Terserah Pada-Mu, Tuhan

Oleh Meili Ainun, Jakarta

Kalau seseorang bertanya, “Mau makan apa hari ini?” apa jawabanmu? 

Mungkin kamu akan menjawab dengan spesifik, tapi mungkin pula kamu menjawab dengan tersenyum lalu bilang, “Ya, terserahlah…” Jawaban ‘terserah’ itu berarti kita membiarkan orang lain yang memikirkan dan memutuskan pilihan. Tapi, kadang pilihan yang dibuat malah tidak sesuai dengan yang kita inginkan, lalu kita pun mengomel. Kita lupa kalau sebelumnya kita sudah menjawab “terserah”.

Ketika merenungkan fenomena “terserah” yang sering terjadi dalam obrolan-obrolan kita, aku lantas berpikir tentang Tuhan. Bagaimana dengan Tuhan? Bukankah kita juga dengan mudahnya berkata “terserah” pada-Nya ketika kita minta Dia menyatakan kehendak-Nya buat kita? Bila mau jujur, kurasa sulit untuk menjawab Tuhan dengan kata “terserah” karena dalam diri kita sendiri masih ada keinginan agar kehendak kita sendiri yang terjadi. 

Alkitab memberi kita teladan tentang “terserah” dari Maria, ibu Yesus. Alkitab memang tidak mencatat Maria menjawab Tuhan dengan kata “terserah” secara langsung, tapi sikap Maria selanjutnya menunjukkan apa arti menyerahkan pilihan dan keputusan yang sebenarnya pada Tuhan.

Dalam Matius 1:18-25 dan Lukas 1:26-38, Maria dikisahkan sebagai seorang gadis yang tinggal di desa kecil bernama Nazaret di Galilea. Maria telah bertunangan dengan Yusuf. Baik Maria dan Yusuf, keduanya berasal dari garis keturunan keluarga Daud. Maria kemudian mendapatkan pesan dari malaikat Gabriel. 

Kedatangan Gabriel terjadi tiba-tiba. Setelah mengucapkan salam, Malaikat Gabriel menyampaikan pesan yang dibawanya kepada Maria yaitu dia akan mengandung, melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan dinamai Yesus. Maria terkejut, karena sekalipun dia telah bertunangan namun dia belum menikah, maka dia mengatakan “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas 1:34) Maka malaikat itu menjawab, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang MahaTinggi akan menaungi engkau, sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Lukas 1:35).

Yang menarik adalah respon Maria terhadap perkataan Malaikat Gabriel. Dia menjawab, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Maria menyebut dirinya sebagai hamba Tuhan, suatu kesadaran bahwa dirinya adalah hamba yang harus tunduk kepada otoritas (dalam hal ini terlebih lagi ada otoritas ilahi yaitu Allah). Dan ketika dia mengatakan “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu”, ada unsur iman dan ketaatan di dalamnya. 

Apakah iman Maria adalah iman yang buta? Apakah Maria tidak tahu risiko apa yang harus dihadapinya saat dia harus hamil di luar nikah? 

Maria dengan jelas tahu risiko apa yang harus dihadapinya bila dirinya ketahuan telah hamil sebelum menikah. Beberapa risiko yang dapat terjadi adalah Maria bisa dibuang atau diasingkan dari masyarakat, bahkan dapat dikeluarkan dari ikatan keluarga, kesalahpahaman masyarakat Yahudi yang mungkin mempertanyakan kesucian keluarganya, risiko putus tunangan dengan Yusuf, bahkan mungkin juga ancaman hukuman mati (kehamilan di luar nikah adalah pelanggaran berat bagi orang Yahudi, seperti tercatat pada Ulangan 22:23-24). 

Kita dapat melihat iman Maria bukan iman buta. Terlepas dari semua risiko yang mungkin dia hadapi, Maria tunduk pada kehendak Tuhan. Dia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Dia rela untuk mempercayakan perjalanan hidupnya kepada rencana Allah sekalipun rencana itu akan mengubah seluruh hidupnya.

Maria tidak hanya menunjukkan imannya, dia juga menampilkan ketaatan. Tidak ada bantahan, perdebatan, atau mencoba mengelak, Maria memilih untuk patuh pada kehendak Allah. Dia melakukan apa yang Allah minta dengan sepenuh hatinya.

Ketika kita memilih berserah di dalam melakukan kehendak Tuhan, hal itu tentu menyenangkan hati-Nya. Tuhan senang kepada orang-orang yang melakukan kehendak-Nya. Bukan hanya itu, saat kita memilih berserah, ketakutan dan kekhawatiran kita mungkin akan tetap ada, tetapi itu tidak lagi menguasai kita karena kita tahu kepada Siapa kita percaya, yakni pada Dia yang telah menyatakan kehendak-Nya. Hidup dapat menjadi jauh lebih damai dan tenang untuk dijalani. Dan tanpa kita sadari, sikap berserah yang kita jalankan dapat menjadi berkat bagi sesama kita. Hidup kita menjadi kesaksian bagi orang-orang di sekeliling kita. 

Meskipun berserah kepada kehendak Tuhan bukan hal yang mudah dilakukan, marilah kita berusaha untuk terus mencobanya. Mengatakan “Terserah pada-Mu, Tuhan” tidak lagi sekadar ucapan, tetapi dengan iman dan ketaatan.

3 Masalah Ketika Identitas Kita Ditentukan dari Pekerjaan yang Kita Lakukan

Oleh Andrew Laird
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Problems When We Tie Our Identity To Our Work

Pertanyaan apa yang biasanya kamu tanyakan ketika bertemu dengan seseorang pertama kali? Kutebak sih, biasanya setelah bertanya nama, satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah, “Kamu kerja apa?” 

Tapi, pernahkah kamu cermati bagaimana respons dari orang-orang? Biasanya, jawabannya bukan “Aku kerja sebagai pengacara,” tapi “Aku pengacara”. Kita hidup di dunia yang berpikir, “Aku adalah apa yang aku lakukan”, di mana identitas kita terikat pada apa yang kita kerjakan. 

Pemikiran ini mungkin rasanya cuma hal kecil, tapi setidaknya ada tiga masalah yang muncul dari pemikiran ini yang bisa berdampak hebat buat kita. 

Apa saja masalahnya? Dan yang lebih penting, apa solusinya?

  1. Itu membawa konsekuensi negatif dari individualisme

Titik awal dari pemikiran kalau “Aku adalah apa yang aku lakukan” adalah ciri khas dari budaya yang dibentuk oleh individualisme yang berkembang di Barat. 

Salah satu cara untuk mendefinisikan individualisme adalah dengan memikirkan diri sendiri, “diri sendiri adalah tujuannya.”[1]. Siapakah aku itu dimulai dan diakhiri olehku. Aku membentuk takdirku. Aku membentuk diriku. Generasi di atas kita mendefinisikan diri mereka dalam hubungan dengan komunitas mereka. Tapi, dalam konsep individualisme Barat, akulah yang membentuk identitasku sendiri. Nilai-nilai diriku ditentukan dari apa yang mampu aku raih dan selesaikan.

Apa artinya ini bagi pekerjaan kita? Itu menjadi identitas kita. Kalau pekerjaan kita bagus, tentu ini tidak jadi masalah. Tapi, ketika pekerjaan kita mengalami kemunduran, melekatkan nilai diri kita pada apa yang kita kerjakan menjadi beban yang menghancurkan diri kita. 

  1. Itu adalah cara hidup yang menghancurkan 

James Suzman dalam bukunya, Work: A History of How We Spend Our Time [2], menuliskan kisah pilu dari Prof. Vere Gordon Childe, seorang arkeolog yang mengakhiri hidupnya sendiri ketika dia menyimpulkan bahwa dia tidak memiliki “kontribusi lebih yang berguna” di pekerjaannya.

Tapi, bukan cuma Profesor Childe yang berpikir begitu. Ada kaitan yang tragis antara kekecewaan, kegagalan dalam kerja, pensiun, dan bunuh diri. Ketika pekerjaan menjadi nilai diri kita, itu akan menghancurkan kita ketika pekerjaan itu mengecewakan. 

Beban yang kita tempatkan pada diri sendiri ini dapat kita lihat dalam berbagai situasi. Aku ingat pernah menerima email dari seorang wanita yang sakit selama beberapa waktu. Isi emailnya terdapat kalimat, “Aku tidak berguna”, karena dia tidak bisa melakukan apa yang diminta, lantas dia menganggap dirinya tak berguna. 

Namun, jika seandainya yang terjadi sebaliknya—pekerjaan kita berjalan baik, yang ada malah membuat kita menjadi berbangga diri. Jika aku adalah tujuan dari hidupku sendiri, maka setiap sukses yang kuraih adalah suksesku sendiri. Kebanggaan yang berlebih akan membawa masalah sendiri. 

Timothy Keller merangkum dua bahaya yang bercabang dari meletakkan nilai diri kita pada pekerjaan: “Ketika pekerjaan adalah identitas kita, kesuksesan akan masuk ke kepalamu dan kegagalan akan masuk ke hatimu.” [3]. “Aku adalah apa yang kulakukan” adalah cara hidup yang menghancurkan.

  1. Meletakkan nilai diri kita pada komunitas, ini juga bukan solusi

Kita mungkin berpikir konsep individualisme ini begitu destruktif, jadi sepertinya melihat diri kita dengan cara pandang yang lebih komunal (kita meletakkan identitas kita pada keluarga atau komunitas yang jadi bagian kita) adalah solusinya. 

Dalam bukunya yang berjudul Selfie, Will Storr menelusuri akar individualisme Barat dan budaya komunal atau kebersamaan yang biasanya hadir dalam budaya Asia. Dia merangkum, “Diri orang-orang Asia itu meleleh [membaur] ke dalam diri orang-orang lain yang mengelilinginya.” Jadi, ketika bicara soal pekerjaan, tidaklah asing untuk mendefinisikan diri dalam kaitan dengan perusahaan atau tempat bekerja.” Contohnya, Will bertemu dengan seorang pria di Jepang yang mengenalkan dirinya bukan sebagai “David”, tapi “David yang kerja di Sony.” 

Identitas yang diletakkan pada korporat bukan pula jadi solusi. Angka bunuh diri di Asia Timur itu tinggi. Kenapa? Karena di budaya Asia, jika kamu gagal, maka kelompokmu juga gagal. Storr kembali menjelaskan, “Ketika satu individu mengakhiri hidupnya sendiri, kehormatan akan dikembalikan ke kelompoknya… seorang CEO yang bunuh diri terdengar masuk akal bagi orang-orang Jepang” [4]. 

Hanya Yesus jawabannya

Jadi, ketika individualisme Barat atau konsep komunalisme tidak bisa jadi solusi, ke mana kita harus berpaling? Hanya Injil yang membebaskan kita dari beban “aku adalah apa yang kulakukan”. Kebebasan itu tidak dimulai dari identitas kita, tapi dari identitas Yesus. 

Satu hal yang luar biasa, kebenaran mendasar dari iman Kristen adalah siapa yang “di dalam Kristus” mendapatkan identitas-Nya. Identitas Kristus adalah identitas kita. Kebenaran-Nya adalah kebenaran kita. Memahami identitas kita dimulai dengan memahami identitas Kristus. 

Seperti apakah identitas-Nya itu? Allah Bapa berkata ketika Kristus dibaptis, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17). Ketika Bapa melihat Anak, keputusan-Nya adalah kasih dan sukacita. Dan, itulah ketetapan yang Allah berikan untukmu, bagi setiap orang yang ada di dalam Kristus. Prestasi dan pencapaian kita bukanlah sumber identitas kita. Status dan identitas kita dianugerahkan dari Seseorang di luar kita [5]. 

Apakah kamu melihat perubahan revolusioner yang dibawa dari konsep ini kepada caramu memandang pekerjaan dan dirimu sendiri? Dengan percaya diri yang teguh dalam Kristus, pekerjaan kita tidak lagi menjadi sumber identitas, tapi menjadi ekspresi dari identitas kita. Menghidupi kepercayaan dari kasih dan anugerah Allah, alih-alih berupaya keras melakukan pembuktian kepada orang lain, kamu menjadikan pekerjaanmu sebagai ladang untuk menunjukkan identitasmu dalam Kristus. Inilah perubahan radikal yang dibawa oleh Injil dalam kehidupan dan pekerjaan kita. 

Apa salah satu cara praktis agar kita dapat mengubah cara pandang yang salah dan menerima identitas yang kita miliki dalam Kristus?

Kita bisa memulai dengan bertanya, “Bagaimana aku merespons ketika pekerjaanku dikritisi?” 

Tidak ada kritik yang menyenangkan, tapi dari kritik ini kita bisa melihat bagaimana cara pandang kita. Jika kritik itu membuat kita merasa gagal dan kalah, atau kritik itu membangkitkan amarah dan kita mencari cara untuk membela diri, bisa jadi itu petunjuk kalau kita mengaitkan identitas kita pada apa yang kita kerjakan (kadang kritik itu tidak cuma mengkritik pekerjaannya, tapi orangnya juga). Mengetahui bagaimana kita merespons dapat menolong kita untuk berhenti dan memikirkan ulang di mana kita meletakkan identtias kita. Jika kita meletakkannya pada tempat yang salah, perbaikilah itu dengan meletakkannya pada Kristus. 

 

Catatan kaki:

[1] LucFerry, A Brief History of Thoughts, 122

[2] James Suzman, A Work History on How We Spend Our Time, 177

[3] twitter.com/timkellernyc/status/510539614818680832

[4] Will Store, How the West Become Self-Obsessed, 81

[5] Dikutip dari course bertema “I Am What I Do? A Theology of Work and Personal Identity”.

Yang Terpenting dalam Sebuah Perjalanan: Jangan Menunda

Oleh Astrid Winda Sondakh, Minahasa

Suatu ketika aku melakukan perjalanan menaiki motor ke kampusku yang ada di ibukota provinsi. Jarak dari desa tempat tinggalku ke kota itu cukup jauh. Jika aku berkendara dengan kecepatan sekitar 40 kilometer per jam, kira-kira butuh waktu dua jam untuk aku tiba di kampus. 

Di tengah perjalanan, hujan turun. Lama-lama makin deras. Seharusnya aku berteduh dulu, namun karena aku dikejar waktu, aku tidak ingin terlambat bertemu dosenku. Kupakai jas hujan supaya tidak basah kuyup. Jalanan licin, pandangan yang terganggu air hujan, dingin, juga rasa takut karena jalan yang kulewati berkelok-kelok bahkan sering terjadi tanah longsor atau pohon tumbang harus kulewati. Puji Tuhan, akhirnya aku tiba dengan selamat di kampusku dan bisa bertemu dosenku walaupun harus molor sekitar 20 menit. 

Keesokan harinya hujan deras turun lagi, merata hampir di semua tempat di provinsi tempat tinggalku. Ada kabar pula terjadi bencana alam pada lokasi yang kemarin menjadi rute perjalananku kemarin. Mendengar kabar itu, sontak aku berkata dalam hati, “Wah syukurlah aku tidak jadi menunda pergi ke kampus kemarin. Jika saja aku menundanya hari ini pasti aku tidak bisa pergi karena hujannya deras dan seharian pula.” 

Sehari-hari itu aku pun merenung. Cerita perjalananku dari rumah ke kampus menembus hujan badai mungkin sedikit banyak serupa dengan perjalanan kehidupan kita. Kita sudah berencana sedemikian rupa dan berharap semuanya lancar, tapi berbagai tantangan hidup seperti masalah perkuliahan, keluarga, percintaan, dan pergaulan mungkin tiba-tiba menghadang, seperti hujan deras dan tanah longsor yang terjadi tanpa diprediksi. Tetapi, satu yang kuingat adalah Tuhan berjanji bahwa kita pasti dimampukan-Nya melewati semua tantangan itu jika kita berani berjalan dalam iman. Walaupun mungkin waktu kita tiba akan sedikit berbeda dengan estimasi waktu kita di awal. 

Dua puluh menit keterlambatan yang kualami sejatinya tidaklah masalah. Memang awalnya aku mengeluh, tetapi kemudian aku sadar bahwa berhenti atau menyerah seharusnya tak pernah jadi opsi. Jika kita terus berjalan, maka kita pasti akan sampai. Bahkan ketika hujan terasa sudah sangat deras mengguyur kita, tidak masalah juga untuk sedikit menepi, tapi tetap harus jalan lagi ke tujuan. Bahkan juga terkadang ada momen tertentu sampai harus putar balik dan mencari jalan lain untuk sampai tujuan, itu pun juga tidaklah masalah. 

Waktu tiba di tujuan yang lambat tidak menghilangkan kenyataan bahwa kita telah sampai pada tujuan. “Bencana alam” yang terjadi mungkin memberikan kesempatan jeda bagi kita. Asalkan kita tidak menunda untuk melakukan apa yang memang harus dilakukan, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika kita menundanya. Mungkin badai yang lebih besar bisa saja datang. Seperti cerita perjalananku di atas. 

Seberat apa pun masalah yang sedang dihadapi, pasti akan terlewati. Yang terpenting terus berjalan dan tidak menunda-nunda. Seperti juga ketika tugas kuliahku waktu itu menumpuk karena datangnya bersamaan dengan waktu pengumpulan yang cukup singkat. Saat itu aku benar-benar ingin menyerah, aku banyak mengeluh tapi tetap aku kerjakan sampai akhirnya tanpa kusadari ternyata semua sudah selesai. Juga dengan cerita perjalananku untuk bertemu dosen di kampus itu. 

Satu hal yang pasti yang selalu kuingat bahwa Tuhan selalu pegang kendali dalam hidup kita, bahkan Tuhan tak pernah memberi ular ketika kita minta roti. Saat aku meminta roti dari Bapa, Dia mungkin tidak seketika memberiku roti itu. Bisa jadi Bapa mengirimkan bahan-bahannya terlebih dulu, lalu bersama-sama dengan-Nya bahan-bahan itu diolah hingga menjadi roti yang bermanfaat buatku. Sekalipun untuk mendapatkan roti itu tak selalu lancar, tapi tetaplah pada akhirnya aku mendapatkan roti seperti yang kuminta, bukan batu atau pun ular. 

Teman- teman, tujuan kita mungkin berbeda, masalah kita pasti tak sama. Tapi teruslah berjalan. Jika harus berhenti sejenak untuk tarik nafas, bahkan jika harus putar arah dan mencari jalan lain, tidaklah masalah, asalkan jalan lagi dan tidak menunda. Karena jika kita menunda, kita tidak tahu berkat apa, bahkan mungkin rintangan lain apa yang sedang menunggu kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Perlindungan Kita yang Aman

Jumat, 9 Juni 2023

Baca: Mazmur 121

121:1 Nyanyian ziarah. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?

121:2 Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

121:3 Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.

121:4 Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.

121:5 Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.

121:6 Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.

121:7 TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.

121:8 TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.

Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu. —Mazmur 121:5

Seorang pensiunan guru, Debbie Stephens Browder, berusaha meyakinkan sebanyak mungkin orang untuk menanam pohon. Alasannya? Cuaca panas. Panas ekstrem di Amerika Serikat adalah penyebab kematian nomor satu yang terkait dengan cuaca. Untuk menanggapi hal itu, Debbie berkata, “Saya akan mulai dengan menanam pohon.” Naungan yang diperoleh dari rindangnya pepohonan adalah salah satu cara terbaik untuk melindungi masyarakat. “Ini urusan nyawa, bukan sekadar untuk mempercantik lingkungan.”

Kenyataan bahwa naungan bukan hanya menyegarkan tetapi juga dapat menyelamatkan nyawa sudah diketahui oleh pemazmur yang menulis Mazmur 121. Di Timur Tengah, selalu ada risiko terkena sengatan panas. Realitas tersebut memperkuat deskripsi mazmur tersebut mengenai Allah sebagai tempat perlindungan kita yang paling aman, yang dalam pemeliharaan-Nya “matahari tidak menyakiti [kita] pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam” (ay.6).

Ayat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa orang percaya kebal terhadap rasa sakit atau kehilangan dalam hidup ini (atau bahwa cuaca panas itu tidak berbahaya!). Lagi pula, Kristus memberi tahu kita, bahwa “Di dunia kalian akan menderita” (Yoh. 16:33 bis). Namun, metafora Allah sebagai tempat kita untuk bernaung sangat jelas meyakinkan kita bahwa, apa pun yang kita hadapi, hidup kita dijaga dalam pemeliharaan-Nya (Mzm. 121:7-8). Di dalam Dia, kita dapat menemukan ketenangan dengan mempercayai-Nya, karena kita tahu, tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya (Yoh. 10:28; Rm. 8:39). —Monica La Rose

WAWASAN
Mazmur 121 adalah salah satu “Nyanyian Ziarah” (Mazmur 120–134) yang dikhususkan sebagai “buku pujian mini” dalam keseluruhan mazmur. Kidung-kidung tersebut dinyanyikan oleh para peziarah Yahudi ketika tiga kali setahun mereka berziarah ke Yerusalem untuk merayakan tiga perayaan penting (Paskah dan Hari Raya Tujuh Minggu pada musim semi; Hari Raya Pondok Daun pada musim gugur). Mazmur ini khususnya berbicara langsung tentang ziarah itu, membahas tempat-tempat yang salah (ay.1) dan benar (ay.2) untuk mencari pertolongan dalam perjalanan mereka, dan menjanjikan tempat-tempat perlindungan khusus yang dapat mereka harapkan dari Allah di sepanjang perjalanan mereka (ay.3-8). Mazmur 121 dipenuhi keyakinan akan perlindungan dan pemeliharaan Allah. Mazmur tersebut sangat tepat sebagai nyanyian pengantar untuk ibadah yang akan mereka lakukan begitu tiba di Yerusalem. —Bill Crowder

Perlindungan Kita yang Aman

Bagaimana kamu pernah mengalami naungan pemeliharaan Allah yang menyelamatkan kamu? Bagaimana kamu dikuatkan dengan mengingat bahwa kamu selalu dijaga dalam pemeliharaan-Nya?

Allah Mahakasih, terima kasih, karena Engkau selalu menjadi tempat bernaung yang aman bagiku. Tolonglah aku menemukan ketenangan dan keberanian dengan semakin mempercayai-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 32-33; Yohanes 18:19-40

Podcast KaMu Episode 18: Investasi yang Sering Terabaikan: MERAWAT TUBUH

Gak cuma uang yang kudu diinvestasikan, tapi tubuh juga. Apa yang kita makan, lakukan, dan pikirkan berpengaruh besar lho terhadap tubuh kita di masa depan. Mungkin hal ini terdengar remeh, tapi nyatanya merawat tubuh itu sangat sangat perlu dilakukan sedari sekarang (selagi masih sehat). Apalagi buat kita yang suka begadang, ngemil mecin tiap hari, sama mageran.

Nah, buat kita semua yang santuy-santuy aja atau apatis sama kondisi tubuh kita sendiri, yuk tonton dan dengarkan podcast ini bersama dr. Lidya Tantoso, Sp.Pd, FINASIM.

Dikuatkan melalui Ujian

Kamis, 8 Juni 2023

Baca: Roma 5:1-5

5:1 Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.

5:2 Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.

5:3 Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,

5:4 dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

5:5 Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

Kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. —Roma 5:3-4

Kenangan itu muncul lagi saat saya melihat-lihat sejumlah amplop dan menemukan sebuah stiker yang bertuliskan “Saya sudah menjalani tes mata.” Saya membayangkan anak lelaki saya yang berusia empat tahun dengan bangga mengenakan stiker itu setelah dokter memberinya obat tetes mata yang perih. Karena otot mata yang lemah, ia harus mengenakan penutup pada matanya yang sehat selama berjam-jam setiap hari, supaya matanya yang lemah dipaksa untuk berkembang. Ia juga harus menjalani operasi. Satu per satu tantangan itu berhasil dilaluinya, bersama kami, orangtuanya, yang menghiburnya dan dengan iman yang bergantung penuh pada Allah. Kami melihat bagaimana tantangan-tantangan itu membuatnya semakin tahan banting.

Orang-orang sering diubahkan oleh pencobaan dan penderitaan yang dialaminya. Namun, Rasul Paulus melangkah lebih jauh dengan meminta kita agar “bermegah juga dalam kesengsaraan kita” karena melaluinya kita akan memperoleh ketekunan. Ketekunan akan menimbulkan tahan uji; dan tahan uji kemudian menghasilkan pengharapan (Rm. 5:3-4). Paulus tentu sangat mengenal apa itu pencobaan—ia bukan hanya pernah mengalami kapal karam tetapi juga dipenjara karena imannya. Meski demikian, ia menulis kepada jemaat di Roma bahwa “pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (ay.5). Sang rasul menyadari bahwa Roh Allah membuat pengharapan kita di dalam Yesus tetap hidup ketika kita percaya kepada-Nya.

Apa pun kesulitan yang kamu hadapi, ketahuilah bahwa Allah akan mencurahkan rahmat dan belas kasihan-Nya kepada kamu. Dia mengasihi kamu. —Amy Boucher Pye

WAWASAN
Perjanjian Baru mengungkapkan banyak hal mengenai Roh Kudus. Ketika kita bertobat dan menerima Yesus sebagai Juruselamat, Allah mengaruniakan Roh Kudus kepada kita. Melalui Dia, Allah mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati kita (Kisah Para Rasul 2:38; Roma 5:5). Dengan begitu, tubuh kita menjadi bait Roh Kudus dan Dia tinggal di dalam kita (1 Korintus 6:19). Roh Kudus memberi kita kasih, sukacita, dan damai sejahtera (Galatia 5:22), penghiburan (Kisah Para Rasul 9:31), dan pengharapan (Roma 15:13). Roh Kudus juga mengajar dan membimbing kita. Yesus berfirman kepada para murid-Nya, “Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku . . . akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26; lihat 15:26). Roh Kudus memampukan kita untuk berbicara dengan berani mengenai Kristus seperti Petrus (Kisah Para Rasul 4:8). Dia juga memperingatkan kita (20:23) dan memberi kita karunia-karunia roh (Ibrani 2:4). Roh Kebenaran, Penolong kita, menyertai kita selamanya (Yohanes 14:16-17). —Alyson Kieda

Dikuatkan melalui Ujian

Bagaimana pencobaan dan tantangan menolong kamu untuk lebih mempercayai Allah? Bagaimana kamu dapat berserah kepada pemeliharaan Allah dalam apa yang kamu hadapi saat ini?

Allah Mahakasih, Engkau berjanji takkan pernah meninggalkanku. Tolonglah aku untuk setia berpegang pada janji-janji-Mu, bahkan di tengah kesulitanku.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 30-31; Yohanes 18:1-18

Memperingatkan dengan Kasih

Rabu, 7 Juni 2023

Baca: Matius 18:15-20

18:15 “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.

18:16 Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan.

18:17 Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.

18:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.

18:19 Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga.

18:20 Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Kalau saudaramu berdosa terhadapmu, pergilah kepadanya dan tunjukkanlah kesalahannya. Lakukanlah itu dengan diam-diam antara kalian berdua saja. —Matius 18:15 bis

Pada tahun 2010, tsunami menghantam Pulau Sumatra, Indonesia, dan menewaskan lebih dari empat ratus orang. Kematian tersebut sebenarnya dapat dicegah atau diminimalkan seandainya sistem peringatan tsunami yang terpasang bekerja dengan baik. Sayangnya, jaringan pendeteksi tsunami (yang berbentuk pelampung) telah lepas dan hanyut.

Tuhan Yesus berkata bahwa murid-murid-Nya bertanggung jawab untuk memperingatkan saudara-saudari seiman mereka tentang hal-hal yang bisa membahayakan kerohanian mereka—salah satunya adalah dosa yang belum disesali. Yesus menguraikan proses bagaimana seorang percaya yang telah dilukai dapat dengan rendah hati, diam-diam, dan bersungguh-sungguh memberitahukan dosa yang diperbuat saudara seiman lain terhadapnya (Mat. 18:15). Jika orang itu bertobat, konflik pun selesai dan relasi mereka dipulihkan. Namun, jika saudara seiman itu menolak untuk bertobat, maka “satu atau dua orang lagi” boleh membantu menyelesaikan konflik yang ada (ay.16 bis). Jika orang tersebut masih tidak mau bertobat, masalah itu perlu dibawa ke hadapan “jemaat” (ay.17). Jika setelah itu pelaku tidak juga bertobat, ia harus dikeluarkan dari persekutuan jemaat, tetapi masih dapat terus didoakan dan diperlakukan dengan kasih Kristus.

Sebagai orang percaya, marilah berdoa memohon hikmat dan keberanian yang kita butuhkan untuk peduli, sehingga kita dapat memperingatkan satu sama lain dengan penuh kasih tentang bahaya dosa yang belum disesali serta sukacita pemulihan dengan Bapa surgawi dan orang percaya lainnya. Ketika kita melakukannya, Yesus akan hadir “di tengah-tengah [kita]” (ay.20). —Marvin Williams

WAWASAN
Matius 18:15-20 mengandung tiga gagasan yang terkadang diperlakukan seolah berdiri sendiri-sendiri tanpa hubungan satu dengan yang lainnya. Namun, konteks dari ayat 15-17 menentukan penafsiran dari ayat 18-20.

Ayat 15-17 membahas proses pengampunan dan pemulihan dari orang percaya yang berdosa. Ayat-ayat tersebut menguraikan tanggung jawab bersama yang dimiliki umat Tuhan untuk menegur dosa yang dijumpai, dan untuk memulihkan ketika dosa itu diakui. Dalam konteks ini, pernyataan mengenai apa yang diikat di dunia dan surga (menunjukkan bahwa pengampunan dan pemulihan yang ditawarkan gereja diberikan di bawah otoritas Allah) dan menerima apa yang telah disepakati oleh kedua pihak (perlindungan dari potensi penyalahgunaan kekuasaan di bawah satu pihak) berhubungan langsung dengan pengampunan dan pemulihan seorang pengikut Yesus. —J.R Hudberg

Memperingatkan dengan Kasih
 

Bagaimana cara kamu dengan rendah hati dan penuh kasih memperingatkan seseorang tentang dosa dalam hidupnya? Apa saja bahaya dari dosa yang belum disesali?

Ya Allah, tolonglah aku mengasihi sesama sedemikian rupa agar aku dapat memperingatkan mereka dengan penuh kasih saat melihat mereka jatuh ke dalam dosa.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 28-29; Yohanes 17

Berhala dalam Hati

Selasa, 6 Juni 2023

Baca: Keluaran 20:1-6

20:1 Lalu Allah mengucapkan segala firman ini:

20:2 “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.

20:3 Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.

20:4 Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

20:5 Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku,

20:6 tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.

Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun. —Keluaran 20:4

Berikut adalah tips liburan: jika kamu bepergian melewati kota Middleton, Wisconsin, ada baiknya kamu mampir mengunjungi Museum Moster Nasional. Bagi mereka yang menganggap satu jenis moster saja sudah cukup, tempat ini sangat mencengangkan, karena di dalamnya ditampilkan 6.090 jenis moster yang berbeda-beda dari seluruh dunia. Lain lagi di kota McLean, Texas. Di sana kamu mungkin terperanjat menemukan Museum Kawat Berduri—atau mungkin lebih terkejut karena ada orang-orang yang begitu menyukai pagar kawat.

Luar biasa sekali hal-hal apa saja yang kita anggap penting dan berharga. Seorang penulis bahkan berkata bahwa menikmati senja di Museum Pisang bukanlah pilihan yang buruk (meski bukan selera semua orang).

Kita mungkin menganggap semua museum tadi lucu, tetapi perlu disadari bahwa kita pun membangun “museum-museum” kita sendiri. Semua itu ada dalam hati kita, tempat kita membanggakan dan mendewakan berhala buatan kita sendiri. Allah telah memerintahkan, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3) dan “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” (ay.5). Namun, kita tetap melakukannya, dengan membuat ilah-ilah kita sendiri, barangkali dalam wujud kekayaan, nafsu, atau kesuksesan—atau suatu hal “berharga” lain yang diam-diam kita puja.

Mudah untuk membaca bagian Alkitab tersebut tetapi gagal menangkap maksudnya. Memang, Allah meminta pertanggungjawaban atas “museum” dosa yang kita ciptakan. Namun, Dia juga berbicara tentang “menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi [Dia]” (ay.6). Dia tahu betapa sepelenya “museum” kita, dan bagaimana kepuasan kita yang sejati hanya ditemukan dalam kasih kita kepada-Nya. —Kenneth Petersen

WAWASAN
Meski susunan katanya tidak sama, Perjanjian Baru mengulangi pengajaran perintah pertama dan kedua, yaitu hanya Allah yang patut disembah (Keluaran 20:3-6). Ketika Yesus ditanya, hukum apa yang terutama, Dia menjawab, "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:29-30). Pengajaran Paulus serupa dengan itu: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Kemurahan dari Allah adalah dasar persembahan kita kepada Allah. Pengajaran Yohanes ringkas tetapi jelas: “jauhkanlah dirimu dari berhala-berhala” (1 Yohanes 5:21 BIS). —Arthur Jackson

Berhala dalam Hati

Adakah dosa-dosa yang masih kamu rahasiakan? Bagaimana kamu akan menyerahkannya kepada Allah?

Ya Allah, aku rindu Engkau menjadi pusat hidupku. Tolonglah aku terbebas dari berhala-berhalaku selama ini.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 25-27; Yohanes 16

Musim demi Musim

Senin, 5 Juni 2023

Baca: Pengkhotbah 3:1-14

3:1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

3:2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;

3:3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;

3:4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;

3:5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;

3:6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;

3:7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;

3:8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

3:9 Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?

3:10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.

3:11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

3:12 Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.

3:13 Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.

3:14 Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. —Pengkhotbah 3:1

Baru-baru ini saya menemukan sebuah kata yang berguna: wintering. Seperti halnya musim dingin (winter) adalah waktunya kehidupan melambat bagi banyak makhluk hidup, kata itu dipakai oleh penulis Katherine May untuk menggambarkan kebutuhan kita beristirahat dan memulihkan diri selama “musim dingin” dalam hidup kita. Saya diberkati oleh analogi tersebut setelah ayah saya berpulang karena kanker, suatu peristiwa yang menguras energi saya selama berbulan-bulan. Ketika merasa kesal karena dipaksa “melambat”, saya pun bergumul melawan musim dingin dalam hidup saya, dan berdoa agar musim panas segera kembali. Namun, ternyata masa-masa itu membuat saya belajar banyak.

Kitab Pengkhotbah berkata, “untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”—ada waktu untuk menanam dan menuai, untuk menangis dan tertawa, untuk meratap dan menari (3:1-4). Walau sudah bertahun-tahun saya membaca kata-kata itu, saya baru memahaminya pada musim dingin kehidupan saya. Meski kita tidak selalu dapat mengendalikannya, setiap musim itu hanyalah bersifat sementara dan akan berlalu setelah masanya usai. Meski kita tidak dapat selalu menyelaminya, Allah sedang melakukan sesuatu yang berarti di dalam diri kita melalui masa-masa tersebut (ay.11). Rasa duka saya memang belum berakhir. Namun, ketika nanti musim itu berakhir, sukacita akan kembali saya rasakan. Seperti halnya tanaman dan hewan tidak melawan hadirnya musim dingin, saya perlu beristirahat dan membiarkan musim itu melakukan bagiannya.

“Tuhan,” seorang teman berdoa, “kiranya Engkau melakukan pekerjaan baik-Mu dalam diri Sheridan di musim yang sulit ini.” Doa itu lebih baik daripada doa saya, karena di tangan Allah, setiap musim memiliki tujuannya. Mari kita tunduk pada karya pembaruan-Nya di setiap musim hidup kita. —Sheridan Voysey

WAWASAN
Meski sebagian ahli meragukan kesahihan Salomo sebagai penulis Kitab Pengkhotbah, banyak bukti di dalam kitab itu sendiri yang mendukungnya. Di Pengkhotbah 1:1, kita membaca, “Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem.” Salomo adalah satu-satunya anak Daud yang memerintah sebagai raja di Yerusalem, meski penulisnya menyebut dirinya sebagai “Pengkhotbah” atau “Pengajar”. Berbeda dengan perkataan-perkataan Salomo dalam Kitab Amsal yang memberikan hikmat bagi kehidupan di dunia yang berdosa, Pengkhotbah lebih berfokus pada sulitnya hidup dalam dunia seperti itu. —Bill Crowder

Musim demi Musim

Pernahkah kamu menginginkan suatu musim dalam hidup kamu segera berlalu? Menurut kamu, apa yang Allah ingin lakukan dalam diri kamu pada musim yang kamu jalani sekarang ini?

Allah Bapa, terima kasih, karena Engkau memakai setiap musim untuk kemuliaan-Mu dan kebaikanku.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 23-24; Yohanes 15

Berani Bersaksi bagi Yesus

Minggu, 4 Juni 2023

Baca: Yohanes 13:36-38; 21:18-19

13:36 Simon Petrus berkata kepada Yesus: “Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” Jawab Yesus: “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku.”

13:37 Kata Petrus kepada-Nya: “Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!”

13:38 Jawab Yesus: “Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”

21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.”

Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. —Matius 10:38

Pada tahun 155 m, bapa gereja mula-mula Polikarpus diancam akan dibakar hidup-hidup karena imannya kepada Kristus. Ia menjawab, “Selama delapan puluh enam tahun aku menjadi hamba-Nya, Dia tidak pernah berbuat salah kepadaku. Bagaimana mungkin sekarang aku menghujat Rajaku yang telah menyelamatkanku?” Respons Polikarpus dapat menjadi inspirasi bagi kita saat menghadapi ujian ekstrem karena iman kita kepada Tuhan Yesus, Raja kita.

Hanya beberapa jam sebelum kematian Yesus, Petrus dengan berani berjanji setia kepada Kristus: “Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” (Yoh. 13:37). Yesus, yang mengenal Petrus lebih daripada Petrus mengenal dirinya sendiri, menjawab, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (ay.38). Namun, setelah kebangkitan Yesus, pribadi yang pernah menyangkal-Nya kembali melayani Dia dengan berani dan akhirnya memuliakan Dia melalui kematiannya sendiri (lihat 21:16-19).

Apakah kamu seorang Polikarpus atau Petrus? Kebanyakan dari kita, jika mau jujur, lebih mirip Petrus dengan “keberanian yang mudah padam”. Kita gagal berbicara atau bertindak selayaknya orang yang percaya kepada Yesus. Peristiwa-peristiwa tersebut—baik terjadi dalam ruang kelas, kantor, atau pembicaraan dengan orang lain—tidak perlu menjadi penentu identitas kita selamanya. Setelah gagal, kita harus bangkit kembali dengan sungguh-sungguh berpaling kepada Tuhan Yesus, yang telah mati dan bangkit bagi kita. Dia akan menolong kita untuk setia kepada-Nya dan berani menjalani hidup bagi-Nya, hari demi hari di dalam keadaan-keadaan yang sulit sekalipun. —Arthur Jackson

WAWASAN
Perkataan Petrus kepada Yesus di Yohanes 13:37 menunjukkan kesalahpahamannya tentang sosok sejati sang Guru. Petrus memang tulus berniat untuk menyerahkan nyawanya bagi rajanya, tetapi ia tidak mau melakukannya jika sang raja mati secara sukarela. Petrus siap melawan para penjajah Romawi, dan ia memang melakukannya. Setidak-tidaknya, ia berusaha melakukannya.

Dalam Yohanes 18, tidak lama setelah Yesus memberi tahu Petrus bahwa ia akan menyangkal-Nya, mereka berdiri di sebuah taman yang dikepung serdadu Romawi. Seakan ingin membuktikan kerelaannya untuk mati bagi Yesus, Petrus langsung beraksi, menghunus pedangnya, dan menyerang salah seorang serdadu.

Para murid—dan banyak orang percaya setelah mereka—tidak memahami misi Yesus. Dia datang bukan untuk meraih kekuasaan, dominasi, dan kendali, tetapi untuk mengesampingkan semua itu. Sebagaimana ditulis Yohanes bertahun-tahun kemudian di kitab terakhir dalam Alkitab, Raja kita bukanlah singa yang jaya, melainkan domba yang telah disembelih (Wahyu 5:5-6). —Jed Ostoich

Berani Bersaksi bagi Yesus

Kapan kamu membutuhkan keberanian ekstra untuk bersaksi bagi Yesus? Menurut kamu, hal apa yang mendukung atau memperkuat kesaksian kamu bagi-Nya?

Bapa Surgawi, ampuni aku jika aku pernah takut dan mengkhianati-Mu dengan perkataan atau tindakanku. Aku membutuhkan kekuatan dari-Mu untuk hidup berani sebagai orang percaya.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 21-22; Yohanes 14

Dalam Jangkauan Allah

Sabtu, 3 Juni 2023

Baca: Mazmur 139:1-12

139:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;

139:2 Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.

139:3 Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi.

139:4 Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.

139:5 Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.

139:6 Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.

139:7 Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

139:8 Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.

139:9 Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,

139:10 juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

139:11 Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,”

139:12 maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.

Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? —Mazmur 139:7

Setelah seorang petugas menggeledah saya, saya pun masuk ke dalam gedung penjara, menandatangani daftar pengunjung, dan duduk di lobi yang ramai. Saya berdoa dalam hati, sambil memperhatikan orang-orang dewasa yang gelisah dan anak-anak yang mengeluh karena harus menunggu. Satu jam lebih kemudian, seorang penjaga penjara memanggil sejumlah nama termasuk nama saya. Ia membawa kami ke dalam sebuah ruangan dan menyuruh kami duduk di kursi yang telah disediakan. Kemudian putra tiri saya duduk di depan saya, di balik jendela kaca tebal yang memisahkan kami, lalu mengangkat gagang telepon. Ketika itu, perasaan tak berdaya pun menguasai saya. Namun, saat saya menangis, Allah meyakinkan saya bahwa putra tiri saya masih berada dalam jangkauan-Nya.

Dalam Mazmur 139, Daud berkata kepada Allah, “Engkau menyelidiki dan mengenal aku; . . . segala jalanku Kaumaklumi” (ay.1-3). Pernyataannya mengenai Allah yang Mahatahu mendorongnya untuk mensyukuri pemeliharaan dan perlindungan-Nya yang begitu intim (ay.5). Ketika takjub melihat luasnya pengetahuan Allah dan betapa dalam jamahan-Nya, Daud mengajukan dua pertanyaan retoris: “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?” (ay.7).

Ketika kita atau orang-orang yang kita kasihi terjebak dalam situasi-situasi yang membuat kita putus asa dan tak berdaya, tangan Allah tetap kuat dan kukuh. Bahkan saat kita merasa sudah terlalu jauh untuk diampuni, tangan-Nya tidak kurang panjang untuk menjangkau kita. —Xochitl Dixon

WAWASAN
Allah mengenal umat-Nya secara pribadi dan intim. Kebenaran itu terungkap jelas lewat perkataan Daud dalam Mazmur 139. Ia berkata bahwa Allah “menciptakan setiap bagian badan” (ay.13 BIS) kita, dan “semuanya tercatat di dalam buku–[Nya]; hari-harinya sudah ditentukan sebelum satu pun mulai” (ay.16 BIS). Nabi Yesaya dan Yeremia menguatkan kebenaran itu (Yesaya 49:5; Yeremia 1:5). Di kemudian hari, Yesus menyatakan, “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku” (Yohanes 10:14). Dia bahkan tahu jumlah rambut di kepala kita (Matius 10:30)! Rasul Paulus menulis, kita “adalah bait Allah dan . . . Roh Allah diam di dalam [kita]” (1 Korintus 3:16). Kemudian ia menambahkan, “Orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah” (8:3). Dia bahkan lebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19)! —Alyson Kieda

Dalam Jangkauan Allah

Bagaimana mengetahui luasnya jangkauan Allah mempengaruhi iman kamu? Bagaimana Dia telah menghibur kamu pada saat kamu merasa putus asa dan tak berdaya?

Bapa Mahakasih, tolonglah aku untuk mengingat bahwa Engkau selalu bersedia dan sanggup menjangkau aku dan orang-orang yang kukasihi.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 19-20; Yohanes 13:21-38