Posts

Ketika Perbuatan Baik Malah Disalahartikan

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When My Good Deeds Backfired

Sudah lama aku tidak bertemu dengan temanku, jadi ketika ada waktu luang kuajaklah dia untuk pergi makan bersama. Usia temanku jauh lebih tua dariku dan dia tinggal sendirian. Acara makan bersama yang kupikir akan menyenangkan berubah menjadi aneh ketika maksud baikku malah jadi bumerang.

Kami makan di pujasera. Dari banyak restoran di sana, kami memilih satu restoran yang sama. Kulihat dia cuma memesan sayur-sayuran. Dalam hati kuberpikir, “Makanan cuma segitu mana cukup buat dia?”

Ketika akhirnya kami duduk, aku mengambil dua sendok nasi dari piringku dan meletakkannya di piringnya. Kupikir dia akan berterima kasih tapi dia malah mengeluh, “Kamu tahu gak sih tadi aku nggak pesan nasi itu karena aku memang nggak mau makan nasi? Kok malah kamu kasih aku nasi? Tadi pagi aku udah sarapan banyak dan masih kenyang. Kamu harusnya tanya dulu. Kamu itu selalu melukai orang. Kamu terlalu naif.”

Gara-gara kejadian itu, temanku lalu mengomel. Dia merinci perbuatan-perbuatan baikku yang ternyata tidak bermanfaat buatnya, seperti membelikannya rak sepatu dan beberapa biskuit.

Aku terkejut dengan tanggapannya. Aku merasa sangat bersalah. Aku memberikan uang yang kudapat dari kerja keras untuk membelikannya hadiah, berpikir kalau temanku itu akan menyukai pemberianku, tapi nyatanya dia malah tidak menghargai niat baikku.

Aku ingin membela diri, tapi kuputuskan menahan ucapanku karena temanku itu sudah tua dan aku ingin menghormatinya. Tanpa bicara, kuambil lagi dua sendok nasi dari piringnya ke piringku. Kami pun makan bersama dalam keheningan. Aku tidak tahu harus bicara apa karena hatiku rasanya campur aduk. Maksud baikku disalahartikan dan aku menyesali tindakanku. Sampai akhirnya pulang pun kami tidak banyak bicara.

Sampai di rumah, kata-kata temanku itu berputar terus di otakku. Sungguhkah aku tidak peka dan menjengkelkan? Apakah aku terlalu naif dalam pikiran dan tindakanku? Apakah aku jadi pemaksa ketika aku mencoba jadi orang baik?

Aku ingat sebuah nasihat yang mengatakan agar aku bisa menetapkan garis batas antara kita dengan orang yang tidak menghargai kebaikan kita. Menjaga jarak itu dibutuhkan supaya kita tidak disalahpahami lagi. Meskipun itu kedengarannya bijak, kurasa melakukan nasihat itu hanya akan membuat kita menjauh dari rekonsiliasi dan malah membuat kita berfokus pada luka-luka saja. Jika aku akhirnya menjaga jarak, sungguhkan aku bisa menunjukkan kasih Tuhan pada temanku itu? (1 Koritnus 13:2).

Seiring aku merenung dan berdoa, aku mulai menyadari pandangan berbeda dari situasiku. Aku sadar bahwa di balik tindakan baikku atau caraku merespons temanku, aku bersadarkan pada pengertianku sendiri tanpa mencari tahu hikmat-Nya.

Temanku ialah seorang wanita tua yang tinggal sendirian. Aku ingin agar dia tahu kalau dia punya teman yang peduli padanya dan dia tidak sendirian. Tapi, dalam proses untuk mewujudkan itu, aku tidak benar-benar mengerti apa yang jadi kebutuhannya. Aku hanya berasumsi seolah aku tahu apa yang dia butuhkan dariku—dan mungkin tindakanku berlebihan sehingga bukannya membuatnya bersyukur, malah merasa tersinggung.

Setelah hatiku lebih tenang, aku pergi ke rumahnya untuk meminta maaf. Puji Tuhan, dia memaafkanku lalu menertawakanku. Katanya aku terlalu menganggap serius persoalan tempo hari. Ketika obrolan kami jadi lebih ringan, dia pun mulai terbuka tentang apa yang sungguh jadi kebutuhan dan keinginannya.

Lewat pengalaman ini, aku belajar apa artinya berbuat baik dengan hati yang murni dan iman yang tulus ikhlas (1 Timotius 1:5). Seperti yang ditulis di Kolose 3:12, aku seharusnya menunjukkan kebaikan dan belas kasih dengan cara menanyakan apa yang sungguh jadi kebutuhannya. Aku seharusnya lebih lemah lembut dan rendah hati dengan mendengarkan lebih dulu apa yang dia butuhkan, alih-alih memaksakan asumsiku yang akhirnya meletakkan dia pada posisi sulit untuk menolak. Konflik ini menolongku mengetahui apa yang dia sukai dan tidak sukai, dan mengikat kami dalam ikatan persahabatan yang lebih erat.

Tindakanku untuk berbuat baik hampir saja mengandaskan persahabatan kami. Kupikir aku sedang menolong temanku, tapi dia malah melihat hal sebaliknya. Tanpa respons temanku yang blak-blakan di pujasera, aku mungkin tidak akan menyadari betapa pentingnya melakukan kebaikan bagi orang dengan cara yang sungguh membangun mereka. Niatan kita mungkin baik, tapi jika kita tidak mencari pengertian akan apa yang sesungguhnya orang itu butuhkan, tindakan kita malah seolah menunjukkan kita sedang melayani diri sendiri.

Carilah Tuhan dengan hati dan tangan yang terbuka, agar kita diberi-Nya kesempatan untuk melayani mereka yang ada di sekitar kita. Aku berdoa agar aku juga kamu dapat peka pada pimpinan-Nya agar kita pun memiliki hati dan pikiran Kristus dalam segala aksi yang kita lakukan.

Tindakan kita sendiri bisa saja gagal, tetapi dengan Kristus yang bekerja di dalam kita, setiap tindakan kita disempurnakan-Nya agar menjadi persembahan yang harum bagi-Nya.

Baca Juga:

3 Tipe Teman yang Kita Semua Butuhkan

Tidak semua pertemanan berjalan hangat dan langgeng, tapi Alkitab mengajar kita untuk tetap saling berelasi dan tidak hidup secara terasing.

Hanya Sekadar Baca Alkitab Tidaklah Cukup

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reading The Bible Did Not Make Me A Better Christian

Suatu pagi asisten rumah tanggaku tidak sengaja mendengarku berdiskusi dengan suamiku dan dia salah paham. Dia pikir aku sedang membicarakan hal-hal buruk tentangnya. Akibatnya, sepanjang pagi itu sikapnya kepadaku jadi dingin.

Untuk menghangatkan suasana, aku mengklarifikasi kejadian itu. Namun, apa yang kulakukan malah membuatnya bersikap makin buruk. Dia membantah ucapanku. Emosiku terpicu, nada bicaraku jadi meninggi dan kata-kata yang kurang baik keluar dari mulutku. Dia lalu keceplosan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Setelahnya, dia bergegas ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kata-katanya seperti tamparan di wajahku. Tadi pagi aku baru saja baca Alkitab. Namun, ketika kesalahpahaman muncul, aku menyerah pada pencobaan dan meresponsnya dengan marah. Aku terdiam.

Sungguhkah aku mencerminkan Kristus?

Aku pun pergi mandi, tapi apa yang barusan terjadi terulang-ulang di kepalaku. “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Kata-kata itu seolah bermakna begini buatku: “Kamu tidak ada bedanya sama orang yang tidak percaya. Firman Tuhan tidak berdampak apa-apa di hidupmu!” Pernyataan itu membuatku serasa dihakimi. Aku merasa bersalah karena telah gagal menunjukkan Kristus padanya.

Ketika dia membantahku pertama kali, ada bisikan dalam hatiku, “Maafkan! Maafkan! Aku harus jadi terang yang bersinar di tengah kegalapan hatinya”. Aku coba arahkan pandanganku kepada Tuhan dan mengingat ayat dari Matius 18:21-22 yang berkata agar kita memaafkan orang lain. Namun, aku gagal, dan kemudian aku kehilangan kesabaran dan pengendalian diri. Aku tidak mencerminkan Kristus sebagaimana aku seharusnya.

Membaca Alkitab tanpa mengizinkan Roh Kudus bekerja dalam hidupku, aku tak ubahnya orang Farisi yang mempelajari Alkitab dengan rajin, tapi menolak datang kepada Yesus (Yohanes 5:39-40).

Apakah asisten rumah tanggaku melihatku sebagai pengikut Kristus? Kupikir tidak. Kata-katanya yang dia ucapkan, “Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Dunia seringkali melihat kita sebagai pengikut Kristus dari buah-buah yang kita hasilkan. Nada bicaraku yang tinggi dan kasar tidak mencerminkan Kristus dalamku. Buah-buah roh—kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri—absen dari diriku.

Tuhan memampukanku

Aku merasa kacau, tidak benar, dan tidak layak mendapatkan kasih Tuhan, hingga kemudian aku teringat bahwa aku dibenarkan bukan karena perbuatanku sendiri, melainkan oleh Tuhan—penebusan-Nya di kayu salib (2 Korintus 5:21). Tuhan membenarkanku dari dosa-dosaku ketika aku tidak layak mendapatkannya, dan aku mendapatkan itu hanya karena iman.

Setelah ditebus-Nya, aku tahu aku harus menyingkirkan kebanggaan diriku sendiri dan mengundang Roh Kudus untuk bekerja dengan penuh kuasa dalam hidupku. Dengan pertolongan Roh Kudus, aku bisa menghasilkan buah roh berupa kesabaran dan kasih untuk orang-orang di sekitarku, sehingga ketika aku berkata-kata, kata-kata yang kukeluarkan adalah yang membangun.

Sejak Yesus menebus dosaku, aku diampuni-Nya dan diberi kemerdekaan untuk menghidupi hidupku. Aku bisa mengusahakan pengampunan terhadap asisten rumah tanggaku. Yang menghalangiku untuk melakukannya adalah ego dan pembenaran diriku sendiri, yang seharusnya sudah dipaku oleh Kristus di atas kayu salib.

Dengan pemahaman ini, aku punya cukup keberanian untuk mengampuni dan berdamai dengan asisten rumah tanggaku. Aku duduk berdua dengannya, dan dengan suara tenang, kami meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi sampai kami mendapatkan pemahaman bersama.

Tanpa Tuhan yang telah menunjukkanku kebenaran, anugerah, dan belas kasihan, aku tak akan mampu melakukan ini semua. Seiring aku berusaha menghidupi imanku, aku terus mengingat bahwa upayaku membaca Alkitab hanya akan menghasilkan hafalan semata, dan aku tidak akan pernah jadi murid yang sejati jika aku tidak mengarahkan pandanganku kepada Tuhan dan apa yang diinginkan-Nya bagiku.

Baca Juga:

Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang

Natal sudah berlalu, namun beberapa waktu belakangan, tema Natal “Hiduplah Sebagai Sahabat Bagi Semua Orang” terus terngiang-ngiang di benakku. Tema itu terdengar baik, tapi sekaligus juga seperti utopis bagiku.

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Was Blinded By Success

Ada suatu masa di mana aku pernah menawarkan diriku untuk menulis satu artikel per minggu untuk membantu tim pelayananku mencapai target. Meskipun kemampuan menulisku dalam bahasa Inggris rasanya biasa saja, tapi aku suka menghubungkan pengalaman dan pemikiranku dengan firman Tuhan dan menuliskannya.

Setelah lembur di kantor, aku biasanya membuka laptopku di rumah dan mencoba menulis sebuah artikel baru. Pemimpin tim pelayananku sempat khawatir kalau aku tidak akan mampu mengerjakan pelayanan ini. Katanya, tidak ada paksaan untukku melakukannya. Tapi, seringkali aku berkata, “Tidak apa-apa kok, aku bisa melakukannya.”

Aku senang melihat respon yang baik dari pemimpin timku. Tetapi seiring bulan berganti, aku tidak menjaga kondisi hatiku dan aku mulai membanggakan diri atas pekerjaan yang kulakukan. Aku ingin agar tim pelayananku merasa senang karena pelayananku. Seiring aku memfokuskan diri pada menulis artikel, sikap hatiku mulai menyimpang. Tanpa kusadari, setiap respons baik yang diberikan oleh pemimpin timku ternyata membuatku merasa kalau aku sanggup mengerjakan semuanya sendirian. Waktu-waktuku membaca firman Tuhan bergeser fokusnya karena tujuanku untuk menemukan ide-ide baru untuk menulis, bukan untuk mencari ketenangan di dalam Tuhan.

Ketika akhirnya aku kehabisan pengalaman baru untuk kutulis, aku mulai menulis cerita-cerita biasa yang sebenarnya tidak layak untuk diterbitkan. Dan akhirnya, artikel-artikelku jadi perlu banyak diedit, dan bahkan beberapa diantaranya ditolak untuk diterbitkan.

Aku mulai merasa malu. Aku seharusnya membantu meringankan beban tim pelayanan dengan kontribusiku, tapi mungkinkah aku malah menambahkan beban mereka? Hari-hari ketika kualitas tulisanku sangat buruk akhirnya menghancurkan rasa banggaku.

Selama beberapa minggu, rasa sakit hatiku tidak kunjung reda meskipun aku sudah berusaha keras untuk melupakan artikelku yang diedit habis-habisan dan ditolak. Setelah beberapa waktu, aku mengumpulkan keberanianku dan membicarakan hal ini dengan seorang teman yang kupercaya. Dia mendengarkanku dengan sabar dan menyarankanku untuk beristirahat sejenak dari menulis artikel untuk meluruskan kembali hatiku. Mungkin itulah yang sebenarnya kubutuhkan.

Kami tidak merencanakan secara spesifik apa yang akan dilakukan selama aku absen menulis, namun dalam hatiku aku tahu bahwa ini artinya aku harus berhenti mulai menulis untuk beberapa waktu kedepan dan sungguh sungguh menggunakan waktuku untuk beristirahat dalam hadirat Tuhan. Dan ini juga berarti menyerahkan segala rencanaku pada-Nya.

Ketika aku bersaat teduh esok paginya, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak bersaat teduh dengan tujuan agar aku punya bahan untuk ditulis. Aku bisa memfokuskan diri untuk mencari Tuhan dengan segenap hatiku, dan meneduhkan diriku dalam hadirat Tuhan— tempat di mana aku tahu aku bisa menemukan kedamaian.

Akhirnya aku menyadari bahwa ketika aku terlalu berfokus untuk menulis artikel, aku menjalani waktu teduhku dengan motivasi hanya untuk menemukan konten-konten untuk ditulis dan kata-kata yang lebih baik yang bisa kugunakan. Meskipun itu sebenarnya tidaklah salah, namun yang Tuhan inginkan adalah anak-anak-Nya datang mencari-Nya dalam roh dan kebenaran (Yohanes 14:2). Ketika aku mengakui pada Tuhan motivasiku yang salah dalam mencari-Nya, Ia pun menjamah hatiku.

Dalam kondisi hatiku yang hancur pagi itu, Tuhan mengingatkanku bahwa kekuatanku berasal dari Tuhan saja, dan Dia akan memberiku nyanyian baru untuk memuji-Nya (Mazmur 28:7). Kekuatanku berasal dari keteduhan relasiku dengan-Nya sebelum memulai hari. Meskipun aku telah gagal, tapi Tuhan akan memberiku kekuatan untuk memulai kembali, seperti rahmat-Nya yang selalu baru setiap pagi. Kebanggaan manusia atau kecukupan diri di luar Tuhan dalam bentuk apapun tidak akan menuntun kita pada kekuatan yang teguh, yang hanya berasal dari Tuhan.

Pada saat itu aku menyadari—baik dalam menulis ataupun pekerjaan lain—aku tidak bisa berbuat banyak tanpa kekuatan Tuhan. Di dalam hadirat Tuhan, aku bisa bermegah dalam kelemahanku meskipun aku gagal (2 Korintus 12:9-10).

Menulis artikel untuk pelayanan harus dilakukan dengan motivasi untuk memuliakan Tuhan—sebagai pengingat kesetiaan-Nya padaku—dan juga dengan harapan untuk membawa orang lain pada-Nya. Bukannya menjadi hamba-Nya yang setia dan menggunakan talentaku agar orang lain bisa melihat kemuliaan-Nya, dahulu aku malah menulis untuk diriku sendiri.

Setelah aku mengakui dosaku, aku melihat bagaimana kecerobohanku dalam menjaga hatiku membuat dosa memegahkan diri bisa menyelinap. Aku telah dibutakan oleh imaji kesuksesanku, aku menipu diriku sendiri dengan gambaran kecukupan diri, dan ini membuatku pergi menyimpang dari anugerah Tuhan.

Sukacita Tuhan ada di dalam kita, dan kasih-Nya pada kita tidak berubah dalam keberhasilan maupun kegagalan kita. Seiring aku mendekat pada Tuhan, Dia menunjukkan padaku bahwa Dialah yang akan terus menguatkan kita, bahkan pada saat kita kekuatan kita hilang. Jika aku tidak dihentikan untuk menulis dalam masa itu, aku bisa saja melewatkan pengalaman untuk merasakan kembali kebaikan Tuhan.

Meskipun aku gagal untuk menerbitkan artikel lagi, aku merasa puas. Pagi itu, Tuhan membawaku pada kepuasan yang mendalam di dalam hadirat-Nya.

Kasih-Nya tidak tidak akan goyah, dan nilai diri kita di hadapan-Nya tidak ditentukan oleh kesuksesan kita. Dia pencipta kita. Dia tahu bagaimana caranya mengangkat dan menguatkan kita ketika kekuatan kita hilang. Di dalam-Nya, aku bisa bersuka bahkan di dalam kelemahanku dan bermegah tanpa rasa takut (2 Korintus 12:9-10).

Dengan pengalaman tersebut, aku belajar untuk melambatkan tempoku dalam menulis, agar aku bisa beristirahat di dalam Tuhan. Di dalam-Nya, aku melihat harta yang lebih berharga dari kesuksesan dunia apapun yang bisa kucapai.

Sekarang, ketika aku membuka laptopku lagi dan mulai mengetik, aku tidak lagi melakukannya sebagai sebuah beban yang kukenakan pada diriku sendiri. Hal yang lebih penting adalah untuk tinggal di hadirat-Nya, di mana aku telah merasakan sukacita penuh.

Baca Juga:

Ketika Aku Belajar Memahami Arti Doa yang Sejati

Dulu, aku adalah orang yang kaku dalam menetapkan waktu berdoa. Aku pernah menolak permintaan tolong dari ibuku di saat aku seharusnya berdoa. Tapi, itu bukanlah respons yang tepat. Melalui sebuah teguran, aku pun lalu belajar tentang apa arti doa yang sejati.

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hurtful Words I Needed to Hear

Setiap Rabu, aku bertemu dengan pemimpin kelompokku dan rekan kerjaku, sebut saja namanya Abigail untuk persekutuan sambil makan siang bersama. Walaupun kami cuma bertiga, kami percaya apa yang Yesus katakan dalam Matius 18:20, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Dua minggu sebelumnya, pemimpin kelompok kami sakit dan dia tidak dapat hadir di pertemuan rutin kami bertiga. Dalam hatiku, aku tidak ingin bertemu Abigail kalau cuma berdua saja. Menurutku dia adalah seorang yang tidak mau mengalah dan egois. Namun, Abigail ingin agar kami tetap bertemu di hari Rabu, maka aku pun menurut.

Hari itu Abigail membawa makanan dari rumahnya, lalu menghangatkannnya di dapur kantor sebelum persekutuan. Ketika dia sedang ada di dapur, seorang rekan kerjaku yang lain, Jacqueline menghampiriku dan bertanya apakah aku mau ikut makan siang bersama teman-teman yang lain? Kujawab kalau aku akan persekutuan sambil makan siang dengan Abigail. Lalu Jacqueline membalasku, “Lebih baik kamu ikut makan siang sama kami saja. Tidak perlu persekutuan, kan pemimpin kelompokmu sedang sakit. Lagipula, kamu dengan Abigail kan tidak begitu akur dan kamu sering mengeluh tentang dia. Lebih baik makan siang dengan kami, belajar tentang tuhan-tuhan yang lain.”

Seperti pisau, kata-kata itu menyayatku. Namun, di sisi lain, aku tahu persis mengapa Jacqueline mengatakan hal itu. Beberapa minggu sebelumnya, aku terus mengeluh tentang Abigail di belakangnya, menceritakan kepada orang-orang tentang sikapnya yang egois dan kurangnya rasa solidaritas dalam dirinya. Perkataan Jacqueline itu membuatku merasa jadi seorang yang gagal. Aku mengakui diri sebagai pengikut Kristus, tapi aku mengalah pada kedaginganku dan mengabaikan Roh Kudus.

Beberapa hari kemudian, aku membaca Yohanes 13:34-35: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Ayat itu sangat mengena, dan aku mengingat kembali peristiwa dahulu. Aku tahu Tuhan sedang menggunakan ayat itu untuk berbicara kepadaku.

Aku perlu mengasihi dan menerima Abigail, tidak hanya dari luarnya saja, tapi seluruhnya. Aku harus berhenti berpura-pura baik kepadanya dan membicarakannya di belakang. Jika aku terus melakukannya, maka antara iman dan tindakanku tidaklah sejalan, dan bagaimana mungkin orang lain dapat melihatku sebagai murid Kristus?

Aku harus berubah. Alih-alih membicarakan kejelekan Abigail di belakangnya, aku perlu mengucapkan kata-kata berkat yang mencerminkan Kristus. Aku perlu melawan kedaginganku dan mengizinkan Roh Kudus untuk bekerja dalamku supaya aku bisa menghasilkan buah-buah kasih, kemurahan hati, dan pengendalian diri.

Hari itu aku memohon ampun kepada Tuhan dan berhenti mengeluh. Aku mengingat akan betapa baik dan sabarnya Tuhan padaku sejak dahulu, bagaimana Tuhan tidak menyerah terhadapku meskipun aku begitu egois dan jahat (Roma 8:1). Saat bertemu dengan pemimpin kelompokku, aku menceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu mengatur waktu untuk aku dan Abigail bertemu bersama dan menyelesaikan masalah ini.

Ketika Abigail tahu, awalnya dia marah padaku. Dia merasa aku salah mengerti tentang dirinya dan dia bilang kalau dia tidak dapat mempercayaiku lagi. Selama beberapa hari setelah itu kami tidak saling mengobrol. Melihat respons kami yang seperti itu, pemimpin kelompok kami pun khawatir. Dia mengajak kami bicara satu-satu secara terpisah dan puji Tuhan, pada akhirnya kami berdua mencapai pemahaman yang sama.

Dari kejadian ini, aku belajar bahwa aku pernah jadi seorang yang terlalu cepat menghakimi dan menyalahkan. Sekarang, aku mulai menyadari bahwa Abigail adalah teman yang baik. Dia tidak memelihara segala keluh kesahnya dan tidak menyimpan rasa marah untuk waktu yang lama. Sikapnya terhadap kami semua berubah, dia jadi orang yang suka menolong.

Menyalahkan dan mengeluh tentang orang lain telah menghalangiku dari anugerah Tuhan dan melihat sisi yang baik dari Abigail. Puji Tuhan aku telah diubahkan-Nya. Sekarang aku bersyukur bahwa aku dan Abigail telah lebih mengenal satu sama lain melalui pengalaman ini, dan sekarang kami bisa saling mengasihi adalah karena anugerah Kristus. Kami adalah saudara dalam Kristus, kami memiliki Bapa yang sama, dan kami pun memiliki rumah kekal yang sama.

Baca Juga:

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempatku Berproses

Aku baru bekerja selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang bekerja di sini. Namun, ketika pekerjaan itu rupanya tidak seperti yang kubayangkan, aku pun begitu kecewa dan terpuruk.

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Let Fear Rule Me

Setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Kadang, ketakutan itu begitu mempengaruhi kita hingga kita terjebak di dalamnya. Buatku, ketakutan yang kualami bermula dari peristiwa masuk angin.

Suatu hari aku terbangun dengan rasa tidak enak di tenggorokan yang kemudian berubah menjadi batuk-batuk. Aku memutuskan untuk pergi menemui dokter. Apa diagnosisnya? Kata dokter, itu hanya gejala masuk angin biasa. Aku disarankan untuk cuti beristirahat di rumah selama dua hari.

Kupikir tubuhku akan lebih baik setelah itu, tapi batuknya malah semakin parah. Aku juga merasa mual. Aku kehilangan nafsu makan dan tidak bisa menyantap makanan apapun. Tapi, aku harus memaksa diriku makan supaya aku bisa minum obat. Sepanjang hari aku merasa mengantuk dan terkadang demam. Aktivitas yang kulakukan cuma tertidur, tapi karena batuk, aku jadi sering terbangun.

Keadaan terasa lebih parah karena aku khawatir akan pekerjaanku yang harus kuselesaikan di kantor. Bosku sedang pergi dan tidak ada staf lain yang terlatih untuk menjalin komunikasi dengan klien.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Saat aku berada di dalam kereta, aku mulai batuk-batuk. Orang-orang di sekelilingku pun menjauhiku.

Aku benci situasi itu—aku berharap seandainya saja aku tidak sakit. Aku berharap seandainya aku bisa menyembunyikan diri dari penumpang-penumpang lain. Orang-orang menghindariku seolah aku ini sedang menderita penyakit yang aneh dan menular. Rasanya begitu memalukan.

Bagaimana mungkin sekadar masuk angin membuatku merasa begitu tidak nyaman? Kapan aku akan sembuh? Sudah lima hari berlalu. Apakah ini benar-benar cuma masuk angin? Dokter yang memeriksaku sepertinya telah salah!

Bagaimana kalau ternyata aku menderita kanker paru-paru? Atau TBC? Aku tahu seseorang yang menderita TBC dan masa-masa pemulihannya itu sangat menyakitkan, penuh dengan jarum, obat-obatan yang berbeda, rawat inap, dan beberapa kali kunjungan ke dokter. Gejala awal penyakit parah itu dimulai dari sekadar masuk angin dan pilek juga.

Aku mencoba mengalihkan diriku dari pikiran-pikiran negatif dengan mendengarkan lagu-lagu. Aku menemukan sebuah lagu dari Casting Crowns yang berjudul Oh My Soul. Mark Hall, penulis sekaligus penyanyinya berkata: “Ada suatu tempat di mana ketakutan harus berhadapan dengan Tuhan yang kamu percaya.” Lagu ini melegakanku.

Tuhan sedang memberitahuku untuk tidak takut. Tuhan menggunakan lagu itu untuk meyakinkanku, agar aku meletakkan ketakutanku di hadapan-Nya sebab Dia begitu mengerti akan diriku. Ketika kita membawa ketakutan kita ke hadapan Tuhan, Dia memikulnya untuk kita dan membebaskan kita.

Ketika aku mencari tahu lebih tentang lagu itu, aku mendapati bahwa penulisnya menulis lagu itu saat dia berada di titik terendahnya—di suatu malam ketika dia didiagnosis menderita tumor di di dalam ginjalnya.

Aku terinspirasi dari iman yang diungkapkan oleh sang penulis lagu itu. Aku menyembah Tuhan yang selalu berada di sisiku di segala musim kehidupan, dan Dia tidak pernah meninggalkanku. Lantas, mengapa aku tidak menanggalkan segala ketakutanku? Aku begitu khawatir, terjebak di dalamnya, hingga aku lupa kalau sebenarnya aku bisa menyerahkan segala ketakutan itu kepada Tuhan.

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Semakin aku berfokus kepadanya, semakin aku menjadi takut. Sebaliknya, aku dapat memberitahu diriku untuk fokus kepada Tuhan. Dan, dengan segera aku mendapatkan kedamaian hati karena aku mengetahui bahwa aku dapat menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan yang kutahu.

Dalam diam, aku mengucapkan doa memohon ampun. Aku telah mengizinkan ketakutanku merampas kedamaian hatiku ketika seharusnya aku dapat menyerahkan segala rasa itu kepada Tuhan. Malam itu, aku menyembah Tuhan, berdoa, lalu tertidur.

Di tengah malam, aku batuk-batuk lagi. Tapi, anehnya, kali ini aku menangis. Aku merasa hadirat Tuhan melingkupiku tepat di saat aku benar-benar membutuhkan penghiburan. Saat itu aku merasakan kedamaian yang Ilahi dalam hatiku. Aku teringat Yohanes 14:27, ketika Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Perkataan ini memenuhi hatiku dan aku merasa terhibur oleh firman Tuhan. Dari ayat ini, aku diingatkan bahwa Tuhan memberikan damai-Nya bagi kita bahkan ketika kita sedang menghadapi masalah. Kita tidak perlu takut sebab Tuhan ada bersama dengan kita.

Setelah beberapa menit, aku merasa seperti ada sesuatu yang terangkat dari tenggorokanku dan secara ajaib Tuhan menyembuhkanku. Tenggorokanku tidak lagi terasa gatal dan kering seperti hari-hari sebelumnya, dan batukku pun lebih berkurang sejak saat itu dan seterusnya. Di akhir minggu, batuk itu lenyap seutuhnya.

Melalui sakit yang kualami, itulah cara Tuhan mengingatkanku bahwa ada sebuah tempat di mana kita bisa meletakkan segala ketakutan kita, sebuah tempat di mana kita dapat merasa aman. Tuhan adalah Gembala yang baik, yang menyerahkan hidup-Nya untuk domba-domba-Nya (Yohanes 10:11). Karena Tuhan ada di sisiku, aku tidak perlu takut kehilangan kesehatan atau kenyamanan hidupku. Meskipun aku tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupku, Tuhan sanggup melakukannya.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Apakah Denominasi Gerejaku Penting Buat Tuhan?

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Does My Denomination Matter To God?

“Apa? Kamu datang ke pendalaman Alkitab di gereja Methodist?” Suamiku terkejut ketika aku pertama kali memberitahunya bahwa aku bergabung dengan kelompok pendalaman Alkitab itu. Gereja itu jaraknya cuma 10 menit berjalan kaki dari kantorku, dan pendalaman Alkitabnya diselenggarakan setelah jam pulang kerja. Waktu yang tepat buatku.

Saat ini aku tergabung di empat gereja dan organisasi Kristen yang semuanya berbeda denominasi. Tidaklah aneh apabila suamiku mungkin merasa khawatir kalau-kalau aku jadi kebingungan secara teologis. Tapi, aku malah semakin belajar bahwa kasih Tuhan itu tidak terbatas hanya kepada satu denominasi tertentu.

Gereja asalku adalah gereja Pentakosta di bawah naungan denominasi Sidang Jemaat Allah. Aku mulai menghadiri gereja itu karena pertolongan dan dukungan yang diberikan oleh para pemimpin dan jemaat ketika aku mengalami masa-masa sulit di awal pernikahanku. Merekalah yang menolongku melihat Tuhan di masa-masa paling gelapku. Di sinilah dasar teologisku dibangun, melalui mempelajari Alkitab yang dipimpin mentorku dan pemimpin lainnya di gereja.

Gereja kami adalah gereja karismatik. Kami tidak asing mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa Roh (1 Korintus 14:3-5) dan melihat orang-orang mengangkat tangan mereka ketika menyembah Tuhan. Kami sering menyanyikan lagu-lagu pujian dan penyembahan yang modern. Aku senang terlibat dalam ibadah yang suasananya begitu hidup.

Namun, keluarga suamiku menginginkan aku datang ke gereja bersama mereka. Jadi untuk sekarang, aku lebih sering meluangkan hari Mingguku di gereja Anglikan daripada di gereja asalku.

Perpindahan ini awalnya terasa sulit. Aku merasa kaku dengan himne-himne tradisional dan musik di gereja Anglikan, juga cara beribadah jemaat yang tenang. Aku rindu suasana kebaktian yang hidup seperti di gereja asalku. Diam-diam aku mengkritik para pemimpin gereja dan jemaatnya karena gaya ibadah mereka. Rasanya mereka itu seperti hanya mengikuti rutinitas mingguan, dan tidak sepenuhnya digerakkan oleh Roh Kudus.

Meski awalnya aku merasa tidak nyaman, tapi tiap kali aku datang ke gereja, khotbah-khotbahnya menyentuhku—sama seperti khotbah yang kudengar di gereja asalku. Aku mulai menyadari bahwa meski cara ibadah atau cara menggunakan karunia rohaninya berbeda, kami sama-sama percaya pada firman Tuhan yang sempurna. Pendeta di kedua gereja itu memberitakan pengajaran yang sehat. Kedua gereja itu sama-sama berdiri teguh di atas dasar Alkitab. Dan, Tuhan menggunakan kedua gereja itu pula untuk berbicara kepada hatiku dan menyadarkanku akan dosa-dosaku.

Daripada menghakimi pemimpin gereja dan kebaktian di gereja baruku yang kuanggap tidak karismatik, aku sadar bahwa aku harus bertobat dari menjadikan diriku sebagai hakim. Lagipula, siapakah aku hingga aku dapat menghakimi orang lain (Roma 14:4)? Jemaat di gereja suamiku adalah orang-orang yang percaya pada Tuhan. Mereka berpegang pada harapan dan jaminan yang juga kumiliki di dalam Kristus. Roh Kudus yang menginspirasi para pengkhotbah dan pemimpin di kedua gereja adalah Roh Kudus yang juga bekerja di hidupku.

Kembali ke cerita tentang reaksi terkejut suamiku, pendalaman Alkitab yang kulakukan meski bertempat di gereja Methodist, tapi bukan eksklusif untuk satu denominasi tertentu. Pemimpin kelompok kami berasal dari gereja Presbiterian, sedangkan teman-teman lainnya berasal dari gereja yang berbeda pula. Meski kami datang dari latar belakang yang berbeda-beda, kami disatukan oleh kasih Kristus, kami rindu melihat Tuhan di dalam hidup kami. Aku mendapat manfaat dari diskusi dan pengajaran di kelompok ini. Bersama saudari-saudari dalam Kristus, aku belajar lebih dalam tentang firman Tuhan dan disadarkan dari beberapa caraku yang salah.

Melalui pendalaman Alkitab ini, aku akhirnya tahu bahwa gereja Methodist menyelenggarakan kebaktian tengah minggu di saat jam makan siang untuk para pekerja kantoran di sekitar gereja. Aku mulai menghadiri kebaktian ini yang dikemas secara singkat tapi tradisional. Aku belajar bahwa apapun denominasi atau cara yang setiap orang Kristen pilih, selama pengajaran yang diberikan itu sehat, kita bisa mendapatkan manfaatnya.

Tentu ada topik-topik tertentu yang disikapi secara berbeda oleh setiap gereja atau kelompok pendalaman Alkitab—seperti bahasa Roh dan nubuatan, atau tentang apakah anak kecil boleh dibaptis atau tidak. Tapi, seiring aku meluangkan waktu lebih banyak untuk mendalami aturan-aturan itu, aku semakin menyadari bahwa meskipun isu-isu ini penting, seringkali itu tidak seharusnya diperdebatkan. Lagipula, kita menyembah Tuhan yang sama. Dan meskipun ada perbedaan-perbedaan kecil di dalam tradisi dan pengajaran gereja, kami memberitakan Injil yang sama dan membagikan tujuan yang sama untuk memuliakan Tuhan.

Karena itu, adalah salah apabila aku menghakimi denominasi lain karena cara ibadah mereka yang berbeda atau karena perbedaan minor dalam pengajarannya. Menghakimi orang lain dan gereja bisa mengakibatkan perpecahan dan bukanlah sesuatu yang menyenangkan Tuhan. Siapakah aku hingga aku bisa menghakimi hamba-hamba yang setia dan takut akan Tuhan, yang kepada mereka Tuhan berkenan?

Berbahasa Roh, menyanyikan lagu-lagu penyembahan, dan mengangkat tangan tidak membuatku jadi lebih baik daripada orang Kristen lainnya. Tuhan melihat hati kita, dan melalui ukuran inilah, aku telah gagal. Aku telah mengizinkan kesombongan merayap masuk dalam diriku daripada berhati-hati menjaga diriku di hadapan Tuhan. Meskipun aku berbicara dalam bahasa Roh, aku hanya akan sama seperti gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing kalau aku tidak dapat menunjukkan kasihku (1 Korintus 13:1-2).

Alih-alih berfokus pada perbedaan yang bisa mengakibatkan perselisihan atau perpecahan, Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita, dan hukum yang kedua adalah untuk mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:36-40). Kita dapat menunjukkan kasih dengan menawarkan dukungan atau menolong sesama orang Kristen yang sedang membutuhkan—apapun latar belakang gereja mereka. Pemimpin di kelompok pendalaman Alkitabku contohnya, dia menghiburku saat aku sedih dan memberiku kata-kata penguatan. Dia mengingatkanku akan kasih dan kebenaran Tuhan, dan dengan cara inilah dia mengangkat semangatku.

Memiliki pengalaman dengan beberapa denominasi membuatku menyadari bahwa kasih dan kerinduan kita kepada Tuhanlah yang menyatukan kita sebagai tubuh Kristus—juga sebagai mempelai-Nya—dengan tujuan untuk menantikan kedatangan-Nya dan masuk ke dalam Kerajaan Surga (Efesus 5:25-27). Seiring kita menanti, kita harus siap dan waspada sebagai satu tubuh Kristus dengan memfokuskan pandangan kita kepada Yesus, membagikan kasih kita kepada Kristus dengan satu sama lain, dan menyaksikan bagaimana Kristus bekerja di dalam kehidupan kita masing-masing terlepas dari latar belakang yang berbeda-beda. Betapa indahnya kasih dan harapan yang diberikan Tuhan, tidak ada bandingannya!

Baca Juga:

Hidup Ini Adalah Kesempatan, Sudahkah Aku Memanfaatkannya dengan Bijak?

Seorang teman yang dulu pernah duduk satu kelas denganku sekarang terbaring tak berdaya karena sebuah penyakit langka. Aku terdiam dan merenung. Bila aku yang berada di posisinya, apakah aku sudah menggunakan kesempatan yang ada dengan bijak?

Kupikir Menjadi Cantik dan Menarik Adalah Segalanya

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Thought I Needed To Be Beautiful

Aku dan rekan kerjaku sedang makan siang di dapur ketika kami melihat seorang rekan lainnya berjalan ke arah pintu sambil membawa tasnya.

“Mau pergi ke mana dia?” salah seorang rekanku bertanya.

Yang lain lalu menjawab, “Oh, dia cuti setengah hari buat nonton konser musik pop Korea. Dia punya tiket premium.”

“Wow,” aku menanggapi. “Dia sungguh-sungguh fans K-Pop!”

Peristiwa itu membuatku teringat kembali kenangan bertahun-tahun lalu, ketika aku masih seorang remaja. Waktu itu, aku sangat menikmati drama dan musik pop Korea. Aku bahkan mengidolakan beberapa selebriti. Mereka tampak memiliki segalanya yang aku inginkan—penampilan yang menarik dan popularitas.

Aku menghias binder sekolahku dengan foto-foto mereka. Aku menggunakan uang jajanku untuk membeli majalah atau koran yang memuat cerita dan foto tentang mereka. Aku dengan tekun menenggelamkan diriku dalam setiap detail kehidupan mereka. Kalau saja ada ujian tentang seberapa dalam aku mengenal dengan detail idola-idola itu, pasti aku akan lulus dengan nilai terbaik.

Namun, di samping mengagumi mereka, aku pun mulai membandingkan diriku dengan mereka. Semua selebriti yang aku sukai itu cantik dan langsing. Ketika aku melihat diriku di cermin, aku melihat diriku hanyalah seorang perempuan biasa. Aku merasa ada yang salah dengan penampilan wajahku. Tinggiku pun hanya 150 cm. Dan, aku tidak kurus.

Dengan segera aku mulai merasa tidak puas dengan diriku dan membenci tubuhku. Kupikir para selebriti itu terkenal dan disukai banyak orang karena penampilan mereka yang menarik.

Ketika aku membaca tulisan-tulisan tentang selebriti yang menjalankan program diet demi mendapatkan bentuk tubuh yang ideal, aku merasa perlu meniru mereka juga. Aku harus diet, membatasi asupan kaloriku. Banyak selebriti juga menjadi bintang iklan produk-produk diet dan pelangsing badan sekalipun tubuh mereka sebenarnya tidak gemuk. Selain itu, setiap kali ada selebriti yang berat badannya turun, media dan para penggemarnya segera menyuarakan rasa keprihatinan atas kesehatan para selebriti itu. Sepertinya para selebriti itu mendapatkan perhatian dan popularitas yang lebih besar ketika mereka melakukan diet—dan kupikir itu juga akan berlaku buatku kalau aku mengikuti jejak mereka.

Aku pun berubah jadi seorang yang percaya kalau tubuh langsing itu cantik. Kalau aku tidak bisa mengubah wajah atau tinggi badanku, aku bisa mengubah berat badanku. Jadi, meskipun berat badanku sudah menurun, aku tetap melakukan diet. Tapi, betapapun kerasnya aku berusaha, aku tidak pernah bisa menjadi seorang selebriti.

Selain itu, diet dengan mengurangi asupan kalori sering membuatku jadi merasa murung dan lesu. Ketika aku sudah bekerja, ketertarikanku pada dunia selebriti mulai menurun karena aku semakin sibuk. Tapi, aku masih terus melakukan dietku dan memperhatikan berat badanku.

Cara pandangku akhirnya berubah ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi empat tahun lalu. Sebagai buah dari berbagai pencobaan yang kualami dalam keluargaku, aku mulai membaca firman Tuhan dengan tekun dan mendapatkan penghiburan di masa-masa sulit itu. Dan, karena aku begitu larut dalam firman Tuhan, obsesiku pada selebriti pun menjadi bagian dari masa laluku. Selama masa-masa inilah kebutuhan emosionalku dipenuhi oleh Tuhan dan akhirnya aku menemukan siapa diriku yang sejati di dalam Tuhan.

Yesaya 43:7 mengingatkanku bahwa aku diciptakan untuk kemuliaan Tuhan. Tujuan dari kehadiranku di dunia ini adalah untuk kemuliaan-Nya! Aku mungkin tidak rupawan seperti selebriti, atau paling pintar, atau paling baik dalam semua yang kulakukan. Tapi, itu tidak penting, sebab tujuan hidupku ditemukan dalam Kristus.

Aku juga belajar dari 1 Korintus 6:19-20 bahwa tubuh ini adalah bait Roh Kudus. Aku bukanlah milikku sendiri, dan tubuhku adalah kepunyaan Tuhan. Aku harus merawat tubuhku baik-baik sebab itu adalah kediaman Tuhan. Ini berarti tujuanku menjaga pola makan adalah untuk membuat tubuhku tetap sehat.

Lambat laun, aku belajar menerima penampilan diriku, karena aku tahu bahwa Tuhan menciptakanku dengan sangat baik. Tuhan tidak membandingkanku dengan selebriti. Kenyataannya, Dia begitu mengasihiku hingga tidak ada satu hal pun yang bisa memisahkanku dari kasih-Nya (Roma 8:35)!

Ketika baru-baru ini aku membaca tulisan tentang meningkatnya jumlah kasus bunuh diri di antara para bintang K-Pop, aku dapat membayangkan bagaimana kegelapan yang mereka hadapi—perbandingan tanpa akhir, tekanan industri, kritik-kritik di media sosial. Mungkin mereka pun sebenarnya tidak ingin untuk mengakhiri kehidupan mereka.

Tapi aku juga teringat sebuah lagu Sekolah Mingguku dulu yang liriknya berkata, “Bersama Kristus kita bisa tersenyum dalam badai, tersenyum dalam badai.” Lagu ini mengingatkanku bahwa di dalam masa-masa kelam kita, kita dapat berseru kepada Tuhan yang tidak pernah meninggalkan kita untuk menghadapi pergumulan seorang diri. Tuhan akan mengubah kegelapan kita menjadi terang (Yesaya 42:16). Seandainya saja para bintang K-Pop itu mengetahui betapa Tuhan mencintai dan menyayangi mereka, mungkin mengakhiri hidup tidak akan jadi pilihan mereka.

Membanding-bandingkan diri adalah hal yang mengerikan. Itu membuatku sengsara selama masa remajaku dan menghalangiku untuk memenuhi tujuan Allah dalam hidupku. Sekarang aku menyadari bahwa para selebriti yang dulu sangat aku kagumi suatu saat nanti pasti akan menjadi tua. Penampilan fisik mereka yang mengagumkan akan memudar. Tapi tujuan Tuhan untuk kita memiliki nilai yang kekal. Perhatian dan kasih sayang yang aku cari tidak berasal dari penampilanku, tetapi hanya ditemukan di dalam Kristus.

Alih-alih terobsesi pada selebriti dan kecantikan fisik, sekarang aku berusaha menggunakan waktuku dengan bijaksana. Aku membaca firman Tuhan dengan sepenuh hati supaya aku dapat terus belajar lebih mengenal Dia. Pengejaranku juga telah berubah, dari lagu-lagu populer kepada lagu-lagu yang berisi puji-pujian kepada Tuhan. Tuhan adalah penghiburan dan sukacitaku yang luar biasa di hari-hari tergelapku, dan sukacita dari Tuhanlah yang akan terus menjadi kekuatan dan perisaku selamanya (Mazmur 28:7). Hatiku menemukan penghiburan di dalam Dia.

Baca Juga:

Di Tengah Patah Hati Hebat yang Kualami, Tuhan Memulihkanku

Karena penyakit tumor yang menyerangku di usia 20 tahun, hubunganku dengan pacarku pun terguncang hingga akhirnya kami putus. Aku patah hati dan begitu kecewa. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Dia menolongku dan memulihkanku.

10 Tahun Bekerja dengan Sikap Hati yang Salah, Inilah Cara Tuhan Menegurku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: God Convicted Me Of My Bad Work Attitude

Baru-baru ini aku mendengar seorang rekan kerjaku bertanya pada manajernya tentang seorang staf lainnya. Staf itu baru bergabung dengan perusahaan kami enam bulan lalu, tapi selama beberapa waktu belakangan ini, rekan kerjaku itu tidak melihatnya.

Manajer itu menjawab, “Dia sudah mengundurkan diri. Dia selalu marah ketika aku coba mengoreksi kesalahannya.” Aku terkejut mendengar ini karena manajer itu adalah salah satu orang terbaik yang pernah kutemui.

Pernyataan manajer itu mengingatkanku pada sikap lamaku terhadap pekerjaan. Ketika aku memasuki dunia kerja pertama kali, aku tidak cukup rendah hati untuk menerima koreksi-koreksi. Ketika manajerku mengoreksi kesalahanku—entah itu kecil atau besar—aku suka membantah dan membuat banyak alasan untuk membenarkan diriku sendiri. Aku takut kalau aku dicap sebagai orang yang ceroboh dan tidak kompeten. Bukannya belajar dari kesalahan-kesalahan itu, yang ada aku malah merasa kesal.

Hasilnya, aku tidak pernah menerima penilaian yang baik dan seringkali aku berganti-ganti pekerjaan. Aku selalu berharap kalau pekerjaan baruku akan lebih baik, tapi aku tidak pernah mengubah sikapku yang keras kepala.

Hingga akhirnya perubahan sikapku terjadi ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi melalui masa-masa pencobaan dalam hidupku. Dengan membaca Alkitab, aku belajar bagaimana seharusnya aku berperilaku sebagai orang Kristen di tempat kerja.

Aku sangat terinspirasi oleh firman Tuhan dari Filipi 2:14-15, “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia.”

Saat aku membaca ayat itu, aku menyadari bahwa aku sering membantah dan bersungut-sungut ketika manajerku menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Bagaimana caranya supaya aku tidak beraib dan tiada bernoda? Bagaimana caranya aku bisa menjadi anak Tuhan yang tiada bercela ketika perilakuku tidak memuliakan Tuhan? Aku sangat malu dengan sikapku.

Di kesempatan yang lain, aku menemukan perkataan Yesus dalam Matius 23:12, “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Aku diingatkan lagi bahwa Tuhan menghargai sikap yang rendah hati. Selalu membantah saat aku membuat kesalahan bukanlah tindakan kerendahan hati, dan itu tidak menyenangkan Tuhan. Memiliki kerendahan hati dan semangat untuk mau diajar adalah hal yang menyenangkan Tuhan. Karena aku adalah anak Tuhan, aku harus menunjukkan sifat-sifat yang menyenangkan Tuhan di tempat kerjaku.

Berfokus kepada masa depan

Aku pun mengubah sikap kerjaku. Awalnya aku begitu mudah merasa kecewa dan merasa lebih rendah daripada yang lain. Sikap buruk ini telah ada dalam diriku selama 10 tahun aku bekerja. Entah berapa banyak promosi dan kenaikan gaji yang aku lewatkan karena sikap burukku itu.

Namun kemudian aku menyadari bahwa berkutat pada kesalahan-kesalahanku di masa lalu tidak akan membuatku jadi lebih baik. Untuk mengubah diriku menjadi lebih baik, aku perlu move-on dari masa lalu. Aku tidak bisa mengulang kembali masa lalu dan memperbaiki kesalahan-kesalahanku dulu, tapi aku bisa memilih untuk bertindak secara positif, belajar dari kesalahan-kesalahan itu dan bekerja dengan lebih baik.

Aku juga dikuatkan melalui kisah-kisah dalam Alkitab tentang kesetiaan Tuhan kepada Israel. Meskipun mereka berpaling menjauh dari Tuhan lagi dan lagi, Tuhan tidak pernah menyerah terhadap mereka. Tuhan memberitahu mereka untuk tidak mengingat-ingat lagi masa lalu. Tuhan ingin agar mereka melihat ke masa depan (Yesaya 43:18, Yoel 2:25). Mungkin aku telah berbuat salah selama 10 tahunku dulu, namun aku dapat mengakui kesalahan dan sikap kerjaku yang memalukan itu kepada Tuhan, sebab Dia akan menerimaku dengan belas kasihan dan anugerah-Nya (Ibrani 4:15-16).

Ketika aku berdiam dalam kebaikan Tuhan, aku diingatkan untuk mengerjakan tanggung jawabku dengan kekuatan yang dianugerahkan-Nya kepadaku, supaya Tuhan dimuliakan (1 Petrus 4:11). Setiap harinya, kepada Tuhan aku meminta kekuatan supaya aku bisa menggunakan setiap kesempatan untuk melayani dan memuliakan Dia dalam pekerjaanku.

Setelah beberapa waktu, manajerku melihat ada perubahan dalam sikap kerjaku. Dia melihatku mau belajar dan bisa diandalkan, jadi dia mulai mempercayaiku dengan beberapa proyek baru dan tanggung jawab yang lebih. Apa yang diberikan manajerku inilah yang jadi kesempatan buatku membuktikan perubahan-perubahan positif dalam diriku. Dengan tiap kesempatan itu, tanggung jawab yang kuemban menjadi lebih menantang dan kadang aku pun merasa khawatir apakah aku bisa menangani beban pekerjaan yang bertambah itu atau tidak. Namun, aku memohon pertolongan dari Tuhan dan menyerahkan pekerjaanku kepada-Nya setiap waktu. Dialah yang menjadi sumber kekuatanku dan alasanku untuk bisa tetap tersenyum meskipun tekanan menghimpitku.

Di akhir tahun, tibalah waktunya untuk penilaian kinerjaku. Manajerku memberikan tanggapan positif mengenai performa kerjaku dan dia juga berkata kalau dia terkejut dengan perubahan sikap kerjaku. Setelah bekerja 10 tahun, itulah kali pertama aku mendapat tanggapan kerja yang baik dan kenaikan gaji yang wajar.

Aku telah belajar untuk memiliki pola pikir Kerajaan Allah dalam pekerjaanku. Sebagai anak-anak Tuhan, kita lebih dari sekadar mampu untuk mengatasi kesalahan-kesalahan kita. Ketika atasan kita menunjukkan kesalahan-kesalahan kita, izinkanlah tanggapan dari mereka itu sebagai sarana untuk kita bertumbuh supaya kita bisa lebih dan lebih kompeten lagi melakukan bagian kita, dan memuliakan Tuhan melalui pekerjaan kita.

Baca Juga:

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

Aku Memberi Persepuluhan Karena Motivasi yang Salah

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Was Tithing For The Wrong Reasons

Empat tahun lalu, aku bersilang pendapat dengan keluargaku dan aku pun tidak lagi tinggal serumah dengan mereka. Di waktu yang hampir bersamaan, aku mulai menghadiri ibadah di sebuah gereja kecil.

Istri dari pendeta di gereja itu meluangkan banyak waktunya untuk membimbingku. Setiap minggunya kami belajar Alkitab bersama-sama, dan dia juga sering meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatanku. Aku sangat mengucap syukur. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikannya, jadi aku mulai memberikan persembahan persepuluhan ke gereja itu sebagai ungkapan terima kasihku kepada sang istri pendeta; aku tidak ingin apa yang sudah berikan untukku tidak dibalas apapun.

Alasan lain mengapa aku mulai memberi persepuluhan adalah karena gereja itu kecil, dan setiap uang dari persepuluhan maupun persembahan yang diberikan oleh anggota gereja sangatlah berarti. Aku ingat pada suatu bulan, pendeta kami mengumumkan kalau bulan itu gereja kami tidak mempunyai cukup uang untuk membayar sewa bulan itu. Meskipun aku tidak kaya dan tidak mendapat gaji yang tinggi, aku memutuskan untuk memprioritaskan persepuluhanku dibandingkan dengan prioritas keuanganku yang lain.

Beberapa waktu berselang, hubunganku dengan keluargaku pun pulih, dan aku mulai mendukung kebutuhan finansial keluargaku lagi. Namun, pengeluaran ini membuat keadaan keuanganku tertekan. Tapi, aku masih ingin terus memberikan persepuluhan sebagai wujud terima kasihku kepada istri pendeta yang telah menolongku selama masa-masa sulit, dan aku tidak ingin keuangan gereja kecil itu jadi terganggu.

Di titik ini, aku tidak memberikan persepuluhan sebagai keyakinanku untuk menyenangkan Tuhan. Melainkan, aku memberikan persepuluhan untuk menyenangkan orang-orang di sekitarku (istri pendetaku, orang-orang di gereja). Memberi persepuluhan berdasarkan kekuatanku sendiri dan untuk alasan yang salah membuatku mulai menggerutu. Meskipun aku terus memberikan 10 persen penghasilanku kepada gerejaku, di dalam diriku aku merasa tidak bersukacita.

Aku juga mulai mencari-cari kesalahan dari apa yang pembawa persembahan biasanya doakan. Dia berdoa, “Aku berdoa kiranya kami semua memberikan dengan hati yang sukacita.” Namun, kata-kata itu tidak berarti apa-apa buatku. Aku tetap menggerutu dalam hatiku, berpikir tentang diriku sendiri, “Selama aku memberi, itu tidak apa-apa… Tidak masalah apakah hatiku bersukacita atau tidak, selama aku tidak membebani keuangan gereja, seharusnya itu tidak apa-apa.”

Pemahamanku yang salah mengenai persepuluhan

Namun Tuhan memedulikan bagaimana sikap hatiku ketika memberi. Tuhan tidak membiarkan aku menggerutu terus-terusan. Saat aku tengah bersaat teduh, dengan penuh kasih Tuhan menunjukkanku bahwa doa yang dinaikkan oleh para pembawa persembahan itu sesungguhnya berasal dari Alkitab. Bagian akhir dari 2 Korintus 9:6-7 menyentakku, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”

Saat aku mempelajari ayat ini, aku merasa bahwa Tuhan berbicara dengan penuh kasih, “Aku ingin agar kamu memberi dengan sukacita. Janganlah karena paksaan. Kalau kamu tidak bersukacita, tolong simpan saja uangmu. Aku tidak menginginkannya. Aku lebih memilih hatimu.”

Aku merasa bersalah. Aku menyadari suatu kebenaran—Tuhan menginginkan hatiku. Dia ingin aku memiliki sikap hati yang benar di hadapan-Nya. Tuhan tidak menginginkan uangku; keinginan-Nya adalah aku mengasihi-Nya dengan hati yang penuh keyakinan, dan aku memberinya tempat di atas segala hal lainnya di hatiku. Aku merasakan kasih yang Bapa yang lembut mengalir dari firman Tuhan tersebut, mengatakan bahwa aku lebih berharga daripada hal-hal lainnya di dunia ini.

Jadi mengapa sangat sulit buatku untuk memberi dengan sukacita? Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15). Aku sadar bahwa aku tidak cukup mencintai Tuhan. Di luar aku menunjukkan bahwa aku mengasihi Tuhan, tetapi Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa di dalam hatiku, aku tidak sungguh-sungguh mengasihi-Nya.

Persepuluhan sebagai bentuk penyerahan diri

Aku belajar untuk melihat bahwa persepuluhan bukanlah sebuah ketaatan yang dilakukan dengan keraguan; melainkan merupakan wujud bahwa aku menyerahkan hatiku. Hati yang berserah adalah hati yang bersukacita dalam memberi, dan Tuhan dapat melakukan jauh lebih banyak dalam kehidupan kita ketika kita hidup dengan hati yang berserah.

Sejak Tuhan menunjukkan apa yang menjadi keinginan-Nya dalam hatiku, aku tidak lagi menggerutu ketika memberikan persepuluhan. Meskipun keuanganku masih terbatas, 2 Korintus 9:6 menguatkanku: “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” Kerajaan Allah itu bukanlah tentang benda-benda di dunia; Kerajaan Allah adalah tentang nilai-nilai yang bersifat kekal. Ketika kita memberikan persepuluhan dengan hati tulus, kita mungkin tidak akan diberkati dengan uang di rekening yang bertambah banyak, tetapi tentu kita menerima berkat yang bernilai kekal.

Ketika aku menyerahkan persepuluhanku kepada Tuhan meskipun keuanganku terbatas, aku justru belajar lebih banyak tentang penyerahan diri daripada ketika aku sedang berada dalam kondisi yang berlimpah. Aku belajar bagaimana rasanya berjalan dengan iman dan bukan dengan pandangan sendiri (2 Korintus 5:7), dan aku mengucap syukur untuk mengalami kebenaran Tuhan dalam janji-janji-Nya ketika aku menyerahkan diriku. Perlahan tetapi pasti, Tuhan sedang mengajariku untuk lebih mempercayai-Nya, dan setiap kali Dia melakukan itu, kasihku kepada-Nya pun bertumbuh.

Baca Juga:

3 Langkah yang Kulakukan untuk Lebih Efektif dalam Membaca Alkitab

Aku tampak Kristen di luar, tetapi di dalam hatiku, aku tidak tertuju kepada Tuhan. Aku memanjakan diriku dalam kehidupan dosaku tanpa memiliki hati yang mau bertobat. Hingga suatu ketika, aku pun belajar untuk mengubah caraku dalam membaca Alkitab.