Kasih Karunia yang Mengalami “Reboot”

Sabtu, 25 Maret 2023

Baca: Ratapan 3:16-33

3:16 Ia meremukkan gigi-gigiku dengan memberi aku makan kerikil; Ia menekan aku ke dalam debu.

3:17 Engkau menceraikan nyawaku dari kesejahteraan, aku lupa akan kebahagiaan.

3:18 Sangkaku: hilang lenyaplah kemasyhuranku dan harapanku kepada TUHAN.

3:19 “Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”

3:20 Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.

3:21 Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:

3:22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,

3:23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!

3:24 “TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.

3:25 TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

3:26 Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.

3:27 Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya.

3:28 Biarlah ia duduk sendirian dan berdiam diri kalau TUHAN membebankannya.

3:29 Biarlah ia merebahkan diri dengan mukanya dalam debu, mungkin ada harapan.

3:30 Biarlah ia memberikan pipi kepada yang menamparnya, biarlah ia kenyang dengan cercaan.

3:31 Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan.

3:32 Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setia-Nya.

3:33 Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia.

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! —Ratapan 3:22-23

Selama beberapa dekade terakhir, sebuah kata baru muncul dalam kosakata perfilman, yakni reboot. Dalam dunia sinema, reboot berarti mengambil sebuah cerita lama untuk kemudian dibuat ulang dengan versi baru. Beberapa reboot menceritakan ulang sebuah kisah yang sudah dikenal luas, seperti kisah jagoan super atau dongeng. Reboot yang lain menggunakan cerita yang kurang dikenal dan mengisahkannya kembali dengan cara berbeda. Namun, setiap reboot adalah upaya untuk memulai kembali. Itulah awal yang baru, seperti kesempatan untuk meniupkan napas hidup yang baru ke dalam sesuatu yang lama.

Ada sebuah cerita lain yang melibatkan reboot, yakni kisah Injil. Di dalamnya, Tuhan Yesus mengundang kita untuk menerima tawaran pengampunan-Nya, juga hidup yang kekal dan berkelimpahan (Yoh. 10:10). Dalam Kitab Ratapan, Yeremia mengingatkan kita bahwa kasih Allah bagi kita menjadikan setiap hari seperti suatu reboot. “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu” (Rat. 3:22-23).

Kasih karunia Allah mengundang kita menyambut setiap hari sebagai kesempatan baru untuk mengalami kesetiaan-Nya. Entah kita masih bergumul karena dampak dari kesalahan kita, atau kita sedang mengalami kesulitan-kesulitan lain, Roh Allah sanggup meniupkan pengampunan, hidup baru, dan pengharapan ke dalam setiap hari baru. Hari baru adalah suatu reboot, kesempatan untuk mengikuti tuntunan Sang Sutradara Agung, yang merangkai kisah hidup kita ke dalam kisah-Nya yang lebih besar. —Adam R.Holz

WAWASAN
Nama penulis Kitab Ratapan memang tidak disebutkan, tetapi tradisi Yahudi menganggap Nabi Yeremia adalah penulisnya. Kitab yang tersusun atas lima ratapan atau nyanyian penguburan itu berisi catatan pandangan mata Yeremia yang sangat emosional tentang keruntuhan Yerusalem dan Bait Suci oleh orang-orang Babel pada tahun 586 SM (lihat 2 Raja-Raja 25; Yeremia 52). Namun, di tengah kehancuran dan keputusasaan, Yeremia juga mengungkapkan pengharapan yang besar (Ratapan 3:19-21). Allah, yang selayaknya menghakimi ketidaksetiaan umat terhadap perjanjian mereka dengan-Nya, tetaplah Allah yang kasih setia dan rahmat-Nya tidak berkesudahan (ay.22,32-33), Allah yang setia (ay.23), Allah sumber pengharapan (ay.24-25), dan Allah penolong mereka (ay.26). —K.T. Sim

Kasih Karunia yang Mengalami “Reboot”

Bagaimana cara pandang kamu terhadap pencobaan yang kamu alami berubah saat kamu mengingat dan merenungkan kasih setia Allah di tengah kesulitan yang ada? Bagaimana pengampunan dan kasih karunia Allah telah melakukan reboot dalam hidup kamu?

Ya Bapa, terima kasih atas kasih karunia dan pengampunan-Mu yang mengundangku untuk memulai kembali setiap hari dengan langkah yang baru.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 19-21; Lukas 2:25-52

Mengenali Suara Allah

Jumat, 24 Maret 2023

Baca: Kisah Para Rasul 20:22-32

20:22 Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ

20:23 selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku.

20:24 Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.

20:25 Dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi, kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Allah.

20:26 Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa.

20:27 Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu.

20:28 Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.

20:29 Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu.

20:30 Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka.

20:31 Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata.

20:32 Dan sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya.

Aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya. —Kisah Para Rasul 20:32

Setelah bertahun-tahun meneliti, para ilmuwan meyakini bahwa kawanan serigala mengeluarkan suara yang berbeda-beda untuk membantu mereka saling berkomunikasi. Dengan menggunakan kode analisis suara yang spesifik, seorang ilmuwan menemukan bahwa volume dan nada yang berbeda-beda dalam lolongan serigala memampukannya untuk mengenali kawanan serigala tertentu dengan ketepatan 100 persen.

Alkitab mengisahkan banyak peristiwa ketika Allah mengenali suara umat yang dikasihi-Nya. Dia memanggil nama Musa, dan berbicara dengannya (Kel. 3:4-6). Pemazmur Daud menyatakan, “Dengan nyaring aku berseru kepada Tuhan, dan Ia menjawab aku dari gunung-Nya yang kudus” (Mzm. 3:5). Rasul Paulus juga menekankan pentingnya umat Allah mengenali suara-Nya.

Ketika berpamitan dengan para penatua jemaat Efesus, Paulus menyatakan bahwa Roh telah menjadikannya “tawanan” dan mendesaknya untuk pergi ke Yerusalem. Ia menegaskan komitmennya untuk mengikuti suara Allah, sekalipun ia tidak tahu apa yang menantinya di tempat tujuannya (Kis. 20:22). Sang Rasul memperingatkan bahwa dari antara mereka sendiri akan muncul “serigala-serigala yang ganas” dengan membawa ajaran palsu (ay.29-30). Karena itu, ia mendorong para penatua tersebut untuk berjaga-jaga dan tekun dalam usaha mereka memahami kebenaran Allah (ay.31).

Semua orang percaya memiliki hak istimewa untuk mengetahui bahwa Allah mendengar dan menjawab doa-doa kita. Kita juga memiliki kuasa Roh Kudus yang memampukan kita untuk mengenali suara Allah, yang selalu selaras dengan isi Kitab Suci. —Xochitl Dixon

WAWASAN
Lukas, penulis Kitab Kisah Para Rasul, menggambarkan tekad Paulus untuk mengikuti tuntunan Roh Kudus dan pergi ke Yerusalem dengan cara yang tampaknya sejalan dengan tekad Yesus sendiri untuk pergi ke kota itu. “Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (Lukas 9:51), meski tahu betul apa yang menanti-Nya di sana. Paulus berkata, “Sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ” (Kisah Para Rasul 20:22), meski sang rasul telah diperingatkan bahwa perjalanannya akan berakhir dengan penderitaan (ay.23). Paulus memiliki maksud tunggal, yaitu untuk memberitakan Injil dengan kerendahan hati dan kasih, sesuai teladan Kristus (ay.19,23-24; lihat juga Filipi 2:3-5). —Monica La Rose

Mengenali Suara Allah

Saat kamu mempelajari Kitab Suci, ajaran palsu apa yang telah dimampukan Allah untuk kamu tolak dan jauhi? Kapan Dia pernah memakai Alkitab untuk menguatkan kamu?

Ya Allah, saat suara-suara dalam dunia ini berusaha menarikku untuk menjauh dari-Mu, tolonglah aku mengenali dan mematuhi suara-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 16-18; Lukas 2:1-24

3 Tokoh Alkitab yang Berbuat Kesalahan, tetapi Dipulihkan

Seperti 3 tokoh Alkitab di atas yang pernah membuat kesalahan, kita pun pasti juga pernah membuat kesalahan.

Namun, terlepas dari kesalahan yang pernah kita lakukan, Tuhan tetap mengasihi kita. Dia senantiasa menyatakan kesetiaan-Nya ketika kita mengakui kesalahan kita dan kembali kepada-Nya. Dia juga senantiasa memulihkan kita menjadi baru.

Sobat Muda, apapun kesalahan yang telah kita perbuat, yuk mengakuinya di hadapan Tuhan. Percayalah, Dia terus mengasihimu dan Dia mampu membaharui kehidupanmu.

Artspace ini dibuat oleh @ya_mi_org dan @ymi_today

Mengapa Melakukan Ini?

Kamis, 23 Maret 2023

Baca: Mazmur 19:8-12

19:8 (19-9) Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya.

19:9 (19-10) Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya,

19:10 (19-11) lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.

19:11 (19-12) Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.

19:12 (19-13) Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadari.

Taurat Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa. —Mazmur 19:8

Ketika saya membantu Logan, cucu saya yang duduk di kelas enam, mengerjakan PR aljabar yang cukup rumit, ia bercerita tentang cita-citanya untuk menjadi insinyur. Lalu, saat kami kembali mengerjakan x dan y dalam soal-soal sekolahnya, Logan berkata, “Memangnya kapan aku perlu memakai semua pelajaran ini, Kek?”

Saya tak dapat menahan senyum, dan berkata, “Logan, justru ini semua pelajaran yang kamu butuhkan nanti jika kamu jadi insinyur!” Ia belum mampu melihat hubungan antara aljabar dan cita-citanya.

Kadang-kadang kita memandang Kitab Suci seperti itu. Mungkin kita mendengar suatu khotbah dan membaca salah satu bagian Alkitab, lalu berpikir, “Kapan aku perlu memakai bagian ini?” Pemazmur Daud mempunyai beberapa jawaban. Ia berkata bahwa kebenaran-kebenaran Allah yang ditemukan dalam Kitab Suci berguna untuk “menyegarkan jiwa”, “memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman”, dan “menyukakan hati” (Mzm. 19:8-9). Hikmat Kitab Suci, yang ditemukan dalam Taurat (lima kitab pertama Alkitab yang disebutkan dalam Mazmur 19) dan juga dalam seluruh bagian dari Alkitab, akan menolong kita sambil kita mengandalkan tuntunan Roh Kudus hari lepas hari (Ams. 2:6).

Namun, tanpa Kitab Suci, kita akan kehilangan hal penting yang disediakan Allah agar kita semakin mengalami Dia serta mengenal kasih dan kehendak-Nya. Mengapa kita mempelajari Alkitab? Sebab “perintah Tuhan itu murni, membuat mata bercahaya” (Mzm. 19:9). —Dave Branon

WAWASAN
Meski peristiwa khusus di balik penulisan Mazmur 19 tidak disebutkan, ada yang berpendapat bahwa sebagai gembala muda yang sedang menjaga kawanan domba, Daud dibuat terkagum oleh luas dan indahnya langit. Sang pemazmur begitu terinspirasi, sehingga ia tergerak untuk menyatakan kekagumannya atas indahnya ciptaan: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (ay.2). Ia mengajak kita melihat Allah Pencipta yang layak dimuliakan dan disembah. Daud merenungkan bagaimana Allah telah mengungkapkan diri-Nya kepada umat manusia sehingga kita dapat mengenal-Nya. Pertama-tama, Dia mengungkapkan diri-Nya melalui karya ciptaan-Nya (ay.2-7). Dia juga mengungkapkan diri-Nya melalui Kitab Suci (ay.8-15). Tentang pengungkapan diri yang dilakukan Allah sendiri, Warren Wiersbe, seorang pengajar Alkitab, menulis: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan Kitab Suci memberitakan kasih karunia-Nya.” Dalam perikop ini, Kitab Suci menyegarkan jiwa, memberi hikmat dan sukacita, serta menerangi mereka yang mau mengikuti ajarannya, dan menuntun mereka kepada kesalehan. —K.T. Sim

Mengapa Melakukan Ini?

Bagaimana hikmat dalam Kitab Suci relevan bagi kamu saat ini? Bagaimana kamu dapat bertumbuh dalam pemahaman kamu tentang isi Alkitab?

Allah Mahakasih, jadikanlah firman-Mu terang bagi jalanku. Tolonglah aku menggunakan hikmat Kitab Suci untuk menuntun langkahku dan bertumbuh semakin mengasihi-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 13-15; Lukas 1:57-80

Pada Akhirnya, Adalah Kehilangan yang Menjadikan Kami Berubah

Oleh Serminya Karlen Patoding, Minahasa

Perpisahan dengan orang yang kita kasihi adalah satu hal yang sangat menyakitkan, apalagi ketika orang yang kita kasihi meninggal dunia. Itulah yang aku rasakan ketika aku kehilangan sosok ayahku.

Sekarang aku telah menjadi seorang mahasiswa semester akhir, dan aku kehilangan ayahku pada tahun 2014, waktu aku masih kelas 1 SMP. Kejadian sembilan tahun lalu itu mungkin dianggap sebagian orang sudah cukup lama, jadi kepedihan karena kehilangan perlahan sudah berkurang atau bahkan sudah tidak sakit hati lagi. Tetapi, yang aku rasakan tidaklah begitu. Pada waktu ayah baru meninggal mungkin aku tidak terlalu merasakan sakit hati, karena, yah namanya juga masih anak-anak yang pemikirannya belum terbuka.

Aku justru merasakan sakit hati paling dalam ketika aku sudah memasuki bangku kuliah. Aku merasa pemikiranku sudah mulai terbuka. Aku mengingat kembali apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Sebelum kehilangan ayah, keluarga kami hidup berkecukupan, apapun kebutuhan kami terpenuhi.

Tetapi, kehidupan keluarga kami berubah drastis setelahnya. Di situlah aku mulai berpikir kenapa Tuhan melakukan itu kepada keluarga kami? Kenapa Tuhan mengambil ayah kami? Padahal ibu tidak bekerja, kami 9 orang bersaudara dan anak pertama waktu itu masih SMA dan anak terakhir masih 3 tahun.

Bisa dibayangkan bagaimana ibu kami akan menghidupi kami 9 orang? Bagaimana dia akan membiayai sekolah kami? Dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan lain kami akan terpenuhi?

Nah, singkat cerita, tahun demi tahun berlalu .Tak terasa kami melalui itu semua dan mulai berdamai dengan keadaan. Ternyata, berkat Tuhan datang dari segala arah dan memberi kami kecukupan sampai saat ini. Meskipun banyak pergumulan yang kami hadapi dalam keluarga, tetapi di sisi lain ada satu hal yang lebih besar yang terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Sebelumnya kami bisa dikatakan cukup jauh dari Tuhan, bahkan ayah jarang menginjakan kaki di gereja dan saudaraku yang lain juga jarang ke gereja. Namun, setelah kehilangan ayah, ibu sudah sering ke gereja, saudara-saudaraku juga, dan kami semua perlahan mulai kenal dengan dunia pelayanan.

Ibu juga sudah sering mengajarkan kami untuk terus berdoa dan berpengharapan kepada Tuhan. Membaca Alkitab, menyanyi memuji Tuhan sebelum tidur, dan menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan firman Tuhan.

Waktu demi waktu berlalu dan sekarang ibuku sudah memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan di gereja. Kakak juga memberi diri untuk dipakai Tuhan dan sekarang mengambil studi Teologi, juga ada adikku yang terus belajar dan memberi diri dalam pelayanan di gereja. Aku juga bersyukur meskipun kuliahku bukan jurusan Teologi, tetapi dapat diperkenalkan dengan dunia pelayanan kampus.

Dari sisi tersebut aku belajar bahwa ternyata di balik kehilangan seorang yang kami sangat kasihi bukanlah semata-mata suatu musibah, tetapi ada satu hal yang begitu luar biasa terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Ada pengharapan yang besar bagi kami. Tuhan mengubahkan hidup kami dan memanggil kami menjadi pelayan-Nya di tempat yang sudah di tentukan-Nya. Melalui pertolongan Tuhan, kami yang pada awalnya merasa tidak terima akan apa yang terjadi pada keluarga kami justru mengimani bahwa penyertaan Tuhan senantiasa ada atas kami. Dia terus setia dan hadir dalam setiap langkah kehidupan kami.

Kehilangan membuat kita bergantung pada Tuhan dan menantikan karya Tuhan dalam kehidupan kita. Tapi di atas semua penderitaan, pergumulan, kesedihan dan kehilangan yang kita alami Tuhan berjanji bahwa Dia ambil kendali.

“Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Hal yang akan terjadi pada kehidupan kita di hari esok bagaikan teka-teki yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Karena itu, iman bahwa Tuhan menyertai kita memberi dorongan kepada untuk kita terus memberikan yang terbaik bagi orang lain, bagi diri kita sendiri dan terlebih bagi Tuhan.

Saat kehilangan kita boleh bersedih, kita boleh menangis, dan awalnya memang tidaklah mudah bagi kita untuk menerima. Namun dalam kesedihan dan keterpurukan kita marilah kita coba untuk memberi ruang kepada Tuhan untuk mengisi kekosongan hati kita.

Izin untuk Beristirahat

Rabu, 22 Maret 2023

Baca: Kejadian 1:31–2:3

1:31 Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.

2:1 Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala isinya.

2:2 Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu.

2:3 Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu.

Ketika Allah . . . telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. —Kejadian 2:2

Saya dan teman saya, Soozi, duduk-duduk di atas bebatuan besar, memandangi buih laut bergulung-gulung menerpa tepi pantai. Sambil memperhatikan ombak yang susul-menyusul menghantam bebatuan, Soozi berkata, “Aku suka laut. Laut terus bergerak supaya aku bisa berhenti sejenak!”

Bukankah menarik, bagaimana sebagian dari kita merasa perlu meminta “izin” dulu untuk berhenti sejenak dari pekerjaan kita dan beristirahat? Padahal, itulah yang ditawarkan Allah kepada kita dalam kebaikan-Nya! Selama enam hari Allah menciptakan bumi, menjadikan terang, daratan, tumbuhan, binatang, dan manusia. Lalu, pada hari ketujuh, Allah beristirahat (Kej. 1:31–2:2). Dalam Sepuluh Perintah-Nya, Allah menetapkan aturan-aturan dalam menjalani hidup sehat demi menghormati-Nya (Kel. 20:3-17), termasuk perintah untuk menguduskan hari Sabat dan menjadikannya sebagai hari peristirahatan (ay.8-11). Dalam Perjanjian Baru, kita melihat Yesus menyembuhkan semua orang sakit di suatu kota (Mrk. 1:29-34), lalu keesokan harinya, pagi-pagi benar, Dia pergi ke tempat sepi untuk berdoa (ay.35). Ini menunjukkan bahwa Allah kita bekerja dan juga beristirahat.

Irama pemeliharaan Allah lewat pekerjaan dan undangan-Nya untuk beristirahat dapat kita temukan di sekeliling kita. Masa menanam di musim semi menghasilkan pertumbuhan di musim panas, penuaian di musim gugur, dan peristirahatan di musim dingin. Pagi, siang, sore, dan malam dalam satu hari. Allah mengatur kehidupan kita untuk bekerja dan juga beristirahat—Dia mengizinkan kita untuk melakukan keduanya. —Elisa Morgan

WAWASAN
Semua kebudayaan kuno yang terkemuka memiliki legenda penciptaannya sendiri. Legenda-legenda itu sering kali menggambarkan penciptaan itu terjadi melalui semacam aktivitas seksual di antara para dewa atau lewat tindakan kekerasan. Kitab Kejadian sangat berbeda dengan kisah-kisah penciptaan itu; dengan hanya menyatakan bahwa Allah berfirman dan semua pun jadi (Kejadian 1:3,6,9,11,14,20,24) dan bahwa Dia membentuk Adam “dari debu tanah” (2:7; lihat 1:26). Ketika menyelesaikan pekerjaan penciptaan-Nya, Allah menetapkan perhentian Sabat-Nya (2:2-3). Perhentian tersebut kelak diberlakukan bagi umat pilihan Allah, yakni bangsa Israel yang baru terbentuk (Keluaran 20:8-11). Ketika Allah memberikan Dasa Titah kepada Musa, Dia mengingatkan umat-Nya, “Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (ay.11). —Tim Gustafson

Izin untuk Beristirahat

Bagaimana selama ini keseimbangan antara bekerja dan beristirahat dalam hidup kamu? Kapan dan bagaimana kamu dapat berhenti sejenak setiap hari untuk merenungkan teladan irama Allah yang bekerja dan juga beristirahat?

Allah terkasih, aku bersyukur karena Engkau telah menuntunku untuk mengikuti kehendak-Mu, dengan bekerja dan juga beristirahat, demi kemuliaan-Mu dan kebaikanku sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 10-12; Lukas 1:39-56

Pembaruan Rohani

Selasa, 21 Maret 2023

Baca: 2 Korintus 4:16-18

4:16 Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.

4:17 Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.

4:18 Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.

Meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. —2 Korintus 4:16

Selama ribuan tahun, pengobatan Tiongkok telah menggunakan bubuk mutiara untuk mengikis sel-sel mati dari permukaan kulit. Di Rumania, lumpur terapeutik yang meremajakan kulit telah menjadi eksfolian populer yang dipercaya dapat membuat kulit awet muda dan bersinar. Di seluruh dunia, orang-orang menggunakan praktik perawatan yang mereka yakini akan memperbarui kulit paling kusam sekalipun.

Namun, sarana yang kita kembangkan untuk menjaga tubuh jasmani kita hanya dapat memberikan kepuasan sementara. Yang lebih penting adalah kita tetap sehat dan kuat secara rohani. Sebagai orang percaya, kita telah menerima karunia berupa pembaruan rohani di dalam Yesus Kristus. Rasul Paulus menulis, “Meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari” (2Kor. 4:16). Beragam tantangan yang kita hadapi setiap hari dapat terasa semakin berat ketika kita terus mencengkeram hal-hal seperti rasa takut, sakit hati, dan kecemasan. Pembaruan rohani terjadi saat kita “tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan” (ay.18). Kita melakukannya dengan menyerahkan kekhawatiran kita sehari-hari kepada Allah dan berdoa agar buah Roh—yang termasuk kasih, sukacita, dan damai sejahtera—bertumbuh segar dalam hidup kita (Gal. 5:22-23).

Saat kita menyerahkan masalah kita kepada Allah dan membiarkan Roh-Nya bersinar melalui kita setiap hari, Dia akan memulihkan jiwa kita. —Kimya Loder

WAWASAN
Dalam 2 Korintus 4:16-18, Paulus menyatakan bahwa meski menderita di dunia, ia menemukan pengharapan karena pembaruan batinnya (ay.16), dan jaminan bahwa melalui pergumulan kita, Allah membawa kita kepada “kemuliaan kekal yang melebihi” (ay.17) segala penderitaan. Pemikiran dalam perikop ini digemakan dan dikembangkan dalam Roma 8. Di dalamnya Paulus menulis bahwa orang-orang percaya, sebagai ahli waris bersama Kristus, “menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (ay.17). Ia menutupnya dengan menyatakan bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (ay.18), suatu masa depan ketika seluruh ciptaan “akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan” (ay.21). Seperti pengingat di 2 Korintus 4:18 yang menegaskan bahwa pengharapan orang percaya didasarkan pada realitas abadi yang tidak kelihatan, Roma 8 mengingatkan kita bahwa “pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi” (ay.24). —Monica La Rose

Pembaruan Rohani

Bagaimana kamu dapat meminta Allah memperbarui jiwa kamu? Bagaimana Roh Kudus berkarya menguatkan kamu hari ini?

Tuhan Yesus, setiap hari aku menghadapi bermacam-macam halangan yang berusaha menghancurkan semangatku. Terkadang aku merasa kalah, tetapi aku tahu, di dalam Engkau, jiwaku dapat diperbarui.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 7-9; Lukas 1:21-38

Jatuh Hingga ke Titik Nadir, Perjalananku Melepas Keangkuhan

Oleh Prillia Setiarini

Dikenal, disanjung, dikagumi. Kurasa tak akan ada orang yang menolak diperlakukan demikian. Dipandang secara positif oleh orang lain tentulah membawa rasa bangga bagi diri kita sendiri juga keluarga.

Aku ingat betul, saat SMA dulu aku ikut banyak kegiatan di sekolah. Tak cuma aktif, prestasiku juga cukup membanggakan. Aku diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tapi, tanpa kusadari, rasa banggaku inilah yang membentuk fondasi hidupku. Kuletakkan identitasku pada pencapaian-pencapaianku dan aku menjadi semakin haus untuk mengejarnya.

Di awal masa-masa kuliahku, banyak orang bertanya. “Sekarang sudah kuliah ya? Di mana kuliahnya?” Kujawab dengan penuh percaya diri, “Di situ, di institut terbaik bangsa.” Reaksi decak kagum pun muncul. Tidak sedikit dari mereka yang menimpali dengan, “Wah! Kamu pasti pintar banget! Orang yang lulus ujian masuk ke sekolah itu kan persentasenya sangat kecil!” Ada juga yang menunjukkan raut muka yang begitu kagum, walaupun tidak melontarkannya dengan kalimat.

Sesudah itu ego yang aku miliki pun naik jadi begitu tinggi. Aku menganggap diriku termasuk orang yang sangat pintar, aku mahasiswa dari sekolah yang bergengsi, aku, aku, dan aku. Aku pun berubah menjadi orang yang sangat sombong. Aku menaruh ekspektasi yang sangat tinggi dalam hidupku, sampai aku tidak melibatkan Tuhan dalam rencana hidupku. Aku begitu perfeksionis dan hampir semua ekspektasiku, yang kurasa ada di luar jangkauan, rupanya dapat aku raih. Aku pun jatuh dalam dosa yang begitu Tuhan benci: kesombongan.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku terjatuh terlalu jauh. Seiring waktu, ego yang aku miliki mulai terkikis. Aku benar-benar merasa Tuhan membimbing dan mendewasakan aku melalui relasi dengan teman kuliah, teman gereja, teman persekutuan kampus (PMK), teman komunitas, keluarga, saudara, dan semua yang ada di sekitarku. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan teguran yang cukup keras melalui kesehatanku. Ekspektasi yang aku sebutkan sebelumnya membuat pikiran, jiwa, hati, dan mentalku menjadi ambisius. Pada tahun 2012 kesehatan mentalku terganggu yang salah satu penyebabnya adalah sikap perfeksionis dan ambisiku tersebut.

Kejadian yang paling mengubah pikiranku adalah saat aku berada di rumah pemulihan untuk orang-orang yang bermasalah karena mentalnya terganggu dan pecandu narkoba. Aku mendapat perlakuan yang begitu buruk di sana. Makanan yang diberikan tidak enak sama sekali, kasur yang disediakan sangat berbeda dengan kasur di kamarku, dan pasien-pasien di sana membuatku berpikir, “Apakah aku sebegitu rendahnya sehingga tempat yang membantuku pulih yaitu tempat yang seperti ini?”.

Rumah pemulihan tersebut menjadikan harga diriku begitu rendah. Aku merasa aku seperti orang buangan. Di rumah tersebut banyak orang yang sengaja dititipkan oleh keluarganya. Padahal keluarga dari orang tersebut memang tidak mau mengurusnya lagi. Hampir 40% dari pasien-pasien di sana tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Bahkan ada yang tidak tahu lagi bagaimana kabar keluarganya. Mungkin sedikit gambaran, di sana ada pasien wanita berumur paruh baya yang ditemukan di pinggir jalan. Pemilik rumah pemulihan tersebut berniat untuk membantu hidup dari seorang wanita ini. Ya, seperti itulah keadaan pasien-pasien di sana.

Kesombongan memang tidak pernah membawa kebaikan. Pada suatu masa di Perjanjian Lama, kerajaan Edom yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan menerima penghukuman karena kesombongannya. Dalam Obaja 1:3 tertulis bahwa kerajaan Edom terletak di pegunungan yang curam, sehingga musuh akan sulit menyerang. Edom pun adalah bangsa yang kaya. Mereka dilimpahi dengan tembaga dan posisi geografis yang strategis karena berada di pusat rute perdagangan. Namun, dari segala kebaikan yang memenuhi mereka, Edom dipenuhi keangkuhan. Mereka yakin tidak akan terkalahkan sehingga mereka pun menindas umat Allah (Obaja 1:10-14).

Seperti yang terjadi pada bangsa Edom yang yakin betul bahwa tak ada satu pun kuasa yang akan mengalahkan mereka hingga mereka bertindak semena-mena, kesombongan dapat menipudaya pikiran kita. Kita berpikir kita dapat hidup tanpa Allah, yang kemudian akan membuat kita merasa kebal dari otoritas, teguran, dan kelemahan.

Namun, terpujilah Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang berbalik datang pada-Nya. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri di hadapan-Nya (1 Petrus 5:6) dan Dia membimbing kita untuk percaya bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang harus kita andalkan.

Dengan tuntunan dan anugerah-Nya, harga diriku yang hancur itu perlahan-perlahan membaik. Perjalananku untuk pulih dimulai dengan membuka kembali Alkitabku. Dikatakan pada Mazmur 139:13 bahwa Tuhan yang menenun aku (dan kita semua) dalam kandungan ibuku. Dalam bayanganku, itu berarti Tuhan sudah memerhatikan aku dari sebelum aku lahir. Sebelum aku menjadi aku, Dia sudah merencanakan hidupku. Hal itu sangat-sangat menguatkan aku. Aku juga melihat orang tuaku dan sikap teman-teman terhadap aku. Ternyata mereka menghargai aku. Kombinasi itu semua membuatku sadar bahwa harga diriku sebenarnya tidak pernah rusak. Aku sedang dibentuk oleh Tuhan dan serangkaian kejadian tersebut menyadarkan betapa Tuhan benar-benar sayang aku dan aku dijadikan murid oleh-Nya.

Pengalamanku ini telah menyadarkanku bahwa identitas berupa pencapaian, harta benda, atau jabatan bukanlah fondasi yang kokoh. Dasar yang teguh hanya bisa dibangun di atas iman percaya pada Kristus. Walaupun aku masih bisa jatuh, tetapi aku percaya bahwa Allah Bapa melalui pertolongan Roh Kudus akan terus membimbing hidup aku dan kamu hari ini, seterusnya, sampai pada maranatha!

Sekarang, kalau aku mendapatkan pujian, aku akan berkata, “Makasih ya. Itu semua hanya anugerah dari Tuhan”. Karena jika Tuhan tidak memberikan perkenanan-Nya, aku memang tidak mungkin bisa melakukan dan melewati semua itu. Semua pencapaian yang pernah aku raih dan yang akan aku raih, aku mau menyerahkan semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Soli Deo gloria.

Meraih Kepuasan

Senin, 20 Maret 2023

Baca: Mazmur 131

131:1 Nyanyian ziarah Daud. TUHAN, aku tidak tinggi hati, dan tidak memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku.

131:2 Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku.

131:3 Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!

Seperti bayi yang habis menyusu, berbaring tenang di pangkuan ibunya, setenang itulah hatiku. —Mazmur 131:2 BIS

Dalam sebuah rubrik konsultasi, psikiater pengasuh rubrik tersebut menjawab pertanyaan pembaca bernama Brenda, yang mengeluh bahwa pengejaran ambisi telah membuatnya merasa tidak bahagia. Jawaban si psikiater sungguh menohok. “Manusia tidak diciptakan untuk berbahagia,” katanya, “melainkan hanya untuk bertahan hidup dan bereproduksi.” Ia menambahkan bahwa kita dikutuk untuk terus mengejar “kupu-kupu yang begitu menggoda dan sulit digapai” bernama kepuasan, “tetapi tidak selalu dapat meraihnya.”

Saya penasaran bagaimana perasaan Brenda saat membaca jawaban yang bernada nihilistik itu. Seandainya saja Brenda membaca Mazmur 131, betapa jauh berbedanya perasaan yang mungkin ia rasakan. Dalam mazmur itu, Daud mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita mendapatkan ketenangan dan kepuasan. Ia memulainya dengan sikap rendah hati, menyisihkan ambisinya sebagai raja, dan walaupun merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang besar dan sulit tentang kehidupan itu penting, ia mengesampingkan itu semua (ay.1). Kemudian Daud menenangkan hati di hadapan Allah (ay.2) lalu mempercayakan masa depan ke dalam tangan-Nya (ay.3). Hasilnya indah: “Seperti bayi yang habis menyusu, berbaring tenang di pangkuan ibunya,” katanya, “setenang itulah hatiku” (ay.2 bis).

Dalam dunia yang bobrok ini, kepuasan terkadang sulit digapai. Dalam Filipi 4:11-13, Rasul Paulus berkata bahwa perasaan puas dan cukup adalah sesuatu yang perlu dipelajari. Namun, jika kita meyakini bahwa kita diciptakan hanya untuk “bertahan hidup dan bereproduksi”, perasaan puas pasti menjadi bagaikan kupu-kupu yang tidak mungkin diraih. Daud menunjukkan jalan lain kepada kita: raihlah kepuasan dengan menenangkan diri di hadirat Allah. —Sheridan Voysey

WAWASAN
Mazmur 120–134 dikenal sebagai Nyanyian Ziarah, karena kelima belas mazmur dalam kumpulan itu dinyanyikan oleh umat Allah pada zaman kuno ketika berziarah ke Yerusalem untuk memperingati hari-hari raya tahunan. Mazmur 131 adalah salah satu nyanyian paling pendek dalam kumpulan tersebut. Charles Spurgeon, pengkhotbah abad ke-19, menyatakan bahwa mazmur itu “adalah salah satu mazmur terpendek untuk dibaca, tetapi juga yang terlama untuk dipelajari.” Yang membuat mazmur itu terlama untuk dipelajari adalah karena isinya menegur salah satu aspek perilaku manusia yang paling sulit, yaitu kesombongan kita. Dalam mazmur ini kita mendengar kesungguhan doa seseorang yang telah membuang kesombongan. Pemazmur juga mengungkapkan dan menganjurkan kepuasan dalam kerendahan hati bersama Allah dengan menggunakan gambaran ibu dan anak yang umum. Meski telah disapih, kepuasan sang anak didapatkan dalam kehadiran ibu yang penuh kasih, bukan hanya dalam makanan yang disediakannya. —Arthur Jackson

Meraih Kepuasan

Dalam momen apa kamu merasa paling puas? Bagaimana kamu dapat menyediakan waktu luang untuk menenangkan diri dalam hadirat Allah hari ini?

Allah terkasih, aku menenangkan diriku di dalam-Mu, sumber kepuasanku yang terdalam.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 4-6; Lukas 1:1-20