Posts

Apa yang Rutinitas Sedang Ajarkan Padamu?

Oleh Aldi Darmawan Sie

Baru-baru ini aku sedang membaca sebuah buku dari seorang teolog bernama James K.A. Smith yang berjudul “You are what you love”. Melalui buku ini, Smith banyak mengajarkanku tentang apa artinya rutinitas dan kaitannya dengan kecintaanku kepada Tuhan. Sadar atau tidak, ternyata ada kaitan yang sangat erat antara rutinitas dengan kecintaan kita terhadap suatu objek tertentu.

Smith meyakini manusia pada dasarnya adalah pecinta (human as a lover being). Manusia dari semula diciptakan Tuhan untuk mengasihi sesuatu. Pendapat ini sebetulnya sejalan dengan desain Tuhan bagi manusia yang tersirat di dalam Alkitab (Ulangan 6:4-5). Manusia pada mulanya memang diciptakan dengan kemampuan untuk mengasihi Tuhan dan mengalami kasih Tuhan. Namun, dosa membuat manusia cenderung menempatkan cinta terbesarnya kepada objek yang salah. Penyimpangan-penyimpangan kasih manusia terlihat ketika manusia memiliki sifat narsistik, terjebak dalam berbagai kecanduan, seperti pornografi, gemar belanja berlebihan (shopaholic), gemar kerja berlebihan (workaholic), dan sejenisnya.

Berbagai bentuk penyimpangan kasih di atas terbentuk dari rutinitas yang dilakukan setiap hari. Rutinitas yang kita lakukan berulang-ulang setiap hari, secara tidak sadar sedang membentuk kecintaan kita kepada suatu objek tertentu. Tanpa kita sadari, rutinitas kita membentuk sebuah “liturgi” dalam hidup kita, dan “liturgi” tersebut yang pada akhirnya membentuk kecintaan kita. Liturgi bisa dikatakan sebagai suatu aktivitas berulang yang sedang membentuk kecintaan kita kepada suatu hal. Bahayanya adalah “liturgi-liturgi” yang salah bisa menggeser kecintaan terbesar kita kepada Tuhan.

Belakangan ini, aku sendiri menyadari bahwa ada sebuah “liturgi” yang sedang bersemayam dalam diriku, yaitu kecanduan gawai. Sebelum tidur, secara otomatis aku bisa bersafari sekitar 1-2 jam di berbagai media sosial dan juga media belanja online. Setelah mengevaluasi diri, akhirnya aku menyadari bahwa aktivitas ini telah menjadi “liturgi” baru yang sedang membentuk kecintaanku. “Liturgi” ini membuatku menjadi orang yang haus dengan hiburan dan mencari kenyamanan diri. Aku bersyukur melalui buku Smith, Tuhan menolongku untuk mengidentifikasi dan mengatasi rutinitas yang menjadi “liturgi tandingan” sehingga membuatku tidak menempatkan kasih terbesarku kepada Tuhan.

Membangun kecintaan kepada Tuhan melalui rutinitas kita

Sulit memang untuk memangkas “liturgi-liturgi tandingan” yang sudah bercokol dalam hati kita. Itu karena “liturgi” tersebut sudah membentuk kecintaan kita. Namun, bukan berarti hal ini tidak bisa diatasi. Belajar dari apa yang Smith sampaikan dalam bukunya, kita juga bisa melatih hati kita untuk meletakkan kasih kita yang terbesar kepada Tuhan melalui rutinitas kita. Untuk mewujudkannya, perlu adanya upaya intensional dan rutin.

Kita bisa mengidentifikasi apakah ada rutinitas kita sehari-hari yang saat ini sedang menjadi “liturgi tandingan” yang menggeser kecintaan kita kepada Tuhan. Setelahnya, kita bisa minta Tuhan menolong kita agar mengarahkan hati kita kembali kepada kasih-Nya. Sama halnya seperti yang tertulis dalam 2 Tesalonika 3:5: “Kiranya Tuhan tetap menujukan hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus.”

Jikalau pandemi membuat rutinitas kita berantakan, kita bisa membangun kembali kebiasaan kita untuk bersaat teduh dan berdoa setiap hari. Kedua aktivitas ini sering kali terkesan sepele. Akan tetapi, jika keduanya dilakukan dengan rutin, akan sangat menolong kita menumbuhkan kecintaan kita kepada Tuhan.

Di tengah masa pandemi yang belum usai, aku juga bersyukur karena Tuhan sebenarnya membuka banyak kesempatan untuk semakin mengenal dan mengasihi Tuhan. Salah satunya ialah melalui berbagai renungan, khotbah dan puji-pujian yang bisa kita akses dengan mudah dari media sosial. Selain itu, saat ini juga tersedia banyak aplikasi-aplikasi Alkitab yang juga dapat menolong kita membuat jadwal rutin untuk membaca Alkitab. Tuhan menolong kita untuk semakin mengasihi-Nya di dalam dan melalui kehidupan kita.

Bukan Cuma Tentang Romantis, Inilah Sesungguhnya Kasih Itu

Oleh Aldi Darmawan Sie

Hari Valentine atau dikenal sebagai hari kasih sayang, sering kali menjadi momen yang dinanti, khususnya bagi kita para kaum muda. Kepada orang-orang yang kita kasihi, di tanggal 14 Februari kita mengungkapkan perasaan kasih itu, entah dengan sekadar ucapan selamat, atau juga dengan coklat.

Nuansa yang muncul pun identik dengan romantisme dan kemesraan. Di media sosial, orang-orang menyatakan kasih sayangnya dengan mengunggah gambar atau cerita romantis. Secara sederhana, hari Valentine membuat perasaan cinta diidentikkan dengan ungkapan perasaan suka atau sayang kepada seseorang. Bertepatan dengan momen hari kasih sayang inilah aku ingin mengajak kita memikirkan kembali tentang bagaimana Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita. Apakah cinta Allah kepada kita hanya sekedar suatu perasaan suka atau sayang?

Di dalam Alkitab, terdapat suatu model relasi yang Allah gunakan sebagai landasan untuk berhubungan dengan umat-Nya. Model relasi itu adalah perjanjian atau kovenan. Model relasi ini sangat kuat mewarnai Alkitab, dimulai dari masa Perjanjian Lama hingga diperbarui di dalam dan melalui Yesus Kristus pada masa Perjanjian Baru. Segala rencana dan karya Allah bagi umat-Nya selalu berdiri di atas dasar kovenan. Perjanjian adalah inisiatif Allah. Tujuannya adalah agar umat Allah dapat menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Salah satu ide yang menggaung kuat dari konsep perjanjian ialah komitmen. Dua pihak yang terikat di dalam sebuah kovenan akan berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang telah disepakati di dalam perjanjian tersebut. Sederhananya, kasih Allah di dalam kerangka konsep perjanjian, bukan hanya berbicara mengenai ungkapan perasaan yang muncul dari hati, melainkan terkandung suatu komitmen untuk mengasihi umat-Nya di dalam situasi apapun.

Hal ini secara konsisten Allah tunjukkan kepada bangsa Israel. Meskipun Alkitab secara gamblang mengungkapkan sederet kegagalan bangsa Israel dalam mengasihi Allah dan memelihara perjanjian-Nya, tetapi seruan kasih Allah terus bergema untuk menarik mereka kembali menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Seruan kasih Allah tentu saja tidak terlepas dari janji-Nya untuk menjadikan umat Allah sebagai milik kepunyaan-Nya. Salah satu seruan kasih Allah telah disampaikan melalui Nabi Yeremia kepada bangsa Israel, “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).

Kasih yang kekal. Begitulah kasih Allah kepada umat-Nya. Seruan kasih Allah inilah yang dinyatakan secara sempurna di dalam dan melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Salib menjadi sebuah “pertunjukkan” kasih Allah yang paling agung kepada manusia. Melalui salib, jelas bahwa kasih Allah tidak dapat kita maknai sekadar ungkapan perasaan belaka, tetapi sebagai komitmen nyata untuk mengasihi, bahkan hingga titik darah penghabisan.

Belajar dari Perjanjian Allah

Jika menilik kembali betapa indahnya kasih Allah yang terbingkai di dalam perjanjian-Nya, maka aku seolah ditarik untuk memikirkan kembali tentang apa artinya kasih. Aku merenungkan bagaimana model kasih yang sering kali dipertontonkan, entah itu melalui film, sinetron, atau lagu-lagu. Model kasih itu adalah kasih yang bersyarat. “Kamu cantik, karena itu aku jatuh cinta kepadamu. Kamu pintar, karena itu aku menyukaimu.” Mungkin saja itu membuat orang-orang terobsesi untuk tampil cantik atau tampan, hanya demi supaya dirinya dikasihi. Tentu saja, menjaga diri untuk tetap cantik atau tampan bukanlah suatu hal yang salah di dalam lensa kekristenan. Namun, ketampanan atau kecantikan seseorang seharusnya tidak menjadi dasar kelayakan mutlak agar seseorang dapat dikasihi. Model kasih seperti ini membuat kita perlu memenuhi standar yang menurut dunia sebagai suatu hal yang berharga dan diagung-agungkan, maka baru kemudian kita akan dikasihi. Jikalau model kasih ini yang diambil Allah, maka aku yakin sudah lama Allah tidak lagi mengasihi kita, karena kita jauh di bawah standar kasih Allah.

Lantas, mungkin kita bertanya-tanya, “mungkinkah ada kasih yang tak bersyarat di dunia? Mungkinkah ada kasih yang menerimaku apa adanya?”

Pencarian akan jawaban dari pertanyaan itu membuatku mengingat kembali pertunjukkan kasih Allah yang kekal, yang terekam jelas melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Dari sanalah tampak riil sebuah pernyataan kasih yang tidak didasari dengan apa yang kita miliki, tetapi sebuah pertunjukkan kasih yang tak bersyarat. Meskipun kita sebagai umat-Nya sering kali gagal mengasihi-Nya, tetapi Allah tidak pernah berhenti mengasihi kita. Kasih Allah yang kekal itu, tidak pernah berhenti hanya sebatas ungkapan perasaan kasih sayang yang romantis, tetapi melampaui itu, adalah suatu demonstrasi kasih yang penuh komitmen yang begitu deras membanjiri diri kita melalui perjanjian-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Secuplik Mitos tentang LDR

Banyak survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami kandasnya hubungan. Tetapi, itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk. Yuk kenali mitos-mitos apa saja yang sering muncul tentang LDR.

Menangislah Dengan Orang yang Menangis

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

“Berhenti menangis! Laki-laki ga boleh nangis!”

Begitu kira-kira kalimat yang kudengar dari papaku ketika aku menangis pada waktu masih kecil. Mungkin kalimat ini juga acap kali kita dengar sampai hari ini. Mungkin juga kalimat inilah yang masih sering menjadi “nasihat” dari teman kita ketika kita sedang menangis. Aku sendiri menyadari kalau kalimat ini membekas dalam diriku sampai aku dewasa. Karena ucapan ini, semenjak SMP aku cenderung menutupi perasaanku ketika aku sedih. Aku berpikir bahwa laki-laki itu harus tangguh. Tidak ada tempat bagi kerapuhan. Tidak ada ruang untuk menampung tetesan air mata. Menangis hanya bagi orang yang lemah. Itu pikirku dulu.

Ketika aku menjadi seorang Kristen, aku menyadari bahwa pemikiranku keliru. Alkitab menunjukkan kepadaku bahwa ada ruang untuk kesedihan yang dialami manusia. Kitab Mazmur adalah salah satu Kitab yang mengungkapkan realita itu. Di dalamnya, tercatat beberapa kali Daud bukan hanya menangis, tetapi juga meratap (Mzm 6,7). Katanya, “Lesu aku karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku” (Mzm. 6:7). Kita tahu betapa gagahnya Daud ketika ia menumbangkan Goliat. Kita juga tahu betapa hebatnya Daud di medan perang. Namun, di sisi lain Alkitab juga mencatat bahwa Daud adalah orang yang rapuh. Ia menangis, bahkan meratap di hadapan Tuhan memohon pertolongan-Nya. Namun demikian, Daud tidak malu untuk menunjukkan kelemahannya.

Adakah yang salah jika tampak lemah? Di tengah dunia yang kerap kali tidak menerima kerapuhan, mungkin kita takut terlihat rapuh. Kita malu untuk menunjukkan kesedihan kita di depan orang lain. Kita takut dihakimi dan dicap buruk oleh orang lain. Mungkin kita enggan untuk meminta pertolongan ketika mengalami kesulitan, karena takut dianggap tidak kuat menghadapi masalah. Alhasil, terkadang kita menutupi diri dengan berbagai cara agar tetap terlihat “baik-baik saja” oleh orang lain. It’s okay not to be okay. Inilah yang perlu kita sadari. Kita tidak perlu bersalah ketika merasa lemah. Kita bisa belajar dari pemazmur bahwa ada ruang yang Allah bukakan ketika kita sedang lemah dan bersedih. Ia membuka diri-Nya untuk mendengarkan keluh kesah dan ratapan kita.

Lantas, adakah bagian kita untuk menolong orang yang sedang mengalami kesedihan? Sebagai orang yang telah mengalami kebaikan Allah yang begitu besar, kita juga memiliki peran sebagai penyalur kasih Allah bagi sesama kita. Kita tidak dapat berpangku tangan, bahkan mungkin menstigmatisasi orang lain atas kesulitan yang sedang dialaminya. Bagaimana seharusnya kita berespons terhadap kesedihan dan keluh kesah orang lain?

1. Mendengarkan

Kita perlu belajar mendengarkan keluh kesah orang lain. Mendengar berbeda dengan mendengarkan. Mendengarkan berarti kita memberi diri kita untuk belajar memahami permasalahan atau kesedihan orang lain. Kita belajar memahami bagaimana memandang permasalahan dari sudut pandangnya. Terkadang, kita mungkin terburu-buru memberikan banyak solusi yang kita anggap baik, tanpa berusaha mendengarkan secara tuntas. Padahal, mungkin saja yang dibutuhkan bukanlah solusi, tetapi telinga yang mendengarkan kesedihannya. Sama seperti Allah yang juga menyendengkan telinga-Nya untuk mendengarkan keluh kesah kita, demikian juga kita perlu belajar untuk memberi telinga kita untuk mendengarkan keluh kesah orang lain.

2. Berempati

Empati adalah usaha untuk mengidentifikasi perasaan atau keadaan yang sedang dialami oleh orang lain. Empati bukan sekedar rasa kasihan, tetapi suatu upaya untuk turut memiliki perasaan yang sama dengan orang lain. Dengan berempati, kita belajar untuk tidak terburu-buru memberikan kata-kata motivasi atau penyemangat yang dapat berpotensi menjadi toxic positivity. Namun, kita belajar untuk satu rasa, satu jiwa dengan orang lain. Ini juga yang dikatakan oleh Rasul Paulus, yakni “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm. 12:15). Dengan berempati, kita dapat mengatakan, “Apa yang kamu alami ini tidak mudah, aku bisa memahami perasaanmu.”

3. Bersama

Menolong orang lain sering kali bukan hanya membutuhkan tenaga kita, tetapi juga waktu kita. Orang yang mengalami kesedihan membutuhkan waktu untuk memulihkan diri. Di dalam masa kesedihannya, perlu adanya rekan untuk tetap mengingatkan padanya bahwa masih ada harapan bagi dirinya dan ada kebaikan Tuhan. Di dalam keluh kesahnya pula, kita dapat berkata padanya “Kamu tidak sendirian.” Untuk itu, diperlukan orang yang berjalan bersama-sama dalam pemulihannya untuk tetap berbagi keluh kesahnya dan mengusap air matanya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berdamai Dengan Perasaan Rendah Diri

Banyak orang berkata, “jangan minder!” “Itu hanya masalah mindset.” Namun, apa yang kita rasakan, tidak dapat kita abaikan begitu saja. Nasihat seperti ini, walaupun mungkin diucapkan dengan maksud yang baik, kadang malah tidak membantu. Bagaimana mengatasinya?

Menantikan Pertolongan Allah

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

Ketika mengalami permasalahan, respons alami kita sebagai manusia adalah mencari jalan keluar. Caranya bisa beragam, tapi yang biasanya kita lakukan adalah dengan mencari pertolongan orang lain. Tidak ada yang salah dengan cara ini.

Namun, ketika membaca dan merenungkan Yesaya 30:8-17, aku menemukan perspektif yang menarik. Allah melalui nabi Yesaya menegur bangsa Israel, bahkan menghukum mereka karena di tengah situasi terjepit, bangsa Israel malah mencari pertolongan kepada bangsa Mesir. Allah pada ayat ke-9 lantas menyebut Israel sebagai bangsa pemberontak, suka berbohong, dan enggan mendengar pengajaran-Nya. Aku bertanya-tanya: apa yang salah dengan tindakan bangsa Israel ini? Bagaimana seharusnya kita mencari pertolongan ketika berada dalam situasi terjepit?

Firman Allah yang disampaikan melalui nabi Yesaya ini ditulis sebagai respons atas tindakan bangsa Israel yang kala itu sedang menghadapi tekanan hebat dari keadikuasaan Asyur. Alih-alih percaya dan menantikan pertolongan dari Allah YHWH, Israel malah menolak firman Allah dan meminta pertolongan pada bangsa Mesir. Peringatan demi peringatan firman Allah melalui nabi telah digaungkan pada mereka, namun tetap saja bangsa Israel menolak percaya dan mencari pertolongan dari bangsa yang pernah memperbudak dan memahitkan hidup mereka di masa lampau.

Sebagai pembaca kitab Yesaya di masa kini, kita mungkin bisa dengan mudah menilai salah tindakan bangsa Israel yang tidak mencari Allah. Tetapi, jika kita bayangkan situasi pada masa tersebut, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Dalam keadaan terjepit, sepertinya lebih mudah bagi bangsa Israel untuk mencari pertolongan dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang tidak mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Mungkin mereka melihat Mesir sebagai bangsa yang tangguh dan besar, atau super-power pada zaman itu. Mesir memiliki senjata perang yang mumpuni, dan strategi perangnya pun dianggap apik untuk menaklukkan Asyur. Besar kemungkinan inilah yang mendorong Israel untuk datang kepada Mesir, bahkan dengan rela hati memberikan kekayaan mereka demi mendapatkan pertolongan (ayat 6).

Kontras dengan pemikiran bangsa Israel, nabi Yesaya dengan begitu kuat menggambarkan dan menekankan tentang atribut Allah. Allah bukan hanya kudus, tetapi Mahakudus (The Holy One). Dalam perikop ini, tiga kali Yesaya menyebutkan atribut tersebut. Karena Allah yang bangsa Israel sembah adalah kudus, mereka pun dituntut untuk hidup kudus bagi Allah. Kekudusan itu harus diekspresikan dengan menghidupi kehidupan yang berbeda, terkhusus daripada bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Pada masa itu, perlengkapan perang seperti senjata, kuda-kuda, kereta besi, dan baju perang dianggap sebagai kunci memenangkan pertempuran. Namun, bagi Allah YHWH, kunci memenangkan perang adalah dengan percaya kepada-Nya. Itulah yang dituntut Allah dari bangsa Israel. Tindakan ini merupakan perwujudan dari keberserahan diri mereka kepada Allah Yang Mahakudus.

Ketika Israel menyimpang, Allah bukannya diam. Seruan pertobatan diberitakan pada mereka, tetapi Israel tetap menolak percaya pada Allah (ayat 15). Akibatnya dapat kita lihat dalam ayat 13 dan 14. Dosa mereka mengakibatkan ganjaran berupa kehancuran yang tiba-tiba dan sekejap. Ayat sebelumnya juga mengatakan, dengan datang ke Mesir, Israel bukannya mendapatkan pertolongan, malah mendapatkan malu (ayat 5), karena sesungguhnya pertolongan dari Mesir tidak akan berguna dan percuma (ayat 7). Terakhir, Israel menelan pil pahit berupa ditaklukkan oleh Asyur (ayat 16-17).

Belajar dari ketidakpercayaan Israel

Setelah merenungkan perikop itu, aku bertanya pada diriku sendiri. “Sebagai umat Allah Yang Mahakudus, ketika aku mengalami berbagai kesulitan, pertolongan siapa yang aku nantikan?”

Di dalam buku “Mengasihi Yang Mahakudus”, Aiden Wilson Tozer mengatakan, “Apa yang kita pikir tentang Allah, menjelaskan setiap aspek kehidupan kita.” Secara sederhana, kalimat itu dapat diartikan respons dan tindakan kita mencerminkan apa yang kita percayai tentang Allah. Tidak jarang untuk melepaskan diri dari masalah kita malah mencari pelarian, sesuatu yang tidak menyelesaikan masalah itu sendiri. Kita memberi diri untuk terjerat pada kecanduan gawai, pornografi, dan sederet hal lainnya. Respons tersebut sejatinya mencerminkan isi hati kita dan apa yang kita percayai tentang Allah.

Setelah merefleksikan seruan Allah melalui Nabi Yesaya ini, pesan yang menggema bagiku adalah percayalah kepada Allah dan nantikan pertolongan-Nya. Suara pertobatan dari Nabi Yesaya ini patut kita hidupi, bahwa “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu” (ayat 15). Sumber kekuatan kita sebagai umat Allah di dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan, tidak terletak dari hebatnya pikiran kita dalam mengelola permasalahan kita, bukan juga dari kecanggihannya teknologi, dan bukan juga dari pertolongan orang lain, tetapi berasal dari Allah sendiri. Maka dari itu, respons yang tepat bagi kita, sebagai umat Allah Yang Mahakudus itu, adalah dengan percaya dan menantikan Allah.

Hal yang dapat kita lakukan sebagai wujud kita percaya dan menantikan pertolongan Tuhan adalah berdoa. Kita belajar menantikan pertolongan Allah di masa-masa sulit dengan datang kepada-Nya melalui doa. Kita belajar menyerahkan segala ketakutan dan kekhawatiran kita ke dalam tangan-Nya melalui doa. Di dalam doa juga, kita membuka ruang untuk mengalami pertolongan Tuhan yang sering kali tidak terlihat oleh mata jasmani, tetapi dapat kita rasakan melalui mata batiniah. Dengan berdoa, kita dibawa untuk semakin mengenal Allah, Yang Mahakudus dan rancangan-Nya bagi kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Belajar Mengasihi Mereka yang Tak Seiman

Tinggal dalam lingkungan homogen membuatku takut dengan orang yang berbeda iman. Di tempat kerja, aku merasa takut didiskriminasi. Tapi, kutahu ini pandangan yang salah dan Tuhan menolongku untuk mengubahnya.

Bersukacita Karena Persekutuan Injil

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

Aku adalah seorang yang pernah menikmati indahnya persekutuan Kristen di kampus. Di persekutuan itulah aku mulai menapaki perjalanan spiritualku bersama Tuhan. Pada tahun 2011, aku memulai studiku di salah satu kampus di Jakarta, dan di sana jugalah aku menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku melalui ibadah KKR penyambutan mahasiswa baru.

Perjalanan itu terus berlanjut. Setelah pertobatanku itu, ada seorang mentor rohani yang setia membimbingku supaya aku mengalami pertumbuhan rohani. Dari dialah aku mengenal apa artinya dan pentingnya bersaat teduh setiap hari. Dan, dari dia jugalah aku mengenal persekutuan kelompok kecil dan menikmati pengalaman memiliki teman yang sama-sama bertumbuh secara rohani. Singkat cerita, kehadiran mentorku ini menjadi salah satu bagian penting yang mewarnai keindahan persekutuan kampus yang pernah kualami.

Beberapa tahun setelahnya, aku mulai dipercayakan untuk melayani adik-adik tingkatku dalam suatu kelompok kecil. Awalnya, aku cukup bingung; apa yang harus kukerjakan untuk membimbing adik-adik tingkatku ini? Aku pernah hanya berkutat dengan bahan-bahan kelompok kecil yang mesti kusampaikan tanpa memberi perhatian yang cukup kepada mereka tiap harinya. Namun, di tengah perjalanan itu, mentorku kembali mengingatkan baik dengan perkataannya maupun juga dengan tindakannya yang dulu pernah dia perbuat kepadaku. “Kelompok kecil itu bukan hanya tentang membagikan pengetahuan bahan-bahan PA atau supaya adik-adik kita mengerti secara kognitif tentang Tuhan, tetapi tentang membagikan hidup kita yang terlebih dulu telah ditransformasi dan mengalami Kristus kepada mereka.”

Berawal dari perenungan itu, akhirnya aku menyadari bahwa sukacita terbesar dalam melayani seseorang adalah bukan hanya ketika mereka mengetahui tentang Tuhan, tetapi ketika melihat mereka mengalami pertumbuhan di dalam pengenalan dan kasih mereka kepada Tuhan. Ya, menyaksikan orang yang kita layani bertumbuh secara rohani, itulah hal yang membuatku paling bersukacita selama melayani. Aku teringat lantunan doa dan ucapan syukur Paulus kepada Tuhan atas jemaat di Filipi. Paulus berkata, “Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini” (Filipi 1:3-4). Di dalam kalimat ini, jelas dikatakan bahwa Paulus selalu berdoa dengan sukacita dan ucapan syukur. Paulus tentu saja mengenal betul bagaimana pertumbuhan rohani jemaat asuhannya ini sewaktu ia masih tinggal bersama di Filipi. Itu sebabnya, Paulus dapat bersukacita dan mengucap syukur kepada Allah ketika melihat jemaat asuhannya bukan saja menerima Injil, tetapi juga bertumbuh dalam persekutuan Injil yang ia beritakan.

Sukacita Paulus atas Jemaat Filipi tidak dapat dipadamkan oleh apapun, termasuk oleh kondisinya pada saat itu. Pada saat menulis surat Filipi, Paulus sedang terbelenggu di penjara. Namun, belenggu rantai-rantai penjara itu tidak dapat memudarkan sukacita Paulus, melainkan semakin mengokohkan keyakinannya atas pekerjaan Allah yang telah Dia mulai sebelumnya (ayat. 4). Paulus memiliki keteguhan hati bahwa meskipun saat itu dia tidak lagi bersama dengan Jemaat Filipi, tetapi dia yakin bahwa Allah yang memulai pekerjaan Injil itu, akan meneruskannya hingga pada kesudahannya. Itulah yang menjadi sumber sukacitanya.

Dari ucapan syukur dan doa Paulus ini, aku juga merefleksikan hal yang penting dalam caraku memandang suatu pelayanan. Ada atau tidak adanya kita, itu tidak akan membuat pekerjaan Tuhan hancur, karena Allah sendirilah yang menginisiasi pekerjaan baik-Nya dan Dia juga yang akan meneruskannya. Pertama, realita ini seharusnya tidak membuat diriku jemawa ketika adik-adik rohaniku mulai bertumbuh secara rohani. Sejatinya, itu semua bukanlah semata-mata karena kecakapanku dalam melayani. Namun, itu semua karena ada Allah yang telah memulai pekerjaan baik itu di dalam diri setiap orang yang kulayani. Kedua, kesadaran ini juga seharusnya tidak membuatku minder atau merasa bersalah yang berlebihan ketika orang-orang yang kulayani nampaknya tidak menghasilkan buah yang baik. Aku tetap bisa bersyukur dan bersukacita karena kita memiliki pengharapan bahwa pekerjaan baik Allah tetap ada di dalam diri mereka dan Dia akan tetap meneruskannya.

Kita dapat bersukacita karena kita tahu bahwa pertumbuhan rohani sesungguhnya bukan didasarkan kepada keberhasilan maupun kegagalan kita dalam melayani, bukan juga karena semata kecanggihan metode-metode yang kita gunakan. Namun, karena ada Allah yang memulai lebih dulu pekerjaan baik-Nya di dalam masing-masing umat pilihan-Nya sampai pada akhir zaman. Maka, ketika kita berhasil, kita sadar bahwa sesungguhnya tangan Tuhanlah yang pertama memulai pekerjaan baik itu. Apabila kita mengalami kegagalan, kita juga tidak larut dalam kesedihan, karena kita memiliki pengharapan bahwa Allah yang memegang kendali atas mereka.

Di tengah perjalanan pelayananku, terkadang aku dihantui banyak kegagalan di masa lalu. Aku merasa bahwa dulu tidak cukup bersungguh-sungguh di dalam melayani, sehingga orang-orang yang kulayani terhambat pertumbuhan rohaninya. Namun, Tuhan terus mengingatkanku untuk kembali berkomitmen dan giat melayani-Nya, karena aku tahu bahwa Allah telah memulai pekerjaan baik-Nya bagi orang-orang yang kulayani. Bukankah suatu kehormatan bagiku ketika aku dipakai Allah menjadi alat-Nya untuk meneruskan pekerjaan baik itu?

Namun, ada pula masanya ketika aku begitu giat dan semangat melayani. Doa Paulus ini tetap bisa kumaknai dan menjadi pengharapan, karena benih Injil yang pernah kutaburkan tidak akan pernah sia-sia. Pekerjaan baik yang telah Allah mulai tidak akan pernah terhalangi atau berhenti karena apapun. Sebaliknya, Dia akan meneruskan-Nya hingga sampai Kristus datang untuk kedua kalinya. Bukankah realita ini dapat menjadi pengharapan bagi kita di tengah pelayanan kita?

Kiranya teladan Paulus di dalam sukacitanya melayani dapat menjadi pembelajaran yang berharga buat kita yang juga saat ini sedang berjuang untuk membimbing jemaat, adik-adik rohani, dan keluarga kita. Sukacita Paulus tidak berasal dari luar dirinya, tetapi berasal dari Allah yang memulai pekerjaan baik di tengah kita. Sukacitanya juga berasal dari Injil Kristus itu sendiri yang dia yakini berkuasa mentransformasi kehidupan seseorang. Terakhir, sukacitanya bertumbuh karena kehadiran Roh Kudus yang terus menuntun setiap orang yang dilayaninya untuk semakin serupa dengan Kristus dari hari ke hari.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Mengalami Pelecehan Seksual, Aku Memilih untuk Mengampuni dan Dipulihkan

Ketika apa yang kujaga dinoadai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, seketika aku merasa hancur. Aku merasa kotor dan tak layak di hadapan Tuhan. Aku pun trauma berelasi dengan lawan jenis, terlebih apabila terjadi sentuhan fisik.

Menang Atas Dosa Favorit

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

Beberapa bulan lalu, Marion Jola (salah seorang kandidat juara Indonesia Idol 2019) merilis lagunya yang berjudul “Favorite Sin”. Istilah yang digunakan di judul ini tidak terdengar asing di telinga kita, bukan? Frasa “favorite sin” atau dosa favorit masih sering kita dengar, khususnya dalam khotbah-khotbah atau renungan. Tulisanku ini tidak akan membahas atau membedah lagu Marion Jola, tapi hal yang menarik perhatianku adalah mengapa kita bisa memfavoritkan dosa-dosa tertentu? Bukankah di gereja kita sudah sering diberitahu dari mimbar bahwa dosa adalah hal yang tidak berkenan kepada Tuhan? Lantas, mengapa kita bisa memfavoritkan dosa-dosa tertentu?

Beberapa waktu lalu, aku sempat mengikuti sebuah webinar yang membahas topik senada. Sang narasumber mengatakan bahwa alasan kita bisa memiliki dosa-dosa favorit, karena memang pada dasarnya dosa itu menawarkan atau mengiming-imingi kita dengan suatu kenikmatan. Salah satu contohnya adalah dosa seksual. Pornografi meskipun kita tahu itu bisa berdampak buruk, tapi tetap saja ada orang yang mengarahkan diri ke sana. Pornografi memberi kita kenikmatan sesaat. Kenikmatan itulah yang membuat kita tergoda dan mengabaikan perasaan bersalah, yang akhirnya mengantar kita semakin jauh dari Tuhan.

Lantas, bagaimana sih supaya kita dapat mengatasi godaan dari dosa favorit? Ketika aku memikirkan pertanyaan ini, aku teringat makalah teologi tentang Yusuf di Perjanjian Lama. Kita tak asing dengan tokoh ini, mungkin kita sudah mengenalnya sejak sekolah Minggu dulu. Kejadian 39 menceritakan Yusuf yang kala itu seorang pemuda dan elok parasnya digoda oleh istri Potifar. Sang nyonya mengajak Yusuf tidur bersamanya. Ajakannya tak cuma sekali, tapi berulang-ulang. Ayat 10 memberikan respons yang menarik dari Yusuf, “Walaupun dari hari ke hari perempuan itu membujuk Yusuf, Yusuf tidak mendengarkan bujukannya itu untuk tidur di sisinya dan bersetubuh dengan dia.”

Jika kita membayangkan berada di posisi Yusuf, mungkin tawaran ini menggiurkan. Terlebih usia Yusuf masih muda dan bisa saja istri Potifar tersebut elok pula parasnya. Namun perkataan Yusuf pada ayat 8 dan 9 patut kita perhatikan. “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?”. Alkitab memang tidak secara eksplisit menjelaskan dari mana Yusuf bisa memahami bawa ajak dari istri tuannya itu adalah suatu dosa. Namun yang jelas, Yusuf memandang ajakan tersebut bukan saja sebagai bentuk kejahatan besar kepada tuannya yang telah memercayakan jabatan kepadanya, tetapi juga sebagai dosa terhadap Allah!

Hal pertama yang kita bisa pelajari adalah Yusuf berpegang teguh pada pendiriannya meskipun godaan datang setiap harinya dan keadaan pun mendukung jika seandainya dia memilih ajakan dosa tersebut. Tetapi Yusuf tidak oportunis, dia tidak mencari keuntungan diri sendiri dari kesempatan yang ada. Hal kedua, Yusuf memiliki nilai yang sama dengan Allah. Yusuf menganggap apa yang berdosa di mata Allah juga adalah dosa di matanya.

Dalam topik tentang problematika dosa seksual, dosen pastoralku mengatakan bahwa permasalahan utama dari dosa seksual adalah permasalahan nilai (the battle of value). Dosa seksual yang sudah sering dilakukan akan membentuk paradigma seseorang dalam melihat lawan jenis. Seseorang yang telah kecanduan pornografi biasanya akan dengan mudahnya memandang lawan jenisnya sebagai objek seksual. Meskipun dirinya bergumul sedemikian rupa untuk tidak berpikir seperti itu, tetapi nilai yang ada dalam otaknya telah bercokol, membentuk cara pandangnya untuk melihat lawan jenis sebagai objek seksual. Maka disadari atau tidak, salah satu alasan sulitnya lepas dan berhenti dari berbagai kecanduan, termasuk pornografi adalah karena kita menganggap kenikmatan sebagai nilai tertinggi dalam hidup (the greatest value). Kita tahu pornografi salah, tapi kita terlanjur menganggapnya sebagai sesuatu yang bernilai. Akibatnya, pornografi jadi susah ditolak. Dosa kenikmatan seksual telah dianggap sebagai our greatest value and delight.

Memenangkan pertempuran

Seperti judul artikel ini, bagaimana kita bisa menang atas dosa favorit?

Keberhasilan seseorang untuk menang dari berbagai godaan pertama dimulai dengan mengakui bahwa perbuatan tersebut adalah dosa yang menyakiti hati Tuhan. Kita perlu secara konsisten memandang perbuatan tersebut sebagai suatu dosa terhadap Tuhan. Kita harus mengubah nilai yang kita anut, bahwa kenikmatan tertinggi dalam hidup kita bukanlah terletak pada dosa atau kesukaan kita. Mungkin bagi seseorang yang telah berkubang lama dalam dosa pornografi, dosa ini dianggap berbeda dari zinah. “Aku kan tidak melakukan hubungan seksual dengan siapa pun. Aku hanya melakukannya seorang diri.” Tapi, prinsipnya tetaplah sama, bahwa kita telah memandang lawan jenis sebagai objek seksual kita. Dan, Tuhan tentu saja tidak mendesain manusia hanya sekderdil objek seksual. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Artinya, manusia begitu berharga di mata Tuhan. Ketika kita mereduksi nilai manusia hanya sebatas objek seksual, kita telah melenceng dari desain Tuhan dan menyakiti hati-Nya.

Di dalam Kristus, kita mampu menang atas dosa-dosa favorit! Sepenggal perkataan Paulus dari Roma 6:11-12 berkata, “Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.”

Kita telah mati bagi dosa dan kita sudah hidup bagi Allah. Penebusan yang Kristus lakukan di atas kayu salib memampukan kita untuk berkata “tidak” kepada dosa. Tidak hanya berhenti sampai di sana, kita juga telah dimampukan untuk memberikan hidup kita bagi Allah. Itulah yang seharusnya menjadi our greatest value and greatest delight in our life. Bukankah hidup kita terlalu berharga untuk kita habiskan hanya mencari kenikmatan sesaat tetapi membawa perasaan bersalah yang berkepanjangan dan akan merusak hidup kita sendiri? Maka dari itu, marilah kita mengubah nilai hidup kita dari hidup demi kenikmatan diri menuju hidup yang sepenuhnya mengabdi bagi Allah.

Baca Juga:

Menjadi Seorang Kristen dan Gay: Bagaimana Aku Bergumul untuk Hidup Kudus Bagi Tuhan

Kedaginganku berkata bahwa aku perlu memenuhi hasratku, mengikuti keinginan hatiku. Tapi, aku sadar bahwa aku adalah orang percaya yang diselamatkan karena iman, bukan karena perbuatanku.