Posts

3 Langkah yang Kulakukan untuk Lebih Efektif dalam Membaca Alkitab

Oleh Agnes Lee, Singapura
Foto oleh Ian Tan
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Knowing The Bible Is Not Enough

Meskipun aku sudah menjadi orang Kristen selama bertahun-tahun, aku tidak selalu membaca Alkitabku. Selama beberapa waktu yang lama, aku mendengar firman Tuhan hanya di gereja saat hari Minggu. Bahkan, aku seperti orang yang disebutkan dalam Yakobus 1:24—hidupku tidak berubah. Aku masih hidup menurut kedaginganku. Aku tampak Kristen di luar, tetapi di dalam hatiku, aku tidak tertuju kepada Tuhan. Aku memanjakan diriku dalam kehidupan dosaku tanpa memiliki hati yang mau bertobat.

Hingga suatu ketika aku mengalami masa-masa gelap dalam hidupku beberapa tahun lalu. Satu-satunya hal yang menguatkanku selama masa itu adalah firman Tuhan, dan aku sadar betapa aku membutuhkan firman Tuhan dalam hidupku. Sejak saat itu, aku belajar beberapa hal tentang Alkitab, juga tentang bagaimana membacanya secara efektif. Mungkin hal-hal di bawah ini bisa membantumu.

1. Aku meluangkan waktuku

Meluangkan waktu teduh untuk membaca Alkitab itu sangat penting buatku, karena aku ingin supaya aku bisa fokus menikmati firman Tuhan tanpa gangguan. Kebiasaan ini dimulai saat aku sedang melalui masa-masa kelam. Firman Tuhanlah yang memberiku kekuatan untuk melewati masa-masa itu, dan aku sadar betapa aku butuh firman-Nya dan betapa itu menyegarkanku. Seperti Yesus yang menarik diri sejenak ke tempat sepi dan berdoa (Lukas 5:16), aku mencoba meluangkan waktu di tengah kesibukanku, supaya aku bisa berdua saja dengan Bapa Surgawi. Setiap hari, firman Tuhan memberiku kekuatan yang aku butuhkan.

2. Mintalah pertolongan Tuhan

Juga, aku tidak berani menganggap remeh firman Tuhan. Kita semua tahu bahwa Alkitab adalah tulisan-tulisan yang diilhamkan oleh Allah dan baik untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16-17), tapi kadang aku tidak memiliki hikmat yang kubutuhkan untuk mengerti dan mempraktikkan apa yang aku baca. Maka, dengan rendah hati aku mencari pertolongan Roh Kudus. Allah kita adalah Allah yang murah hati dan selalu siap memberikan kita hikmat setiap kali kita memintanya (Yakobus 1:5).

Sebagai contoh, ketika aku menemukan ayat dari Efesus 1:14, aku sulit untuk mengerti apa maksud dari ayat ini. Ayat ini berkata, “Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya.” Tapi, ada bagian lain di Alkitab yang memberitahu kita bahwa bukan setiap orang yang berseru “Tuhan, Tuhan” akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Matius 7:21). Jadi, bagaimana bisa Roh Kudus menjamin keselamatanku?

Aku menceritakan kebingunganku ini kepada kakak pembimbing rohani yang kupercaya, yang Tuhan pakai untuk menjawab pertanyaanku. Kakak pembimbingku itu menjelaskan bahwa Roh Kudus menolong kita untuk mengerti dan berjalan di jalan Tuhan ketika kita mengerjakan keselamatan kita. Roh Kudus menjamin keselamatan kita ketika kita tidak mengeraskan hati kita dan membiarkan Dia bekerja di dalam hati kita.

3. Izinkan Tuhan untuk menyadarkanku akan dosa-dosaku

Saat aku membaca firman Tuhan, aku mengingatkan diriku untuk mengundang Tuhan menyelidiki hatiku. Ketika aku meletakkan hatiku di hadapan Tuhan, Dia menolongku melihat bagaimana kebenaran-Nya yang menakjubkan itu bisa diterapkan dalam kehidupanku. Ada waktu-waktu ketika Roh Kudus menunjukkan kepadaku bagaimana caranya aku bertobat dari caraku yang keliru.

Beberapa tahun yang lalu, aku mengatakan sesuatu yang membuat temanku kecewa. Saat renungan pagi, aku menemukan ayat dari Matius 5:18, “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.” Ayat ini membuatku merefleksikan kembali apa yang sudah kulakukan, bahwa kata-kata yang kuucapkan bisa mencemariku. Aku sadar kalau apa yang telah kukatakan kepada temanku itu tidak memuliakan Tuhan, dan itu menunjukkan betapa egoisnya hatiku, dan betapa aku tidak peka terhadap temanku. Aku perlu meminta maaf kepadanya dan merekatkan hatiku kembali pada Tuhan.

Firman Tuhan itu seperti pedang bermata dua buatku, menilai pikiran dan sikap hatiku (Ibrani 4:12). Ketika aku membaca Alkitab dengan rendah hati, aku mengizinkan firman-Nya untuk menyadarkanku akan dosa-dosaku. Melalui inilah Tuhan sedang membentukku menjadi seorang yang unik, yang Dia rancangkan untukku. Meskipun aku tidak bisa menjadi benar-benar sempurna sampai hari aku bertemu muka dengan muka dengan Tuhan, aku tahu bahwa sekarang Tuhan sedang berproses untuk membentuk kita seturut gambar-Nya, seperti apa yang tertulis dalam 2 Korintus 3:18, “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.”

Sekadar mengetahui Alkitab saja tidaklah cukup. Meskipun aku sudah mendengar banyak khotbah di hari Minggu, aku tidak mengizinkan firman yang kudengar itu mengubah Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut.hidupku. Hanya ketika aku membaca Alkitab dengan rendah hati dan penyesalan diri, firman Tuhan akan menuntunku kembali kepada Tuhan. Tuhan selalu siap mengampuni kita jika kita mengakui dosa-dosa kita (1 Yohanes 1:9). Dengan mengetahui hal ini, kita mengakui bahwa firman Tuhan itu seperti sebuah karunia, dan pembacaan Alkitab yang efektif akan secara konsisten mengarahkan kita kembali kepada Tuhan.

Marilah kita menjadi pelaku firman dan bukan sekadar pendengar (Yakobus 1:22). Kiranya kita menjadi orang-orang yang berkenan di hati Tuhan, yang mengerjakan keselamatan kita karena sesungguhnya kita hanyalah pendatang di dunia ini. Kelak, kita akan hidup sebagai murid Kristus yang sejati.

Baca Juga:

Bukan Cuma Soal Nilai, Inilah yang Kupelajari dari Proses Skripsiku yang Panjang

Aku adalah seorang yang terobsesi ingin memiliki nilai sempurna. Aku pun melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, hingga suatu ketika sebuah masalah datang dan bermula dari situlah cara pandangku berubah.

Aku Menemukan Kepuasan di Tengah Keterbatasan Keuangan

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Found Contentment In My Financial Limitation
Foto oleh Andrew Koay dan Joyce Lim

Di suatu hari Minggu di gereja, keponakanku yang berumur lima tahun dan keluarganya duduk di barisan kursi di depanku. Tiba-tiba, dia berbalik dan bertanya polos, “Tante Agnes, hari ini kamu ke gereja naik apa?”

Aku menjawabnya pelan, “Naik kereta.”

“Kenapa Tante tidak punya mobil? Papaku punya.”

Pertanyaan itu menyentakku. Apakah aku akan bilang kalau aku tidak mampu membeli mobil?

Aku tidak mau terkesan miskin, jadi akhirnya aku menjawab lagi, “Mobil itu bukan satu-satunya alat transportasi kok.” Aku tidak yakin apakah keponakanku mengerti, lalu ibunya menyuruhnya diam dan dia pun kembali mengikuti kebaktian.

Pertanyaan tentang mobil itu menggantung di benakku. Sekalipun memiliki mobil bisa membuat keluargaku lebih mudah dan nyaman kalau pergi tamasya—terutama dengan putra kecilku—suamiku dan aku tidak mampu membeli mobil itu.

Selama beberapa waktu, aku membenci fakta bahwa baik aku dan suamiku hanyalah pekerja yang mendapatkan gaji rata-rata, penghasilan kami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap bulan. Itu tidak adil. Mengapa Tuhan menahan kami dari kebebasan finansial dan hal-hal baik lainnya? Bukankah Dia berkata bahwa Dia akan memberikan yang baik (Matius 7:11) dan apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4)?

Namun, seiring aku semakin mengenal Tuhan lebih baik, aku menyadari bahwa sesungguhnya Tuhanlah harta terbesar yang pernah kumiliki. Aku lebih memilih untuk kehilangan semua kekayaan duniawiku daripada kehilangan pandanganku akan Tuhan dan keselamatan daripada-Nya.

Penghiburan Tuhan jauh lebih berharga daripada kekayaan

Ketika aku masih mudah dan lajang, aku menikmati kebebasan finansial. Aku suka berbelanja dan makan makanan enak. Kapan pun aku merasa stres karena bekerja, hal-hal itulah yang aku raih untuk mengalihkanku dari masalah-masalahku. Kupikir aku telah mengatasi masalahku dengan baik, dan setelah sedikit bersenang-senang, untuk sementara aku akan merasa lebih baik lalu aku pun melanjutkan hidupku.

Meskipun aku datang ke gereja, aku tidak membuka Alkitab untuk mencari penghiburan. Mungkin memiliki kebebasan finansial dan hidup nyaman membuatku merasa puas. Mungkin hatiku terlalu keras untuk mengizinkan firman Tuhan bertumbuh dalamku dan menolongku dewasa dalam iman. Seperti benih yang jatuh di antara semak berduri dalam perumpamaan tentang seorang penabur, hatiku terhimpit oleh kekhawatiran dunia (Matius 13:22).

Tapi empat tahun lalu, aku mengalami masa-masa yang berat dalam pernikahanku. Berbelanja, makan makanan enak, dan berapa pun jumlah uang tidak dapat menyelesaikan pertengkaran keluarga kami. Aku tidak bisa melihat jalan keluar. Di titik inilah kemudian Tuhan mengarahkanku kembali kepada firman-Nya.

Meskipun situasiku memburuk hari lepas hari, aku menemukan penghiburan dan damai dalam firman Tuhan bahkan saat aku sudah merasa tak berdaya lagi. Aku sadar bahwa Tuhan adalah yang sesungguhnya aku butuhkan. Seiring aku menanti dan meletakkan harapanku pada Tuhan, Dia menolongku dan suamiku untuk mengatasi masalah pernikahan kami.

Semangatku kepada Tuhan terus bertumbuh dan aku semakin rajin membaca Alkitab. Cara pandangku mengenai kekayaan pun mulai berubah. Aku tidak lagi melihatnya sebagai jawaban atas masalahku. Aku sadar bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber penghiburanku di saat-saat sulit. Oleh karena itu, aku bisa merasa puas dalam segala situasi, entah itu kaya atau miskin, karena keselamatanku tidak bergantung pada kekayaanku.

Namun, setelah aku dan suamiku berdamai, aku harus berkontribusi lebih untuk menanggung pengeluaran keluarga, dan kami pun lebih ketat dalam mengatur keuangan. Persembahan persepuluhan jadi sesuatu yang menguji iman kami, tapi Tuhan terus menunjukkan pemeliharaan dan anugerah-Nya. Dan yang paling penting, Tuhan mengajariku apa artinya berjalan dengan iman percaya dan bukan dengan pandangan sendiri (2 Korintus 5:7).

Terlepas dari pendapatan kami, kami punya tanggung jawab untuk mengelola keuangan kami dengan baik. Ketika aku masih sekolah, aku pernah diminta untuk menggalang dana untuk sebuah organisasi amal. Waktu itu aku belum jadi orang percaya, tapi aku memberikan sejumlah uang dari uang sakuku karena aku ingin menyenangkan guruku. Setelah itu, hatiku sakit karena uang yang kuberikan itu seharusnya bisa kugunakan untuk membeli sesuatu buat diriku. Meski aku bisa memberikan sejumlah uang, hatiku tidak tulus.

Hidup dalam kepuasan

Sekarang aku telah menjadi orang Kristen dan jauh lebih mengerti tentang apa artinya memberi untuk Tuhan. Aku tertantang untuk memberi lebih banyak lagi dan dengan hati yang tulus. Seperti yang tertulis dalam Matius 19:28-30, jika kita menanggalkan segala kenyamanan duniawi untuk mengikut Tuhan, kemudian pada hari di mana segalanya diciptakan baru, kita akan mendapatkan lebih banyak dan mewarisi kehidupan yang kekal. Inilah yang mengingatkanku untuk tidak hanya mencari kenyamanan yang sementara, tetapi untuk hidup dan memberi dengan perspektif kekekalan.

Tapi, selama aku aku masih tinggal di bumi ini, aku tidak terhindar dari godaan. Ketika aku melihat orang lain bisa membeli apapun yang mereka mau, aku masih bisa merasa sedikit iri. Karena aku bekerja di pusat bisnis, aku sering melihat orang-orang mengendarai mobil-mobil mewah. Kadang aku berharap bisa jadi seperti mereka. Tapi, ketika aku menyerahkan segala keinginanku pada Tuhan, aku sadar bahwa rencana-Nya untuk masing-masing kita itu berbeda. Dia membuat beberapa orang kaya, dan beberapa lainnya mendapat penghasilan rata-rata sepertiku. Tapi, terlepas dari status keuangan kita, selama kita memilih untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, Tuhan memanggil kita sebagai anak-anak-Nya.

Ketika aku mengetahui hal ini, aku merasa puas dengan keuanganku yang terbatas. Seperti Paulus, aku tahu rahasia untuk merasa puas dalam setiap situasi, entah itu dalam saat-saat kenyang atau lapar (Filipi 4:12). Aku dapat selalu bersyukur pada Tuhan karena Dia selalu memelihara dan memenuhi semua yang kubutuhkan (Matius 6:26).

Baca Juga:

Nenekku dan perempuan Nepal

Ketika berada di Nepal dulu, seorang perempuan mengatakan padaku dan temanku bahwa dia akan percaya Yesus kalau dia tidak perlu bekerja lagi. Waktu itu aku tak tahu harus menjawab apa, tapi kini, melalui teladan nenekku aku tahu bagaimana seharusnya aku merespons perempuan Nepal itu.

Seandainya Tuhan Membuat Parasku Cantik

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What If God Made Me Pretty?

Tubuhku pendek, gemuk, dan penampilanku terlihat biasa-biasa saja. Ketika aku tumbuh besar, orang-orang suka mengomentari hidungku yang pesek. Seorang temanku bahkan berkata kalau hidungku itu seperti habis ditabrak oleh sesuatu.

Waktu masih kecil, aku mengenal boneka Barbie; boneka-boneka itu terlihat cantik, tinggi, dan langsing. Aktris utama di sinema televisi favoritku penampilannya mirip seperti boneka Barbie, dan aku berharap supaya bisa terlihat seperti mereka. Meskipun aku tahu bahwa lebih penting menjadi sehat daripada cantik, sulit buatku untuk menerima diriku sendiri yang tampilannya biasa-biasa saja dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain di sekelilingku.

Saat usiaku sekitar 18 tahun, aku memutuskan untuk mengubah penampilanku. Dari yang semula mengenakan kaos dan celana jeans, aku mulai berpakaian lebih keren, memakai aksesoris, topi, dan jaket. Aku juga mulai berdandan setiap kali aku pergi keluar. Namun, dandananku hanya dapat menutupi kekuranganku, bukan mengubahnya. Aku tidak dapat mengubah tinggi badanku. Dan, tak peduli latihan dan keringat yang tercucur, aku tidak dapat mengubah bentuk tubuhku; yang kuinginkan hanyalah tampak lebih langsing. Aku ingin menjadi cantik dan populer, seperti para model dan aktris yang aku kagumi.

Saat usiaku menginjak 20-an, aku menemui seorang dokter kecantikan untuk membicarakan tentang langkah-langkah apa yang mungkin dilakukan untuk membuat wajahku lebih cantik. Tapi, setelah menimbang-nimbang risiko dan suntik botoks yang kuperlukan, aku mengurungkan ide ini. Selain ingin mengubah penampilan wajahku, aku juga ingin mengubah bentuk tubuhku, tapi dokter tidak bisa menganjurkan cara-cara yang nyaman buatku. Prosedur meninggikan badan sangat berisiko karena perlu melakukan operasi kaki, dan keberhasilannya pun tidak dijamin. Setelah menimbang risiko, biaya, dan hasil yang tidak terjamin, tidak butuh waktu lama buatku untuk membuang ide ini.

Di atas keinginan bahwa aku ingin terlihat lebih menarik, diam-diam aku ingin punya pacar. Banyak perempuan di sekolah yang punya pacar, dan kupikir aku tidak punya pacar karena wajahku yang tidak cantik. Aku juga pemalu dan menganggap kalau perempuan cantik pasti percaya diri, mudah bersosialisasi, dan populer karena penampilan mereka. Aku iri kepada mereka. Aku membenci Tuhan dan merasa Dia tidak adil. Dia menciptakan banyak perempuan cantik, tapi bukan aku. Aku tidak suka teman-temanku yang cantik. Aku tidak suka berbaur dengan mereka karena di sanalah aku merasa jelek dan tidak nyaman. Jadi, aku cenderung berusaha untuk mengabaikan mereka.

Aku tidak dapat mengerti ayat dari Mazmur 139:14 yang berkata “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” Aku merasa ayat itu tidak berlaku buatku. Aku kecewa dan berkata pada Tuhan, “Engkau pasti bercanda. Kalau Engkau menciptakanku dahsyat dan ajaib, tentu aku jadi perempuan muda yang cantik.”

Hingga suatu ketika, aku menemukan ayat dari Amsal 31:30 saat aku bersaat teduh, dan melalui ayat ini aku sadar kalau Tuhan sedang berbicara denganku. Ayat itu berkata, “Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.” Ayat lain yang menyentakku adalah 1 Petrus 3:3, “Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah.”

Tuhan tidak mencari orang yang menawan atau cantik, melainkan yang takut akan Dia. Tuhan tidak melihat penampilan luar, tapi hati kita. Ayat-ayat ini menguatkanku dan membuatku sadar betapa dangkalnya pemikiranku. Aku hanya berfokus pada kecantikan yang fana daripada Dia. Tuhan tidak pernah menghukumku; akulah yang menghukum diriku sendiri karena merasa jelek. Kenyataannya, Tuhan memuji perempuan yang takut akan Dia. Jadi, kalau aku ingin dipuji oleh-Nya, aku harus takut akan Dia. Aku harus memuliakan Dia dengan menjadikan Dia yang pertama dan utama dalam hidupku.

Sekalipun aku masih belum tahu mengapa Tuhan menciptakan beberapa perempuan tampak cantik dan yang lain tidak, aku tahu bahwa aku bisa berlari kepada-Nya dengan membawa segala perasaanku. Firman-Nya berbicara kebenaran untuk memuaskan kehampaan dalam diri kita. Alkitab berkata dalam Yesaya 55:9 bahwa jalan dan rancangan Tuhan lebih tinggi daripada jalan dan rancanganku. Sungguh, aku bisa mempercayai Allah bahwa Dia membuatku dahsyat dan ajaib dalam cara-Nya, seperti yang tertulis dalam Mazmur 139:14. Tuhan menciptakan kita seturut rencana-Nya supaya kita dapat memenuhi tujuan dan panggilan yang diberikan-Nya secara unik kepada masing-masing kita.

Seiring aku bertumbuh dalam pengetahuan tentang-Nya, aku merasa terpanggil untuk melayani-Nya melalui tulisan. Aku merasakan kebenaran Allah meresap dalam setiap area kehidupanku dan berbicara kepadaku. Aku juga mendapatkan wawasan baru ketika aku membaca tulisan-tulisan dari rekan-rekan Kristen yang membagikan cerita tentang bagaimana Allah bekerja dalam kehidupan mereka. Semuanya itu menguatkanku. Dan, aku terinspirasi untuk berbuat yang sama, membagikan pengalaman dan ceritaku supaya orang lain dapat ikut dikuatkan di saat mereka membutuhkan. Untuk menulis aku tidak perlu tampil cantik. Yang aku perlukan adalah hati yang murni, yang merindukan Allah di atas segalanya, dan menjadikan-Nya satu-satunya keinginanku.

Ketika aku melihat ke belakang, jika seandainya aku cantik, aku mungkin bisa menggapai impianku menjadi seorang model. Pekerjaan itu mungkin tidak mengizinkanku berpakaian sederhana, dan mungkin juga aku jadi terlalu berbangga diri atas tubuhku. Aku mungkin tidak memperlakukan tubuhku dengan hormat atau mengingat bahwa tubuhku adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19). Tuhan menciptakanku seperti ini supaya aku bisa fokus kepada-Nya dan mengemban panggilan-Nya dalam hidupku.

Sekarang, meskipun aku masih tergoda untuk mengharapkan kecantikan fisik setiap kali aku melihat seseorang yang tampak cantik, aku mengingatkan diriku bahwa apa yang dunia anggap cantik bukanlah apa yang Tuhan katakan. Aku mengerti sepenuhnya bahwa tidak perlu menjadi cantik dulu untuk bisa percaya diri. Kepercayaan diriku ada pada Allah yang memuji orang-orang yang takut akan Dia dan berbicara pada kita dalam masing-masing panggilan hidup kita. Sekarang aku mengerti apa yang Mazmur 139:14 maksudkan, bahwa aku diciptakan dengan dahsyat dan ajaib. Dia meyakinkanku bahwa aku dicipta oleh-Nya dan identitasku yang sejati ada di dalam Dia.

Baca Juga:

Ketika Orangtuaku Melarangku untuk Ikut Kelompok Pendalaman Alkitab

Aku bersemangat mengikuti kelompok Pendalaman Alkitab (PA) bersama rekan-rekan sekampusku. Tapi, setelah beberapa kali ikut PA, orangtuaku melarangku dengan alasan khawatir. Aku sedih, kecewa, dan bergumul dengan keputusan orangtuaku tersebut.

Ketika Pernikahan Tidak Mengubahkan Hidupku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Thought Marriage Could Change Me

“Jangan digaruk lagi! Kalau kamu bisa berhenti menggaruk kulitmu, kamu akan jadi cantik seperti anak-anak perempuan lainnya!” Itulah yang perkataan yang sering diucapkan ibuku seiring dengan aku tumbuh dewasa.

Aku menderita eksim, suatu penyakit yang membuat kulitku menjadi merah, pecah-pecah, gatal, dan penuh luka seperti luka melepuh. Ibuku sangat khawatir, apabila nanti kulitku tidak benar-benar pulih, maka kecil kemungkinanku untuk menikah karena tidak ada laki-laki yang menginginkanku.

Walaupun kondisi kulitku semakin membaik seiring aku beranjak dewasa, tapi kulitku masih tetap kering dan kemerahan bila dibandingkan dengan kulit perempuan lainnya. Kekhawatiran yang dulu dialami ibuku pun jadi kekhawatiranku juga. Aku khawatir dengan penampilanku. Rasa khawatirku akan kondisi fisikku ini pada akhirnya membawaku pada suatu kesimpulan: solusi dari permasalahanku adalah menemukan seorang lelaki yang mau menerimaku dan menikahiku.

Lalu, aku pun berimajinasi tentang pernikahan dan percaya bahwa itu dapat mengubahku sepenuhnya. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Bukan pernikahan yang dapat mengalahkan segala rasa takut itu, melainkan cinta sejati. Aku berpikir bahwa dengan menikah nanti aku akan berhenti menganggap rendah diriku sendiri, berhenti menjadi orang yang temperamental, dan aku akan dicintai dan diterima apa adanya.

Di pertengahan usiaku yang ke-20, aku bertemu dengan seseorang yang istimewa. Dia menerima kondisi kulitku yang kemerahan dan kering, dan segera setelah itu dia pun menjadi suamiku. Aku sangat bangga karena pada akhirnya aku menikah. Aku merasa aman dengan statusku yang baru seakan aku sudah terpilih dari sekian banyak gadis lainnya.

Namun, rasa kenyamanan dalam status baruku itu tidak bertahan lama. Pernikahan hanya memberiku rasa aman yang semu.

Di awal pernikahanku, aku mulai melihat bahwa aku dan suamiku ternyata tidak memiliki banyak kesamaan. Ketika kami berpacaran dulu, aku berusaha terlalu keras untuk terus mengalah demi mencapai kata sepakat. Aku tidak pernah benar-benar menyuarakan apa yang aku inginkan.

Kami adalah dua pribadi yang sangat berbeda. Suamiku suka suka menonton ke bioskop sementara aku sering tertidur saat film diputar. Dia lebih suka makanan Barat, sedangkan aku lebih suka makanan Asia. Setiap kali kami pergi berkencan dan harus memutuskan sesuatu, ujung-ujungnya kami malah berkonflik. Saat di rumah, dia suka menonton TV sampai larut malam, sedangkan aku lebih memilih untuk tidur di jam sepuluh. Dia seperti tidak peduli dengan kerapian, sedangkan bagiku kerapian itu merupakan hal yang penting.

Kami berdua terlalu keras kepala untuk mengalah dan pertengkaran kami seperti tidak ada ujungnya. Ketika anak kami lahir, kami malah jadi semakin sering bertengkar dan sifat temperamentalku pun semakin bertambah parah. Bahkan, kekesalan sedikit saja bisa membuat emosiku memuncak dan menjadi sangat marah. Membanting pintu sudah menjadi suatu kebiasaanku di rumah, bahkan suatu ketika aku pernah melempar iPad ke lantai saking aku begitu marahnya. Konflik yang terjadi setiap harinya membuat emosiku sangat terkuras.

Sebelumnya, aku pernah berpikir bahwa pernikahan itu akan melengkapiku dan memberiku rasa aman. Aku pikir aku akan menjadi pribadi yang lebih sabar dan mencintai setelah menikah. Namun, ternyata aku benar-benar salah. Pernikahan malah membuatku merasa tidak dicintai, bahkan aku menyesal karena telah menikah. Aku sangat terluka dan takut akan masa depan, terutama karena sekarang aku memiliki tanggung jawab atas seorang anak. Pikiran akan perceraian menggantung di benakku dan aku bertanya-tanya: apakah aku mampu jika harus hidup sebagai seorang single mom?

Hal ini terus berlangsung selama berbulan-bulan sampai seorang kakak rohaniku datang menghampiriku dengan penuh kasih dan mengarahkanku kepada firman Tuhan. Aku menemukan sebuah ayat dari materi pendalaman Alkitab yang aku ikuti. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yohanes 4:19). Cinta sejati awalnya datang dari Tuhan dan kami (aku dan suamiku) sungguh-sungguh memerlukan Tuhan dalam hidup kami. Kami perlu memahami dan menerima kasih Tuhan sebelum kami bisa memberikan kasih yang sama kepada sesama. Hanya kasih Allah yang mampu memulihkan dan melepaskan tekanan yang kami hadapi dalam pernikahan kami.

Seiring aku mempelajari Alkitab, sebuah ayat lain yang menyakinkanku adalah dari Yakobus 4:1:

“Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?”

Aku menyadari bahwa akar permasalahan dari pertengkaran-perengkaran kami adalah karena aku terlalu terfokus pada apa yang aku inginkan. Aku telah meletakkan keinginan dan kepentinganku di atas kepentingan suamiku. Alih-alih menjadikan Allah sebagai pusat dari kehidupan pernikahanku, aku malah menjadikan diriku sendiri sebagai pusatnya. Dan, itulah yang menghalangiku untuk menunjukkan kasih yang sejati kepada suamiku, seperti yang Allah telah tunjukkan kepadaku.

Di situlah titik balik kehidupanku. Aku berpaling kepada Allah dan memohon pertolongan Roh Kudus agar aku dapat melihat bahwa sesungguhnya aku berharga di mata Allah. Aku juga meminta kekuatan untuk dapat mengendalikan diriku di saat-saat yang mengarah kepada konflik. Perlahan-lahan, aku mulai bisa menguasai emosiku dengan lebih baik, dan kami jadi lebih jarang bertengkar.

Saat ini, relasiku dengan suamiku sudah membaik karena kehadiran dan campur tangan Allah di dalamnya. Melalui pengalamanku, aku sadar bahwa pernikahan tanpa Allah sebagai pusat segalanya tidak akan pernah bisa mengubah seseorang. Sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar kekuatan manusia untuk mengerjakan semuanya tidak akan pernah berhasil karena kita adalah manusia penuh dosa yang menjadi mangsa dari keinginan dosa kita sendiri.

Kita perlu Seseorang yang lebih kuat dari kita supaya kita bisa berhasil. Kita perlu Tuhan.

Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang

Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Tapi, melalui masa singleku yang panjang inilah Tuhan sedang membentukku.