Posts

4 Pelajaran Penting Dalam Pernikahan

Penulis: Henry Jaya Teddy

empat-pelajaran-penting-dalam-pernikahan

Tak terasa sudah delapan tahun lamanya saya menikah. Sebagaimana semua orang lain pada umumnya, saya memimpikan rumah tangga yang bahagia bersama pasangan tercinta. Kami sudah lama berpacaran, dan saya merasa sangat siap untuk memulai hidup baru bersamanya. Namun, begitu menikah, saya harus berhadapan dengan banyak hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Berikut ini beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan selama delapan tahun berumah tangga. Semoga bermanfaat bagi kamu yang sedang memikirkan untuk berumah tangga atau yang sedang menjalaninya.

1. Pasangan kita, sama seperti kita, bukanlah orang yang sempurna

Setiap orang yang menikah, tentu berharap bahwa pasangannya akan dapat melengkapi hidupnya. Namun kita perlu menyadari bahwa pasangan kita, sama seperti kita, adalah manusia yang terbatas. Kita sama-sama adalah manusia berdosa yang membutuhkan kasih karunia Tuhan.

Saya sendiri sudah menerapkan prinsip saling terbuka sejak awal masa pacaran. Saya mau pasangan saya mengetahui kelebihan dan kekurangan saya sejelas-jelasnya, demikian pula sebaliknya. Harapan saya, saat menikah nanti kami sudah siap untuk bisa saling menerima.

Namun, sekalipun kami sudah demikian terbuka, ternyata saat masuk dalam pernikahan, masih ada banyak hal yang harus kami sesuaikan. Kami sering bentrok di masa-masa awal pernikahan kami. Butuh waktu sekitar tiga tahun lamanya bagi saya untuk bisa benar-benar mengerti karakter dan kebiasaan istri saya. Inilah proses yang Tuhan izinkan kami alami, agar kami tidak bergantung pada kekuatan sendiri atau pasangan kami, tetapi pada anugerah Tuhan semata.

2. Menikah tidak membuat hidup kita jadi lebih mudah

Banyak orang muda berpikir, alangkah indahnya bila saya bisa menikah, hidup bersama orang yang saya cintai selamanya. Banyak yang bahkan menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Rasanya sengsara betul kalau harus hidup tanpa pasangan di dunia ini. Namun, kenyataannya menikah tidak membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Ada banyak masalah baru yang muncul justru setelah menikah. Hubungan yang harus kita perhatikan tidak hanya hubungan dengan pasangan kita, tetapi juga hubungan dengan mertua, ipar, dan segenap keluarga besar yang ada. Belum lagi saat kita dikaruniai anak.

Dalam kasus saya, Tuhan juga mengizinkan saya menderita penyakit autoimun (kelainan sistem tubuh yang menyerang organ tubuh sendiri) setelah saya menikah. Butuh dua tahun lebih bagi saya untuk bisa kembali beraktivitas normal. Bila saya hidup sendiri, kesulitan itu cukup saya tanggung sendiri. Karena saya menikah, kesulitan saya juga menjadi kesulitan keluarga saya. Berat sekali harus mengalami kondisi yang tidak berdaya sebagai seorang kepala rumah tangga. Namun, melalui masa-masa yang tidak mudah itu, kami (saya, istri, anak, dan keluarga) belajar untuk tetap saling mendukung dan mengandalkan pertolongan Tuhan.

3. Pernikahan dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik

Terlepas dari segala kesulitannya, bila kita punya sikap yang mau diajar, pernikahan dapat menjadi sarana Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Melalui pernikahan, Tuhan mengajar saya untuk tidak lagi berfokus pada diri sendiri. Menikah membuat saya harus memperhatikan orang lain: istri saya, keluarganya, juga anak saya. Bukan hanya sekali seminggu, atau kapan saja saya ingin, tetapi setiap hari! Apalagi ketika Tuhan lagi-lagi mengizinkan keluarga kami menghadapi kesulitan. Anak saya juga jatuh sakit. Ia mengalami spasme infantil (kejang akibat gelombang otak yang tidak normal, yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan). Hingga hari ini, ia masih harus menjalani terapi untuk bisa beraktivitas seperti anak yang normal.

Masa-masa sulit yang Tuhan izinkan saya alami membuat saya banyak berpikir ulang tentang arti hidup. Sebelum menikah, saya hanya memikirkan tentang diri sendiri dan semua yang ingin saya capai. Namun kini, saya menyadari bahwa hidup baru berarti ketika dijalani sesuai kehendak Sang Pencipta. Saya diciptakan Tuhan bukan untuk mementingkan diri sendiri, melainkan untuk bisa menjadi berkat bagi orang lain.

4. Mengutamakan Tuhan adalah dasar keberhasilan sebuah rumah tangga

Merenungkan delapan tahun yang sudah saya lewati dalam pernikahan membuat saya yakin bahwa dasar terkuat bagi keberhasilan sebuah rumah tangga adalah mengutamakan Tuhan. Saya dan istri saya punya banyak perbedaan. Tidak mudah untuk hidup bersama. Namun, ada satu hal yang mengikat kami, yaitu janji kami di hadapan Tuhan. Kami menyatakan janji nikah kami tidak hanya di hadapan satu sama lain, tetapi juga di hadapan Tuhan. Dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, tidak seharusnya dipisahkan oleh manusia. Ketika Tuhan menjadi yang utama, fokus kami bukanlah apa yang kami ingin atau tidak ingin lakukan, melainkan apa yang diinginkan Tuhan melalui pernikahan kami.

Saya ingat kisah yang dicatat dalam Daniel 3 tentang Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka yakin Tuhan berkuasa melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala, namun bila Tuhan tidak melepaskan pun, mereka tidak goyah, karena mereka yakin Tuhan tahu cara terbaik untuk menyatakan kemuliaan-Nya (Daniel 3:17-18). Saya tahu Tuhan bisa saja memberikan saya pernikahan yang mudah. Dia juga berkuasa untuk meluputkan saya dari penyakit autoimun dan segala macam masalah dalam rumah tangga saya. Namun, dalam hikmat-Nya, Tuhan mengizinkan saya mengalami semua masalah itu, supaya saya dapat makin bergantung kepada-Nya, dapat terus bertumbuh di dalam firman-Nya, dan bahkan dapat terus menyatakan kuasa Kristus yang selalu menaungi saya dalam setiap kelemahan yang ada (2 Korintus 12:9).

Tidak Akan Tenggelam Lagi

Penulis: Fushen Ong
Ilustrator: Armitze Ghazali

Tidak-tenggelam

Setiap kali mendengar kata “tenggelam”, aku selalu teringat pelajaran yang diberikan oleh salah seorang dosen forensik ternama di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “tenggelam” berarti:
1. Masuk terbenam ke dalam air.
2. Karam (tentang perahu, kapal).
3. Terbenam (tentang matahari).
4. Jatuh ke dalam kesengsaraan (kesusahan dan sebagainya).
5. Hilang; lenyap.
6. Asyik.

Sebagian besar definisi tersebut cenderung menunjukkan hal yang negatif, namun definisi yang diberikan dosen ilmu forensik itu lebih menyentak hati. Menurut beliau, “tenggelam” berarti mati akibat menghirup air. Satu kata yang jelas memberikan perbedaan bermakna dalam definisi ini adalah “mati”. Bila mengingat beberapa peristiwa seperti bencana tsunami atau kecelakaan transportasi yang menenggelamkan kapal maupun pesawat, hatiku selalu teriris, karena hampir tidak pernah ada yang selamat dari peristiwa tenggelam. Kenyataan tersebut makin meyakinkanku bahwa tenggelam sama halnya dengan mati.

Orang yang tenggelam tidak mampu menyelamatkan dirinya, tidak berdaya melawan kondisi di sekitarnya, karena pada dasarnya mereka telah mati.

Alkitab memberitahu kita bahwa setiap manusia sesungguhnya telah mati oleh dosa (Roma 3:23; 6:23). Sama seperti orang yang tenggelam, kita tidak berdaya melawan arus dunia di sekitar kita. Tidak ada lagi harapan bagi kita. Namun, syukur kepada Allah atas kasih-Nya yang begitu besar dan ajaib. Dia berkenan menyelamatkan kita. Dia menghidupkan kita kembali di dalam Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita (Efesus 2:5).

Meski demikian, tidak berarti setelah diselamatkan, hidup kita lantas bebas dari masalah. Di tengah dunia ini, tidak jarang kita berada dalam kondisi yang tidak dapat kita kendalikan. Tugas yang menumpuk, penyakit berbahaya, kehilangan anggota keluarga, patah hati, sakit hati, dan kesepian adalah beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari yang sepertinya siap menenggelamkan kita.

Satu hal yang sangat penting untuk kita ingat, di dalam Kristus, kasih karunia Tuhan akan selalu tersedia bagi kita (2 Korintus 12:9). Mungkin kita merasa tidak berdaya, tetapi bukan berarti kita tidak punya pengharapan. Aku sendiri pernah berkali-kali berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Aku berseru kepada Tuhan, namun situasi tak kunjung membaik, seolah-olah Tuhan menelantarkan aku. Akan tetapi, firman Tuhan selalu menghiburkan aku, “Sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar” (Yesaya 59:1). Mungkin langkah kita goyah, dan adakalanya kita jatuh, tetapi kita tidak akan sampai tergeletak, karena Tuhan menopang tangan kita (Mazmur 37:24). Adakalanya arus dunia begitu kuat hendak menenggelamkan kita, namun jika kita berpegang pada Kristus, kita tidak akan tenggelam lagi.