Posts

Seberapa Dalam Kita Harus Mengasihi?

Penulis: Melisa Marianni Manampiring

seberapa-dalam-harus-mengasihi

Bicara tentang kasih memang mudah. Namun, seberapa dalam sebenarnya kita harus mengasihi? Dalam pengalamanku, ketika kita benar-benar berhadapan dengan orang yang perilakunya menjengkelkan, tidak menghargai kita, apalagi pernah melukai hati kita, sungguh kasih itu tidak mudah dipraktikkan. Pertanyaan yang kemudian muncul, seberapa dalam sebenarnya kita harus mengasihi? Apakah mengasihi itu berarti menerima begitu saja perilaku orang lain yang tidak baik?

Aku terkesan dengan kasih yang ditunjukkan oleh seorang sahabatku. Ia adalah salah seorang pemimpin di kantornya, membawahi beberapa staf. Suatu kali, hasil kerja salah satu staf itu tidak memuaskan. Sebagai pemimpin, wajar jika ia jengkel dan memarahi staf tersebut. Namun, sahabatku itu mengambil sikap yang berbeda. Ia tidak langsung marah-marah, tetapi bertanya dengan baik, apa alasan staf tersebut tidak bekerja seperti biasanya hari itu. Sikapnya itu membuka dialog panjang yang membuat ia mengetahui bahwa staf tersebut sedang mengalami masalah keluarga yang cukup serius. Tidak sampai di sana, sahabatku ini berusaha memberikan bantuan yang ia bisa. Ia tidak “membenarkan” perilaku stafnya, namun ia memaafkan staf itu dengan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Ia tidak hanya peduli dengan hasil kerja staf itu, tetapi juga peduli dengan masalah yang dihadapinya. Aku belajar bahwa kasih itu berarti:

1. Tidak menilai orang lain hanya berdasarkan tindakannya saja.

Kita semua pernah mengalami masa-masa berat yang membuat kita tidak bisa berpikir jernih dan akhirnya melakukan sesuatu yang kita sesali. Adakalanya kita sendiri menjadi “orang sulit” bagi sesama kita. Betapa kita akan merasa sangat dikasihi ketika pada masa-masa semacam itu ada orang yang tidak menghakimi kita, tetapi sebaliknya mau mempercayai dan memahami kita, bahkan menolong kita untuk keluar dari masalah yang membuat kita tidak berdaya.

2. Menerima orang lain bukan karena perbuatannya, melainkan karena kasih Tuhan.

Sebagai manusia kasih kita terbatas. Sering kita merasa sudah tidak sanggup lagi mengasihi seseorang atau merasa bahwa orang tertentu tidak layak kita kasihi. Namun, kasih yang diajarkan Kristus bukanlah kasih yang bergantung pada layak tidaknya seseorang dikasihi. Kristus tidak menghendaki kita mengasihi sesama hanya ketika perbuatan orang itu membuat kita ingin mengasihinya. Dia sendiri mengasihi kita ketika kita masih berdosa (itu berarti saat perilaku kita sangat tidak menyenangkan bagi-Nya!), dan Dia memerintahkan kita untuk mengasihi seperti teladan-Nya (Roma 5:8; Yohanes 15:12).

3. Rela mengambil risiko untuk berkorban.

Memilih untuk percaya dan memahami situasi orang lain itu tidak mudah. Pasti ada yang harus dikorbankan. Pengorbanan itu bisa berupa waktu, tenaga, materi, bahkan harga diri kita. Lebih mudah untuk memutuskan hubungan dan tidak lagi berurusan dengan orang yang sudah menyusahkan kita. Namun, kalau kita kembali memandang kepada Kristus yang telah mengorbankan nyawa-Nya untuk memperdamaikan hubungan kita dengan Allah, kita tahu bahwa pengorbanan kita sebenarnya belum ada apa-apanya. Kristus mati supaya kita bisa hidup bagi Dia (2 Korintus 5:15), menyatakan kasih-Nya yang mau berkorban itu kepada orang-orang di sekitar kita.

 

“Kasih itu sabar ; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu.
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu,
mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”
1 Korintus 13:4-7

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Apa yang sering membuat kita sulit mengasihi orang lain? Bagaimana kita dapat mengatasi kesulitan-kesulitan itu dan menaati perintah Yesus untuk saling mengasihi?