Kesengsaraan Kristus

Sabtu, 30 Maret 2024

Baca: Yesaya 53:4-7,10-12

53:4 Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.

53:5 Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.

53:6 Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.

53:7 Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.

53:10 Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya.

53:11 Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.

53:12 Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.

Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. —Yesaya 53:5

Sebelum Jim Caviezel memerankan Yesus dalam film The Passion of the Christ (Kesengsaraan Kristus), sutradara Mel Gibson memperingatkannya bahwa peran tersebut sangat sulit dan bisa berdampak negatif bagi kariernya di Hollywood. Caviezel tetap mengambil peran tersebut, dengan berkata, “Kurasa kita harus tetap membuat film ini, meski sulit.”

Selama syuting, Caviezel terkena sambaran petir, kehilangan berat badan hingga 20 kilogram, dan tidak sengaja tercambuk saat menjalani adegan penyiksaan. Setelah semua itu, ia berkata, “Aku tidak ingin penonton melihat diriku. Aku hanya ingin mereka melihat Yesus. Dengan cara itulah pertobatan akan terjadi.” Film tersebut benar-benar mengubah hidup Caviezel dan para kru yang terlibat, serta entah berapa banyak penonton yang menyaksikannya.

Kesengsaraan Kristus merujuk pada momen-momen penderitaan hebat yang dialami Yesus, mulai dari peristiwa kedatangan-Nya di Yerusalem yang disambut gegap gempita pada hari Minggu Palma hingga pengalaman-Nya dikhianati, disiksa, dan disalib. Semua peristiwa tersebut dapat kita baca dalam keempat kitab Injil.

Penderitaan Yesus dan dampak yang ditimbulkannya sudah dinubuatkan dalam Yesaya 53: “Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (ay.5). Kita semua “sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri” (ay.6). Namun, berkat penyaliban dan kebangkitan Yesus, kita dapat didamaikan dengan Allah. Penderitaan-Nya membuka jalan bagi kita untuk kembali bersama dengan-Nya. —Alyson Kieda

WAWASAN
Lagu tentang Hamba yang Menderita, yang sering kita hubungkan dengan Yesaya 53, sebenarnya dimulai dari ayat 13 pasal sebelumnya. Di sana, sang hamba diperkenalkan sebagai seseorang yang bijaksana dan akan “berhasil, . . . ditinggikan, disanjung dan dimuliakan” (52:13). Jika frasa terakhir ini terdengar familier, itu karena frasa tersebut adalah salah satu cara yang suka dipakai Yesaya untuk menggambarkan perjumpaannya dengan Yahweh (Allah) sendiri.

Di Yesaya 6:1, sang nabi mengingat saat dirinya melihat Allah Israel dalam bait suci-Nya “tinggi [rum] dan menjulang [nasa’]”; di 52:13, TB menerjemahkan kedua kata Ibrani yang sama sebagai “ditinggikan” dan “disanjung.” Yesaya menghubungkan pengagungan terhadap Sang Hamba yang Menderita dengan identitas Yahweh sendiri, yang mengarah kepada penantian akan Sang Anak, Yesus Kristus. —Jed Ostoich

Kesengsaraan Kristus

Aspek apa dari kehidupan Yesus yang paling berdampak pada diri kamu? Bagaimana penderitaan-Nya mempengaruhi kamu?

Juruselamat yang mulia, tiada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukurku atas penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Mu bagiku. Terima kasih.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 9-10; Lukas 5:17-39

Epafroditus, Rekan Paulus yang Melengkapi Penderitaan Kristus

Oleh Jefferson

Memasuki minggu terakhir di masa pra-Paskah, mungkin kamu sering mendengar kata-kata berikut: Kristus, kehidupan, kematian, salib, kebangkitan, sengsara, penderitaan.

Penderitaan.

Aku tahu Tuhan Yesus mengalami berbagai macam penderitaan dan penganiayaan sebelum dan selama Ia disalib, tetapi kata-kata di atas, terutama yang terakhir, seringkali hanyalah kata-kata belaka yang tidak berarti apa pun bagiku. Latar belakang zaman yang menjunjung tinggi indera penglihatan—semua gawai sekarang punya fitur untuk membatasi waktu layar—membuat kita menuntut diberikan contoh nyata supaya bisa memahami suatu konsep atau kata yang abstrak. Aku pun tidak terkecuali. Sebagai contoh, aku pernah memakai Sisi Gelap dan Terang dari seri Star Wars sebagai analogi dari dua sisi realita pelayanan.

Dalam tulisanku kali ini, aku ingin menyajikan kepadamu respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus. Aku tak sedang mengacu kepada film “The Passion of the Christ atau sejenisnya yang mungkin gerejamu tayangkan selama masa Pra-Paskah (walaupun memang adegan-adegannya bisa membantu imajinasi kita). Beberapa bagian Alkitab mengarahkan kita kepada bukti penderitaan Kristus di masa kini, yang kutemukan secara iseng ketika mendengar khotbah John Piper.

Untuk menelusuri jejak bukti ini, kita perlu berkenalan dengan seorang tokoh Perjanjian Baru yang bernama Epafroditus.

Siapakah Epafroditus?

Di antara 31.171 ayat Alkitab, nama Epafroditus hanya disebut secara eksplisit dalam dua ayat dan praktis Paulus hanya membicarakannya sepanjang tujuh ayat. Jadi, di suratnya yang manakah Paulus menulis tentang Epafroditus?

25 Akan tetapi, aku berpikir perlu juga mengutus Epafroditus kepadamu. Ia adalah saudaraku, teman sepelayananku, teman seperjuanganku, dan juga orang yang membawa pesan kepadamu dan yang melayani kebutuhanku. 26 Sebab, ia sangat merindukan kamu semua dan sangat susah hatinya karena kamu mendengar bahwa ia sakit. 27 Memang, dahulu ia begitu sakit sampai hampir mati, tetapi Allah menunjukkan belas kasih kepadanya—dan bukan hanya kepada dia, melainkan juga kepada aku—supaya dukacitaku tidak bertumpuk-tumpuk. 28 Karena itu, aku jadi semakin ingin mengutusnya kembali kepadamu supaya kamu dapat bersukacita ketika melihatnya lagi, dan berkuranglah kekhawatiranku. 29 Sambutlah Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan hormatilah orang-orang seperti dia 30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan bantuan yang tidak dapat kamu berikan kepadaku. (Filipi 2:25–30 AYT).

Ketika menulis surat ini, Paulus kemungkinan besar sedang dipenjara di kota Roma. Paulus memiliki hubungan yang spesial dengan jemaat Filipi sebab mereka adalah gereja pertama yang didirikannya selama melayani di Eropa (Kis. 16:6–40). Maka ketika mereka mendengar penawanan Paulus, mereka segera mengirimkan persembahan dengan Epafroditus sebagai utusan mereka (ay. 25, bdk. Flp. 4:18). Namun, apa daya, ia sakit keras dalam perjalanan ke Roma (yang berjarak sekitar 1.250 km dari Filipi dan membutuhkan waktu perjalanan enam minggu) dan sudah sekarat ketika tiba di sana (ay. 27). Syukurnya Tuhan menyembuhkan Epafroditus sehingga ia dapat melayani kebutuhan Paulus dan menyampaikan pesan dari jemaat Filipi (ay. 25). Beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kekhawatiran jemaat Filipi terhadap Epafroditus dan melihat reaksi Epafroditus sendiri, Paulus berencana mengutusnya kembali supaya jemaat Filipi “dapat bersukacita ketika melihatnya lagi” dan Paulus sendiri bisa lega (ay. 28). Perikop ini diakhiri dengan instruksi Paulus kepada jemaat Filipi untuk menyambut kembali Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan menghormati orang-orang sepertinya yang mempertaruhkan nyawa mereka demi pekerjaan Kristus (ay. 29–30).

Signifikansi Epafroditus bagi kita di masa kini

Sampai sejauh ini, kamu mungkin dapat menerka bahwa “respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus” adalah sesama pengikut Kristus yang menderita dan “hampir mati demi pekerjaan Kristus” (ay. 30). Tebakanmu benar. Aku tidak perlu menulis lebih lanjut lagi. Tulisan ini berhenti di sini. …

… Tapi, tahukah kamu bahwa kombinasi frasa dalam ayat 30 sebenarnya memiliki kembaran di surat Paulus yang lain, yang pemadanannya menyatakan prinsip Alkitab yang mendasari penderitaan orang percaya di masa kini sebagai saksi penderitaan Kristus di masa lampau?

Aku sungguh-sungguh bersyukur kepada Tuhan atas hamba-Nya John Piper, yang 16 tahun lalu dalam khotbahnya menyatakan kemuliaan-Nya yang tersembunyi di dalam kedua teks berikut:

30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan [αναπληρωση / anaphlerohose] bantuan yang tidak dapat [υστερημα / husterema] kamu berikan kepadaku. (Flp. 2:30 AYT).

24 Sekarang, aku bersukacita dalam penderitaanku demi kamu karena di dalam dagingku aku melengkapi [ανταναπληρω / antanaphleroho] apa yang kurang [υστερηματα / husteremata] dalam penderitaan Kristus, demi tubuh-Nya, yaitu jemaat. (Kol. 1:24 AYT).

Di sini kita perlu mengklarifikasi bahwa ketika Paulus menulis penderitaannya “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol. 1:24), ia tidak sedang mengklaim bahwa salib Kristus tidak sepenuhnya menyelamatkan manusia dari dosa dan maut. Sebaliknya, dalam surat-suratnya yang lain (e.g., Roma 5, 1 Korintus 15, Efesus 2), Paulus menegaskan karya keselamatan Kristus lewat penderitaan-Nya di atas salib adalah sempurna dan cukup. Dalam kata-kata Piper, Keindahan, keajaiban, nilai, keagungan, dan kebaikan Kristus yang disalibkan untuk menutupi dosa adalah tak terhingga. Kamu tidak dapat menambahkan apa pun ke dalamnya. Tidak ada yang hilang darinya. Tidak ada kekurangan di dalamnya.

Jadi, apa maksud Paulus ketika menulis begitu? Di Filipi 2:30, kita menemukan penderitaan Epafroditus melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan penderitaan Paulus di Kolose 1:24, yaitu “menggantikan bantuan yang tidak dapat [gereja di Filipi] berikan kepada[nya].” Kombinasi frasa “melengkapi” dan “apa yang kurang” dalam kedua ayat ini mengungkapkan jarak yang memisahkan kedua belah pihak, baik secara fisik maupun waktu. Jemaat Filipi mengasihi Paulus dan ingin melayaninya di Roma, tetapi karena tidak praktis bagi mereka semua untuk pergi ke Roma, mereka mengirim Epafroditus untuk menyatakan kasih mereka kepadanya. Siapa sangka kalau Epafroditus perlu “menderita” untuk melaksanakan misinya! Maka bukan kebetulan jika Paulus melihat kemiripan penderitaan pelayanannya bagi Kristus dengan apa yang menjadi pengalaman Epafroditus, sehingga ia memakai kombinasi frasa yang sama untuk menjelaskan kerelaannya hidup dihantui penderitaan (bdk. 2 Kor. 11:16–33), karena lewat semuanya itu ia sedang mempersaksikan Kristus yang menderita untuk gereja-Nya.

Penderitaan Epafroditus dan Paulus, keduanya murid Kristus, ialah bukti fisik bahwa Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya pernah menderita demi kebaikan jemaat dan orang-orang yang memusuhi-Nya. Dan penderitaan ini tidak sia-sia, sebab kita tahu pasti bahwa Kristus telah bangkit dan menang atas segala sengsara, dosa, dan maut (bdk. 1 Kor. 15).

Penderitaan Kristus yang tidak mungkin kita lihat karena sudah berlangsung lebih dari dua milenia yang lalu sekarang jadi nampak lewat Epafroditus-Epafroditus dan Paulus-Paulus di masa kini. Siapakah mereka? Orang-orang yang mengasihi kita dengan berkorban buat kita, tapi lebih jelas lagi saudara-saudari seiman yang menderita karena iman mereka, baik yang kita kenal sendiri maupun jemaat Tuhan di berbagai belahan bumi yang lain.

Aplikasi dari teladan Epafroditus: berpartisipasi sebagai saksi (penderitaan) Kristus

Meskipun kita mungkin tidak mengalami penganiayaan karena iman kita, tetapi karena gereja Tuhan dipersatukan sebagai satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala (bdk. 1 Kor. 12), kita sepatutnya turut berbagian dalam mempersaksikan penderitaan Kristus kepada dunia. Kalau tangan kita tertusuk duri yang kecil saja, tidakkah satu tubuh kita akan merasa tidak nyaman sepanjang hari? Maka kita perlu mendukung saudara-saudari seiman kita yang dianiaya.

Ada banyak cara kita dapat menerapkan prinsip Firman Tuhan di atas.

Pertama, kita dapat mendoakan saudara-saudari seiman kita yang dianiaya karena iman mereka, baik lewat doa pribadi maupun komunal (e.g., di persekutuan doa atau ibadah). Selain teman atau kenalan yang kita kenal langsung, kita juga dapat mendoakan saudara-saudari seiman di belahan dunia lain. Kamu bisa mencari tahu lebih lanjut dari berbagai organisasi misi, terutama Open Doors International yang melayani orang-orang Kristen yang dianiaya di berbagai pelosok dunia. Open Doors setiap tahunnya merilis laporan World Watch List tentang 50 negara di mana para pengikut Kristus paling sulit mempraktikkan iman mereka.

Kedua, meneladani jemaat Filipi, kita bisa mengirim dana bantuan kepada anggota-anggota tubuh Kristus yang dianiaya lewat organisasi-organisasi misi yang melayani di area tersebut, seperti Open Doors, Wahana Visi Indonesia / World Vision, dan Compassion International. Sangat mungkin Allah akan mengirimkan para Epafroditus di masa kini untuk menyalurkan dana bantuan kita kepada umat-Nya yang membutuhkan sehingga kesaksian penderitaan Anak-Nya semakin luas diberitakan. Aku bersyukur atas kesempatan-kesempatan dari Allah selama ini, di mana aku bisa membantu saudara-saudarai seiman yang membutuhkan, termasuk dana bantuan kepada jemaat bawah tanah, mendukung pelayanan sosial di salah satu daerah paling terbelakang di Indonesia, dan menjadi sponsor adik asuh.

Terakhir, kita bisa mempersaksikan penderitaan Yesus Kristus lewat kehidupan kita sendiri. Pengikut-pengikut Kristus sepanjang sejarah telah meneladani Paulus dengan memberikan diri mereka untuk memberitakan Injil dan menderita karenanya. Namun, lewat pengorbanan mereka, orang-orang yang mereka layani menerima pesan Injil secara utuh: bahwa Allah telah datang sebagai Yesus Kristus untuk menderita dan mati demi menyelamatkan umat manusia, telah bangkit dalam kemenangan atas dosa dan maut, dan sekarang mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan kedatangan-Nya yang kedua dan meneladani-Nya dengan mengasihi orang lain tanpa terkecuali, termasuk musuh-musuh mereka.

Kebanyakan dari kita dalam menjadi saksi Injil Kristus mungkin tidak akan pernah menderita seperti Epafroditus atau Paulus. Namun, Tuhan bisa memakai kita untuk mempersaksikan penderitaan Kristus dengan nyata bagi orang-orang yang kita temui. Salah satu peristiwa itu terjadi untukku beberapa tahun lalu. Aku memiliki hubungan yang praktis seperti saudara kandung dengan sepasang seniorku di gereja. Begitu seringnya aku mengunjungi mereka untuk membicarakan segala macam topik, bertukar kisah kehidupan, dan bermain dengan anak mereka, sampai-sampai sewaktu aku pulang dari rumah mereka, “keponakan”-ku akan menangis karena mau terus bermain dengan Paman Jeff. Suatu hari, “kakak perempuan”-ku sakit cukup parah sehingga harus diopname beberapa hari. Mendengar situasi mereka, aku langsung menawarkan diri untuk membantu sebisaku. Selama dua hari Sabtu berturut-turut, aku membantu mengasuh “keponakan”-ku sambil kakak rohaniku mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menjenguk istri di rumah sakit. Aku baru tahu belakangan darinya bahwa aku termasuk dari segelintir jemaat yang menawarkan bantuan kepada mereka dan bahwa mereka sangat bersyukur kepada Tuhan atas uluran tangan, kehadiran, dan pengorbanan kami untuk mereka di tengah masa sulit.

Ketika mendengar kakak rohaniku berkata begitu, sejujurnya (dan sampai sekarang) aku tak merasa melakukan pengorbanan apa pun. Memang ada satu atau dua janji temu yang harus kuganti waktunya supaya aku bisa membantu mereka, tapi aku tak merasa direpotkan sama sekali. Justru aku merasa terberkati karena bisa membantu mereka. Pada momen inilah aku memahami teladan Epafroditus dengan lebih utuh, konsep yang hanya aku mengerti dengan kepalaku sebelumnya sekarang telah kupraktikkan sendiri: adalah kasih Tuhan Yesus yang menopang Epafroditus melewati lembah maut ketika melayani Paulus mewakili jemaat Filipi, dan adalah kasih-Nya yang mendorongku untuk mengulurkan tangan kepada kakak-kakak rohaniku ketika mereka membutuhkannya.

Dan, lebih dalam dari tindakanku dan Epafroditus, adalah kasih-Nya yang menopang Kristus untuk patuh kepada Bapa-Nya di tengah cambukan, ludahan, dan cemoohan, bahkan patuh hingga mati digantung di kayu salib untuk semua orang berdosa yang percaya kepada-Nya, termasuk kita (Flp. 2:5–8). Tidakkah kematian dan kebangkitan Kristus mencengangkan bagi kamu? Apalagi untuk orang-orang yang menyaksikannya lewat kesaksian kita!

Mempersaksikan (penderitaan) Kristus hingga dunia mendengar dan percaya

Ada satu kisah menarik dalam bab 17 dari novel Life of Pi karangan Yann Martel. Pi adalah seorang Hindu yang pernah berinteraksi dengan seorang romo Katolik bernama Bapa Martin semasa remajanya. Dalam salah satu percakapan mereka, si romo bercerita tentang Yesus Kristus, Anak Allah yang mati untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Pi bergumul keras dengan kisah ini. Ia tidak bisa menerima kisah Yesus Kristus sebagai kebenaran.

Di pertemuan berikutnya, Pi mencecar Bapa Martin,

… Tapi Allah yang pernah mati akan selalu pernah mati, bahkan kalau Ia bangkit sekalipun. Sang Anak tidak akan pernah bisa melupakan rasa dari kematian di mulut-Nya untuk selama-lamanya. Allah Tritunggal tidak akan berhenti dinodai kematian; pastinya ada bau busuk kematian di sebelah kanan Allah. Kengerian ini begitu nyata. Mengapa Ia menginginkan hal itu terjadi pada-Nya? Mengapa Ia tak membiarkan manusia mengalami kematian sendirian? Mengapa Ia mengotori apa yang indah, merusak apa yang sempurna?

Kamu tahu apa jawaban Bapa Martin?

Kasih.

Sepatah kata, tidak lebih, tidak kurang.

Pi menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan sambil terus membandingkan iman Kristen dengan iman Hindu, namun jawaban Bapa Martin tetap sama singkat, Kasih.”

Inilah Injil yang pengikut Kristus beritakan lewat penderitaan, pengorbanan, dan pergumulan mereka: Allah yang disalibkan, mati, dan bangkit, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi,… kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor. 1:23–24). Tidaklah heran kalau semua kasih yang sejati adalah bayang-bayang dari kasih Kristus, sebab hanya kepada nama-Nya sajalah “bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi… bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:9–11).

Seperti Pi, dunia perlu mendengar dan dikagetkan dengan realita Allah yang menderita demi menyelamatkan manusia berdosa. Dan, seperti Epafroditus dan Paulus, Allah memanggil umat-Nya di masa kini untuk menderita bagi-Nya demi menggenapi apa yang kurang pada penderitaan Anak-Nya dalam kesaksian tubuh-Nya, yaitu gereja (Kol. 1:24). Maka adalah misi kita sebagai anggota-anggota yang lain dari tubuh Kristus untuk memastikan bahwa dunia mendengar Kabar Baik ini, mengetahui penderitaan murid-murid Kristus karena iman mereka, dan, kalau Tuhan berkehendak, turut meneladani Epafroditus dan Paulus menjadi saksi (penderitaan) Kristus.

Puji Tuhan atas Epafroditus!

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, Soli Deo gloria!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Pontius Pilatus dan Simon Orang Kirene

Jumat, 29 Maret 2024

 

15:1 Pagi-pagi benar imam-imam kepala bersama tua-tua dan ahli-ahli Taurat dan seluruh Mahkamah Agama sudah bulat mupakatnya. Mereka membelenggu Yesus lalu membawa-Nya dan menyerahkan-Nya kepada Pilatus.

15:2 Pilatus bertanya kepada-Nya: “Engkaukah raja orang Yahudi?” Jawab Yesus: “Engkau sendiri mengatakannya.”

15:3 Lalu imam-imam kepala mengajukan banyak tuduhan terhadap Dia.

15:4 Pilatus bertanya pula kepada-Nya, katanya: “Tidakkah Engkau memberi jawab? Lihatlah betapa banyaknya tuduhan mereka terhadap Engkau!”

15:5 Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawab lagi, sehingga Pilatus merasa heran.

15:6 Telah menjadi kebiasaan untuk membebaskan satu orang hukuman pada tiap-tiap hari raya itu menurut permintaan orang banyak.

15:7 Dan pada waktu itu adalah seorang yang bernama Barabas sedang dipenjarakan bersama beberapa orang pemberontak lainnya. Mereka telah melakukan pembunuhan dalam pemberontakan.

15:8 Maka datanglah orang banyak dan meminta supaya sekarang kebiasaan itu diikuti juga.

15:9 Pilatus menjawab mereka dan bertanya: “Apakah kamu menghendaki supaya kubebaskan raja orang Yahudi ini?”

15:10 Ia memang mengetahui, bahwa imam-imam kepala telah menyerahkan Yesus karena dengki.

15:11 Tetapi imam-imam kepala menghasut orang banyak untuk meminta supaya Barabaslah yang dibebaskannya bagi mereka.

15:12 Pilatus sekali lagi menjawab dan bertanya kepada mereka: “Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan orang yang kamu sebut raja orang Yahudi ini?”

15:13 Maka mereka berteriak lagi, katanya: “Salibkanlah Dia!”

15:14 Lalu Pilatus berkata kepada mereka: “Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan-Nya?” Namun mereka makin keras berteriak: “Salibkanlah Dia!”

15:15 Dan oleh karena Pilatus ingin memuaskan hati orang banyak itu, ia membebaskan Barabas bagi mereka. Tetapi Yesus disesahnya lalu diserahkannya untuk disalibkan.

15:16 Kemudian serdadu-serdadu membawa Yesus ke dalam istana, yaitu gedung pengadilan, dan memanggil seluruh pasukan berkumpul.

15:17 Mereka mengenakan jubah ungu kepada-Nya, menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya.

15:18 Kemudian mereka mulai memberi hormat kepada-Nya, katanya: “Salam, hai raja orang Yahudi!”

15:19 Mereka memukul kepala-Nya dengan buluh, dan meludahi-Nya dan berlutut menyembah-Nya.

15:20 Sesudah mengolok-olokkan Dia mereka menanggalkan jubah ungu itu dari pada-Nya dan mengenakan pula pakaian-Nya kepada-Nya.(15-20b) Kemudian Yesus dibawa ke luar untuk disalibkan.

15:21 Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.

15:22 Mereka membawa Yesus ke tempat yang bernama Golgota, yang berarti: Tempat Tengkorak.

15:23 Lalu mereka memberi anggur bercampur mur kepada-Nya, tetapi Ia menolaknya.

15:24 Kemudian mereka menyalibkan Dia, lalu mereka membagi pakaian-Nya dengan membuang undi atasnya untuk menentukan bagian masing-masing.

 

Ketika para pemimpin agama membawa Yesus kepadanya, Pilatus tidak begitu yakin bahwa tuduhan yang mereka sampaikan atas Yesus bersifat politis. Pilatus menduga ini hanyalah masalah rasa iri hati mereka terhadap Yesus. 

Meskipun demikian, Pilatus membiarkan dirinya terpengaruh oleh mereka. Para pemimpin agama ini juga berusaha memojokkan Pilatus dengan berkata, “Jikalau engkau membebaskan orang ini [Yesus Kristus], engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar.” (Yohanes 19:12). Pilatus lantas menimbang pilihannya dan menyadari bahwa terlalu riskan baginya untuk mempertaruhkan reputasinya hanya demi membebaskan Yesus. 

Ketika kerumunan orang banyak yang digerakkan oleh para imam kepala berteriak, “Salibkan Dia! (Markus 15:13-14), Pilatus menyerah dan mengikuti apa yang menjadi tuntutan massa: menyalibkan Kristus dan membebaskan Barabas (ayat 15).

Pilatus adalah contoh seorang yang egois, yang lebih memilih untuk mempertahankan posisi dan statusnya, meskipun dia sebenarnya tahu bahwa dia melakukan yang salah ketika menyerah pada tekanan massa untuk menghukum Yesus yang tak bersalah untuk disalibkan. 

Di pengadilan Pilatus, penyiksaan brutal terhadap Yesus pun dimulai. Dia disiksa, dipukuli, dicambuk, dan dihujat. Dengan kondisi tubuh yang telah teraniaya, Yesus harus memanggul salib-Nya menuju Golgota. Namun, salib itu terlalu berat, sehingga Simon dari Kirene dipaksa untuk menolong-Nya. 

Simon adalah seorang Yahudi dan orang asli dari Afrika Utara yang kemungkinan besar baru saja tiba di Yerusalem untuk merayakan Paskah. Besar kemungkinan, Simon kala itu tidak mengenal Yesus. Namun, ketika dipaksa oleh prajurit untuk memikul salib, Simon tak punya pilihan selain taat. Simon juga adalah ayah dari Alexander dan Rufus. Fakta bahwa kedua anak Simon tercatat menunjukkan bahwa mereka sangat dikenal oleh para pembaca Injil Markus di Roma. Menariknya, Rasul Paulus juga menyebut nama Rufus dan ibunya, yang dianggapnya seperti ibu kandung sendiri (Roma 16:13). Jika Rufus yang disebutkan Paulus adalah Rufus yang sama, ini artinya Simon menjadi pengikut Yesus setelah memikul salib-Nya. Tak cuma dirinya seorang, tapi keluarganya juga menjadi orang-orang percaya. 

Tindakan ketaatan Simon untuk menolong Yesus telah mengubah hidupnya dan seisi keluarganya, serta membawa mereka pada peranan yang lebih besar dalam kerajaan Allah kemudian. Seringkali kita cenderung berpikir bahwa kita harus punya perlengkapan lengkap, atau sungguh dewasa dalam Kristus untuk melayani Allah. Namun, yang Allah cari adalah orang-orang yang bersedia taat untuk melayani Dia, kapan pun dan di mana pun Dia memanggil. Jawaban “ya” kita terhadap tugas-tugas kecil bisa menjadi sarana untuk mentransformasikan hidup kita menjadi semakin serupa dengan Kristus, dan juga membuka pintu pada lebih banyak kesempatan untuk melayani Dia.

REFLEKSI

1. Berkaca dari sikap Pilatus, mengapa begitu sulit bagi kita untuk berdiri teguh memperkatakan kebenaran? Mengapa lebih mudah untuk diam dan berpangku tangan?

2. Bagaimana kita merespons, ketika diminta untuk ikut menanggung beban orang lain? Mengapa tindakan Simon dari Kirene bisa terasa sulit untuk kita lakukan di masa kini?

 

DOA

Allah Mahakuasa, berilah kami keberanian, agar kami yang telah Engkau bebaskan dari dosa mampu menyuarakan kebenaran. Kiranya kami juga tidak takut untuk menegur kesalahan dan menderita dengan sabar demi kebenaran.

Terima kasih juga untuk inspirasi dari Simon orang Kirene, yang memberi dirinya untuk ikut memikul salib Kristus. Berikan kami anugerah dan kekuatan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain dan kesediaan untuk menanggung beban satu sama lain, dalam upaya kami hidup dalam ketaatan terhadap-Mu. Dalam nama Yesus, amin.



Lihat Juga:




Yesus, Pengganti Kita

Jumat, 29 Maret 2024

Baca: 1 Petrus 3:13-18

Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh. —1 Petrus 3:18

Seorang pemuda kaya berusia dua puluh tahun sedang kebut-kebutan bersama teman-temannya ketika ia menabrak seorang pejalan kaki hingga tewas. Meski anak muda tersebut dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, sejumlah pihak meyakini bahwa pria yang hadir di pengadilan (dan kemudian mendekam di penjara) adalah seseorang yang dibayar untuk menggantikan pemuda yang bersalah tadi. Tindakan menyewa seseorang untuk menghindari hukuman penjara seperti itu memang lumrah terjadi di sejumlah negara.

Kedengarannya memang keterlaluan dan tidak patut, tetapi lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Yesus menjadi pengganti kita dan “telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar” (1Ptr. 3:18). Sebagai korban persembahan yang tak bercela bagi Allah, Kristus menderita dan mati satu kali untuk selama-lamanya (Ibr. 10:10) bagi semua yang percaya kepada-Nya. Dia menanggung hukuman atas segala dosa kita pada tubuh-Nya yang tergantung di kayu salib. Tidak seperti orang yang menjadi pengganti pelaku kejahatan demi mendapat imbalan uang, kerelaan Kristus untuk menggantikan kita dengan menyerahkan nyawa-Nya dan mati di atas kayu salib telah memberi kita “pengharapan” (1Ptr. 3:15,18; Yoh. 10:15). Dia melakukannya guna menjembatani jurang tak terseberangi yang memisahkan kita dari Bapa.

Kiranya kita bersukacita, terhibur, serta diyakinkan oleh kebenaran yang agung ini: Hanya melalui kematian Yesus yang menggantikan kita, maka kita—orang berdosa yang tak berdaya—dapat memiliki hubungan dengan Allah kita yang Mahakasih dan jalan yang terbuka lebar untuk datang kepada-Nya.

—Marvin Williams

WAWASAN
Dalam 1 Petrus 3:13-14, sang rasul menyemangati orang-orang percaya untuk “berbuat baik,” bahkan apabila mereka menderita karenanya. Alih-alih takut, orang percaya harus tetap percaya kepada Allah dan siap untuk bersaksi bagi-Nya. Petrus mengingatkan kita bahwa Yesus menderita secara tidak adil dan mati untuk dosa-dosa kita, “Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar” (ay. 18). Pengorbanan-Nya itu berlangsung sekali untuk selamanya. Siapa pun yang percaya kepada-Nya sebagai Juruselamat mereka dan bertobat dari dosa-dosa mereka akan menerima pengampunan dari-Nya. Keselamatan kita tidak menjamin kita bebas dari penderitaan; bacaan hari ini dan bagian-bagian Alkitab lainnya menunjukkan kebalikannya. Yesus berkata, “Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu” (Yohanes 15:18); dan juga, “Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu” (ay. 20). Rasul Paulus juga mengatakan kepada kita, “Setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya” (2 Timotius 3:12). —Alyson Kieda

Yesus, Pengganti Kita

Bagaimana kematian Yesus yang menggantikan kamu telah mengubah hidup kamu? Apa artinya kamu memiliki jalan kepada Allah dan hidup yang kekal karena kematian Yesus di kayu salib?

Tuhan Yesus, terima kasih, karena Engkau telah mati menggantikanku, supaya aku dapat kembali menjalin hubungan dengan Bapa.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 7-8; Lukas 5:1-16

Kapan Terakhir Kali Kamu Ikut Menderita Bersama Kristus?

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Bulan Maret di tahun ini, kita, umat Kristen akan merayakan dua momen bersejarah dalam Alkitab, yaitu Jumat Agung dan Paskah. Sepanjang bulan ini kita telah membaca atau mendengar renungan, pujian, dan khotbah-khotbah yang mengangkat topik yang berkaitan dengan sengsara Kristus; tentang Via Dolorosa (Jalan Salib), Golgota, Kalvari, Tujuh Perkataan Salib, Kebangkitan Kristus, dan lain-lain. Bahkan, aku mengikuti proyek ketaatan dari gereja di mana aku beribadah untuk memakai Journey To The Cross-nya Paul David Trip sebagai bahan saat teduh khusus untuk merenungkan 40 hari penderitaan Kristus.

Salah satu momen sebelum Yesus disalibkan yang dicatat yaitu Perjamuan Terakhir, yang menceritakan tentang kebersamaan atau malam terakhir Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya yang dirayakan dengan roti dan anggur, dan yang ditutup dengan doa-Nya yang cukup panjang. Dan dalam Yohanes 17, untuk murid-murid-Nya saat itu, juga untuk kita yang percaya kepada-Nya dari pemberitaan mereka.

Lebih dari tiga tahun kita menyaksikan Yesus dan murid-murid-Nya melewati hari, bulan, dan tahun dengan perayaan demi perayaan, pelayanan demi pelayanan, menuju satu tempat ke tempat lainnya, menyaksikan mukjizat demi mukjizat, pemberitaan Injil bersama-sama kepada orang-orang dari latar belakang berbeda, dan lain-lain. Namun, nyatanya kedekatan mereka dengan Yesus secara personal tidak langsung membentuk satu keberanian yang kita saksikan ketika Yesus menempuh perjalanan menuju Kalvari hingga mati di kayu salib. Diawali dengan tiga murid terdekat Yesus yang memilih tidur ketika Yesus sedang bergumul di Getsemani, Yudas Iskariot yang menjual dan menyerahkan Tuhan Yesus demi 30 keping perak, dilanjutkan dengan Petrus yang begitu keras menyangkal Yesus di depan umum, dan sisanya ke mana? Selain sebelum Yesus menyerahkan nyawa-Nya, Yohanes ada di sana bersama Ibu Yesus, di Golgota, menyaksikan Yesus sampai mati. Alkitab tidak mencatat apa yang dilakukan murid-murid yang lain. Namun, di tengah cawan penderitaan yang Yesus terima,  dalam perjuangan dan rintihan-Nya menuju Kalvari, kita menyaksikan satu nama yang rasanya “tiba-tiba” muncul, yaitu Simon dari Kirene! Tiga kitab Injil mencatat hal ini:

Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Matius 27:32).

Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Markus 15:21).

Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus. (Lukas 23:26)

Simon dari Kirene menilik ulang pemahamanku tentang apa itu mengikut Yesus; menata ulang pemahamanku tentang apa itu menyangkal diri; serta merangkai ulang pemahamanku tentang apa itu memikul salib.

Kita tahu bahwa jika penulis dalam Alkitab menyebut nama, tempat, peristiwa, dan lain-lain dengan begitu detail, berarti ada sesuatu yang sedang disampaikan dan perlu kita ketahui. Simon, tidak hanya disebut namanya, tetapi juga asalnya—dari Kirene. Bahkan di kitab Markus dicatat nama anak-anaknya, Aleksander dan Rufus. Dan, yang paling penting adalah apa yang dilakukan Simon dari Kirene pada momen paling bersejarah di saat-saat terakhir Yesus itu? Dipaksa memikul salib. Ya, memikul salib Yesus.

Lukas mencatat satu detail yang perlu menjadi perenungan kita,“lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.” (23:26). Simon memikul salib Yesus sambil berjalan di belakang-Nya, bukan di depan-Nya merupakan gambaran tentang kehidupan kita sebagai orang Kristen yang Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya, dengan mengatakan,”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Kita menyadari bahwa ada kalanya panggilan untuk ikut menderita bersama Kristus datang secara tiba-tiba, tanpa persiapan, dan tanpa antisipasi. Kita dituntut dengan segenap hati menyangkal diri. Simon dari Kirene yang memikul salib di belakang Yesus merupakan sikap yang indah sekaligus menyakitkan. Sebagai seorang murid, kapan terakhir kali kita ikut menderita bersama Kristus? Jika mengingat saat pertama kali menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku hampir 10 tahun yang lalu, aku menyadari bahwa dalam perjalanan imanku, tak jarang aku mengikut Dia pada syarat dan ketentuan yang berlaku, yaitu selama hal tersebut tidak “terlalu banyak” menuntut harga dan pengorbanan, tidak terlalu menguras waktu dan tenaga, dan lain-lain. Ya, aku masih “perhitungan” kepada Dia yang tidak memperhitungkan dosa-dosaku dan kesalahanku. Aku menyadari betapa hidupku masih jauh dari sikap untuk memberi diri seutuh-utuhnya dan setunduk-tunduknya seperti Simon dari Kirene.

“..ikutlah Aku..”, adalah panggilan-Nya untuk kita setiap hari, setiap saat. Sebuah panggilan untuk berfokus kepada Kristus. Sebuah panggilan untuk mengambil bagian dalam pekerjaan-Nya. Sebuah panggilan untuk melepaskan kenyamanan-kenyamanan yang selama ini menghalangi kita untuk melayani Dia. Dan, kita tahu bahwa kesempatan untuk “dipanggil dan dipakai” oleh-Nya tidak selalu ada. Kesempatan kedua tidak selalu ada. Simon dari Kirene yang hanya muncul sekilas itu bagai “alarm” yang berdentum hebat untuk membangunkan kita yang selama ini tidur terlalu lama.

”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Bersediakah kita merespons panggilan-Nya itu?

Biarlah dalam perjalanan iman kita dalam mengikuti-Nya ada seruan-seruan yang terus bergema dalam hati kita seperti perkataan seorang martir Sadhu Sundar Singh ini:

“The cross before me,

the world behind me.

No turning back,

no turning back…”

Selamat menyambut Jumat Agung dan Paskah!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kamu diundang datang ke perjamuan

Ketika dunia menyediakan tempat terbaik bagi mereka yang tampil dengan segala keindahan lahiriah—status, kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan sebagainya, Tuhan Yesus tidaklah demikian.

Yesus merangkul dan mengundang orang-orang yang dianggap rendah dalam masyarakat: janda-janda (Lukas 7:11-17), penderita kusta (ayat 19), wanita yang berbuat zinah (ayat 36-50), juga para pemungut cukai (Lukas 5:29-39).

Semua orang ini sama seperti kita, orang-orang berdosa yang membutuhkan kasih karunia Allah. Kita tidak dibuang, tetapi diundang Yesus untuk masuk ke dalam persekutuan bersama-Nya, menanggalkan manusia lama, dan beroleh hidup yang baru di dalam Roh.

Apa pun keadaanmu saat ini, maukah kamu menerima undangan Tuhan dan duduk dalam perjamuan-Nya?

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today dan dibuat oleh @rc.sketch.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Yesus Berdoa di Getsemani

Kamis, 28 Maret 2024

 

14:32 Lalu sampailah Yesus dan murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Kata Yesus kepada murid-murid-Nya: “Duduklah di sini, sementara Aku berdoa.”

14:33 Dan Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Ia sangat takut dan gentar,

14:34 lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.”

14:35 Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya.

14:36 Kata-Nya: “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

14:37 Setelah itu Ia datang kembali, dan mendapati ketiganya sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: “Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam?

14:38 Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah.”

14:39 Lalu Ia pergi lagi dan mengucapkan doa yang itu juga.

14:40 Dan ketika Ia kembali pula, Ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat dan mereka tidak tahu jawab apa yang harus mereka berikan kepada-Nya.

14:41 Kemudian Ia kembali untuk ketiga kalinya dan berkata kepada mereka: “Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Cukuplah. Saatnya sudah tiba, lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa.

14:42 Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat.”

 

Pada saat-saat terakhir-Nya di bumi, Yesus bergumul dengan kesedihan yang mendalam di taman Getsemani. Saat Dia menatap ke sisi barat dari taman itu, Dia akan melihat Bait Allah dengan segala keindahannya. Di sana, ribuan hewan dikurbankan setiap tahun, darahnya membasahi altar. Namun, darah binatang tidak memiliki kuasa nyata untuk menghapuskan dosa (Ibrani 10:3-4). Pandangan ini mengingatkan Yesus akan semua yang ada di depan mata-Nya. Yesus tahu darah-Nya akan segera ditumpahkan di atas kayu salib ketika Dia mengorbankan diri-Nya dengan sukarela untuk menebus dosa-dosa seluruh umat manusia. 

Dalam natur-Nya sebagai Allah sekaligus juga manusia, Yesus mengerti akan sulit, sakit, dan pilunya harga yang harus Dia bayar demi keselamatan manusia. “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” ucap Yesus. Gerrit Dawson, dalam tulisannya di DesiringGod, menarasikan dengan detail apa makna kesedihan yang baru saja disampaikan Yesus itu. Dia tahu bahwa Dia akan kehilangan tubuh jasmani-Nya pada kayu salib. Namun, yang pertama, Dia akan kehilangan apa yang jauh lebih berharga: perkenanan dari Bapa Surgawi. Sebelum ditangkap, Yesus telah membayangkan apa yang akan terjadi ketika Dia harus meminum cawan-Nya (Matius 26:39, 42). Itulah cawan murka Allah terhadap dosa dengan segala kekuatannya yang merusak dan memutarbalikkan (Yesaya 51:17). Ketika Yesus makin dekat dengan penderitaan dan kematian-Nya, Dia akan melihat Bapa bergerak mundur, menjauh dari-Nya. 

Yesus pun lantas meminta tiga murid-Nya, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, untuk mendukung dia dalam doa (Markus 14:32-33). Namun, ketiga murid itu gagal berdiri di samping Yesus pada saat Dia membutuhkannya. Meskipun Yesus memohon kepada mereka tiga kali agar mereka tetap terjaga, mereka tetap saja tertidur. 

Pada jam-jam krusial menjelang kematian-Nya, para murid menunjukkan bahwa mereka tidak sepenuhnya memahami harga yang harus dibayar untuk mengikut Yesus. Sepanjang menjadi murid, mereka pernah berdebat tentang siapa yang paling besar dan layak untuk menerima status dan kekuasaan (Markus 9:33-34; 10:35-40). Sampai di titik ini, mereka masih belum mengerti apa artinya berbagi cawan penderitaan Yesus dan memikul salib untuk mengikut Dia, bahkan sampai kepada risiko untuk mati demi iman mereka. 

Demikian juga, Yesus telah memanggil kita untuk mengikut Dia, dan setiap kita memiliki cawan untuk kita minum. Mungkin beban yang kita pikul terasa terlalu berat. Kita mungkin juga tergoda untuk meninggalkan saja cawan itu. Namun, kiranya kita meraih kekuatan saat kita merenungkan kembali doa Yesus di taman Getsemani: “…tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa Engkau kehendaki” (Markus 14:36). 

Gerrti Dawson kembali menuliskan:Di Getsemani, Yesus telah membuat keputusan yang begitu sulit untuk meminum cawan murka yang sejatinya tidak layak untuk Dia terima. Sang Terang memberi diri-Nya untuk dipadamkan ke kegelapan terkelam. Dia berkenan masuk ke dalam lembah kematian dan kesendirian agar kita dapat melewatinya dengan aman, seperti kita melintasi tanah kering. Anak Domba Paskah kita yang tak berdosa telah memberikan diri-Nya untuk dikorbankan menjadi tebusan bagi kita sekalian. Di taman Getsemani, yang oleh dunia zaman itu dikenal sebagai tempat pemerasan buah Zaitun, Yesus masuk dan menerima sepenuhnya panggilan-Nya untuk mati bagi umat manusia. 

Kiranya kita dengan rela hati tunduk pada kehendak Tuhan dan tetap setia kepada-Nya.

REFLEKSI

1. Renungkan peristiwa, ketika Yesus begitu sedih berdoa di taman Getsemani. Adakah momen-momen dalam hidupmu, ketika bebanmu untuk mengikut Yesus terasa terlalu berat?

2. Bagaimana kamu mendapatkan kekuatan dari-Nya untuk terus bertekun?

3. Adakah “cawan” yang sulit, yang Tuhan perintahkan untuk kamu minum? Bagaimana kamu menanggapi-Nya? Apa yang memampukanmu untuk berdoa: “Jangan kehendakku, tapi jadilah kehendak-Mu”?

 

DOA

Bapa yang penuh kasih, kami mengingat Yesus, Tuhan kami, yang menderita dan berdoa dengan tulus di Taman Getsemani untuk menaati kehendak-Mu. Kuatkanlah lutut kami yang ringkih dan perdalamlah hasrat kami untuk menyenangkan-Mu, agar kami, gereja-Mu, senantiasa melakukan apa yang jadi kehendak-Mu.

Kiranya kami memancarkan terang-Mu dalam gelapnya dunia, sampai seluruh manusia datang mengenal Yesus, yang di dalam nama-Nya kami berdoa, amin.


Lihat Juga:


Beriman di Titik Nadir

Penderitaan adalah bagian dalam hidup, dan seringkali penderitaan itu menghujam kita sampai ke titik nadir.

 



Perintah Baru untuk Mengasihi

Kamis, 28 Maret 2024

Baca: Yohanes 13:3-5,12-15,31-35

13:3 Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.

13:4 Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya,

13:5 kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.

13:12 Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?

13:13 Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.

13:14 Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu;

13:15 sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.

13:31 Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: “Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.

13:32 Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera.

13:33 Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.

13:34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.

13:35 Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”

Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi. —Yohanes 13:34

Pada hari Kamis Putih (Maundy Thursday), sehari sebelum Jumat Agung, anggota keluarga kerajaan Inggris biasanya membagi-bagikan hadiah kepada warga masyarakat yang berkekurangan. Tradisi yang bermula dari abad ke-13 itu didasarkan pada kata maundy, yang terambil dari kata Latin mandatum atau “perintah”. Yang diperingati adalah perintah baru yang diberikan Yesus kepada sahabat-sahabat-Nya pada malam sebelum Dia disalibkan: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34).

Yesus adalah pemimpin yang mengambil peran sebagai hamba, dan Dia menunjukkannya dengan cara membasuh kaki para murid (ay.5). Dia pun memanggil mereka untuk mengikut teladan-Nya: “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (ay.15). Kemudian, dalam tindakan pengorbanan yang teragung, Dia menyerahkan nyawa-Nya dengan mati di atas kayu salib (19:30). Karena rahmat dan kasih-Nya, Tuhan Yesus memberikan diri-Nya sendiri agar kita dapat memiliki hidup yang berkelimpahan.

Tradisi keluarga kerajaan Inggris yang melayani orang-orang yang berkekurangan terus dijalankan sebagai simbol tindakan yang meneladan Yesus. Kita mungkin tidak lahir dengan berbagai kemewahan, tetapi ketika beriman kepada Yesus, kita menjadi anggota keluarga-Nya. Kita juga dapat menunjukkan kasih kita dengan melakukan perintah baru-Nya tersebut. Ketika kita menyerahkan hati kita untuk diubahkan Roh Kudus, kita pun dimampukan untuk menjangkau orang lain dengan kepedulian, keteguhan, dan kasih. —Amy Boucher Pye

WAWASAN
Apakah artinya bahwa Yesus telah memberikan perintah “baru” untuk mengasihi (Yohanes 13:34)? Sebuah perintah untuk mengasihi sudah menjadi pusat dari iman Yahudi (Imamat 19:18). Namun, yang rasanya “baru” adalah untuk mengasihi “sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 13:34). Melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus, para murid telah diberikan contoh baru tentang kasih yang rela memberi diri, dan kasih seperti itu sudah sepatutnya membentuk cara hidup mereka. Namun, lebih jauh daripada memberi contoh, Yesus juga akan memberi mereka kesanggupan untuk mengasihi seperti itu. Melalui Roh yang dikaruniakan Kristus, mereka dapat mengalami dan membagikan kasih yang dimiliki Yesus bersama dengan Bapa (17:22-24). —Monica La Rose

Perintah Baru untuk Mengasihi
 

Kapan kamu pernah melihat atau menerapkan kepemimpinan yang melayani? Bagaimana kamu dapat sungguh-sungguh “saling mengasihi” hari ini?

Juruselamatku yang agung, betapa ajaib anugerah kasih yang Engkau berikan! Terima kasih, karena Engkau telah menjadi Hamba yang terbesar, dengan menyerahkan nyawa-Mu bagiku.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 4-6; Lukas 4:31-44

Barnabas, Sosok di Balik Nama Besar Paulus

Oleh Aris Budhiyanto, Surabaya

“Kebahagiaan seorang guru adalah melihat mantan anak didiknya menjadi orang yang berhasil”, demikianlah kata guruku dalam acara reuni sekolah. Kata-kata beliau mengingatkanku pada sebuah nama dalam Alkitab. Nama tokoh ini tidak menjadi judul dari suatu kitab, tetapi teladannya berhasil melahirkan seorang tokoh yang berpengaruh besar terhadap kekristenan, dialah Barnabas.

Kisah tentang Barnabas tercatat pada kitab Kisah Para Rasul. Barnabas adalah orang yang pernah menjadi mentor bagi Paulus dan Markus. Semua orang pasti mengenal Paulus, penulis banyak kitab dalam Perjanjian Baru, dan Markus, penulis Injil Markus, tetapi mungkin tidak banyak yang mengenal Barnabas.

Catatan historis menyebutkan bahwa Barnabas aslinya bernama Yusuf. Setelah dia menjual hartanya dan menyerahkan hasil penjualannya kepada para rasul, dia pun diberi nama baru “Barnabas”. Nama Barnabas berarti ‘anak penghiburan’ (dalam Alkitab terjemahan baru—Kisah Para Rasul 4:36). Tetapi aku lebih menyukai arti namanya dalam Alkitab New International Version, yaitu son of encouragement yang berarti orang yang memberikan semangat, menguatkan dan mendorong orang lain. Kurasa nama ini sangat mencerminkan karakter Barnabas karena dia berhasil menguatkan dua orang yang ditolak olah orang lain hingga mereka menjadi orang-orang yang berdampak, bahkan mungkin lebih signifikan dari Barnabas sendiri.

Untuk dapat lebih utuh memahami karakter Barnabas, aku mengajakmu untuk membuka Kisah Para Rasul 9:26-27, di sana tertulis:

“Setibanya di Yerusalem Saulus mencoba menggabungkan diri kepada murid-murid, tetapi semuanya takut kepadanya, karena mereka tidak dapat percaya, bahwa ia juga seorang murid. Tetapi Barnabas menerima dia dan membawa kepada rasul-rasul dan menceriterakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan bahwa Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damsyik dalam nama Yesus.”

Mari kita posisikan diri ada pada konteks situasi momen tersebut. Saulus yang telah berganti nama menjadi Paulus adalah sosok penganiaya jemaat yang mengerikan di mata orang Kristen. Siapakah yang bisa menjamin bahwa kisah pertobatan Paulus adalah cerita sungguhan, bukan tipu daya untuk menjerat orang-orang Kristen? Ananias saja yang mendengar langsung suara Tuhan untuk menjumpai Paulus meragukan kesungguhan pertobatan Paulus! (ayat 13).

Namun, pada ayat 27 kita melihat bagaimana Barnabas bersedia membuka diri untuk menerima dan memberi kesaksian tentang Paulus yang telah bertobat di hadapan murid-murid yang lain. Ini bukanlah tindakan mudah. Ada risiko besar di balik tindakan Barnabas untuk percaya dan memasukkan si “pembunuh” ke dalam kelompok orang percaya. Barnabas berani menentang ketakutan komunal para murid dengan memberi ruang bagi rasa percaya untuk tumbuh. Berkat tindakan Barnabas ini, Paulus pun tetap bersama-sama dengan mereka di Yerusalem dan dengan keberanian mengajar dalam nama Tuhan (ayat 28).

Setelah diterimanya Paulus sebagai bagian dari komunitas orang percaya, Alkitab memang tidak menceritakan secara langsung bagaimana Barnabas menjadi mentor bagi Paulus. Namun, aku yakin dalam perjalanan misi mereka Barnabas banyak memberikan kesaksian dan membagikan kehidupan dan karya Yesus kepada Paulus yang saat itu masih menjadi petobat baru, sehingga turut mendorong dan menguatkan pertumbuhan iman Paulus.

Kesediaan Barnabas untuk menerima orang lain juga nampak saat dia memutuskan untuk menerima dan membawa Markus dalam perjalan misi mereka, meskipun Paulus menentang hal itu sehingga berakibat pada perselisihan dan perpecahan tim misi mereka (Kis. 15:39-40). Aku tidak tahu apa yang terjadi secara spesifik saat itu, tapi seperti yang dahulu dilakukannya dengan memberi ruang untuk mempercayai Paulus, Barnabas kembali melakukannya. Paulus menilai Markus adalah sosok yang buruk karena pernah meninggalkan mereka dalam perjalanan misi sebelumnya (Kis. 13:13), tetapi Barnabas melihat potensi dalam diri Markus dan ingin memberinya kesempatan kedua.

Keputusan Barnabas ini tentunya disertai tanggung jawab mendorong dan menguatkan Markus hingga dia bertumbuh dan menjadi salah satu penulis kitab Injil. Bahkan di kemudian hari Paulus sendiri mengakui bahwa pelayanan Markus sangat penting (1 Tim. 4:11).

Catatan-catatan di Alkitab mengenai sosok Barnabas mungkin tidak banyak, tetapi teks ini cukup menunjukkan pada kita bagaimana Roh Kudus bekerja melalui hati Barnabas. Pada kondisi ketika menjadi orang Kristen adalah status yang begitu berbahaya karena dikejar oleh para penganiaya, mempercayai seseorang bisa jadi hal sulit karena kepercayaan itu bisa jadi celah bagi pengkhianatan atau tipu daya. Namun, di tengah ancaman sulit sekalipun, Barnabas tidak membuat hatinya mati rasa oleh ketakutan. Dia tetap menghidupkan hatinya untuk menjadi hati yang berbelas kasih. Barnabas mau menguatkan dan mendorong orang lain karena dia memiliki kedekatan dan pengenalan pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus. Kendati Alkitab tidak menyebutkan bagaimana Barnabas berinteraksi secara pribadi dengan Yesus, tetapi dapat dipastikan dia telah menerima Roh Kudus dan hidup dalam pimpinan-Nya. Hal ini nampak dari bagaimana dia turut berkontribusi pada pertumbuhan jemaat mula-mula, di mana dia menjual ladang miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul (Kis. 4:37), dan bagaimana Roh Kudus secara khusus memilih dia dan Paulus untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang non-Yahudi.

Sebuah pertanyaan bagi kita di masa kini: apakah kita bersedia menerima, mendorong, menguatkan orang lain, seburuk apa pun orang itu, dan siap menerima segala konsekuensinya, bahkan jika di kemudian hari kita dilupakan dan orang yang kita kuatkan tersebut tumbuh menjadi orang yang dipakai Tuhan luar biasa?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥