Posts

Dalam Asuhan Dua Iman yang Berbeda, Ini Cara Pandangku Sekarang

Oleh Priliana, Jakarta

Waktu aku kecil, aku pernah hidup dalam asuhan dua iman yang berbeda.

Aku lahir di keluarga yang seluruh anggotanya Kristen, tetapi karena tidak ada yang mengasuhku, setiap hari dari pagi sampai sore aku dititipkan ke tetangga. ‘Ibu’, demikian aku memanggilnya.

Meski bukan mama kandung, ‘ibu’ mengasuhku dengan bertanggung jawab. Beliau memberiku makan, mengajariku belajar, hingga membelikanku banyak barang. Aku dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Salah satu momen yang kuingat adalah aku diajaknya untuk merayakan hari besar agamanya. Ketupat, opor, tentu aku nikmati, namun yang paling berkesan adalah ketika aku melihat orang-orang dengan barisan teratur khusyuk berdoa.

“Wah, cantik sekali kamu pakai baju yang Ibu beli,” puji ibuku saat kami bersiap merayakan hari besarnya. Kami bergandengan tangan, berjalan menuju lapangan luas tempat orang-orang berkumpul sembari merencanakan nanti mau silaturahmi ke rumah mana saja.

Kedekatanku dengan ibu memberiku banyak pengetahuan tentang budaya mereka ketika merayakan hari besarnya. Ibu juga bukan orang yang tertutup. Ketika Natal dan Paskah, dia tidak enggan memberi kami selamat, bahkan pernah juga dia ikut menyaksikan penampilanku di perayaan Natal.

Sekarang saat aku telah dewasa, aku tidak lagi mengikuti ritual-ritual yang dilakukan ibuku sebab aku telah memilih untuk berakar dan bertumbuh dalam iman Kristenku. Namun, pengalaman hidup dalam asuhan dua iman berbeda itulah yang menolongku melihat dunia dari perspektif yang lebih luas.

1. Dunia kita adalah dunia yang heterogen

Dunia yang kita pijaki adalah dunia yang dihuni oleh beraneka ragam manusia, baik dari suku, ras, dan agama. Tak cuma perbedaan sosial, perbedaan latar belakang masing-masing keluarga juga membentuk kepribadian seseorang jadi unik.

Indonesia, misalnya. Negeri yang kita tinggali yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau juga punya segudang perbedaan. Masing-masing provinsi punya bahasa dan dialeknya, namun para founding fathers bersepakat untuk bersatu di bawah satu panji bernama “Indonesia”. Persatuan ini tidak meniadakan identitas masing-masing, melainkan dengan sadar mengerti bahwa untuk menjadi besar dan kuat, segala perbedaan itu harus dipandang sebagai sebuah kekayaan alih-alih pemecah belah.

Allah yang kita sembah juga mengasihi semua bangsa. Dalam kitab Yunus kita melihat bahwa Allah rindu agar bangsa yang tidak mengenal-Nya bisa mengenal-Nya sehingga mereka beroleh keselamatan. Kerinduan Allah ini selaras dengan panggilan-Nya juga bagi kita di masa kini, “Aku telah menentukan engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya engkau membawa keselamatan sampai ke ujung bumi” (Kis 13:47).

Dalam dunia heterogen, kita sebagai orang Kristen hadir untuk meneruskan kasih Tuhan pada siapa pun tanpa melihat atau menilai adanya perbedaan. Justru dalam perbedaan tersebutlah kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam.

2. Wujud kesalehan iman Kristen diwujudkan dalam hidup berdampingan dengan sesama

Matius 5:16 menyebutkan sabda Yesus bahwa kita adalah “garam dan terang”. Ini bukan sembarang analogi. Menjadi garam berarti memberi rasa bagi seluruh masakan, dan menjadi terang berarti memberi cahaya untuk menerangi tempat yang gelap. Singkatnya, Yesus memanggil semua murid-murid-Nya untuk hidup berdampak.

Pada zaman ketika Yesus melayani di dunia, kekristenan belumlah terbentuk. Orang-orang Yahudi di bawah penjajahan Romawi cenderung hidup berkelompok dengan segolongannya dan menganggap golongan lain lebih rendah (contoh: orang Samaria yang dianggap najis karena kawin campur, pemungut cukai yang bekerja untuk Romawi dengan menjajah/memeras orang Yahudi, dll). Namun, justru dengan orang-orang inilah Yesus memberi diri-Nya hadir.

Dalam Yohanes 4:1-42, Yesus meminta air dan bercakap dengan perempuan Samaria, hingga perempuan Samaria tersebut menjadi percaya pada-Nya. Bahkan di ayat 40, Yesus tinggal selama 2 hari bersama orang-orang Samaria yang menjadi percaya kepada-Nya.

Yesus juga mengasihi pemungut cukai. Dalam Matius 9:11-13, Yesus memberikan pedoman untuk bergaul dengan pemungut cukai (orang yang belum percaya). Bahkan di ayat 12 Yesus berkata:

“Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Apa yang tertulis di Alkitab memberi penegasan pada kita yang hidup di zaman modern, bahwa ke dalam dunia yang beragam kita diutus untuk mengasihi. Untuk menunjukkan pada dunia bahwa Dialah Allah jika kita saling mengasihi (Yohanes 15:35).

***

Sekarang saat aku sudah besar dan mengenal iman Kristenku dengan lebih dalam, aku tidak lagi mengikuti aktivitas ibadah ibu, tetapi relasi kami yang erat layaknya saudara tidak merenggang sedikit pun. Hampir dua dekade telah berlalu sejak aku rutin diasuh oleh ibu. Sampai hari ini kami masih saling berkomunikasi dan bahkan sering bertemu. Tidak ada yang berubah selain fisik yang semakin tua.

Bekal firman Tuhan yang diajarkan orang tuaku sejak aku kecil, serta iman Kristen yang kuanut secara pribadi, meneguhkan posisiku bahwa sebagai seorang yang telah dikasihi Kristus, aku dimampukan untuk meneruskan kasih itu kepada orang lain, termasuk kepada yang berbeda keyakinan denganku.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35).

“Aku Gak Suka Dipanggil Si Batak!” Sebuah Kisah tentang Streotip

Oleh Santi Jaya Hutabarat

“Aku tidak suka dipanggil “si Batak”, mamaku menamaiku Togar!” ucapnya kesal setiba di mes.

Aku kaget mendengar reaksinya itu, mengingat saat kejadian sebelumnya dia tidak berkomentar apapun.

“Si Batak tidak usah dikasih mic. Suaranya sudah besar kok sejak orok,” kata salah satu rekan kerja kami saat Togar diminta menyampaikan sambutan untuk teman-teman yang sedang berpuasa. Hari ini ada acara berbuka bersama dengan teman-teman beragama Islam dari tempat kami bekerja.

Menganggap hal itu sebagai gurauan yang biasa saja, kami menyambutnya dengan gelak tawa. Sebaliknya, Togar ternyata merasakan hal berbeda.

Di kantor, Togar terkenal dengan logatnya yang khas serta bicaranya yang kuat. Pria bermarga yang lahir dan dibesarkan di Dolok Sanggul, Sumatera Utara ini, memang bersuku Batak Toba. Jadi, menurutku wajar saja kalau ia dipanggil “si Batak”. Lagipula selama ini kami tidak tahu kalau dia tidak nyaman dengan panggilan dan gurauan kami tentang ke-batakannya itu.

“Aku kan bicara keras tidak dibuat-buat, begitulah caraku ngomong. Janggal kali kurasa kalau pelan-pelan, macam berbisik,” terangnya tanpa kuminta.

“Tapi memang kamu kan orang Batak, mengapa kamu tidak nyaman dipanggil begitu?” tanyaku memberanikan diri.

“Jadi kalau kamu kupanggil Padang “si manusia pelit” mau?” balasnya seperti menyerangku balik.

Aku tertegun. Dalam diam aku memikirkan bagaimana hal yang terkesan sepele ini bisa menyulut emosi Togar. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama dia tidak nyaman dengan stereotip yang kami anggap candaan itu, dan aku yakin rekan kerjaku yang lain juga tidak menyadari hal itu.

Tidak hanya merusak relasi, dalam dampak yang lebih besar, pemberian stereotip juga bisa menimbulkan masalah. Seperti salah satu kasus yang terjadi di 2020 silam. Saat itu, di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam hampir seluruh dunia, perhatian publik tertuju pada kematian pria kulit hitam, George Floyd. Hal ini bermula dari penangkapan dirinya oleh oknum polisi karena diduga melakukan transaksi dengan uang palsu. Derek Chauvin, polisi yang menangkapnya, memborgol kedua tangan Floyd dan menjatuhkannya ke aspal. Ia juga menekan leher Floyd dengan lututnya sampai lemas dan menyebabkan Floyd meninggal dunia di rumah sakit.

Peristiwa George Floyd tidak hanya menggugah kesadaran publik tentang stereotip yang berujung pada tindakan diskriminasi, namun kerusuhan atas aksi demonstran juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Meski tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya stereotip tertentu pada kulit hitam, kejadian ini mengingatkan kita bagaimana pandangan atau stereotip terhadap kelompok tertentu sangat membahayakan. Dalam kejadian ini, seseorang sampai kehilangan nyawanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise. Lebih lanjut didefinisikan bahwa stereotip merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tetap. Stereotip tidak sesederhana pandangan positif maupun negatif pada kelompok tertentu. Penyematan label-label tertentu pada etnis atau ras, gender, kelas sosial, usia, warna kulit, kebangsaan hingga agama tersebut, lahir dari anggapan yang dapat menimbulkan prasangka hingga diskriminasi.

Dalam konteks kehidupan kita sebagai umat Kristen di Indonesia yang sarat dengan perbedaan, beragam stereotip terhadap kelompok tertentu mungkin sudah sering kita dengar. Wajah ber-siku, mudah emosi, ngomong kasar, serta logat yang khas untuk suku batak Toba. Ada juga sebutan “si mata sipit dan kikir” pada etnis Tionghoa, “rambut keriting, kulit hitam” untuk teman-teman dari Timur, “Dang Jolma” (Batak Toba: tidak berkemanusiaan) bagi suku Nias, serta ragam penyebutan untuk suku dan ras lainnya. Di satu sisi penyebutan ini terkadang dianggap candaan, namun di sisi yang berbeda, hal ini juga bisa menimbulkan masalah dalam relasi.

Belajar dari hubungan orang Yahudi dan orang Samaria yang banyak sekat (Yohanes 4:9). Orang Yahudi memandang najis orang Samaria karena nenek moyang mereka yang melakukan kawin campur. Begitu juga orang Samaria menganggap orang Yahudi memegang ajaran yang salah karena berkeyakinan bahwa Taurat dan syariat Yahudi berasal dari Tuhan.

Lebih lanjut, kita juga dapat membaca kisah Natanael dalam Yohanes 1:45-46. “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” tanya Natanael ragu saat Filipus mengaku bertemu dengan Mesias, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret. Tidak ada yang salah dengan Kota Nazaret, namun kota ini tidak pernah disebut sebagai kota asal sang Juru Selamat dalam nubuatan para nabi. Lain hal dengan Kota Betlehem, kota ini sudah dinubuatkan oleh Nabi Mikha bahwa akan bangkit seorang pemimpin bagi Israel (Mikha 5:1). Hal ini juga yang mungkin mendorong keraguan Natanael. Padahal Yesus lahir di kota Daud, Betlehem. Tetapi, demi penggenapan rancangan Allah, Yesus disebut orang Nazaret (Matius 2:23).

Tentang penggolongan, dalam pasalnya yang kedua dari ayat 1 sampai 4, Yakobus mengingatkan agar tidak ada pembedaan dalam hati yang membuat kita memperlakukan orang lain dengan berbeda. Yakobus memberikan nasihat agar tidak menilai dan memperlakukan seseorang berdasarkan penampilan atau kelas sosialnya.

Sama seperti pengalamanku dalam pertemananku dengan Togar, kita tidak pernah bisa mengetahui secara pasti bagaimana stereotip tertentu memberikan dampak bagi orang lain. Bagi sebagian orang, sebutan/panggilan tertentu mungkin terkesan biasa saja, namun untuk sebagian lainnya, penyebutan tersebut menyinggung atau mengganggu.

Yesus pun pernah menjadi korban dari prasangka. Ketika Dia menjumpai seorang perempuan Samaria di sumur Yakub, hal tersebut bukanlah tindakan lazim pada zaman itu, mengingat orang Yahudi tidak bergaul dengan perempuan Samaria. Komunikasi antara pria Yahudi dengan seorang perempuan Samaria tidaklah dibenarkan menurut budaya karena orang Samaria dianggap lebih rendah derajatnya. Belajar dari sikap Yesus yang mematahkan prasangka itu dengan hadir secara langsung dan bercakap dengan si perempuan Samaria, kita bisa memulai dengan belajar mengenal orang lain secara pribadi tanpa embel-embel stereotip tertentu.

Seperti keraguan Natanael yang terjawab setelah ia bertemu dengan Yesus, tentu saja pengenalan kita yang bersifat pribadi tidak boleh kita jadikan sebagai penilaian yang sama pada semua orang, meski mereka berasal dari daerah yang sama atau memiliki latar belakang yang mirip. Lebih dari itu, sebagai anak-anak Allah hendaknya kita juga terus belajar untuk mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37, 39) tanpa membeda-bedakan, sebab kita adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28).

Soli Deo Gloria

#GaliDasarIman: Mengapa Kita Tidak Membela Agama Kita?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Serangan terhadap kekristenan terus dilancarkan sepanjang zaman. Salah satu bentuknya adalah pelecehan terhadap Yesus Kristus. Entah sudah berapa buku dan film yang diluncurkan untuk menampilkan Yesus Kristus yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Alkitab. Misalnya, Yesus yang bercumbu dan menikah dengan Maria Magdalena. Tidak terhitung lagi sikap-sikap lain yang merendahkan gereja, pendeta, atau orang Kristen. Artikel ini tidak akan cukup untuk memaparkan semua contoh serangan yang melecehkan atau menista tersebut.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Menariknya, banyak orang Kristen tampaknya tidak memberikan reaksi yang berlebihan terhadap isu ini. Bagi penganut agama-agama lain, sikap ini cukup mengejutkan. Jika hal yang sama ditujukan pada agama mereka, mereka tentu sudah mengambil tindakan yang tegas dan keras, bahkan kasar sekalipun (jika itu dirasa perlu). Jadi, mengapa kita tidak membela agama kita?⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Hal pertama yang perlu dijernihkan adalah ini: kita sungguh-sungguh membela. Alkitab memberikan banyak contoh tentang orang-orang Kristen yang berani membela keyakinannya. Paulus beberapa kali memberikan pembelaan untuk Injil di ruang pengadilan (Kisah Para Rasul 24:10; 25:8, 16; 26:1; Filpi 1:7). Petrus menasihati orang-orang Kristen untuk selalu bersiap-sedia memberikan pertanggungjawaban (lit. “pembelaan”; 1 Petrus 3:15-16). Jadi, orang-orang Kristen wajib membela keyakinannya.⠀⠀⠀

Yang menjadi perbedaan antara kita dengan penganut agama lain adalah bentuk pembelaan yang kita berikan. Yesus Kristus menentang segala bentuk kekerasan. Pada saat orang lain menolak Injil yang kita beritakan, kita hanya perlu untuk meninggalkan mereka (Matius 10:14; Markus 6:11; Lukas 9:5). Tidak boleh ada kekerasan, pembalasan, maupun pemaksaan. Sebagai contoh, ketika penduduk salah satu desa di Samaria tidak mengizinkan Yesus untuk melintasi daerah mereka, murid-murid-Nya sangat marah dan ingin menghukum penduduk tersebut, tetapi Yesus justru menghardik murid-murid itu (Lukas 9:53-55). Ketika Petrus melawan para tentara yang hendak menangkap Yesus, dia justru menerima teguran dari Yesus (Yohanes 18:10-11).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kebenaran di atas tidak hanya diajarkan oleh Yesus, melainkan juga dilakukan-Nya sendiri. Ketika Dia terpaku di atas kayu salib dan diolok-olok oleh banyak orang, Dia tidak membalas sekalipun. Kemarahan pun tidak ada pada-Nya. Sebaliknya, Dia justru melepaskan pengampunan untuk mereka (Lukas 23:34).⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pembelaan yang harus kita berikan adalah penjelasan rasional. Tatkala Yesus menerima serangan dan penolakan, Dia mengajak orang lain untuk berpikir secara jernih. Kepada orang-orang Yahudi yang hendak melempari-Nya dengan batu, Yesus bertanya: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” (Yohanes 10:32). Dia juga mengajak orang-orang Farisi memikirkan ke-Mesiasan-Nya secara logis dari kitab suci (Matius 22:41-46). Petrus menasihatkan kita untuk memberikan jawaban setiap kali ada orang yang menanyakan keyakinan dan pengharapan kita di dalam Kristus (1Petrus 3:15-16).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Bentuk pembelaan lain adalah melalui kesalehan hidup. Menghidupi kebenaran sama pentingnya dengan memberitakan kebenaran itu sendiri. Orang-orang Kristen diperintahkan untuk meresponi fitnahan dengan kesalehan (1 Petrus 2:12). Kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, sebaliknya justru mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:17, 21). Kesalehan adalah senjata ampuh untuk menaklukkan para penentang (1 Petrus. 3:1-2). Ketika kita memberikan pembelaan secara rasional, kita harus melakukan itu dengan sikap yang saleh: lemah-lembut, hormat, dan tulus (1 Petrus 3:15-16). Sama sekali tidak ada kekerasan! Kebenaran harus dibela dengan cara yang benar pula.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pernahkah kita merasa tertantang dan bergumul untuk membela kepercayaan kita?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

⠀⠀
Bagaimana Jika Kekristenan Adalah Sebuah Kebohongan?

Bertahun-tahun silam, seorang temanku pernah berkata, “Keberadaan Tuhan itu tergantung pada iman kita.”

Pada saat itu aku berpikir, wah, masuk akal. Ini pemikiran orang cerdas.

Pernyataan itu memang ada benarnya. Tampaknya sangat logis: jika suatu hari aku memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan, tidak akan ada lagi yang namanya Tuhan dalam hidupku. Dia akan segera lenyap. Kehidupan akan berjalan seperti biasa. Bahkan, aku mungkin akan bertanya: Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Tuhan? (Jangan protes dulu sebelum selesai membaca).