
Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan
Di awal tahun baru 2020, aku mau lebih berkomitmen dalam membaca Alkitab, berdoa, pelayanan, dan meninggalkan sifat-sifat manusia lamaku. Dua bulan sudah dilewati di tahun ini, ada beberapa komitmenku yang berhasil dan ada juga yang tidak. Memenuhi komitmen memang gampang-gampang susah. Aku pun merefleksikan kembali, mengapa aku bisa taat menjalankan beberapa komitmen, sedangkan di hal-hal lainnya aku tidak.
Bersyukurnya, di tahun ini pula, kelompok kecil di gerejaku membahas bersama-sama sebuah buku berjudul “The Freedom of Obedience: Choosing the Way of True Liberation” karya Martha Thatcher. Buku ini membahas bagaimana kita sebagai orang percaya dapat mengerti paradigma ketaatan yang benar.
Melalui pembelajaran dari buku itu, ada tiga hal yang kupelajari tentang ketaatan yang benar di hadapan Tuhan. Tiga hal inilah yang ingin juga kubagikan kepadamu.
1. Ketaatan yang benar didasarkan atas kasih kepada Tuhan
Di awal bukunya, penulis memberikan illustrasi tentang Abraham yang mempersembahkan anaknya, Ishak, kepada Tuhan. Sekilas, perintah Tuhan bagi Abraham terdengar tak masuk akal. Bukankah Abraham dijanjikan akan memiliki keturunan yang banyak (Kejadian 15:5), lantas mengapa Ishak, anak satu-satunya malah harus dikorbankan (Kejadian 22:2)?
Jika kita mengalami kondisi seperti Abraham, kira-kira bagaimanakah kita akan merespons? Kembali ke kisah Abraham, Alkitab mencatat Abraham taat melakukan perintah Tuhan tersebut, meski mungkin itu rasanya tidak masuk akal. Apakah yang membuat Abraham bersedia taat? Jawabannya adalah karena dia mengasihi Tuhan.
Abraham tidak meragukan ketaatannya sebab dasar imannya adalah pengalaman pribadi bersama Tuhan. Ketaatannya adalah buah dari imannya yang mengasihi Tuhan. Abraham tahu siapa Tuhan berdasarkan pengalaman pribadinya bersama Tuhan di masa lalunya. Mendapati Ishak di usianya yang tua sendiri adalah penggenapan janji Tuhan di dalam hidupnya. Di Kejadian pasal 22 Alkitab mencatat Allah lalu memberkati Abraham atas iman percayanya.
Melalui sekilas kisah Abraham, aku belajar untuk lebih menumbuhkan kasihku atas Tuhan. Semakin kasihku kepada Tuhan bertumbuh, aku bisa lebih bersukacita dalam ketaatanku. Aku berterima kasih kepada Tuhan atas kasih karunia-Nya yang berlimpah kepadaku walaupun aku orang berdosa dan bagaimana Dia memimpin jalan-jalanku hingga saat ini. Aku berpikir dengan selalu mengingat hal-hal ini, aku bisa lebih menumbuhkan kasihku kepada Tuhan.
2. Ketaatan yang benar diperoleh dengan fokus tertuju kepada Tuhan
Salah satu contoh tokoh Alkitab yang selalu memiliki fokus tertuju kepada Tuhan adalah Daud. Walaupun Daud dikejar-kejar oleh musuhnya yang tidak lain ada keluarganya sendiri, hatinya selalu tertuju kepada Tuhan.
“Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya Tuhan” (Mazmur 27:8
Apakah hatiku benar-benar tertuju kepada Tuhan dan Firman-Nya? Apakah ketaatanku sungguh merupakan wujud dari kasihku pada Tuhan? Atau, apakah aku hanya lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang aku lakukan dalam ketaatanku?
Penulis buku tersebut menjelaskan orang yang tergolong dalam tipe kedua cenderung menggantikan ketaatan yang benar dengan menyesuaikan diri dengan budaya Kristen di sekitarnya. Semisal, walaupun tidak pernah absen pergi ke gereja, tetap egois dan membenci orang-orang di sekitar. Walaupun mendengar dengan seksama khotbah pendeta di gereja, Alkitab kita selalu tertutup di hari-hari lainnya. Giat melayani di gereja, tetapi tidak peka dengan kebutuhan keluarga. Rajin memberikan persembahan, tetapi hatinya masih serakah. Kita tidak melatih hati kita selaras dengan ketaatan eksternal yang kita lakukan. Kita melaksanakan ketaatan tanpa fokus yang tertuju kepada Tuhan.
Ketaatan dengan fokus kepada Tuhan bukanlah hal yang mudah. Kita perlu mengaplikasikan apa yang kita pelajari di gereja atau di saat teduh masing-masing. Sebagai contoh: dalam kehidupanku, aku belajar tentang kasih yang ditulis oleh Rasul Paulus di 1 Korintus 13, tetapi aku termasuk orang yang terkadang iri hati dengan pencapaian orang lain yang sempat membuatku sulit mengasihi orang tersebut. Apa yang aku pelajari hanya sebatas pengetahuan di kepalaku. Untuk membantuku mengubah karakterku, aku berdoa buat orang tersebut dan berharap dia memperoleh yang terbaik. Aku bersukacita ketika dia memperolehnya. Secara perlahan-lahan, Tuhan memampukanku untuk mengasihi orang tersebut.
“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibrani 12:2)
3. Ketaatan yang benar bertujuan untuk menumbuhkan karakter Kristus dalam kehidupan kita
Tuhan, aku sudah giat berdoa dan membaca Firman-Mu, tetapi mengapa aku sulit mengubah sifat manusia lamaku? Pertumbuhan rohani tidak berlangsung secara instan dan memerlukan proses. Sebagaimana bayi bertumbuh menjadi orang dewasa, kita juga bertumbuh secara rohani ketika kita menerima Yesus Kristus dalam kehidupan kita.
“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:29).
Bapa kita di Surga melihat kita sebagai anak-anak-Nya yang bertumbuh menyerupai Kristus. Kita memiliki rupa Kristus, tetapi itu terselubung dalam sifat kita yang jatuh. Kejatuhan kita dalam dosa tak cuma membuat tindakan kita menjadi tercela, tetapi juga cara pandang kita akan segala sesuatu, serta visi hidup kita menjadi buram. Kita tidak tahu dengan benar bagaimana isi hati kita yang sesungguhnya karena kita memiliki pengertian yang kabur. Kita membandingkan diri kita dengan orang-orang Kristen lainnya di sekitar kita. Kita melihat diri kita dalam terang apa yang kita pikir Tuhan inginkan dari “orang Kristen yang baik” atau kita membiarkan “budaya-budaya Kristen” saat ini untuk menentukan arah dan pemikiran kita. Semua pemikiran seperti ini hanya akan membawa kita ke kesimpulan yang salah.
Ketika ketaatan kita didasarkan pada kasih kita pada Tuhan, dan kita memusatkan pandangan kepada-Nya, maka Tuhan akan mengubahkan persepsi kita yang hanya berdasarkan pengertian kita sendiri dengan kebenaran-Nya. Allah telah memberi kita masing-masing iman, sekarang tugas kita adalah menumbuhkan karakter diri yang serupa dengan Kristus dengan penilaian yang bijaksana sesuai dengan Firman Tuhan.
“For by the grace given me I say to every one of you: Do not think of yourself more highly than you ought, but rather think of yourself with sober judgment, in accordance with the faith God has distributed to each of you” (Romans 12:3 NIV)
Tanpa mengevaluasi bagaimana caraku hidup, aku bisa dengan mudah jatuh mengikuti cara berpikir dunia. Melalui kasih karunia Tuhan, aku dimampukan-Nya untuk terus mengevaluasi ketaatan-ketaatan yang kulakukan.