Posts

3 Sifat Anak Kecil yang Perlu Kita Contoh

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata ‘anak kecil’? Mungkin mereka lucu, menggemaskan, penuh kasih sayang, dan ngangenin. Atau sebaliknya, mereka bandel, rewel, serta penuh dengan tangisan dan rengekan.

Setiap kita punya pengalaman masing-masing dengan anak kecil, entah itu pengalaman positif maupun negatif. Di dalam Alkitab pun, Yesus pernah berbicara tentang anak-anak kecil ini. Sebenarnya ada apa dengan ‘anak-anak kecil’? Apa kaitannya dengan kehidupan doa kita?

Kita mungkin tidak asing dengan peristiwa di Alkitab ketika Tuhan Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah Dia dan para murid-Nya. Kisah itu tertulis di dalam kitab Markus 9:33-37.

Pada waktu itu para murid sedang mempertengkarkan tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Menariknya, Yesus merespons kejadian tersebut dengan memanggil seorang anak kecil dan berkata, “Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 18:3) Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa Tuhan Yesus mengharapkan kita menjadi seperti anak kecil yang menyambut Kerajaan Sorga. Kemudian, Yesus melanjutkan, “Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 18:4) Perkataan ini tampaknya mengejutkan para murid. Pasalnya, selama ini mereka berpikir bahwa seharusnya yang terbesar adalah seseorang yang sudah melakukan banyak pekerjaan besar atau yang paling terkenal di antara mereka.

Jadi, mengapa ketika kita datang dan berdoa kepada Allah kita perlu menjadi seperti anak kecil? Ternyata, jika kita perhatikan, ada beberapa sifat anak-anak kecil yang dapat kita contoh. Setidaknya, ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari anak-anak kecil.

1. Anak kecil itu selalu menunjukkan antusiasme

Anak-anak tidak pernah terlepas dari keceriaannya. Buktinya, cukup familiar di telinga kita ketika mendengar orang tua berkata, “Energi anak-anak memang ga pernah ada habisnya.” Ya, memang benar, anak-anak selalu terlihat bersemangat dan seolah tiada lelah. Inilah wujud antusiasme yang nyata dalam diri anak-anak.

Lantas, bagaimana dengan kehidupan doa kita? Apakah kita selalu antusias dan bersemangat ketika datang kepada Tuhan? Tuhan Yesus ternyata tidak pernah mensyaratkan bahasa yang indah-indah ketika kita berdoa. Ia menginginkan kita datang dan berdoa dengan penuh kerinduan dan antusias kepada-Nya.

2. Anak kecil itu selalu jujur

Jika kita perhatikan, anak-anak itu selalu bersikap apa adanya. Ketika senang, mereka akan tertawa, bahkan sampai berjingkrak-jingkrak. Sebaliknya, saat sedih, mereka akan menunjukkan kekecewaannya dengan menangis. Orang dewasa mungkin bisa ‘pura-pura bahagia’, tetapi anak-anak akan mengekspresikan perasaannya dengan jujur. Mungkin ini juga yang membuat kehidupan doa kita tidak cukup menggairahkan. Kita seringkali tidak jujur dengan perasaan kita di hadapan Tuhan. Kadang waktu kita malah habis karena kebingungan memilih rangkaian kata yang pas di dalam doa kita. Padahal, Tuhan mau kita datang dengan jujur di hadapan-Nya seperti anak-anak yang bebas mengekspresikan perasaannya tanpa takut tertolak oleh siapa pun.

3. Anak kecil itu selalu memiliki rasa ingin tahu

Pernah suatu kali aku melihat seorang anak yang terus-menerus bertanya kepada orang tuanya. Ia bertanya banyak hal tentang segala sesuatu yang ia temui di sepanjang perjalanan. Ia selalu ingin tahu. Dan, memang begitulah natur anak-anak. Di masa tumbuh kembangnya, anak-anak selalu ingin memahami tentang kehidupan ini dan meminta penjelasan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Sekalipun sudah dewasa, kita pun tidak akan pernah memahami secara utuh kehidupan ini. Tentu saja, kita semua tahu bahwa hanya Tuhan, Sumber Hikmat itu, yang memahami segala sesuatunya. Begitu juga dalam kehidupan doa kita.

Seringkali kita berdoa seolah-olah kita telah memahami segala yang terbaik buat hidup kita. Padahal, bagi Allah, kita ini sama seperti anak kecil yang selalu bertanya, “Mengapa, mengapa, dan mengapa,” tanpa mau mendengar jawaban-Nya. Kita lupa bahwa segala jawaban sudah Ia tuliskan di dalam sebuah Buku Kehidupan berisi surat-surat cinta-Nya kepada kita, yaitu Alkitab.

Kapan terakhir kali kita sungguh-sungguh ingin tahu isi Alkitab? Seiring waktu kita berdoa, datanglah juga dengan segala keingintahuan dengan membaca firman-Nya sehingga kita semakin memahami tentang kehidupan, terutama kehendak-Nya bagi hidup kita.

Mungkin ada di antara kita yang saat ini sedang mengalami kehidupan doa yang terasa hambar dan membosankan. Namun, anak kecil yang Yesus panggil mengingatkan kita bahwa yang terbesar di antara kita adalah yang mau merendahkan hati menjadi seperti anak kecil itu. Anak kecil yang selalu antusias dan selalu jujur ketika datang kepada-Nya, serta selalu ingin tahu kerinduan hati Bapa di Sorga. Mari terus datang kepada Tuhan. Ia pasti akan selalu menyambut kita.

Baca Juga:

Pertolongan yang Ajaib

Di perjalanan pulang dari gereja, dua orang bersenjata api menodong kami. Panik, yang bisa kami lakukan cuma melarikan diri, dan Tuhan menolong kami dengan cara-Nya yang ajaib.

Studi Alkitab, Yuk!

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Kapan terakhir kali kamu melakukan pemahaman Alkitab (PA) atau studi Alkitab?

Mungkin ada yang menjawab, “Studi Alkitab kan tugasnya pendeta, pemimpin pelayanan, atau mereka yang kuliah di teologia atau di seminari. Memangnya kita harus ya?” Atau mungkin jawaban lainnya, “Aku sering sih nonton atau dengar khotbah tentang studi Alkitab di channel-channel YouTube atau podcast oleh pembicara-pembicara favoritku. Bukannya itu sudah termasuk memahami Alkitab?”

Jawaban itu mungkin mewakili kita yang jarang atau enggan membaca Alkitab. Namun, di tengah dunia yang semakin maju, apakah penting untuk membaca Alkitab yang tulisannya sudah berusia ribuan tahun itu?

Alkitab bukan sekadar buku atau kitab. Ketika kita membaca dan belajar memahaminya, itu menjadi salah satu disiplin rohani bagi semua orang Kristen, termasuk aku dan kamu. Kata ‘disiplin’ dalam bahasa Inggris ditulis ‘discipline’. Dalam kamus Merriam-Webster, ‘discipline’ diartikan sebagai pola perilaku atau latihan yang teratur untuk memperbaiki, membentuk, dan menyempurnakan karakter mental dan moral kita. Jadi, disiplin rohani merupakan latihan yang dilakukan secara teratur untuk memperbaiki, membentuk, dan menyempurnakan kerohanian kita.

Untuk memudahkan kita memahami pentingnya disiplin rohani, kita bisa analogikan dengan para binaragawan atau atlet yang setiap hari melakukan latihan fisik supaya otot-otot mereka terbentuk dan terlatih sehingga siap menghadapi lawan. Begitu juga disiplin rohani akan melatih mental rohani kita supaya siap menghadapi lawan kita, yaitu si Iblis yang berjalan di sekeliling kita seperti singa yang mengaum-aum mencari mangsanya (1 Petrus 5:8). Tuhan Yesus pun mengingatkan murid-muridnya untuk, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah (Matius 26:41).” Mengapa? “Karena keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera… keinginan daging adalah perseteruan dengan Allah… Mereka (yang menuruti keinginan daging) tidak mungkin berkenan kepada Allah (Roma 8:6-8).“

Karena tubuh kita ini lemah dan berdosa, kita harus rajin melatihnya dan membentuknya semakin kuat melalui disiplin rohani. Nah, salah satunya adalah melalui studi Alkitab mandiri. Lalu, bagaimana cara memulainya? Tenang, studi Alkitab sebenarnya bisa dimulai dengan beberapa langkah sederhana kok.

  1. Mulailah dengan menemukan ayat berkesan

    Menemukan ayat berkesan adalah cara pertama yang diajarkan kepadaku untuk studi Alkitab waktu duduk di bangku SMA. Kita hanya perlu memilih satu ayat yang paling berkesan dan alasannya. Cara ini cukup sederhana dan mudah. Namun, dari satu ayat berkesan ini, kita masih bisa memahami bagian tersebut dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut, 1) Apa fakta tentang Allah yang didapat dari ayat tersebut?; 2) Apa fakta tentang manusia yang didapat dari ayat tersebut?, 3) Apa hal baru yang dipelajari?; 4) Apa penerapan dalam kehidupan sehari-hari?; 5) Pertanyaan apa yang muncul dari ayat/perikop ini? Jika ada pertanyaan yang muncul, kita bisa menanyakan kepada kakak rohani atau mendiskusikannya dengan peer study kita.

  2. Kembangkan dengan metode “OIA” (“Observasi, Interpretasi, dan Aplikasi”)

    Setelah kita sudah mulai terbiasa merefleksikan satu ayat Firman Tuhan, kita tentu tidak puas hanya mendalami satu ayat saja. Karena itu, kita akan mulai belajar memahami satu perikop di dalam Alkitab. Nah, pertama-tama mulailah dengan melakukan pengamatan (observasi). Caranya adalah dengan mengamati hal-hal yang tersurat (tertulis) secara jelas di Alkitab melalui pertanyaan-pertanyaan 5W1H (what, where, when, who, why, dan how). Misal, apa peristiwa yang terjadi di perikop tersebut? Di mana dan kapan peristiwa tersebut berlangsung? Siapa saja tokoh yang terlibat? Mengapa ia melakukan hal itu? Bagaimana ia merespons kejadian itu? Dst.. Kemudian, kita bisa mulai memberikan kesan atau pendapat (interpretasi) berupa makna-makna tersirat dari perikop tersebut. Misalnya, Petrus dan murid-murid Yesus yang pertama segera meninggalkan jala mereka, lalu mengikut Yesus (Markus 1:18), itu berarti ketaatan harus dilakukan dengan segera. Terakhir, buatlah penerapan (aplikasi). Penerapan yang jelas atau konkret harus selalu dibuat di akhir studi Alkitab karena Allah memanggil kita untuk menjadi pelaku Firman, bukan pendengar saja (Yakobus 1:22).

  3. Pahami konteks bacaan

    Memahami konteks bacaan sebenarnya adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam studi Alkitab. Secara sederhana, memahami konteks bacaan adalah mengenal segala latar belakang yang “membersamai” penulisan teks yang kita baca, misalnya siapa penulisnya kitab/surat yang dibaca, latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya ketika teks tersebut ditulis, atau pun konflik yang mungkin terjadi pada saat itu. Misalnya, ketika dikatakan bahwa Yusuf hendak menceraikan Maria dengan diam-diam (Matius 1:19) padahal mereka belum menikah. Perlu dipahami bahwa konteks pada waktu itu di budaya orang Yahudi, pasangan yang sudah bertunangan sudah berada dalam satu ikatan atau komitmen pernikahan, tetapi mereka belum tinggal satu rumah. Memahami konteks akan sangat berguna ketika kita menginterpretasikan makna bacaan. Informasi mengenai konteks bacaan dapat kita akses di web/aplikasi/Alkitab cetak yang dilengkapi dengan studi Alkitab, kamus Alkitab, konkordansi, dan jangan lupa untuk juga membandingkan teks dengan versi terjemahan Alkitab lainnya.

  4. Ajaklah teman atau partner

    Memiliki kelompok studi Alkitab juga penting sebagai teman diskusi untuk lebih memahami bagian yang dipelajari. Namun, perlu diperhatikan bahwa studi Alkitab ini pada dasarnya adalah disiplin rohani kita secara mandiri. Jadi, fungsi kelompok atau partner adalah mendiskusikan hasil studi Alkitab pribadi masing-masing. Anggota kelompok studi Alkitab akan saling belajar mendengarkan dan memperkaya hasil PA satu sama lain.

Studi Alkitab pribadi akan sangat berbeda dengan (hanya) menjadi pendengar saja dan “menelan” hasil interpretasi orang lain. Ketika kita melakukan studi Alkitab mandiri, kita akan berjumpa secara langsung dengan kebenaran Firman Tuhan, kemudian mencecap, mengunyah, dan menikmati setiap sari-sari yang terkandung di dalam firman tersebut. Jadi, sudah siapkah kamu untuk memulai studi Alkitab mandirmu? Mulailah merencanakan jadwal yang teratur untuk mendalami firman-Nya, ajak beberapa teman untuk melakukan proyek yang sama, dan saling berbagilah serta saling mendorong dalam kasih dan dalam setiap pekerjaan baik (Ibrani 10:24).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Apakah Kesepian itu Dosa?

Apakah merasa kesepian itu dosa? Atau, apakah dosa itu hanya berkaitan dengan apa yang kita lakukan untuk merespons kesepian itu? Dan, jika tidak baik bagi seorang pria atau wanita untuk sendiri, apakah dosa jika memang mereka memilih untuk hidup sendiri?

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Hampir setahun berlalu tetapi pandemi belum mereda. Sebaliknya, malah makin meluas. Virus ini awalnya tampak jauh dari hidupku karena aku selalu menerapkan disiplin protokol kesehatan dan belum ada orang-orang di inner-circle-ku yang terkonfrimasi positif. Tapi, belakangan tetanggaku positif, disusul dengan temanku. Rasa tenang dan aman pun mulai berubah menjadi resah dan gelisah.

Di tengah rasa gelisahku itu, keluargaku berkumpul untuk melakukan ibadah keluarga. Kami biasanya membaca sebuah ayat atau perikop. Kali ini, bacaan diambil dari Hakim-hakim 7:1-8, ketika Gideon dan pasukannya akan pergi berperang melawan orang Midian. Pertama-tama, Gideon membawa 32 ribu pasukan, namun Tuhan berfirman bahwa jumlah itu terlalu banyak. Tuhan meminta Gideon berseru: siapa anggota pasukan yang takut dan gentar agar pulang ke rumah masing-masing. Hasilnya, 22 ribu orang undur diri sehingga tersisa 10 ribu orang. Mereka tentu adalah pasukan perang yang berani dan tak gentar. Namun, Tuhan berfirman lagi bahwa jumlah tersebut masih terlalu banyak. Tuhan memerintahkan Gideon untuk meminta pasukannya minum air. Mereka yang minum dengan berlutut dan menjilat air seperti seekor anjing harus disingkirkan. Yang harus Gideon pilih ialah mereka yang minum dengan menghirup air dengan membawa tangannya ke mulutnya (Hakim-hakim 7:5-6). Maka, tersisalah 300 orang yang dipilih Allah, yaitu mereka yang minum dengan cara mencedok air dengan tangan mereka. Tetapi, mengapa kelompok pasukan itu yang dipilih? Sebab, mereka yang minum dengan berlutut adalah pasukan yang bersikap tidak siaga. Bayangkan jika ketika mereka sedang minum dan pasukan musuh menyerang? Allah memilih pasukan yang bersikap siaga untuk membawa kemenangan bersama Gideon.

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Firman-Nya memberi terang bagi langkahku. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya. Seperti para pasukan Gideon, pasti banyak pula di antara kita yang takut dan gentar, sebagaimana aku pun merasa was-was. Namun, ada satu alasan yang dapat membuat kita tetap berani dan tidak gentar, yaitu ketika kita tahu bahwa Allah berjalan bersama-sama dengan kita.

Institute of Basic Life Principle mendefinisikan karakter ‘berani’ atau boldness sebagai sikap yang menerima segala konsekuensi, termasuk penderitaan. Ketika kita melakukan kebenaran dengan yakin, itu akan menghasilkan kuasa kasih yang lebih besar. Sebagai umat Allah, kita betul-betul bisa merasakan kehadiran Allah di manapun, kapan pun, dan dengan siapa pun. Kehadiran-Nya itulah yang memampukan kita bersikap berani untuk mengerjakan panggilan kita. Namun, apakah itu berarti kita hanya bermodalkan rasa berani saja untuk memenangkan pertempuran?

Di antara orang-orang yang berani itu, ada satu lagi karakter yang Tuhan inginkan. Tuhan memilih mereka yang bersikap siaga dalam segala hal! Siaga atau alertness berarti melatih indera jasmani dan rohani kita untuk mengenali bahaya yang dapat mengurangi sumber daya yang dipercayakan kepada kita. Sikap siaga salah satunya juga termasuk siaga terhadap kesehatan kita dan orang-orang di sekitar kita. Karena itu, mengikuti anjuran pemerintah dan ahli kesehatan dengan mematuhi protokol kesehatan adalah bentuk kesiagaan kita menghadapi musuh-musuh tak terlihat itu.

Terpujilah Allah karena firman-Nya senantiasa menjadi pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan kita. Aku sangat bersyukur karena setelah mendengar firman ini, khawatirku digantikan dengan pengharapan akan janji penyertaan-Nya yang sempurna. Sekalipun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, kita tetap percaya bahwa bagian kita adalah tetap berani dan siaga di tengah pandemi ini. Aku percaya, akan ada banyak kesempatan yang terlewatkan jika kita terus takut dengan pandemi ini dan abai dengan protokol yang sudah dicanangkan. Jadi, tetaplah maju dengan pasti bersama dengan Allah di tengah ketidakpastian dunia ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berhentilah Membanding-bandingkan Dosa Kita dengan Dosa Orang Lain

Kita sering membanding-bandingkan, termasuk jika itu bicara soal dosa. Namun, terlepas dari siapa yang tampak ‘lebih baik’ dari perbanding-bandingan itu, fakta yang pasti ialah kita semua sejatinya adalah pendosa