkan kata-katamu yang bijak.

23:10 Jangan engkau memindahkan batas tanah yang lama, dan memasuki ladang anak-anak yatim.

23:11 Karena penebus mereka kuat, Dialah yang membela perkara mereka melawan engkau.

23:12 Arahkanlah perhatianmu kepada didikan, dan telingamu kepada kata-kata pengetahuan.

Arahkanlah perhatianmu kepada didikan, dan telingamu kepada kata-kata pengetahuan. —Amsal 23:12

Mengatasi Informasi Buruk

Dalam kunjungan ke kota New York baru-baru ini, saya bersama istri ingin menikmati malam yang bersalju. Kami pun menyewa taksi untuk membawa kami ke sebuah restoran Kuba yang berjarak sekitar 5 km dari hotel. Setelah memasukkan alamat ke aplikasi pemesanan taksi, saya terbelalak melihat tarif untuk jarak sependek itu: Rp. 22.340.887. Setelah beberapa saat, saya baru sadar telah memasukkan alamat rumah kami yang jaraknya ratusan kilometer dari sana sebagai tujuan!

Dengan informasi yang salah, apa yang kamu kerjakan pasti akan berantakan. Itulah sebabnya Amsal mendorong kita untuk mengarahkan “perhatian [kita] kepada didikan, dan telinga [kita] kepada kata-kata pengetahuan”—yakni hikmat Allah (Ams. 23:12). Jika kita meminta nasihat dari orang bodoh dan bebal, yaitu mereka yang bersikap sok tahu dan mengabaikan Allah, kita pasti akan mendapat masalah. Mereka akan “meremehkan [kata-kata] yang bijak” dan bisa membuat kita tersesat dengan saran yang tidak bermanfaat, keliru, bahkan menipu (ay.9).

Karena itu, lebih baik kita mencondongkan “telinga [kita] kepada kata-kata pengetahuan” (ay.12). Bukalah hati untuk menerima petunjuk Allah yang memberi kemerdekaan, yakni firman-Nya yang penuh kejelasan dan pengharapan. Nasihat dari orang-orang yang mengenal Allah akan menolong kita untuk menerima dan menaati hikmat-Nya. Hikmat Allah takkan pernah menyesatkan, tetapi selalu menguatkan dan menuntun kita menuju keutuhan hidup di dalam Dia. —Winn Collier

Tuhan, condongkanlah telinga dan hatiku kepada hikmat. Tolong aku agar terbuka terhadap kebenaran-Mu dan menolak sikap yang bebal.

Hikmat orang bebal selalu membawa kita ke jalan buntu, tetapi hikmat Allah selalu memberikan jalan keluar.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 15-16; Markus 6:1-29

Hidup dalam Terang

Minggu, 10 Februari 2019

Hidup dalam Terang

Baca: Mazmur 119:9-16, 97-105

119:9 Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.

119:10 Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu.

119:11 Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau.

119:12 Terpujilah Engkau, ya TUHAN; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.

119:13 Dengan bibirku aku menceritakan segala hukum yang Kauucapkan.

119:14 Atas petunjuk peringatan-peringatan-Mu aku bergembira, seperti atas segala harta.

119:15 Aku hendak merenungkan titah-titah-Mu dan mengamat-amati jalan-jalan-Mu.

119:16 Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan.

119:97 Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari.

119:98 Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku.

119:99 Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan.

119:100 Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu.

119:101 Terhadap segala jalan kejahatan aku menahan kakiku, supaya aku berpegang pada firman-Mu.

119:102 Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu, sebab Engkaulah yang mengajar aku.

119:103 Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku, lebih dari pada madu bagi mulutku.

119:105 Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.

Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. —Mazmur 119:105

Hidup dalam Terang

Saya dan seorang rekan pernah ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke suatu tempat sejauh 400 km. Malam telah larut ketika kami mulai berjalan pulang. Tubuh dan mata saya yang renta membuat saya kesulitan mengemudi di malam hari. Meski demikian, saya memilih giliran pertama untuk menyetir. Dengan tangan mencengkeram kemudi, mata saya pun memelototi jalan yang temaram. Saya bisa melihat jalanan dengan lebih jelas ketika mobil-mobil di belakang kami menyalakan lampu sorotnya. Betapa leganya saya ketika akhirnya tiba giliran teman saya untuk mengemudi. Saat itulah ia mendapati bahwa sejak tadi saya menyetir dengan lampu kabut, bukan lampu utama!

Mazmur 119 adalah mahakarya pemazmur yang tahu bahwa firman Allah merupakan sumber terang untuk kehidupan kita sehari-hari (ay.105). Namun, seberapa sering kita berada dalam situasi remang yang mengganggu seperti pengalaman saya tadi? Dengan susah payah kita berusaha melihat, bahkan kadang menyimpang dari jalur yang terbaik karena lupa menggunakan terang firman Allah. Mazmur 119 mendorong kita untuk tidak lupa “menyalakan lampu yang benar”. Apa yang terjadi ketika kita melakukannya? Kita akan mendapat hikmat untuk hidup suci (ay.9-11); kita menemukan motivasi dan semangat baru untuk menjauhi jalan kejahatan (ay.101-102). Ketika hidup dalam terang, kita pun menjiwai pujian sang pemazmur, “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari” (ay.97). —Arthur Jackson

Bapa, penuhi hatiku dengan firman-Mu agar aku memiliki terang yang kuperlukan untuk hari ini.

Berjalan dalam terang firman Allah membuat kamu tidak akan tersandung dalam kegelapan.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 8-10; Matius 25:31-46

Apakah Mengikuti Kata Hati Bisa Membuat Kita Berbahagia?

Oleh Ashley Ashcraft
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Key To Happiness—Don’t Follow Your Heart

“Ikuti kata hatimu.” Kita mungkin telah mendengarnya berjuta-juta kali. Mungkin juga kita telah membacanya di Instagram, gelas kopi, karya seni, bahkan di toko buku Kristen. Tapi, apakah benar jika aku mengikuti kata hatiku? Apakah mengikuti kata hatiku bisa membuatku bahagia?

Ada masa-masa dalam hidupku di mana aku menyesal karena telah mengikuti kata hatiku. Contohnya, aku mengikuti kata hatiku untuk memanjakan diri dengan makan yang banyak. Tapi, pada akhirnya, bukan kebahagiaan karena kenyang yang kudapat, aku malah sakit perut. Aku juga pernah mengikuti kata hatiku untuk menjalin sebuah relasi yang pada ujungnya berakhir dengan kesedihan. Seruan “ikuti kata hatimu” ini sepertinya mempengaruhi dan mewarnai banyak hal dalam kehidupan kita.

Hati kita licik

Banyak orang berjuang untuk mengikuti kata hati. Mereka percaya bahwa suara hati mereka adalah penuntun terbaik yang mereka miliki. Namun, Alkitab memberitahu kita bahwa sesungguhnya hati kita itu licik (Yeremia 17:9). Jika kita mengetahui kebenaran ini, tentunya kita tidak ingin mengikuti sesuatu yang bisa menyesatkan kita begitu jauh, bukan?

Tapi, seringkali pula kita sulit untuk menyadari bahwa hati itu licik. Perlu usaha keras untuk mengubah pemahaman di kepala kita dan menyadari bahwa kedagingan kita bisa berdampak buruk untuk kita. Namun, kita perlu bersyukur kepada Tuhan. Meskipun hati kita licik, tetapi ketika kita dibasuh dan dikuduskan oleh Yesus (1 Korintus 6:11), Tuhan dapat bekerja mentransformasi hati kita untuk semakin serupa dengan hati Yesus. Namun, hingga kelak nanti kita tiba di kehidupan yang baru, hati kita saat ini tetap bisa saja menuntun kita ke jalan yang salah.

Aku tidak mengatakan bahwa suara hati yang umumnya menyangkut aspek emosi kita adalah hal yang buruk. Emosi atau perasaan yang kita alami memampukan kita merasakan Tuhan dengan lebih penuh. Kita tahu bahwa Tuhan bersama dengan kita dalam kesedihan, sukacita, dan Dia pun tahu betul seperti apa yang kita rasakan. Tapi, emosi tidak seharusnya menjadi penggerak dalam keputusan atau tindakan kita. Penggerak dari kehidupan kita yang seharusnya adalah iman kita—apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, apa yang kita percayai terlepas dari apa yang kita rasakan. Ketika iman menjadi penggerak kehidupan kita, kemungkinan bahwa emosi menuntun kita ke sesuatu yang salah menjadi semakin kecil.

Jadi, bagaimana caranya kita dapat memahami dengan betul bahwa emosi adalah pemberian dari Tuhan sekaligus juga sesuatu yang bisa saja menuntun kita ke arah yang salah?

Jangan ikuti kata hatimu, ikutilah hati Kristus

Kurasa jawaban dari pertanyaan di atas terdapat di dalam pengorbanan. Pengorbanan adalah bagian esensial dari pesan Injil dan itu jugalah yang seharusnya kita lakukan sebagai orang Kristen. Yesus telah berkorban lebih dulu untuk kita. Yesus merendahkan diri-Nya untuk datang ke dalam dunia; Dia melayani orang-orang; dan Dia menderita, memberikan pengorbanan-Nya yang terbesar di kayu salib. Pada malam sebelum kematian-Nya, Dia berdoa di Taman Getsemani, “Bukan kehendak-Ku, tapi kehendak-Mu.” Oleh karena itu, sebagai orang yang memiliki gambar dan rupa Kristus, pengorbanan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, bagian dari DNA spiritual kita.

Jika kita selalu mengikuti kata hati kita, melakukan apa yang kita inginkan dengan cara kita, bagaimanakah kita dapat berkorban? Apakah kita benar-benar bisa menjadi murid Kristus dan selalu mendapatkan apapun juga yang kita inginkan? Di sinilah perubahan harus terjadi: kita tidak lagi mengikuti kata hati kita sendiri, kita harus mengikuti kata hati Kristus.

Karena kata hati kita dan kata hati Kristus seringkali tidak selalu sejalanan, di sinilah pengorbanan menjadi hal yang penting. Kita perlu menanggalkan kehendak kita dan memilih taat pada kehendak-Nya. Kita perlu berkata seperti Yesus, “Bukan kehendakku, tapi kehendak-Mu.” Dan, kita melakukan ini karena kita percaya pada Tuhan lebih daripada kita mempercayai hati kita sendiri.

Mengorbankan kehendak diri sendiri untuk taat pada kehendak Tuhan adalah hal yang sulit dilakukan, tapi kurasa dengan kita berusaha untuk tidak mengikuti kehendak diri kita sendiri, ini adalah disiplin rohani yang dapat menolong kita. Kita diingatkan bahwa bukan kitalah yang memegang kendali atas kehidupan. Apakah kita mengikuti hati Kristus atau hati kita sendiri? Apakah ada bagian-bagian dari kehidupan kita di mana kita harus mengorbankan kehendak kita?

Di dalam hidupku, contoh pengorbanan ini terjadi di dapur. Jika aku mengikuti kata hatiku, di sore hari aku tidak akan pergi ke dapur. Aku lebih memilih aktivitas lain yang lebih menyenangkan, sebab sesungguhnya aku tidak menikmati aktivitas cuci piring dan menyiapkan makanan. Dan, hal yang membuatku kesal adalah dapurku cuma bisa bersih beberapa saat saja sebelum ada remah-remah, tumpahan makanan, dan cucian baru untuk kubersihkan.

Tapi, pada akhirnya aku sadar bahwa tidak ada tempat lain yang lebih baik untukku melatih disiplin dan berkorban bagi keluargaku selain di dapurku. Dari dapurku, aku bisa menghidupi Injil. Aku bisa mematikan keinginan dagingku sendiri dan mengarahkan hatiku kepada Yesus. Aku bisa mengasihi keluargaku dalam bentuk menyiapkan piring yang bersih dan menyajikan makanan yang lezat dan sehat.

Mungkin apa yang kulakukan tidaklah seberapa kalau dibandingkan dengan orang-orang lain yang sudah berkorban dengan jauh lebih besar dan dengan cara-cara yang mengagumkan. Namun, aku percaya Tuhan menghargai pengorbananku sekecil apapun.

Jadi, setiap sore aku pun pergi ke dapur. Aku menyiapkan makanan dan mencuci piring. Tapi, sekarang aku tidak pergi ke dapur atas kehendakku sendiri. Aku pergi karena Tuhan telah memintaku untuk mengasihi keluargaku dengan menyiapkan kebutuhan makanan mereka. Sejak aku mulai mengubah pola pikirku, aktivitas di dapur yang tampaknya sederhana menjadi suatu berkat yang besar buatku. Seandainya aku mengikuti kata hatiku sendiri dan bukan hati Kristus, aku mungkin akan melewatkan begitu saja pengalaman ini, sebuah latihan yang dipakai Tuhan untuk menghidupi Injil dalam keseharianku.

Apakah artinya aku tidak boleh berbahagia?

Setelah menyampaikan ceritaku di atas, aku tidak sedang berkata bahwa Tuhan mau agar kita selalu mengorbankan keinginan kita, dan bahwa emosi adalah hal yang buruk. Sebagai orang tua, ketika aku melihat anakku berbahagia, aku pun turut merasa bahagia. Dan, kupikir ini jugalah yang Tuhan rasakan terhadap kita. Ketika kita bahagia, Dia pun berbahagia. Namun, poin pentingnya adalah, apa yang membuat kita bahagia? Tuhan ingin mengaruniakan kita kebahagiaan yang sejati—yang berlangsung abadi dan memuaskan—dan kebahagiaan ini bisa kita dapatkan dengan mengikuti hati-Nya.

Bagaimana kita bisa tahu isi hati Tuhan? Jawabannya adalah dengan membaca firman-Nya. Dengan membaca firman-Nya, kita belajar untuk percaya bahwa Tuhan tidak hanya tahu apa yang terbaik, tapi apa yang benar-benar dapat membuat kita berbahagia. Banyak hal di dunia ini mungkin bisa menghibur kita secara sementara, tapi itu semua tidak bisa bertahan hingga selamanya. JIka kita mulai mencari kebahagiaan kita sendiri, mengikuti kata hati sendiri, kemungkinannya kita akan berhenti di suatu hal yang fana dan kurang berarti, dan pada akhirnya mengecewakan kita.

Mazmur 86 telah jadi mazmur favoritku sejak lama. Di ayat 11, Raja Daud berkata, “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu; bulatkanlah hatiku untuk takut akan nama-Mu.” Daud mengerti dengan benar—fokus hati kita mudah terbagi. Dan karena itu, hati kita bisa saja menyesatkan kita. Oleh karena itu, kita dapat menggemakan kata-kata Daud dan berkata, “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu Tuhan.”

Motto hidup kita seharusnya bukan: ikuti kata hatimu, tetapi ikuti kata hati-Nya. Saat kita mengikuti kata hati Tuhan, kita menunjukkan kepercayaan kita kepada jalan-Nya, juga kita mengakui kedaulatan-Nya. Pun kita menunjukkan pada dunia bahwa kita dipuaskan ketika kita meminum dari-Nya, sang Mata Air Kehidupan. Segala jalan lain di dunia tidak akan pernah memberikan kita kepuasan, hanya Tuhan sajalah. Hanya Tuhan yang dapat membuat kita berbahagia. Ikutilah kata hati-Nya.

Baca Juga:

Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar.

Dari Kejadian Sampai Wahyu, Pengalamanku Membaca Habis Alkitab dalam Setahun

Oleh Jefferson, Singapura

Sejak aku lahir baru, aku terdorong untuk membaca habis Alkitab dalam setahun. Tapi, karena kesibukanku di sekolah, aku terus menundanya. Dengan pertolongan Tuhan dan dukungan dari teman-teman kelompok kecilku, barulah enam tahun kemudian aku dapat menyelesaikan membaca Alkitab dalam setahun.

Membaca Alkitab setiap hari selama setahun telah menolongku untuk peka terhadap suara Tuhan. Namun, aku menyadari bahwa proses untuk konsisten melakukan hal ini tidaklah mudah. Melalui tulisan ini, aku ingin membagikan sekelumit pengalamanku yang kiranya dapat menginspirasimu untuk berkomitmen menjalani hari-hari di tahun 2019 dengan konsisten membaca firman-Nya.

Beberapa persiapan pendahuluan

Di akhir tahun 2017, aku punya resolusi untuk menuntaskan pembacaan Alkitab di tahun 2018. Jadi, selama beberapa minggu terakhir di tahun 2017, aku mempersiapkan hal-hal yang kubutuhkan untuk mewujudkan resolusi itu. Pertama-tama, aku menentukan versi terjemahan Alkitab yang akan kubaca. Aku terbiasa membaca dalam bahasa Inggris, jadi aku memilih Alkitab versi English Standard Version (ESV).

Langkah kedua menurutku adalah langkah yang lebih rumit: menentukan rencana baca Alkitab (Bible reading plan) yang akan kuikuti. Aku bisa saja memilih perikop yang akan kubaca secara acak setiap harinya. Tapi, aku tidak mau melakukannya karena itu sama artinya dengan mengabaikan struktur dan salah satu identitas Alkitab sebagai sebuah karya sastra. Ibarat sebuah fine dining course yang hidangannya disajikan dengan cermat, pun ada urutan-urutan baca tertentu yang memampukan kita untuk melihat gambaran besar yang Alkitab sampaikan. Kupikir cara membaca Alkitab dengan pendekatan acak tidak akan cocok untuk membaca sebuah buku yang berisikan firman Tuhan.

Dari beberapa Bible reading plan yang aku telaah, aku memutuskan untuk menggunakan ESV Study Bible One Year Reading Plan. Selain cocok dengan versi terjemahan yang akan kupakai, plan ini juga menyediakan tafsiran untuk ayat-ayat yang sulit kupahami dan membagi kitab-kitab dalam Alkitab ke dalam empat kategori: Mazmur dan Sastra Hikmat, Taurat dan Sejarah Israel, Tawarikh dan Nabi-nabi, dan Injil dan Surat Rasul. Aku akan membaca paling tidak satu perikop dari setiap kategori tiap harinya. Reading plan ini juga tidak menyediakan renungan apapun sebelum atau sesudah perikop bacaan. Dengan kata lain, aku “dipaksa” untuk benar-benar merenungkan apa yang kubaca.

Langkah terakhir adalah menentukan kapan waktu yang tepat buatku membaca. Awalnya aku berusaha untuk membaca Alkitab di pagi hari. Tapi, sejak aku mulai bekerja, aku tidak punya cukup waktu di pagi hari untuk membaca seluruh perikop. Aku pun mengganti waktu bacaku ke malam hari sepulang dari kantor.

Puji Tuhan, setelah setahun berlangsung, Tuhan memampukanku mengikuti Bible reading plan itu hingga usai. Ada tiga poin yang akan kusampaikan:

#1 – 1001 alasan untuk mangkir tidak berdaya di hadapan 1 alasan untuk membaca

Aku mengamati, mungkin ada di antara kita yang menganggap membaca habis Alkitab dalam setahun sebagai sesuatu yang sulit dan luar biasa. Kita lalu memuji dan sangat kagum dengan saudara seiman yang telah berhasil melakukannya. Tapi, apakah membaca Alkitab dari sampul ke sampul memang sebuah prestasi yang hanya bisa dicapai oleh orang Kristen tertentu? Atau, apakah semua orang Kristen juga bisa melakukannya?

Setelah mempraktikkan dan mengalaminya sendiri, aku memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut. Pada awalnya, aku sepakat dengan anggapan pertama yang mengatakan bahwa membaca tuntas Alkitab hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Dunia kita sekarang sudah tersaturasi dengan penggunaan gadget, di mana cara kita berinteraksi di media sosial menanamkan sifat short attention span dalam diri kita. Kita enggan, tidak terbiasa, atau bahkan tidak lagi bisa menikmati kegiatan yang memerlukan perhatian cukup lama seperti membaca. Penolakan ini bisa jadi berlipat ganda ketika buku yang dibaca merupakan salah satu kitab tertua di dunia dengan sastra Yahudi kuno sebagai genre utamanya.

Di masa awal aku menjalani komitmenku ini, aku kesulitan untuk membaca paling tidak empat perikop tiap harinya. Aku sempat jenuh dan pernah dengan sengaja melewatkan satu atau dua perikop di beberapa hari pertamaku. Tapi, Tuhan mengusik hatiku lewat salah satu bacaan di hari kedua yang diambil dari Mazmur 1 yang membandingkan orang fasik dengan orang benar. Perbedaan utama keduanya adalah orang benar menyukai dan merenungkan Taurat Tuhan siang dan malam (ayat 1). Orang benar kemudian digambarkan seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang selalu berbuah pada musimnya, tidak layu daunnya, dan apa saja yang diperbuatnya berhasil (ayat 4).

Dalam perenunganku, aku menyadari bahwa satu-satunya tindakan aktif si orang benar adalah merenungkan firman Tuhan dan bergantung pada-Nya, karena tidak mungkin sebuah pohon menanam bibitnya sendiri ke dalam tanah lalu bertumbuh. Aku menyimpulkan bahwa untuk menjadi seorang benar yang hidupnya berkenan di hadapan Allah, aku harus menyerahkan diriku sepenuhnya untuk dibentuk dan dididik-Nya lewat pergaulan erat dengan Alkitab. Perenungan inilah yang membakar kembali api semangatku yang sempat padam, dan puji Tuhan, akhirnya aku dapat menyelesaikan resolusiku dengan baik.

Kurasa sangatlah wajar bagi kita untuk enggan membaca Alkitab , tetapi kalau kita terus-menerus menolak untuk mendekat pada Tuhan dan mempelajari kehendak-Nya dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya kita akan kehabisan alasan. Kebenaran pun terungkap: kita bukannya tidak bisa membaca Alkitab secara konsisten dalam setahun; kita tidak mau dan tidak merencanakannya. Padahal, Sumber Air Hidup yang akan membuat kita tidak pernah haus lagi telah memberikan diri-Nya untuk kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah minum dari-Nya dan menyaksikan bagaimana air itu Dia ubahkan menjadi mata air yang tidak akan pernah habis dalam diri kita (Yohanes 4:14).

#2 – Usaha pendakian akan dibayar setimpal oleh pemandangan dari atas puncak

Kita telah belajar kalau membaca Alkitab secara konsisten dalam setahun bukanlah hal yang mustahil jika kita benar-benar bergantung kepada Tuhan. Kita mungkin tidak dapat mengingat ribuan kata yang ada dalam Alkitab karena kita memang manusia yang terbatas. Tetapi, kita dapat mengingat tema-tema dan peristiwa-peristiwa utama yang tercatat dalam Alkitab.

Buatku pribadi, Alkitab berisikan gambaran besar dari kisah Allah yang mulia. Menikmati kisah itu seperti menikmati pemandangan dari atas sebuah puncak. Ada banyak rute yang dapat membawa kita mencapai puncak itu. Dalam pengalamanku, rute yang kupilih adalah keempat kategori rencana baca Alkitabku. Ada banyak hal yang ingin kubagikan dari perjalananku mendaki dan menikmati pemandangan dari puncak itu, tapi rasanya artikel ini nantinya akan terlalu panjang. Jadi, aku hanya ingin membagikan dua hal saja yang kuanggap paling penting.

Pertama, aku terkagum-kagum dengan berbagai macam emosi yang diekspresikan dalam kitab-kitab Mazmur dan Sastra Hikmat (Amsal, Pengkhotbah, dan Kidung Agung). Kitab-kitab ini menggambarkan dengan jelas realita kehidupan manusia yang penuh jatuh bangun, dari masa-masa penuh sukacita seperti yang tertulis dalam Mazmur 34 dan Kidung Agung, hingga masa yang kelam seperti tertulis di Mazmur 88 dan Pengkhotbah. Namun, di tengah-tengah ketidakpastian hidup, Tuhan hadir sebagai Gunung Batu yang mengundang kita untuk hidup dalam naungan-Nya dan mengikut Dia. Di sini aku belajar untuk terus berelasi dengan Tuhan dalam segala situasi dengan apa adanya.

Poin pertama yang terdengar abstrak ini mengambil bentuk konkrit dalam ketiga kategori lainnya. Peristiwa-peristiwa dalam kitab Taurat, sejarah Israel, nabi-nabi, dan Perjanjian Baru memperjelas identitas dan karakteristik Tuhan yang dinyatakan oleh kategori sebelumnya. Dalam proses aku membaca Alkitab sampai habis, aku semakin memahami dan mengenali Allah Tritunggal yang adalah Kasih. Karena begitu besar kasih yang dimiliki Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus dari semula, ketiga pribadi Tritunggal menciptakan dunia dan segala isinya untuk membagikan kasih ini. Karena begitu besar kasih Allah yang adalah adil dan benar, Ia tidak mungkin mentolerir dosa yang pada dasarnya adalah penolakan dan pemberontakan terhadap diri-Nya. Dan karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, Ia memberikan diri-Nya sendiri untuk mati menanggung hukuman dosa dan mendamaikan kita dengan-Nya. Tuhan Yesus, sang Firman yang menjadi manusia, merangkum esensi kasih Allah yang meluap-luap dan tanpa pamrih ini dalam Markus 10:45, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Pemahaman dan pengenalan yang lebih dalam tentang Allah ini hanya bisa kita dapatkan melalui membaca firman-Nya tentang Firman-Nya. Dalam pribadi Kristus kita memiliki teladan hidup, dan inilah yang kumaksud dengan “hidup mengikuti Dia”: mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan jiwa dan akal budi, dan mengasihi sesama, bahkan musuh kita, seperti diri kita sendiri (Matius 22:37-38).

Tidak ada cara lain untuk dapat mengenal Tuhan selain melalui halaman-halaman Alkitab yang memberikan kita “terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Korintus 4:6). Inilah pemandangan dari puncak yang tidak akan kutukar dengan hal apapun (Filipi 3:8).

#3 – Membaca Alkitab sampai habis satu kali tidak akan cukup untuk mengenal Tuhan

Allah yang kita kenal lewat Alkitab adalah Tuhan yang melampaui akal pikiran manusia. Kita tidak mungkin memahami Dia sepenuhnya hanya dengan membaca habis Alkitab satu kali. Jadi, harus berapa kali kita melakukannya supaya kita bisa semakin mengenal Tuhan? Dua kali? Atau tiga kali? Lebih dari itu, kita harus membaca Alkitab dari Kejadian hingga Wahyu dengan konsisten hingga kelak kita bertemu Tuhan muka dengan muka.

Menyebutkan kitab Wahyu di sini adalah hal yang penting, karena di dalam kitab itu tercatat janji Tuhan untuk berdiam di tengah-tengah umat-Nya (Wahyu 21:3). Kita juga akan melihat wajah-Nya dan di dahi kita akan tertulis nama-Nya (Wahyu 22:4). Di akhir zaman, tidak akan ada lagi maut maupun dosa yang memisahkan kita dengan Tuhan, “sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4). Apa implikasinya? Kita akan dapat memahami dan mengenal Allah secara penuh; kita dapat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan Allah yang selama ini kita kenal melalui firman-Nya.

Jadi, mengapa kita harus terus membaca Alkitab dengan konsisten terus menerus sampai kelak kita berjumpa dengan Tuhan? Karena Alkitab adalah satu-satunya sarana untuk kita dapat mengenali Tuhan saat ini (kesimpulanku dari berbagai perikop, terutama 2 Timotius 3:15-17). Hanya melalui Alkitablah kita, yang dulu pikirannya dibutakan oleh ilah zaman ini, sekarang dapat melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus yang adalah gambaran Allah sendiri (2 Korintus 4:4). Mungkin sekarang kita hanya dapat mengenal Tuhan melalui gambaran yang kurang jelas dalam cermin, tetapi bayangan samar-samar itu menunjukkan bahwa si pemilik bayangan memang ada. Dan, melalui cermin itulah si pemilik bayangan berjanji untuk menemui kita sehingga kita dapat melihat rupanya dengan jelas. Maka, bersama-sama dengan Paulus, kita dapat dengan penuh percaya diri mengatakan, “Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti [di kedatangan kedua Tuhan] aku akan mengenal dengen sempurna, seperti aku sendiri dikenal [oleh Allah sejak semula]” (1 Korintus 13:12). Sambil menantikan momen bertemu Tuhan muka dengan muka, mari kita terus memahami dan mengenali-Nya lewat cermin yang Ia berikan, yang menuntun kita kepada Firman sejati yang hidup dan pernah berjalan di tengah manusia, Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu, jangan pernah berhenti membaca Alkitab; mulailah tahun 2019 dengan resolusi untuk menyelesaikan membacanya.

Aku ingin menutup tulisan ini dengan mengajakmu memanjatkan doa yang dinaikkan oleh Anselm, seorang bapak gereja dari abad ke-11. Setelah merenungkan sifat-sifat Allah yang ajaib dan kelihatannya saling berlawanan dalam bukunya Proslogion, ia meresponi hal ini dengan kalimat-kalimat berikut:

Aku berdoa, ya Tuhan, supaya aku dapat mengenal-Mu dan mengasihi-Mu, sehingga aku dapat bersukacita di dalam-Mu.

Dan, jikalau aku tidak dapat melakukannya dengan penuh di kehidupan ini, biarlah aku menguasainya perlahan-lahan hingga mencapai kepenuhannya. Biarlah pengetahuan akan diri-Mu bertumbuh dalamku di sini, dan di sana [di surga] dijadikan sempurna. Biarlah kasih-Mu bertumbuh dalamku di sini dan di sana dijadikan sempurna, sehingga sukacitaku di sini dapat berlimpah dalam pengharapan, dan di sana dijadikan sempurna dalam realita.

Ya Tuhan, melalui Anak-Mu, Engkau mengajarkan kami untuk meminta dan Engkau berjanji bahwa kami akan mendapatkan sehingga “sukacita kami menjadi penuh”. Aku meminta, ya Tuhan, ketika Engkau mengajar melalui Penasihat Ajaib kami, [supaya] aku menerima apa yang Engkau janjikan melalui kebenaran-Mu sehingga “sukacitaku menjadi penuh”.

Allah yang adalah Kebenaran, aku meminta supaya aku dapat menerima sehingga “sukacitaku menjadi penuh”. Hingga saat itu tiba, biarlah pikiranku merenungkan [momen di mana “sukacitaku menjadi penuh”], biarlah lidahku berkata-kata tentangnya, biarlah hatiku mengasihinya, biarlah mulutku berkhotbah tentangnya. Biarlah jiwaku merindukannya, biarlah tubuhku menginginkannya, biarlah seluruh keberadaanku mendambahaknnya, hingga aku masuk dan [mengambil bagian] dalam “sukacita Tuhan”, yang adalah Allah Tritunggal, terberkatilah selama-lamanya. Amin.

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Informasi tambahan:

Kamu dapat membaca tentang tips-tips praktis membaca Alkitab dalam setahun dalam tulisan Bruce Ware, seorang dosen Teologi Kristen di Southern Baptist Theological Seminary. Aplikasi-aplikasi praktis yang ia berikan sangat membantuku selama setahun ke belakang dan kuharap dapat membantumu juga dalam membaca habis Alkitab selama setahun ke depan. Selamat membaca!

Baca Juga:

#10YearChallenge, Hal Apakah yang Tuhan Telah Ubahkan dalam Hidupmu?

Perjalanan hidup yang telah kita lalui mungkin tidaklah selalu lancar, tetapi entah kita sadari atau tidak, itulah yang membentuk dan mengubah kita menjadi diri kita yang ada sekarang ini. Apakah yang Tuhan telah ubahkan dalam hidupmu?

Berbagi Segalanya

Rabu, 16 Januari 2019

Berbagi Segalanya

Baca: Rut 1:11-18

1:11 Tetapi Naomi berkata: “Pulanglah, anak-anakku, mengapakah kamu turut dengan aku? Bukankah tidak akan ada lagi anak laki-laki yang kulahirkan untuk dijadikan suamimu nanti?

1:12 Pulanglah, anak-anakku, pergilah, sebab sudah terlalu tua aku untuk bersuami. Seandainya pikirku: Ada harapan bagiku, dan sekalipun malam ini aku bersuami, bahkan sekalipun aku masih melahirkan anak laki-laki,

1:13 masakan kamu menanti sampai mereka dewasa? Masakan karena itu kamu harus menahan diri dan tidak bersuami? Janganlah kiranya demikian, anak-anakku, bukankah jauh lebih pahit yang aku alami dari pada kamu, sebab tangan TUHAN teracung terhadap aku?”

1:14 Menangis pula mereka dengan suara keras, lalu Orpa mencium mertuanya itu minta diri, tetapi Rut tetap berpaut padanya.

1:15 Berkatalah Naomi: “Telah pulang iparmu kepada bangsanya dan kepada para allahnya; pulanglah mengikuti iparmu itu.”

1:16 Tetapi kata Rut: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku;

1:17 di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apapun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!”

1:18 Ketika Naomi melihat, bahwa Rut berkeras untuk ikut bersama-sama dengan dia, berhentilah ia berkata-kata kepadanya.

Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku. —Rut 1:16

Berbagi Segalanya

“Aku tak mau berbagi!” jerit anak bungsu saya. Ia tidak rela melepaskan satu saja dari sekian banyak keping LEGO miliknya. Saya tidak habis pikir melihat sikapnya itu. Namun, sejujurnya, sikap kekanak-kanakan itu tak hanya dimiliki oleh anak-anak. Seberapa sering kita sebagai orang dewasa menunjukkan sikap keras kepala lewat keengganan kita untuk memberi dengan tulus dan murah hati kepada orang lain?

Sebagai pengikut Yesus, kita dipanggil untuk berbagi hidup satu sama lain. Rut telah melakukan itu kepada Naomi, mertuanya. Naomi adalah janda miskin yang hampir tak punya apa-apa untuk diberikan kepada Rut. Namun, Rut tetap mengabdikan hidupnya kepada sang ibu mertua, dengan bersumpah bahwa mereka akan selalu bersama dan dalam kematian pun mereka tidak akan terpisahkan. Ia berkata kepada Naomi, ”Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16). Dengan tulus dan murah hati, Rut berbagi hidup dengan mertuanya—ia menunjukkan cinta dan belas kasihnya.

Berbagi hidup seperti itu memang tidak mudah, tetapi ingatlah ada buah dari kemurahan hati. Rut berbagi hidup dengan Naomi, dan kemudian ia melahirkan seorang putra yang menjadi kakek dari Raja Daud. Yesus memberikan nyawa-Nya bagi kita, lalu Dia dimuliakan dan sekarang memerintah di sebelah kanan Allah Bapa di surga. Ketika kita saling berbagi, yakinlah bahwa kita akan mengalami hidup yang jauh lebih indah. —Peter Chin

Tuhan Yesus, kiranya hati-Mu yang penuh kasih terpancar saat kami berbagi hidup dengan sesama.

Membagikan kasih Allah dinyatakan lewat kerelaan memperhatikan sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 39-40; Matius 11

Cermin dan Firman

Minggu, 16 Desember 2018

Cermin dan Firman

Baca: Yakobus 1:16-27

1:16 Saudara-saudara yang kukasihi, janganlah sesat!

1:17 Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.

1:18 Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita pada tingkat yang tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya.

1:19 Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;

1:20 sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.

1:21 Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.

1:22 Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.

1:23 Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.

1:24 Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.

1:25 Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.

1:26 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.

1:27 Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya . . . ia akan berbahagia oleh perbuatannya. —Yakobus 1:25

Cermin dan Firman

Saat keluar dari tempat penginapan saya di Kampala, Uganda, tuan rumah yang menjemput saya ke acara seminar menatap dengan senyum geli. “Apakah ada yang lucu?” tanya saya. Ia tertawa dan bertanya, “Sudahkah kamu menyisir rambut?” Giliran saya yang tertawa, karena saya memang lupa menyisir rambut, padahal tadi sudah becermin. Bisa-bisanya saya tidak sadar.

Yakobus menggunakan analogi dari kehidupan sehari-hari tentang cermin supaya pembelajaran Alkitab yang kita lakukan lebih memberi dampak. Kita becermin untuk memeriksa adakah yang perlu dikoreksi pada diri kita—rambut sudah disisir, muka sudah dicuci, baju sudah dikancing dengan benar. Seperti cermin, Alkitab membantu kita melihat pada karakter, sikap, pikiran, dan perilaku kita (Yak. 1:23-24). Dengan begitu, kita dapat menyelaraskan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah dinyatakan Allah. Kita mau “mengekang” lidah (ay.26), “mengunjungi yatim piatu dan janda-janda” yang berkesusahan (ay.27), memperhatikan pimpinan Roh Kudus di dalam kita, dan menjaga diri supaya “tidak dicemarkan oleh dunia” (ay.27).

Bila kita menyimak dan melakukan “hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang,” kita akan diberkati dalam apa yang kita lakukan (ay.25). Ketika memandang cermin Kitab Suci, kita dapat menerima “dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hati [kita]” (ay.21). —Lawrence Darmani

Bapa Surgawi, “singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu” (Mzm. 119:18). Tolong aku menata hidupku sesuai dengan pengajaran-Mu dalam Kitab Suci.

Seperti cermin memantulkan rupa kita, demikianlah Alkitab menyingkapkan jati diri kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Amos 4-6; Wahyu 7

Artikel Terkait:

Ada Apa Dengan Natal?

Fondasi yang Kuat

Rabu, 28 November 2018

Fondasi yang Kuat

Baca: Matius 7:24-27

7:24 “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.

7:25 Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.

7:26 Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.

7:27 Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.”

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. —Matius 7:24

Fondasi yang Kuat

Musim panas yang lalu, saya dan suami mengunjungi Fallingwater, sebuah rumah di kawasan pedesaan Pennsylvania yang dirancang oleh arsitek Frank Lloyd Wright pada tahun 1935. Saya belum pernah melihat rumah seperti itu. Wright ingin menciptakan rumah yang tumbuh secara organik dari lanskap alam yang ada, seolah-olah rumah itu benar-benar tumbuh di tempat itu—dan ia berhasil melakukannya. Ia membangun rumah di sekitar air terjun alami dan gaya rumah itu menyerupai tebing batu di dekatnya. Pemandu wisata kami menjelaskan apa yang membuat bangunan itu aman: “Penyangga vertikal utama dari rumah itu bertumpu di atas batu karang.”

Mendengarkan penjelasannya membuat saya langsung teringat pada perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengatakan kepada mereka bahwa apa yang Dia ajarkan akan menjadi fondasi yang teguh bagi kehidupan mereka. Apabila mereka mendengarkan dan menerapkan perkataan-Nya, mereka akan dapat bertahan menghadapi badai apa pun. Sebaliknya, mereka yang mendengar, tetapi tidak taat, akan menjadi seperti rumah yang dibangun di atas pasir (Mat. 7:24-27). Kemudian, Paulus mengulang kembali pemikiran tersebut, dengan menyatakan bahwa Kristus adalah fondasi, dan kita harus membangun di atas fondasi itu suatu pekerjaan yang tahan uji (1Kor. 3:11).

Ketika kita mendengarkan perkataan Yesus dan menaatinya, kita sedang membangun hidup kita di atas fondasi sekuat batu karang. Kiranya hidup kita dapat menyerupai Fallingwater, indah dan kukuh bertahan karena dibangun di atas Batu Karang. —Amy Peterson

Ya Allah, tolonglah kami untuk mendengar dan menaati perkataan Yesus.

Apa yang menjadi fondasi hidupmu?

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 33-34; 1 Petrus 5