#GaliDasarIman: Mengapa Kita Tidak Membela Agama Kita?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Serangan terhadap kekristenan terus dilancarkan sepanjang zaman. Salah satu bentuknya adalah pelecehan terhadap Yesus Kristus. Entah sudah berapa buku dan film yang diluncurkan untuk menampilkan Yesus Kristus yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Alkitab. Misalnya, Yesus yang bercumbu dan menikah dengan Maria Magdalena. Tidak terhitung lagi sikap-sikap lain yang merendahkan gereja, pendeta, atau orang Kristen. Artikel ini tidak akan cukup untuk memaparkan semua contoh serangan yang melecehkan atau menista tersebut.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Menariknya, banyak orang Kristen tampaknya tidak memberikan reaksi yang berlebihan terhadap isu ini. Bagi penganut agama-agama lain, sikap ini cukup mengejutkan. Jika hal yang sama ditujukan pada agama mereka, mereka tentu sudah mengambil tindakan yang tegas dan keras, bahkan kasar sekalipun (jika itu dirasa perlu). Jadi, mengapa kita tidak membela agama kita?⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Hal pertama yang perlu dijernihkan adalah ini: kita sungguh-sungguh membela. Alkitab memberikan banyak contoh tentang orang-orang Kristen yang berani membela keyakinannya. Paulus beberapa kali memberikan pembelaan untuk Injil di ruang pengadilan (Kisah Para Rasul 24:10; 25:8, 16; 26:1; Filpi 1:7). Petrus menasihati orang-orang Kristen untuk selalu bersiap-sedia memberikan pertanggungjawaban (lit. “pembelaan”; 1 Petrus 3:15-16). Jadi, orang-orang Kristen wajib membela keyakinannya.⠀⠀⠀

Yang menjadi perbedaan antara kita dengan penganut agama lain adalah bentuk pembelaan yang kita berikan. Yesus Kristus menentang segala bentuk kekerasan. Pada saat orang lain menolak Injil yang kita beritakan, kita hanya perlu untuk meninggalkan mereka (Matius 10:14; Markus 6:11; Lukas 9:5). Tidak boleh ada kekerasan, pembalasan, maupun pemaksaan. Sebagai contoh, ketika penduduk salah satu desa di Samaria tidak mengizinkan Yesus untuk melintasi daerah mereka, murid-murid-Nya sangat marah dan ingin menghukum penduduk tersebut, tetapi Yesus justru menghardik murid-murid itu (Lukas 9:53-55). Ketika Petrus melawan para tentara yang hendak menangkap Yesus, dia justru menerima teguran dari Yesus (Yohanes 18:10-11).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kebenaran di atas tidak hanya diajarkan oleh Yesus, melainkan juga dilakukan-Nya sendiri. Ketika Dia terpaku di atas kayu salib dan diolok-olok oleh banyak orang, Dia tidak membalas sekalipun. Kemarahan pun tidak ada pada-Nya. Sebaliknya, Dia justru melepaskan pengampunan untuk mereka (Lukas 23:34).⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pembelaan yang harus kita berikan adalah penjelasan rasional. Tatkala Yesus menerima serangan dan penolakan, Dia mengajak orang lain untuk berpikir secara jernih. Kepada orang-orang Yahudi yang hendak melempari-Nya dengan batu, Yesus bertanya: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” (Yohanes 10:32). Dia juga mengajak orang-orang Farisi memikirkan ke-Mesiasan-Nya secara logis dari kitab suci (Matius 22:41-46). Petrus menasihatkan kita untuk memberikan jawaban setiap kali ada orang yang menanyakan keyakinan dan pengharapan kita di dalam Kristus (1Petrus 3:15-16).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Bentuk pembelaan lain adalah melalui kesalehan hidup. Menghidupi kebenaran sama pentingnya dengan memberitakan kebenaran itu sendiri. Orang-orang Kristen diperintahkan untuk meresponi fitnahan dengan kesalehan (1 Petrus 2:12). Kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, sebaliknya justru mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Roma 12:17, 21). Kesalehan adalah senjata ampuh untuk menaklukkan para penentang (1 Petrus. 3:1-2). Ketika kita memberikan pembelaan secara rasional, kita harus melakukan itu dengan sikap yang saleh: lemah-lembut, hormat, dan tulus (1 Petrus 3:15-16). Sama sekali tidak ada kekerasan! Kebenaran harus dibela dengan cara yang benar pula.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Pernahkah kita merasa tertantang dan bergumul untuk membela kepercayaan kita?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

⠀⠀
Bagaimana Jika Kekristenan Adalah Sebuah Kebohongan?

Bertahun-tahun silam, seorang temanku pernah berkata, “Keberadaan Tuhan itu tergantung pada iman kita.”

Pada saat itu aku berpikir, wah, masuk akal. Ini pemikiran orang cerdas.

Pernyataan itu memang ada benarnya. Tampaknya sangat logis: jika suatu hari aku memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan, tidak akan ada lagi yang namanya Tuhan dalam hidupku. Dia akan segera lenyap. Kehidupan akan berjalan seperti biasa. Bahkan, aku mungkin akan bertanya: Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Tuhan? (Jangan protes dulu sebelum selesai membaca).

Arti Doa menurut Iman Kristen

Subtitle oleh Felicia Shelly

Apakah doa orang Kristen hanyalah sekadar ritual? Apakah doa yang dimaknai oleh iman Kristen hanya sekadar aktivitas tanda rohani?

Apa arti doa menurut iman Kristen?

Yuk temukan pembahasan mengenai “Arti Doa menurut Iman Kristen” oleh Ev. Samuel Soegiarto (@s4m4jc) co-founder @apologetikaindonesia

Moderator oleh Grasella Mingkid (@grasellamingkid)
Video ini merupakan cuplikan Instagram Live @warungsatekamu pada hari Kamis, 25 April 2019.

Lihat video series lainnya:
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa

#GaliDasarIman: Apakah Tujuan Hidup Manusia?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

“Apakah Tujuan Hidup Manusia?”

Pertanyaan yang sangat fundamental ini menyangkut aspek filosofis dan praktis. Para filsuf memikirkannya. Orang biasa pun menggumulkannya. Apakah jawabannya? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa hidup memiliki tujuan?

Hal PERTAMA yang perlu dipikirkan adalah kompleksitas dan keteraturan alam semesta maupun tubuh kita. Semua yang rumit dan teratur pasti menyiratkan sebuah tujuan. Kerumitan tanpa keteraturan adalah kekacauan dan hanya bersifat kebetulan. Tumpukan sampah, misalnya, mengandung kompleksitas tetapi tanpa keteraturan. Kita dapat melihat bahwa kerumitan dan keteraturan di alam semesta dan tubuh kita. Semua anggota tata surya bergerak dengan pola yang teratur. Dibutuhkan kesesuaian dengan hukum alam yang begitu kompleks untuk memiliki alam semesta seperti sekarang ini. Begitu pula dengan tubuh kita. Perkembangan ilmu biomolekuler menunjukkan bahwa DNA manusia jauh lebih kompleks daripada yang dipikirkan oleh banyak orang. Bukan hanya ada struktur yang jelas dan rumit, tetapi juga mengandung semacam informasi di dalamnya.

Hal KEDUA yang menyiratkan tujuan hidup adalah pencarian nilai hidup. Semua orang ingin hidupnya bermakna. Makna ini dipengaruhi oleh tujuan yang diyakini oleh orang tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak selaras atau mendukung pencapaian tujuan tersebut akan dianggap kurang bernilai. Begitu pula dengan sebaliknya. Hal-hal yang berhubungan dengan tujuan itu dipandang bernilai. Tanpa kesadaran tentang tujuan hidup, seseorang akan merasa hidupnya kurang bernilai. Apalah artinya seorang manusia di antara miliaran yang pernah ada di bumi? Apalah artinya seorang manusia di tengah-tengah alam semesta yang sedemikian besar?

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa hidup mempunyai tujuan karena Alkitab mengajarkan demikian. Misalnya, manusia diciptakan untuk memuliakan Allah (Yesaya 43:7). Segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Dia (Roma 11:36).

Hampir semua orang memikirkan kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Manusia ada untuk menikmati kebahagiaan. Menariknya, Alkitab maupun teologi Kristen yang benar tidak menolak hal ini. Allah menciptakan dunia yang sedemikian baik untuk didiami oleh manusia (Kejadian 1:31). Semua yang baik di dalamnya disediakan untuk dinikmati oleh manusia (1Timotius 4:4). Katekismus Singkat Westminster juga mengajarkan: “Tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.” Ada kenikmatan yang disinggung di sana. Tujuan hidup memang berkaitan dengan kebahagiaan. Persoalannya, manusia seringkali tidak memahami kebahagiaan yang sejati, pula bagaimana mencari kebahagiaan. Atau, benarkah kebahagiaan perlu dicari? Mungkinkah kebahagiaan merupakan konsekuensi (hasil) dari mencari yang lain?

Realita hidup mengungkapkan bahwa hal-hal yang non-material membawa kepuasan yang lebih daripada hal-hal yang material. Beragam survei menunjukkan bahwa manusia mendapatkan kepuasan yang lebih pada saat mereka membagi apa yang mereka miliki dengan orang lain daripada menggunakannya untuk diri sendiri.

Lalu, banyak orang juga menyetujui bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki oleh seseorang, tetapi seberapa banyak orang itu bisa mengapresiasi apa yang dia miliki. Ada orang kaya yang tidak berbahagia karena selalu merasa kurang. Sebaliknya, ada orang yang hidup sederhana namun bahagia.

Kenyataan juga mengajarkan bahwa orang rela menguras harta mereka demi sesuatu yang non-material. Sebagai contoh, semua orang yang berpikiran jernih pasti akan sependapat bahwa uang pada dirinya sendiri tidak membawa kebahagiaan. Uang hanyalah sarana untuk mendapatkan hal lain yang mampu memberi kebahagiaan. Dengan uang yang melimpah, seseorang bisa membeli barang-barang yang berharga, sehingga dia mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Orang mau kehilangan begitu banyak uang untuk operasi plastik dan perbaikan penampilan, demi mendapatkan pujian dari orang lain.

Lebih jauh, di antara semua hal yang non-material, kita menemukan bahwa hal-hal yang bermoral adalah lebih bernilai daripada yang lain. Kita mengeluarkan uang untuk berlibur dan menikmati keindahan alam. Yang kita peroleh dari aktivitas ini juga non-material, yaitu pengalaman, kenyamanan, dan ketakjuban. Namun, harus diakui, orang lain akan lebih mengapresiasi apabila kita menggunakan uang kita untuk sesuatu yang mengandung bobot moralitas, misalnya proyek misi atau kemanusiaan di pedesaan atau tempat terpencil.

Pengamatan terakhir: Keutamaan hal-hal yang personal juga terlihat pada saat manusia berada di penghujung hidupnya. Orang tidak lagi memusingkan hal-hal yang material. Bahkan pencapaian-pencapaian moral pun seringkali dianggap kurang begitu penting. Yang diutamakan adalah relasi. Keluarga. Orang-orang yang dia kasihi.

Semua penjelasan di atas – keutamaan hal-hal yang non-material, bermoral, dan personal – seyogyanya menuntun kita untuk memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Apa yang sering ditawarkan oleh dunia sebagai tujuan hidup atau kebahagiaan hidup ternyata tidak esensial, apalagi fundamental. Semua hanya di permukaan belaka (superfisial). Tidak heran, semakin besar upaya mereka untuk memperoleh kebahagiaan, semakin besar kekecewaan mereka.

Allah memang menyediakan kebahagiaan bagi manusia. Namun, jalan menuju ke sana sangat berbeda degan yang diberikan oleh dunia. Kebahagiaan bukan motivasi atau destinasi, namun sebuah KONSEKUENSI atau HASIL dari memuliakan Tuhan. Tatkala manusia berhasil mencapai tujuan hidupnya – yaitu memuliakan Penciptanya – manusia akan mendapatkan kenikmatan, sebab ia telah mendapatkan arti, nilai, serta tujuan hidup. Inilah pencapaian yang sesungguhnya. Inilah jalan menuju kebahagiaan versi Alkitab. Maka, jangan menyia-nyiakan hidupmu!

Renungkanlah:

Sudahkah kita menemukan tujuan hidup yang sejati dalam Kristus, serta menghidupinya?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika. ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Baca Juga:

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

Untuk menjawab pertanyaan di ini, ada lima pertanyaan yang dapat kita renungkan.

#GaliDasarIman: Apakah Keberadaan Allah Jelas Bagi Semua Orang?

Oleh Wilson Jeremiah
Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Maksud pertanyaan ini lebih tepatnya, “Apakah keberadaan Allah jelas bagi semua pada dirinya sendiri, tanpa diajarkan atau tanpa tanda-tanda khusus?” Mungkin sebagian orang berkata, “Jelas lah!”, dan juga akan berpikir pertanyaan seperti agak konyol. Juga sebagian mungkin berkata, “Kita ini di Indonesia, penuh dengan agama yang berbeda-beda. Pastilah orang percaya Tuhan itu ada!” Juga Menurut Roma 1:19-20, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada semua orang sehingga mereka sedikit banyak tahu bahwa Allah itu ada.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kalau begitu, untuk apa apologetika? Apalagi penginjilan? Toh, kalau semua orang tahu bahwa Allah ada dan beragama, ngapain lagi kita susah-susah belajar apologetika dan penginjilan yang berisiko kita menyinggung bahkan kehilangan teman atau orang lain di sekitar kita? Tentu saja jika kita menjawab pertanyaan utama kita bahwa keberadaan Allah JELAS bagi semua orang, pembelajaran apologetika serta praktek penginjilan menjadi kurang penting, bahkan sia-sia.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Tetapi, jika kita memikirkan lebih jauh, kita akan mendapati bahwa sesungguhnya keberadaan Allah tidak selalu jelas bagi semua orang. Jika kita memahami “semua orang” di sini termasuk orang di luar Indonesia, atau orang Indonesia yang sudah mencicipi budaya luar negeri, kita akan melihat jumlah orang agnostik dan ateis yang cukup signifikan sekalipun masih minoritas. Apalagi di era globalisasi serta kemajuan dalam sains dan teknologi, semakin banyak orang (Indonesia) yang mayoritas beragama yang mulai dipengaruhi oleh ateisme atau budaya sekularisme dari berbagai negara luar. Mengapa demikian?

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Alkitab, khususnya Roma 1:19-20, mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya mengetahui akan adanya Allah tetapi samar-samar dan tidak menyeluruh. Dosa manusia mengaburkan bahkan menjauhkan pikiran mereka dari Allah yang benar, sehingga mereka berkata bahwa Allah tidak ada (Mazmur 14:1-3; Roma 3:10-12). Apalagi, Allah dikatakan sebagai roh yang tidak kelihatan (Yohanes 4:24) dan tidak ada yang pernah melihat-Nya (Yohanes 1:18; 1 Yohanes 4:12).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Oleh sebab itu, aku beberapa kali menjumpai orang-orang yang tidak mengaku percaya akan Allah tetapi kepada “sebuah kuasa yang lebih tinggi dari dirinya” (a higher power). Kita juga mendapati bahwa banyak agama-agama yang tidak mengajarkan Allah yang berpribadi dan berkomunikasi dengan ciptaan-Nya, tetapi lebih kepada “Allah dalam diri kita” atau “dalam dunia ini.” Jadi, kita mungkin heran bahwa ada agama yang “tidak bertuhan” dan tidak menyinggung sedikitpun tentang Allah, lebih mirip dengan sebuah filsafat atau cara hidup saja.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Maka dari itu, sebagai orang Kristen, kita perlu belajar dan mempraktikkan apologetika, minimal karena dua alasan. PERTAMA, apologetika berguna untuk memperjelas bahwa Allah itu ada bagi orang-orang yang tidak percaya Allah ada, bahkan untuk mereka yang sudah percaya pada Allah dan beragama. Di zaman seperti sekarang ini, khususnya di mana kredibilitas agama dan iman sering dipertanyakan, apologetika dapat menolong kita untuk memahami bahwa lebih rasional dan masuk akal bagi kita untuk percaya akan keberadaan Allah dari pada tidak.

KEDUA, bukan hanya untuk memperjelas keberadaan Allah saja, tetapi apologetika berguna untuk memperjelas Allah seperti apa yang kita percayai dan sembah. Di tengah pasar global yang menawarkan begitu banyak ide dan gambaran (palsu) mengenai siapa Allah itu, kita perlu memahami bagaimana kita dapat mengenal Allah yang benar, sehingga kita dapat merespons dengan hidup tepat sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah yang benar itu. Tanpa pengetahuan dan pengenalan yang benar akan Allah, kita tidak mungkin mampu memahami arti dan tujuan hidup kita di dunia yang kompleks ini.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kesimpulannya: Karena tidak semua orang mampu menangkap dengan jelas akan keberadaan Allah, maka apologetika diperlukan untuk menunjukkan bahwa keberadaan Allah sesungguhnya cukup jelas dan Allah seperti apa yang harus kita percayai. Teolog Herman Bavinck berkata bahwa apologetika adalah ilmu Kristen yang pertama muncul (“the first Christian science”), dan yang tentunya akan terus dibutuhkan sepanjang zaman.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Apakah kita sudah meyakini akan keberadaan Allah, serta mengenal Allah yang kita yakini dan percayai itu?

* * *

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Wilson Jeremiah adalah anggota tim API yang sedang menempuh studi Ph.D. dalam bidang Systematic Theology di Trinity Evangelical Divinity School, USA.⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Artikel ini sebelumnya sudah pernah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API). Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Sikap Cengeng

Oleh Ananda, Jakarta

Masa kecil adalah masa-masa di mana kita mulai belajar dan mengenal berbagai perasaan, salah satunya adalah perasaan takut ketika mainan kita diambil. Namun, ketika kepunyaan kita diambil, biasanya orang tua kita akan memihak pada kita dan memberikan mainan itu kembali.

Ketika kita beranjak dewasa, kita mulai menyadari bahwa dunia tidak selalu berpihak kepada kita. Banyak ketidakadilan yang sering terjadi di sekitar kita dan kita merasa berhak untuk menuntut keadilan jika ketidakdilan itu menimpa kita. Salah satu contoh sederhana yang mungkin sering kita alami adalah kesedihan dan kekecewaaan kita ketika Tuhan tidak mengabulkan doa kita. Atau, ketika banyak masalah yang datang menimpa kita padahal kita merasa sudah melakukan banyak hal untuk melayani Tuhan. Tanpa sadar, kita lupa bahwa kesedihan dan kekecewaan kita tersebut mencerminkan sebuah cara untuk mengatur Tuhan agar Dia memenuhi keinginan-keinginan kita sesuai dengan apa yang kita kehendaki.

Mungkin penjelasan-penjelasan di atas terdengar membosankan karena terlalu sering kita mendengarnya dari pendeta-pendeta di gereja. Mungkin juga, ketika kita mendengarnya lagi, kita merasa hal itu tidak mungkin kita alami karena kita juga sudah terlalu sering mendengar “mengikut Kristus bukanlah perkara mudah”. Mengapa aku berkata demikian? Karena aku mengalaminya.

Selama ini aku memahami bahwa mengikut Kristus merupakan perkara yang tidak mudah dan penuh tantangan. Aku pun selalu mendapatkan penguatan-penguatan dari orang-orang di sekitarku mengenai hal tersebut. Namun, ada kalanya aku tetap merasa sedih dan mempertanyakan kesedihanku kepada Tuhan.

Belakangan aku merasa lelah dengan imanku. Sudah empat tahun aku mengikut Kristus secara diam-diam (Sebelumnya sudah pernah kutuliskan di sini). Sejak kelas 3 SMA, aku menyembunyikan imanku kepada Kristus dari keluarga dan sebagian besar teman-temanku. Awalnya aku sangat menggebu-gebu dan penuh sukacita menjalaninya, namun belakangan aku merasa lelah. Semuanya terasa seperti sandiwara. Aku sedih kehilangan relasi dengan sahabat-sahabatku karena imanku. Aku pun lelah karena ada orang-orang yang justru berburuk sangka tentang imanku. Mereka mengira aku tidak sungguh-sungguh mengikut Kristus. Mereka kira aku sekadar ikut-ikuan dan terpengaruh orang lain. Bahkan, ada juga yang mengira aku mengikut Kristus demi menjalin hubungan dengan seorang laki-laki.

Kelelahanku membuatku bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan mengapa aku tidak dilahirkan di keluarga Kristen? Mengapa aku harus melalui semua ini? Mengapa orang-orang itu tidak memandangku dengan baik meski aku telah mengikut Engkau? Mengapa mereka bukannya menguatkan tapi malah menjatuhkan? Mengapa ibuku semakin fanatik dengan imannya dan membuatku sulit untuk mengabarkan Injil kepadanya? Mengapa ayah kandungku meninggal saat aku SD dan aku mendapatkan ayah baru yang fanatik? Mengapa aku harus berpura-pura? Sungguh, aku lelah Tuhan hidup dalam dua ‘dunia’ seperti ini. Sampai kapan Tuhan? Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?” dan sederet pertanyaan lainnya.

Pilihan sikap untuk menghadapi penderitaan

Aku menangis selama beberapa waktu sampai suatu hari aku diingatkan saat ibadah Minggu melalui firman yang ditulis oleh Petrus dalam 1 Petrus 2:11-3:12. Dalam bacaan tersebut, Petrus mengingatkan kembali bahwa identitas baru kita dalam Tuhan tidak mengubah relasi sosial kita dalam kehidupan bermasyarakat. Petrus secara khusus mengingatkan para hamba-hamba (budak) pada ayat 18 untuk tetap tunduk kepada tuan mereka, bukan hanya kepada tuan yang baik namun juga kepada tuan yang bengis. Tidak hanya itu, setelah para budak, Petrus juga menguatkan para istri untuk tunduk kepada suami mereka, bukan hanya kepada suami yang taat, namun juga kepada yang tidak taat.

Jika kita lihat dalam ayat-ayat tersebut, Petrus menghubungkan budak dengan istri melalui teladan Kristus. Mengapa demikian? Pada saat itu, para budak dan istri adalah dua kelompok masyarakat yang penderitaannya paling mirip dengan penderitaan yang Kristus alami (Innocent suffering). Petrus mengingatkan para budak dan para istri agar tetap menghormati tuan dan suami mereka dan tetap berbuat baik kepada mereka agar terang Kristus boleh terpancar melalui setiap perbuatan baik mereka.

Tentunya ini bukan hal yang mudah. Bagi para budak, mereka adalah kaum yang tidak dianggap dan sering mengalami penderitaan. Tetapi, justru secara khusus Petrus menuliskan surat yang menguatkan mereka dan mengingatkan mereka bahwa identitas mereka adalah manusia yang Tuhan kasihi; identitas mereka tidak bergantung kepada tuan mereka dan Tuhan telah rela mengalami penderitaan yang serupa karena kasih-Nya kepada manusia. Begitupun para istri yang menerima identitas baru dalam Kristus. Mereka mungkin tidak bisa mengabarkan Injil melalui perkataaan mereka kepada suami atau keluarga mereka. Mereka dikenal sebagai kaum yang sulit dipercaya dan harus selalu patuh kepada suami mereka. Dengan iman mereka yang baru (iman kepada Kristus), masyarakat akan menganggap mereka telah mencoreng nama baik keluarga, merusak relasi mereka dengan suami dan anak-anak mereka. Bahkan, mereka bisa saja diceraikan, dibuang, dan dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, Petrus menekankan agar mereka, para istri, tetap tunduk menghormati suaminya sebagai bentuk penyembahan mereka kepada Kristus.

Tidak hanya para istri, Petrus juga melanjutkan suratnya kepada para suami yang telah beriman kepada Kristus. Dalam suratnya, Petrus mengingatkan agar para suami yang pada zaman itu sangat berhak memaksa dan mengatur kehidupan keluarganya, tetap berlaku bijaksana dan menghormati istri mereka, walaupun mungkin istri dan anak-anak mereka bukan orang percaya. Petrus mengingatkan bahwa Kristus tidak mengajarkan pemaksaan, meskipun Kristus tentu memiliki kuasa untuk memaksa atau melawan musuh-musuh-Nya dalam penderitaan-Nya.

Mendengar setiap firman yang disampaikan itu, pikiranku benar-benar melayang, membayangkan keadaan pada masa itu dan membayangkan setiap peran yang Petrus sebutkan. Aku membayangkan pasti sangat sulit bagi para budak yang sudah melakukan setiap pekerjaan mereka dengan baik namun tetap harus menerima dengan kasih setiap bentakan, cacian, dan siksaan dari majikan yang kejam. Kemudian, aku mengaitkan kondisiku saat ini dengan kondisi para istri yang mungkin mirip sepertiku. Ya, aku seperti mereka. Aku belum bisa mengabarkan kabar baik secara langsung (lisan) kepada keluargaku. Tapi, aku tetap harus berbuat baik serta menghormati mereka dengan kasih Kristus. Aku juga membayangkan seandainya aku menjadi suami pada zaman itu, mungkin aku akan sangat tergoda untuk memaksa istri dan keluargaku untuk mengikuti iman yang sama seperti yang kuikuti. Akan sangat mudah bagiku untuk menjalani hidup tanpa harus merasakan rasa malu dari masyarakat sekitar maupun teman-teman karena imanku yang berbeda dari keluargaku.

Aku kembali merefleksikan semua itu kepada teladan yang Kristus ajarkan. Aku kembali menangis. Ya, kali ini aku menangis karena aku merasa terlalu cengeng jika dibandingkan dengan mereka semua yang Petrus sebutkan, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Kristus. Aku kembali mengingat betapa Kristus sungguh mengasihiku sehingga Dia rela menderita, rela ikut “jatuh” ke dalam lumpur dosa, rela diam ketika dicaci dan dihina, bahkan rela terpisah dengan Bapa untuk menolong kita. Begitupun dengan Bapa yang rela memalingkan pandangan-Nya dari Anak yang sangat dikasihi-Nya, agar pandangan-Nya yang penuh kasih bisa sepenuhnya tercurah kepada kita.

Mungkin penderitaaan yang kita alami saat ini terasa sangat sulit untuk dilalui, namun marilah terus memandang kepada teladan yang Kristus telah berikan kepada kita. Jika Kristus sudah begitu mengasihi kita, maukah kita menerima kasih-Nya dan melalui setiap penderitaan kita dengan tetap berpengharapan dan bersukacita? Jika kita telah merasakan kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, maukah kita juga mengabarkan kasih anugerah keselamatan itu kepada mereka yang belum mendengarnya melalui tiap perkataan dan tindakan kita?

Meski terkadang aku masih merasa lelah, namun kini aku selalu berusaha mengingat bahwa setiap kelelahan yang kualami tidak seberapa dengan kelelahan yang Tuhan telah alami. Selain itu, aku juga berusaha untuk melihat orang-orang lain yang mengalami penderitaan lebih berat daripada yang kualami. Semisal, ada beberapa pengungsi dari negara-negara terkoyak perang yang juga pengikut Kristus dan harus menyembunyikan imannya, sama sepertiku. Tak hanya itu, mereka pun harus bergumul dengan hal-hal lain yang lebih berat sepertit empat tinggal, makanan, bahkan kewarganegaraan. Aku tidak sedang menjalani perjalanan ini sendirian, ada Yesus yang menyertaiku juga kita sekalian.

Baca Juga:

3 Pertanyaan untuk Diajukan Saat Kamu Berpacaran

Berpacaran bisa menjadi sebuah petualangan yang mendebarkan, terutama karena berpacaran merupakan langkah awal yang nanti akan membawa kita ke jenjang pernikahan! Namun, sudahkah kamu menguji hatimu dalam menjalani fase ini?

Dear #SongSongCouple: Mengapa Senandung Cinta Kalian Berakhir?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Dear #SongSongCouple: Why Has Your Lovesong Ended?
Gambar diambil dari akun Instagram Song Hye-Kyo

Dear #SongSongCouple,

Rasanya belum lama kalian mengabarkan berita tentang pernikahan kalian kepada dunia, setelah kesuksesan serial drama Korea “Descendants of the Sun” (DOTS) di mana kalian berdua berperan sebagai pasangan di sana.

Satu setengah tahun berselang mengarungi pernikahan, mengapa kalian memutuskan untuk berpisah begitu saja?

Aku tidak menganggap diriku sebagai fans berat drama Korea, tetapi aku adalah salah satu dari jutaan penonton yang tercengang oleh kisah romantis dalam balutan militer yang mulai disiarkan di Februari 2016. Dalam tiga bulan aku telah menyelesaikan 16 episodenya (bahkan aku menonton ulang beberapa episodenya berkali-kali), mendengarkan soundtrack-nya, belajar memainkan lagu “You Are My Everything” di piano, dan bahkan menuliskan sebuah artikel tentang tips-tips relasi berdasar drama tersebut.

Aku begitu gembira (seperti penonton yang lain juga) ketika berita tentang kisah cinta kalian dalam drama itu berubah menjadi kisah cinta yang nyata. Tampaknya untuk sekali saja, kisah pengorbanan, romatisme, dan kemurnian cinta yang biasanya menjadi bumbu dalam drama Korea sungguh-sungguh terwujud dalam kenyataan. Jadi, seperti banyak orang lainnya, aku mengikuti berita tentang pernikahan kalian, dan turut bersukacita saat kalian berdua akhirnya resmi menikah di Oktober 2017. Aku dan teman-temanku bahkan berencana untuk membuat pesta perayaan untuk turut bergembira atas kisah dongeng kalian yang menjadi nyata yang sepertinya berlangsung bahagia selamanya.

Atau, setidaknya, itulah yang kami pikirkan bagaimana relasi kalian akan berakhir kelak.

Tetapi, banyak rumor mulai muncul ke permukaan di awal pernikahan kalian ketika Song Hye-kyo kedapatan tampil tanpa mengenakan cincin pernikahannya. Dan meskipun Song Joong-ki berusaha menghilangkan ketakutannya dengan mengatakan bahwa dia lebih “stabil secara emosional” setelah menikah hanya satu bulan yang lalu, ternyata itu tidak cukup untuk menjaga pernikahan kalian bersama.

Pada akhirnya, kisah cinta yang sempurna sekalipun tidak menjamin akan pernikahan yang sempurna. Aku telah mempelajarinya dari kisah Bradd Pitt dan Angelina Jolie. Tapi, kupikir apa yang paling mengguncangku adalah betapa singkatnya waktu pernikahan kalian.

Agensimu telah memberi keterangan bahwa kalian ingin berpisah karena “perbedaan kepribadian” dan meminta kepada media dan publik untuk tidak menulis artikel ataupun komentar yang sensasional dan spekulatif. Tapi, spekulasi pun bertebaran, bahkan di antara teman-temanku. Ada yang mengatakan kalau pernikahan dan perceraian kalian sebagai cara untuk mencari ketenaran, sementara yang lain mengatakan perceraian kalian karena ada perselingkuhan.

Sebagai fans kalian, aku berharap kalian berdua bisa memberikan kesempatan kedua untuk pernikahan ini, atau setidaknya mencoba menyelesaikan masalah kalian dan mempertahankan bahtera ini lebih lama lagi. Atau, mungkin jika kalian telah belajar tentang bagaimana memberi dan menerima seperti karakter yang kalian perankan dulu, mungkin semua ini akan berakhir berbeda?

Kalian mungkin berpikir: Apa sih yang kalian tahu? Pemikiran itu tidaklah salah; semua yang kutahu hanyalah apa yang media beritahukan. Di suatu hari nanti, hanya kalian berdua yang tahu alasan paling utama di balik keputusan untuk mengakhiri bahtera pernikahan kalian. Menjadi individu yang seluruh kehidupannya tak luput dari sorotan media, aku tahu bahwa menjalani hari-hari kalian tidaklah mudah.

Tetapi, suatu hari nanti pula, pemberitaan dari media-media akan usai, dan perhatian dunia akan beralih kepada pasangan lain yang menghadapi kisah yang sama seperti kalian, meratap sekali lagi seraya mengatakan “cinta sudah mati”.

Jadi, kalau bukan karena apapun, inilah satu hal yang kupikir kita semua bisa pelajari: tidak ada seorang pun di dunia ini yang kebal terhadap relasi yang gagal dan dikecewakan oleh orang lain. Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa menjamin bahwa cinta kita kepada pasangan kita akan tetap konsisten dan tidak berakhir.

Lantas, haruskah kita kecewa dan menyerah karena seolah tidak ada “cinta sejati”? Tidak. Cinta kasih yang sesungguhnya tidak akan pernah berakhir, selama kita memalingkan diri kita kepada sumber yang sejati—bukan kepada diri kita sendiri atau sesama manusia. Cinta Sejati itu adalah Yesus. Dialah mempelai yang sejati, dan Dia telah menunjukkan betapa besar kasih-Nya hingga mati di kayu salib bagi kita (Efesus 5:25).

Ketika kalian bersiap untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing, aku berharap kebenaran ini menguatkanmu. Cinta masih sangat hidup, di dalam Pribadi bernama Yesus Kristus. Dan karena cinta kasih-Nya, kita sekarang dapat mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:19).

3 Pertanyaan untuk Diajukan Saat Kamu Berpacaran

Oleh Marissa Cathey, Hong Kong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Questions To Ask When You’re Dating

Berpacaran bisa menjadi sebuah petualangan yang mendebarkan, terutama karena berpacaran merupakan langkah awal yang nanti akan membawa kita ke jenjang pernikahan! Namun, mungkin sebelum kita melangkah menuju masa berpacaran, kita punya banyak pertanyaan dalam pikiran kita. Contohnya, bagaimana aku bisa tahu bahwa aku sudah siap untuk berpacaran?

Meskipun aku bukan seorang ahli, ada tiga kualitas yang kudapati menjadi dasar dalam relasiku berpacaran, dan kuharap poin-poin ini bisa menuntunmu ke arah yang benar.

1. Apakah kamu tertarik pada pacarmu karena dia rupawan atau karena hatinya tertuju pada Tuhan?

Apa yang membuatmu tertarik pada seseorang? Apakah penampilan fisiknya? Karakter? Kepribadian? Karier? Aku yakin kamu bisa menambahkan beberapa sifat yang mungkin dapat membuat kita tertarik pada orang lain. Tetapi jika kita menggali lebih dalam, kita tahu bahwa tidak ada satu hal pun dari sifat ini yang akan membuat hubungan bertahan lama. Sebagai orang Kristen, kita harus memperhatikan hal yang jauh lebih penting: apakah Tuhan merupakan pemimpin hidup mereka?

Ketika aku pertama kali bertemu dengan tunanganku, Brian, aku tidak begitu tertarik padanya. Menurutku dia terlihat cukup manis, tapi aku tidak terlalu memikirkannya lebih jauh lagi setelah perjumpaan pertama kami. Namun, setelah melewati beberapa minggu bekerja di tata usaha gereja (kami berdua bekerja magang pada saat itu), menghabiskan waktu istirahat bersama-sama, dan diam-diam membicarakan tugas-tugas yang kami kerjakan, aku mulai melihat semangatnya akan Injil dan hasratnya untuk membagikan itu kemanapun dia pergi. Hal ini sangat cocok dengan hasrat dan panggilan hidupku—aku terbeban untuk melakukan misi keluar sejak beberapa tahun lalu.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa kagum pada Brian—karena dedikasi dan kesetiaannya pada Yesus. Sejak saat itu, perhatianku padanya mulai terlihat, dan aku menjadi tertarik padanya. Dapat dikatakan aku jatuh cinta. Dan ternyata dia pun juga.

Jadi, relasiku dengan Brian tidak terjadi sebagaimana diperkirakan kebanyakan orang. Alih-alih berpacaran karena ketertarikan fisik atau sifat, kebergantungannya pada Kristus sebagai penulis cerita hidupnyalah yang membuatku tertarik padanya. Aku mendapati bahwa ketertarikanku pada sifat-sifat Brian lainnya mulai mengikuti setelahnya.

2. Apakah ada peluang untuk bertumbuh secara sehat?

Mungkin kita pernah mendengar pepatah “cinta bukan cerita dongeng.” Pepatah ini benar, karena agar sebuah hubungan dapat berhasil, diperlukan tindakan, usaha, dan pengorbanan. Perasaan tidaklah cukup kuat untuk menjaga sebuah pasangan agar dapat bertahan melalui semua itu. Seberapapun kuatnya cinta pasangan tersebut, atau seberapa “lengket”nya mereka . . . perasaan bisa berubah.

Ada hari-hari di mana kami berargumen, tidak setuju tentang suatu hal, atau memiliki pandangan yang berbeda, dan kejadian-kejadian tersebut dapat membuat kami bertanya apakah Tuhan menghendaki agar kami bersama atau tidak. Dalam masa-masa itu, sangat penting bagi kami untuk menjaga diri dari perasaan frustrasi, amarah, ketidaksabaran, dan juga pembenaran diri.

Seiring kami berusaha melewati tantangan ini bersama-sama, kami belajar untuk menyediakan ruang bagi Tuhan untuk membentuk hati kami. Kami belajar untuk mengizinkan persoalan-persoalan ini menggerakkan kami untuk berdoa dan mencari nasihat di dalam Firman dan juga melalui orang-orang percaya lainnya. Sekarang inilah doa kami: agar kami memiliki kerendahan hati untuk menerima tuntunan Roh Kudus dan menaati apapun yang Tuhan katakan dalam hati kami.

Kesulitan dan pencobaan yang tak dapat dihindari dalam relasi menuntut lebih dari kekaguman antara satu dengan yang lain. Pada akhirnya, kita membutuhkan Kristus sebagai dasar kita bersama untuk membantu kita melihat bagaimana kita bisa menjadi sebuah tim yang baik, melengkapi satu sama lain, dan yang terpenting menjadi semakin serupa dengan Kristus melalui seluruh proses yang ada.

Ketika kami berdua ditarik mendekat pada Kristus dan saling membantu satu sama lain untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya, kami tidak perlu takut pada masalah—karena kami tahu bahwa dalam masa-masa pencobaan sekalipun, Tuhan sedang bekerja untuk menyucikan kita dan membuat kita kudus (Filipi 1:6).

3. Apakah perbedaan kalian memecah belah atau melengkapi?

Brian dan aku sangatlah berbeda. Aku adalah orang yang blak-blakan, berpendirian teguh, terkadang galak, dan wanita yang bebas yang berasal dari daerah yang dipenuhi hutan di Meksiko bagian tengah. Brian adalah orang yang penyendiri, penuh pertimbangan, kuat, pendiam, berasal dari kota metropolitan Hong Kong. Komentar-komentar tentang seberapa berbedanya kami nampaknya tidak pernah habis-habisnya datang, dan kami hanya tertawa karena orang-orang lain hanya mengetahui segelintir dari hal-hal lainnya.

Tentu, terkadang komentar-komentar tersebut dapat membuat kami kecil hati, terutama ketika kami mendengar orang lain berkata kami tidaklah cocok, atau kemungkinan besar menjalani hubungan yang penuh bencana karena perbedaan-perbedaan kami.

Bagi Brian dan aku, kami diingatkan bahwa pada masa-masa awal para rasul, Roh Kudus menyatukan orang-orang dari berbagai bangsa dan budaya dan bahasa untuk melahirkan gereja (Kisah Para Rasul 2). Dan kita tahu bahwa pada akhirnya bukanlah budaya dan tradisi yang akan bertahan hingga kekekalan, namun apa yang kita lakukan dalam ketaatan pada Allah.

Sebagaimana keberagaman dalam tubuh Kristus memungkinkan keberagaman tersebut bekerja dengan efektif (1 Korintus 12:12-14), kita percaya hal yang sama terjadi dalam pernikahan. Bersama dengan Brian, kami menemukan bahwa kami melengkapi satu sama lain melalui kelebihan dan kekurangan kami, dan mampu menjangkau lebih banyak orang dalam lingkup dunia karena hubungan multikultural yang diberikan pada kami.

Dengan pemahaman ini, kami juga meyakini bahwa mencari Tuhan dengan pemikiran yang terbuka dan kerendahan hati merupakan hal yang penting, terutama jika teman-teman yang kami percayai atau keluarga kami memiliki kekhawatiran mengenai hubungan kami. Terkadang ada beberapa permasalahan dalam relasi kami yang tidak terdeteksi oleh kami sendiri. Di tahap ini, kami butuh masukan dari orang lain, yang bisa melihat dari sudut pandang yang lebih jernih. Satu contoh kejadian di mana masukan dari pihak luar membantu kami adalah ketika salah satu orang tua rohani kami dengan lembut memberitahuku bahwa aku harus lebih sabar dan pengertian terhadap budaya Tionghoa yang menjadi latar belakang Brian. Aku juga perlu mengurangi kesalahan-kesalahan yang disebabkan karena perbedaan kebiasaanku dengan Brian. Contoh lainnya adalah ketika teman dekat Brian memberi masukan supaya Brian lebih tegas sebagai pemimpin dalam hubungan kami, terutama ketika kami sedang berada dalam masa-masa sulit. Masukan-masukan ini menolong kami untuk melihat titik-titik buta kami, dan memampukan kami untuk bertumbuh dengan cara kami dan juga memampukan kami untuk semakin mengasihi satu sama lain.

Memeriksa perbedaan yang kita miliki dengan pasangan kita dan mencari Tuhan untuk mengerti apakah perbedaan ini menolong kita untuk bertumbuh atau membuat perpecahan di dalam hubungan kita merupakan hal yang penting untuk dilakukan.

Seringkali menemukan kepuasan dan tujuan di dalam pasangan kita merupakan hal yang mudah. Namun kita mengetahui bahwa pada akhirnya tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan kita selain Tuhan. Apapun kondisinya, kita yang utama dan terutama merupakan milik Allah. Ia mengasihi dan menghargai kita dengan cara yang tidak dapat dilakukan orang lain (Matius 10:29-31). Dalam setiap langkah perjalanan hubungan kita, mari kita tidak mengejar apa yang berharga menurut dunia, melainkan mengejar untuk menyenangkan hati Tuhan.

Seiring kamu menggumulkan tentang berpacaran atau memulai sebuah hubungan, janganlah panik atau terlalu mencemaskan tentang seberapa baik kamu akan menjalaninya nanti. Doakanlah hal itu, dan mintalah kepada Tuhan untuk memberkatimu dengan hikmat, kekuatan, dan tuntunan-Nya. Lingkupi dirimu dengan orang-orang kudus yang dapat membantumu melewati tantangan-tantangan yang mungkin akan kamu hadapi. Gunakan kesempatan ini untuk semakin mempercayai dan mengenal Allah, dan Ia akan menunjukkan jalanmu, karena Allah adalah Allah yang setia.

Baca Juga:

Tuhan Merangkai Cerita yang Indah dalam Keluargaku

Orang tuaku pernah bertengkar hebat dan perceraian pun sempat terpikir oleh mereka. Sebagai anak, aku kecewa. Namun, di balik peristiwa buruk tersebut, nyatanya Tuhan merangkaikan cerita yang indah bagi keluargaku.

Bagaimana Bersaat Teduh Ketika Suasana Ramai?

Subtitle oleh Ferry Setiawan

Apakah saat teduh harus selalu dilakukan sendirian? Ketika kita sedang menikmati acara ramai-ramai bersama teman, bagaimanakah caranya supaya kita bisa tetap bersaat teduh ?

Yuk simak jawabannya dalam video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?
Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa
Cara Mengendalikan Diri

Cara Mengendalikan Diri

Subtitle oleh Marselina Rusli

Pengendalian diri adalah salah satu dari buah roh. Tapi, mengendalikan diri bukanlah hal yang mudah. Kadang kita membiarkan diri kita larut dikuasai hawa nafsu dan emosi. Adakah cara yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan diri?

Ayo temukan jawabannya di dalam video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?
Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh
Puasa Orang Kristen
Tips untuk Berhasil Menjalani Puasa